Abdullah
185030020
Profil Sutan Takdir Alisjahbana
Sutan Takdir Alisjahbana dilahirkan di Natal, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 11 Februari 1908, dan
meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 dalam usia 86 tahun. Dinamai Takdir karena jari tangannya hanya
ada 4. Ibunya seorang Minangkabau yang telah turun temurun menetap di Natal, Sumatera Utara
sementara ayahnya, Raden Alisyahbana gelar Sutan Arbi, ialah seorang guru. Kakeknya, Sutan
Mohamad Zahab, dikenal sebagai seseorang yang dianggap memiliki pengetahuan agama dan hukum
yang luas.
Mula-mula STA sekolah di HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Bengkulu (1915-1921) kemudian
melanjutkan sekolahnya di Kweekschool, Bukit Tinggi, Lahat, Muara Enim (1921-1925) dan Hogere
Kweekschool, Bandung ( 1925-1928) serta Hoofdacte Cursus di Jakarta (1931-1933), yang merupakan
sumber kualifikasi tertinggi bagi guru di Hindia Belanda pada saat itu. Kemudian di
Rechtschogeschool, Jakarta. Pada tahun 1942 Sutan Takdir Alisyahbana mendapat gelar Meester in de
rechten (Sarjana Hukum). Sutan Takdir juga mengikuti kuliah-kuliah tentang ilmu bahasa umum,
kebudayaan Asia, dan filsafat. Ia menerima gelar Dr. Honoris Causa dari UI (1979) dan Universiti
Sains, Penang, Malaysia (1987).
Sutan Takdir pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930-1933), kemudian
mendirikan dan memimpin majalah Pujangga Baru (1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa
Indonesia (1947-1952), dan Konfrontasi (1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-
1929), dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di UI (1946-1948), guru besar Bahasa
Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional, Jakarta (1950-1958), guru
besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang (1956-1958), dan guru besar & Ketua
Departemen Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968).
Karya Sutan Takdir Alisjahbana
• Tak Putus Dirundung Malang (novel, 1929)
• Dian Tak Kunjung Padam (novel, 1932)
• Tebaran Mega (kumpulan sajak, 1935)
• Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936)
• Layar Terkembang (novel, 1936)
• Anak Perawan di Sarang Penyamun (novel, 1940)
• Puisi Lama (bunga rampai, 1941)
• Puisi Baru (bunga rampai, 1946)
• Pelangi (bunga rampai, 1946)
• Pembimbing ke Filsafat (1946)
• Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957)
• The Indonesian language and literature (1962)
• Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (1966)
• Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (kumpulan esai, 1969)
• Grotta Azzura (novel tiga jilid, 1970 & 1971)
• Values as integrating vorces in personality, society and culture (1974)
• The failure of modern linguistics (1976)
• Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan (kumpulan esai, 1977)
• Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia sebagai Bahasa Modern (kumpulan esai,
1977)
• Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai (1977)
• Lagu Pemacu Ombak (kumpulan sajak, 1978)
Karya Sutan Takdir Alisjahbana
• Amir Hamzah Penyair Besar antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyian Sunyi (1978)
• Kalah dan Menang (novel, 1978)
• Menuju Seni Lukis Lebih Berisi dan Bertanggung Jawab (1982)
• Kelakuan Manusia di Tengah-Tengah Alam Semesta (1982)
• Sociocultural creativity in the converging and restructuring process of the emerging world (1983)
• Kebangkitan: Suatu Drama Mitos tentang Bangkitnya Dunia Baru (drama bersajak, 1984)
• Perempuan di Persimpangan Zaman (kumpulan sajak, 1985)
• Seni dan Sastra di Tengah-Tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan (1985)
• Sajak-Sajak dan Renungan (1987).
• Pemikiran Islam Dalam Menghadapi Globalisasi Dan Masa Depan Umat manusia (1992)
Esai yang berjudul “Pertemuan Bangsa Kita dengan Bangsa Eropa” karya Sutan Takdir Alisjahbana
membahas hal sebagai berikut:
1. Semenjak bangsa Portugis masuk ke Indonesia, bangsa Eropa yang lain pun mulai memasuki
negara Indonesia dan menanam kekayaan di Indonesia serta warga Indonesia pun dengan
sengaja menyongsong budaya Eropa seperti membaca buku yang dibuat oleh bangsa Eropa,
menjadi pegawai dalam perusahaan yang dimiliki oleh Eropa serta meramaikan perdagangan
internasional.
2. Semenjak bangsa Eropa datang ke Indonesia, masyarakat Indonesia pun terutama yang tinggal di
Kota itu cenderung memiliki sifat individualis serta mementingkan diri sendiri.
Profil Amir Hamzah
Tengkoe Amir Hamzah yang bernama lengkap Tengkoe Amir Hamzah Pangeran
Indra Poetera, atau lebih dikenal hanya dengan nama pena Amir Hamzah (lahir di
Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur, Hindia Belanda, 28 Februari 1911 –
meninggal di Kwala Begumit, Binjai, Langkat, Indonesia, 20 Maret 1946 pada umur
35 tahun). Ia adalah sastrawan Indonesia angkatan Poedjangga Baroe dan Pahlawan
Nasional Indonesia. Dia lahir dalam lingkungan keluarga bangsawan Melayu
(Kesultanan Langkat).
Amir mulai menulis puisi saat masih remaja meskipun karya-karyanya tidak
bertanggal, yang paling awal diperkirakan telah ditulis ketika ia pertama kali
melakukan perjalanan ke Jawa. Menggambarkan pengaruh dari budaya Melayu
aslinya, Islam, Kekristenan, dan Sastra Timur, Amir menulis 50 puisi, 18 buah puisi
prosa, dan berbagai karya lainnya, termasuk beberapa terjemahan. Pada tahun 1932
ia turut mendirikan majalah sastra Poedjangga Baroe.
1. Kesusastraan sudah ada sejak zaman dahulu serta saling berkaitan satu sama lain seperti
kesusastraan Indonesia juga dipengaruhi oleh kebudayaan bangsa lain contohnya dari India
seperti kesusastraan dan kebudayaan Hindu, Buddha dan Islam
Asrul Sani
profil
1. Bahrum Rngkuti dengan acara “Aspek dan fungsi agama dalam perkembangan kesusastraan indonesia modern
3. membahas latar belakang kemasyarakatan dalam kesusastraan indonesia yang disampaikan oleh Buyung Saleh
Ajip Rosidi
Profil
Lahir di Jatiwangi, Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 31 Januari 1983. Pendidikan
Taman Madya Taman Siswa bagian budaya di Jakarta. Beliau menjabat sebagai
profesor tamu gadai 9osaka university of foreign studies) Jepang sejak tahun 1955.
Redaktur suluh pelajar (1953-1955). ketua paguyuban sastra sunda (1966-1979),
direktur penerbit duta rakyat (1965-1968), dosen luar biasa fakultas universitas
padjajaran (1967-1970), direktur penerbit dunia pustaka jaya (1971-1979), ketua
ikatan penerbit indonesia (1973-1981), ketua dewan club asia di Taipe (1970), dan
kongres penduduk internasional di Rotterdam Belanda (1972)
karya-karya Ajip Rosidi:
• tahun-tahun kematian (1955)
• pesta (1956 bersama Sabron Aidit dan S.M. Ardan)
• di tengah keluarga (1956)
• sebuah rumah buat hari tua (1957)
• perjalanan penganten (1958 diterjemahkan ke bahasa perancis, 1976 ke bahasa
yugoslavia 1959)
• surat cinta enday rasyidin 1960)
• lutung kasarung (1958)
• mundinglaya di kusumah (1961)
• ciung wanara (1961)
• sangkuriang kesiangan (1961)
• roro mendut (1961)
• pertemuan kembali (1961)
• ikhtisar sejarah sastra indonesia (1969)
• puisi indonesia modern: sebuah pengantar (1987)
salah satu esai sastra yang dibuat oleh beliau yaitu Permasalahan Islam Dalam
Roman Indonesia. Esai tersebut membahas tentang hal hal sebagai berikut:
1. cerita pendek “Robohnya surau kami” karya A.A. Navis yang mana cerpen tersebut
merupakan suatu sindiran terhadap golongan islam yang menyerah pada takdir
tanpa mencoba berjuang terlebih dahulu. Dalam esai tersebut beliau mengatakan
bahwa tema pada cerpen tersebut terasa segar dan memberikan warna baru
kepada kehidupan sastra di indonesia yang bernafaskan islam.
2. romah Kemarau (Bukittinggi - Jakarta 1967) yang mana tentang usaha seorang
manusia yang hendak mengubah mental penduduk sebuah kampung yang konon
memeluk agama islam. Roman ini juga mengunggulkan titah tuhan di atas
kebahagiaan manusia. dalam esai tersebut beliau mengatakan bahwa pengarang
membangun plotnya dengan menggunakan bahan-bahan yang sudah klasik seperti
persaingan antar sesama janda memperebutkan calon suami, dipergunakannya
guna-guna, perkelahian antar perempuan.
Sapardi Djoko Damono
Solo, 20 Maret 1940
1. Perbedaan agama
Beliau semasa kuliah aktif dalam pementasan sandiwara dan seminar sastra
budaya. Subagio Sastrowardoyo
Beliau pernah mengajar di Fakultas Sastra UGM (1958-1961), SESKOAD
Bandung (1966-1974), Salisbury Teacher Collage, Universitas Flinders, Sumber: Ensiklopedia Sastra
Indonesia
Australia Selatan (1971-1974).
Sejak tahun 1981 hingga pensiun beliau menjabat sebagai Direktur Muda
Penerbitan Balai Pustaka (setelah pension menjadi anggota Dewan
Pertimbangan Balai Pustaka), anggota kelompok kerja sosial-budaya,
Lemhanas, anggota Dewan Kesenian Jakarta (1982-1984).
Tahun 1955 beliau meraih hadiah pertama majalah kisah atas cerpennya
“Kejantanan di Sumbing”.
Tahun 1966-1967 puisinya “Dan Kematian Semakin Akrab” meraih hadiah
majalah horison. Tahun 1971 beliah mendapat anugerah seni dari Pemerintah
Republik Indonesia untuk kumpulan puisinya daerah Perbatasan, tahun 1983
mendapatkan Hadiah Sastra dari Dewan Kesenian Jakarta.
Studi terhadap karyanya dilakukan oleh Tim Peneliti Fakultas Sastra UGM:
03
Saini Kosim
Sumber: Encyclopedia DKI Jakarta
Karya Saini Kosim berupa drama Karya Nonfiksi beliau, antara lain
dan memenangkan Sayembara 1. Protes Sosial dalam Sastra (1983)
Penulisan Naskah Sandiwara 2. Beberapa Gagasan Teater (1981)
DKJ ialah Pangeran Sunten Jaya 3. Dramawan dan Karyanya (1985)
(d, 1973), Ben Go Tun (d, 1977), 4. Teater Modern dan Beberapa
Egon (d, 1978), Serikat Masalahnya (1987)
Kecamata Hitam (d, 1979), Sang 5. Apresiasi Kesusastraan (bersama Jakob
Prabu (d, 1981), Kerajaan Sunardjo, 1986)
Burung (da, 1980 pemenang 6. Puisi dan Beberapa Masalahnya
Sayembara Direktorat Kesenian, (Penerbit ITB, 1993)
Depdikbud), Sebuah Rumah di 7. Peristiwa Teater (Penerbit ITB, 1996)
Argentina (d, 1980 pemenang 8. Seni Teater 1—6 (bersama Ade Puspa
Sayembara Badan Musyawarah dan Isdaryanto, 1989 dan 1990), dan
Komunikasi Penghayatan 9. Antologi Sastra (bersama Jakob
Kesatuan Bangsa-Bakom PKB). Sumardjo, 1992).
ASRILAH
MUNAJI
185030012
DICK HARTOKO
Penulis ini dilahirkan di Jatiroto, Jawa Timur, tanggal 9 Mei 1922. Dick Hartoko
meninggal di Semarang tanggal 1 September 2001 dan dimakamkan di Ungaran
Jawa Tengah. Nama asli Dick Hartoko adalah Theodorus Gelorp. Ia menempuh
pendidikan di Ignatius College Yogyakarta dan Pendidikan Guru dan Pendidikan
Theologia di Belanda.
Dick Hartoko menjadi pemimpin umum/penanggung jawab majalah Basis selama
30 tahun (1965-1995). Namanya semakin mencuat karena rubrik "Tanda-tanda
Zaman" yang diasuhnya dan sekaligus sebagai penulis rubrik ini. Rubrik "Tanda-
tanda Zaman" sangat terkenal karena isinya merupakan tulisan-tulisan Dick
Hartoko yang menuangkan kegelisahan "budaya" di tengah-tengah berbagai
himpitan yang menenggelamkan kebudayaan itu sendiri. Dari tulisan-tulisan di
Rubrik ini, sebagian pengamat menilai Dick Hartoko sangat humanis. Ia pernah
menjadi dosen IKIP Sanata Dharma (sejak 1958), Fakultas Sastra UGM, STSRI-
ASRI Yogya, dan Fakultas Sastra UI sejak 1983).
DICK HARTOKO
Berikut beberapa karya tulisannya:
Saksi Budaya (kumpulan esai, 1975),
Tanah Airku dari Bulan ke Bulan (kumpulan esai, 1983),
Manusia dan Seni (studi/kajian, 1984),
Kamus Populer Filsafat (1986),
Pemandu Di Dunia Sastra (bersama B. Rahmanto, 1986),
Tonggak Perjalanan Budaya (kumpulan esai, 1986).
Terjemahannya: Ariadne (drama, Hella S. Haasse, 1966),
Taman Kate-Kate (novel, Maria Darmout, 1975),
Strategi Kebudayaan (karya C.A. van Peursen, 1976),
Salah Satu Hidup Orang Jawa (kaya S. de Jong, 1977),
Mentalitas Jawa dan Pembangunan (karya Niels Mulder, 1978),
Orientasi Di Alam Filsafat (karya C.A. van Peursen, 1980),
Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (karya P.J. Zoetmulder, 1983), dan
Pengantar Ilmu Sastra (karya Jan van Luxembung, Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijin,
1984).
DICK HARTOKO
Karakter Tulisan
Tulisan yang dibuat Dick Hartoko ini memiliki karakter
yang religius, hal ini tidak lepas dari latar belakangnya
yang merupakan seorang Pastor.
A TEEUW
Profesor Dr. Andries "Hans" Teeuw (12 Agustus 1921 – 18 Mei 2012) adalah
pakar sastra dan budaya Indonesia asal Belanda. Teeuw meraih gelar Doktor dari
Universitas Utrecht (1946), dan menerima gelar Dr. Honoris Causa dari
Universitas Indonesia (1975). Sejak 1955 dia menjabat sebagai guru besar Bahasa
dan Kesusastraan Indonesia di Universitas Leiden, Belanda. Di universitas yang
sama dia pernah menjadi ketua Departemen Bahasa dan Kebudayaan (1968-1986).
Ia menjadi lektor Sastra Melayu di Fakultas Sastra UI (1950-1951), dan guru besar
tamu di Universitas Michigan, AS (1962-1963).
Ia pernah menjadi anggota Ilmu Pengetahuan Belanda (sejak 1971) dan ketua
Komite Belanda untuk Kerja Sama Indonesia-Belanda (1970). Ia pernah
mengadakan penelitian tentang sastra Indonesia di Jakarta (1945-1947) dan di
Yogyakarta (1977-1978). Di Indonesia dia lebih dikenal sebagai pakar sastra
Indonesia. Dia menulis buku sejarah sastra Indonesia dan buku teori sastra.
A TEEUW
Karakter Tulisan
Tulisan yang dibuat A. Teeuw ini memiliki karakter tulisan yang
khas, tulisannya menggunakan perangkat teori yang jelas dan
tegas. Karya-karya sastra yang dibuatnya dilatarbelakangi oleh
unsur-unsur kebudayaan.
Muhammad Ali &
Dami N Toda
Luthfiana Najmi Ramadhian
185030002
Profil
Lahir di Surabaya, 23 April 1927, dan meninggal di Surabaya, 2 Juni
1998. setelah lulus dari Gouvernement Hollands Arabische School
(1941) ia melanjutkan sekolah di MULO (tidak selesai). Ia mengikuti
kursus di Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho). Ia menulis
tahun 1942, tulisannya dimuat:
• Surabaya Post,
• Gema Suasana,
• Mimbar Indonesia,
• Gelanggang,
Muhammad Ali • Zenith,
• Pujangga Baru,
• Konfrontasi,
• Kisah, Budaya,
• Genta,
• Sadar,
• Horison,
• Suara Karya,
• Berita Buana,
• dan lain-lain.
Profil
Ia pernah menjadi redaktur majalah Pahlawan (1947-1949), Mimbar
Pemuda (1950-1951), Cetusan (1952-1953), dan anggota Dewan
Kesenian Surabaya (1972-1976), Ketua Dewan Kesenian Surabaya
(1976-1979) .
Karyanya: 5 Tragedi (1954), Kubur Tak Bertanda (1953), Siksa dan
Bayangan (1954), Di Bawah Naungan Al-Qur'an (1957), Hitam Atas
Putih (1959), Si Gila (1969), Kembali kepada Fitrah (1969), Qiamat
(1971), Bintang Dini (1975), Buku Harian Seorang Penganggur (1976),
Nyannyian Burdah (1980), Aktor dan aktris (1981), ljinkan Saya Bicara
Muhammad Ali (1976), Ibu Kita Raminten (1982), Teknik Penghayatan Puisi (1983),
Puisisasi Jus Ama (pA, 1983), 1816 Peribahasa Indonesia (1984), Sastra
dan Manusia (1968), Tonggak I (ap, 1987, Ed. Linus Suryadi AG), Laut
Biru Langit Biru (app, 1977, Ed. Ajip Rosidi) , 25 Penyair Surabaya
(ap, 1975, Ed. bersama Suripan Sadi Hutomo), Gerhana (kc, 1996,
gabungan kumpulan Buku Harian Seorang Penganggur dengan cerpen-
cerpen baru).
Esai yang dibuat oleh Muhammad
ALi
Esai yang dibuat oleh Muhammad Ali berjudul “Tuhan” Dalam Puisi Kita, esai tersebut membahas
tentang:
● Merajalelanya kegiatan kesenian dan kebudayaan di banyak daerah.
● Gambaran “Tuhan” dalam puisi-puisi penyair.
● Perbedaan makna “Tuhan” dalam bait puisi dan keagamaan.
Muhamad Ali dapat digolongkan ke dalam kelompok sastrawan penganut paham realisme.
Sebagaimana diungkapkan oleh Sunyoto (1988), rupanya atmosfir Surabaya telah membentuk
pribadinya sebagai seorang pengarang yang realistis, cinta, keterusterangan, dan kejujuran, serta
menghormati keberanian. Hal itu selalu terungkap dalam sentuhan karya-karyanya yang mengupas
masalah kehidupan keseharian yang terkait dengan masalah sosial. Muhamad Ali dengan karya-
karyanya yang realistik itu membuktikan bahwa betapa ia dengan kelugasan dan kejujuran serta
keberanian mengungkapkan realitas hidup orang-orang di sekitarnya. Pengalamannya bergaul
dengan orang-orang yang kehidupan ekonominya tidak baik banyak mempengaruhi karya-karyanya
sejak ia mulai menulis. Salah satu sandiwaranya mengenai kehidupan orang-orang lapar berjudul
"Lapar" mendorong H.B. Jassin untuk menjulukinya sebagai "pengarang lapar".
Profil
Lahir di Ponkor, Manggarai, Flores Barat, 29 September 1942. Ia pernah
kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi St. Paul, Ledalero (1961-
1962), Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1963-
1968), Fakultas Hukum Universitas Atmajaya, Yogyakarta (1965-1967),
lulus dari jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Indonesia
(1975). Pernah menjadi guru dan dosen, dan sejak 1981 mengajar di
Universitas Hambrug, Jerman Barat.
Dami N Toda
Profil
Ia pencetus nama angkatan 70. buku Penyair Muda di depan Forum (ap,
1976), Novel Baru Iwan Simatupang (s,1980), Tegak Lurus dengan
Langit (ED, Kc, Karya Iwan Simatupang, 1982) Sajak-sajak Goenawan
Mohammad dan Sajak -sajak Taufiq Ismail (s, 1984, bersama Pamusuk
Eneste), Hamba-hamba Kebudayaan (ke 1984, memperoleh hadiah
Sastra Dewan Kesenian Jakarta, 1984), Tonggak 3 (ap, 1987, Ed. Linus
Suryadi AG), Iwan Simatupang Pembaharu Sastra Indonesia (ke, 1985,
Ed. Korrie Layun Rampan).
Dami N Toda
Esai yang dibuat oleh
Dami N Toda
Esai yang dibuat oleh Dami N Toda berjudul Catatan Teoritik Sekitar Penciptaan Novel 1970-an, esai
tersebut membahas tentang:
Ada persoalan yang terus menggelitik di tepi riuhnya dialog kesenian Indonesia yaitu
tentang kian miskinnya bahasa dalam karya – karya sastra mutakhir kita. Bahkan di akhir
Kongres Bahasa yang lalu, dibincang pula soal ketidakmampuan dunia sastra masa kini untuk
melahirkan karya – karya “Besar”. Dalam kongres tersebut Profesor Mursal Eaten bahkan
menambahkan keengganan kalangan sastra membahas masalah – masalah sosial politik yang
dianggapnya krusial alias genting: korupsi, misalnya. Seolah keadaan tersebut diterima begitu
saja oleh kalangan sastra, begitu kata Profesor.
Sekilas tampaknya memang demikian: para pengarang masa kini mengalami kesulitan
besar menghadapi bahasa. Ketika mereka menyadari bahwa bahasa ibu mereka tidak memadai
lagi untuk mengakomodasi simbol – simbol mutakhir yang kini bahkan telah melakukan
persenyawaan dengan bahasa-bahasa visual. Barangkali beruntung, pengarang seperti Tahar
ben Jalloun, Joseph Brodsky, Samuel Beckett, beberapa pengarang Amerika, Arab, dan India
modern lainnya, yang memiliki bahasa ibu “kedua” sehingga dengan ringan mereka melakukan
migrasi linguistik untuk mencari kemungkinan lebih luas bagi eksplorasi politiknya.
Sekilas benar bahwa sebagian karya-karya sastra Indonesia belakangan ini bukan tak ada
namun kurang berandil mengangkat atau mengatualisasi masalah – masalah yang ada di
lingkungan sosiopolitiknya. Hal yang ternyata juga memunculkan kritik adalah minimnya telaah
sosiologi sastra turut bertanggung jawab akan terciptanya situasi di atas.
Namun ternyata, apapun kritikk yang dilontarkan; tarik – menarik teks sastra pada konteks –
konteks sosiologi, politis, maupun biografis, sebenarna memiliki risiko tidak kecil. usaha mencari
relasi teks dan konteks (sastra) mau tak mau membayangkan adanya sebuah sistem karya
sastra berdiam dan mendapatkan konteks. Cara berpikir ini sama saja dengan menggaungkan
kembali polemik lama yang mendekati sastra dengan lensa struktural, mulai dari Lukacs-Brecht
hingga Althusser dan Balibar.
polemik yang nota bene banyak dilakukan karangan Marxis tersebut, berusaha melakukan
idealisasi pada sastra untuk melaksanakan peran didaktiknya. Satu gagasan yang sudah dimulai
sejak Euripides, Horatius, dan Plato bahwa sastra memiliki fungsi dulce et utile. Hanya
sebagaimana juga banyak dimengerti, pada posisi ni sastra sebagai satu teks tersendiri kerap
ditinggalkansering terjadi dalam batasan normatif, bahkan ideolobahasa, sebagaimana
dikatakan Saussure sebagai Strukturalisme, tidak lagi hidup di tangan seorang peryagarang
namun selalu mengacu pada sebuah sistem (language)hinggap diubun
kesadaran kognitif masyarakat.lam kondisi itu, pengarang sebagai subyek yang- seperti
kata Levi Strauss- telah tiada. Sebuah keemiliki pemahaman berbeda jika kita beranggapan
bahata hidup-satu sama lain saling memberi makna-dan kiampu mendapatkan makna hanya dari
dalam teks sastsendiri; sementara pengarang mati.Hal tersebut dimungkinkan jika kita berani
melihat manus;bukan atau struktur amplifier atau perpanjangan-tangan dari sistematau struktur
gagasan (baca: bahasa) masyarakat (sosial, politiekonomi, ideologi dan lainnya). Namun
sebagai "sesuatu" yangidup dan memiliki metabolisme bahasa serta inteleksendiri, yang juga
mempunyai kebolehan antara lain - menolaksistem.Bagaimanapun ahli bahasa atau psikologis,
seperti
Thomas Bever misalnya, percaya bahwa terdapat semacam struktur tata bahasa di otak
kanan manusia yang turut menentukancara seseorang berbahasa, ia masih belum bisa
menjelaskanbagaimana seorang kreatif mampu menciptakan "kombinasi nove!"yang dapat
melahirkan sebuah karya besar (masterpiece). Kombinasiyang bagi Howard Gardner, peneliti
para jenius dunia, terjadi lewatpergumulan antara sejarah bahasa, memori, dan intuisti
purba,serta segala macam wacana yang pernah dilakukan manusia.Kita mesti tega
membayangkan kata "daun" atau "cinta"misalnya, yang sebenarnya melampaui demarkasi politik
danlingkungan sosial apa pun: ia melebihi perjalanan makna yangriwayatnya ada di sekujur
sejarah manusia. Bahasa adalah masa
ini sekaligus masa lalu, yang kerap tak mampu kita idenengan baik. Dia, bahasa kata Roland
Barthes, adalah sebuahmah dunia acak (chaos) yang mampus-memampuskankita mencoba
mengikatnya dalam sebuah keteraturan semarena memang yang terjadi dalam tingkat
pengucapanroses "penandaan" atau pemberian makna yang terus-mMakna terima saja, kalau
kita berulangkali ditipu batama dalam sastra. Kata-kata dalam bahasa adalahengasingan dari
dunia acak di dalam memori kreatif pengaraam usaha untuk terus mencari dan memberi makna
bpada situasi aktual yang ada (terjadi) pada pengarangnya.ang membedakan sastra dengan
karya jurnalistik atau sejarahmakna yang muncul tidak mampu diraih begitu saja.
Deotomatisasitersebut berlangsung bukan sebagai eksentrisitas belaka, namunsebagai
konsekuensi kreatif menghadapi dunia acak (yang serbabermakna atau tak sama sekali
bermakna). Kemampuan seorangkreatorlah yang mengizinkan sebuah karya sastra
menciptakanketeraturan atau kebenaran yang tetatif yang sementara. Kebenaranbisa jadi
hancur di detik berikutnya, di detik karya kedua ataberikutnya diciptakan.Barangkali sastra
sebuah kerja yang sia-sia. Namun,bagaimana kita hid up, kata Teeuw, tanpa memberi harga
pada yangsia-sia, tanpa membikin abadi yang kelas retak? Sajak GoenawanMohammad yang
dipakai Teeuw, Kwatrin Tentang Sebuch Pocidengan lariknya, "sesuatu yang kelas retak/ dan
kita membikinnyaabadi", memang dapat menggambarkan dengan baik kebenaran-kebenaran
sebuah puisi (karya sastra),Kita juga menjumpainya dalam beberapa sajak penyair lain.
Seperti dalam sajak Afrizal Malna, Tempat Membaca dan Menulis,"Selalu dunia dilahirkan
kembali dari orang-orang ramai yangmembaca dan menulis", atau "walau bukan untuk nalar
biasa,tiada henti. Joleh didekati/dengan telaah (karena bisa membantu)/asalrbatas kerangka
dan kulitnya/karena intinya adalah urusaembaca,/ yang sambil membaca/ membuat
sempurna"Sitor Situmorang, Sajak, Pembaca dan Penyair.Bagaimanapun sifat sementara
yang dibawa sebuah sajaku karya sastra umumnya, ia tetap sebuah dunia tersendiri
berusaha dilahirkan kembali oleh sang pengarang. Dan tak adaatan apa pun yang dapat
melakukan intervensi ketika penembuatnya sempurna", bahkan pengarangnya sendiri. Bis
memang berhadapan dengan naluri primitif manusia sdapkan pada situasi mutakhir yang
kian tak mampu dijesituasi acak (chaos) pada tingkat fisis, bukan lagi melulu metafisis:anusia
didorong melacak sebuah keteraturan, sebuah kebekenyamanan walau sekejap dua adanya.
Kalaupun karya sastra berminat pada fungsi, ia bisa mengam-empat sebagai salah satu
pusat re-kreasi kebenaran atau keyang tersimpan atau tersembunyi dalam dunia acalurba
itu. Dan memang, apalagi yang diusahakan ilmu dan kesian jika tak melakukan re-kreasi,
semenjak ia mendapatkan nikmatketeraturan paling primitif saat terciptanya diferensiasi
seksual.Dalam posisi ini, konteks sastra tak dapat dicari di luar teksnyasendiri.
Usaha melarikannya ke konteks luar, seperti melakukan mengkhianatan terhadap
karya sastra itu sendiri. Ia samatak membutuhkan dunia besar yang asing, tak membutuhkan
relasi dengan teks atau konteks besar, dengan pusat-pusat -entah-sosial, politik, ekonomi,
dan sebagainya. Lewat cara ini kita bisa melakukan evaluasi yang lebih bijaksana, juga
terhadap karya-karya sastra negeri sendiri .Artinya, besar tidaknya atau luhung tidaknya
sebuah karyasastra kehilangan alasan jika dikaitkan dengan lingkungan-lingkungan sisio-
politiknya. Terlebih jika ia menggunakan perbandingan dengan karya-karya di masa lalu. Dan
kita pun bisa terhindar dari cara penilaian yang tidak adil danif sebagaimana banyak terjadi
saat ini - ketika karyakan dengan biografi atau prestasi sosial, ekonomi, atau pkperlu lagi kita
menghargai karya sastra hanya kdihasilkan oleh seorang profesor, jutawan, wartawan atau
pejaara; satu hal yang sekian lama menyesatkan kita danengambil kesimpulan bahwa
Indonesia tak memiliki karya lalu penjelasan ini pun bukan argumentasi bagi hadirnya kaber
itu, namun pada akhirnya bisa ditegaskan bahwastra ada dalam dirinya sendiri, dalam
kebenaran yang dia, yang memungkinkan pembacanya meraih kebenaran (kanan) tersebut
secara sempurna. Walau secara personal saja pengarangnya cuma sementara.
Dalam esai yang berjudul Sastra Sebagai
Kebenaran Sementara membahas tentang
(INTERLUDE hal.14)
Setiap orang tentunya tidak menginginkan dirinya terus-terusan cuma punya
kemampuan menulis puisi atau cerpen danrik remaja. Bobot yang menanjak dalam
karya-karyanri bulan ke bulan berikutnya menyebabkan Handrawan NadNoorca,
Yudhistira, Oei Sien Tjwan, Adri dan banyak lagi lainnyamelompat ke rubrik dewasa,
Sebagaimana pernah dialami pulatempohari oleh Putu zijaya. Poppy Hutagalung.
Umbu Peranggi, Faisal Baraas. M. Saribi dan lain-lain, termasuk penulis apresiasi ini
pula.Di samping banyak membaca dan latihan, pendewasaan atau kematangan
berkarya dapat kita gapai pengisian buku catatanharian. Apakah pernah anda menulis
dalam buku pribadi tersebutsuatu tanya jawab seolah kita sedang
menjawab_pertanyaanwartawan dalam acara wawancara?
Seperti misalnya cuplikan daribuku catatan harian saya di bawah ini:Bagaimana tanggapan
anda tentang bentuk yang aneh-anehpersajakan kontemporer di tanah air?Sepanjang bentuk
tersebut didukung oleh bahasa dan itikad sangpenggubah untuk berkomunikasi dengan
pembaca, maka tidakmerupakan masalah penting kasus tersebut, -sesuatu hal yangwajar saja
pembaharuan dalam dunia seni.Tetapi sebaliknyakalau cuma didasari oleh sikap iseng atau
main-main untuktidak menyebutkan sikap ingin ngaco saja, kita yang berbau"pop" akan
seperti seekor laron-tidak berumur panjang.Pendek kata Yang dipertanyakan dan kita
kemudian mencobaenjawabnya adalah semua segi dalam perpuisian. Apakah puisi nya.
Dengan banyak membaca kita mengetahui pendapat orang-orang yang telah masyur di muka
bumi tentangapa sebenarnya puisi itu. etapi kita tidak cukup dengan hapalpendapat masing-
masing dari mereka, yang terpenting bagaimanaendapat kita sendiri sesuai dengan
pengalaman dan pengeselama ini. Dengan mengajukan pendapat sendiri, itu sudah meru-
pakan proses pendewasaan diri untuk matang berpikir memecah-kan suatu persoalan.
Bahwa pendapat kita sama dengan orang lain dalah suatu yang lumrah saja, sebagaimana
kelumrahanDalam dunia seni, keremajaan usia tidak selamanya idengan keremajaan bersikap.
Meskipun usia seoarang sudaat atau lima puluh tahun, apabila apresiasinya terhadap puwah
normal, dia tidak berdaya mengelakkan diri kalau redmuat puisinya dalam rubrik remaja. Ajip
Rosidi sebagai contau Francois Sagan di Perancis-meskipun usianya masihetapi kalau
sikapnya telah dewasa dalam karya-karya yanulisnya, tidak ada orang yang bakal menolak
menerbitkaa. Ajip masih berumur tujuh belas sewaktu buku cerpbit sedang Francois berusia
delapan atau sembilan belassewaktu novel pertamanya terbit. Berbobot tidaknya puisi anda,
seperti ujar penyairria Rilke, tidak mungkin ditentukan oleh orang lain selainda sendiri.
Orang lain hanya bisa membimbing dan langklanjutnya adalah tergantung dari kekuatan kaki
anda senang benar nasihat Rilke. Dan kitapun sama memaklumi puwa bakat adalah ibarat
tulang kaki yang kuat. Dan kalau peyair Wing Kardjo bilang bahwa bakat adalah sepasang
kakimau melangkah, benar dia.berbeda pendapat.
Dalam esai Bobot
Dalam Puisi membahas tentang
TERIMA KASIH