Sesungguhnya berprasangka baik kepada Allah Ta’ala yakni meyakini apa yang
layak untuk Allah, baik dari nama, sifat dan perbuatanNya. Begitu juga
meyakini apa yang terkandung dari pengaruhnya yang besar. Seperti
keyakinan bahwa Allah Ta’ala menyayangi para hamba-Nya yang berhak
disayangi, memaafkan mereka dikala bertaubat dan kembali, serta menerima
dari mereka ketaataan dan ibadahnya. Dan meyakini bahwa Allah Ta’ala
mempunyai berbagai macam hikmah nan agung yang telah ditakdirkan dan
ditentukan.
Prasangka baik itu melahirkan amal
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Telah jelas perbedaan antara husnuzhan dan ghurur (terpedaya diri
sendiri).
Berprasangka baik mendorong lahirnya amal, menganjurkan, membantu dan menuntun untuk
melakukannya. Inilah sikap yang benar. Tapi kalau mengajak kepada pengangguran dan bergelimang
dalam kemaksiatan, maka itu adalah ghurur (terpedaya diri sendiri).
Berprasangka baik itu adalah pengharapan (raja), barangsiapa pengharapannya membawa kepada
kataatan dan meninggalkan kemaksiatan, maka itu adalah pengharapan yang benar.
Dan barangsiapa yang keengganannya beramal dianggap sebagai sikap berharap, dan sikap berharapnya
berarti enggan beramal atau meremehkan, maka itu termasuk terpedaya.‘ (Al-Jawab Al-Kafi, hal. 24)
Prasangka baik pada Allah harus disertai
meninggalkan kemaksiatan
Syekh ShAleh Al-Fauzan hafizahullah berkata: “Prasangka yang baik kepada Allah
seharusnya disertai meninggalkan kemaksiatan. Kalau tidak,maka itu termasuk
sikap merasa aman dari azab Allah. Jadi, prasangka baik kepada Allah harus
disertai dengan melakukan sebab datangnya kebaikan dan sebab meninggalkan
kejelekan, itulah pengharapan yang terpuji. Sedangkan prasangka baik kepada
Allah dengan meninggalkan kewajiban dan melakukan yang diharamkan, maka itu
adalah pengharapan yang tercela. Ini termasuk sifat merasa aman dari makar
Allah." (Al-Muntaqa Min Fatawa Syekh Al-Fauzan, 2/269)
Seharusnya, seorang muslim senantiasa
berprasangka baik kepada Allah Ta’ala.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
“Allah Ta’ala berfirman, 'Aku tergantung persangkaan hamba kepadaKu. Aku bersamanya kalau dia mengingat-Ku.
Kalau dia mengingatku pada dirinya, maka Aku mengingatnya pada diriKu. Kalau dia mengingatKu di keramaian,
maka Aku akan mengingatnya di keramaian yang lebih baik dari mereka. Kalau dia mendekat sejengkal, maka Aku
akan mendekat kepadanya sehasta. Kalau dia mendekat kepada diri-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya
sedepa. Kalau dia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari." (HR bukhari, no.
7405 dan Muslim, no. 2675)
Dapat diperhatikan dalam hadits ini, hubungan yang sangat jelas sekali antara
husnuzhan dengan amal. Yaitu mengiringinya dengan mengajak untuk
mengingat-Nya Azza Wa Jalla dan mendekat kepada-Nya dengan ketaatan.
Siapa yang berprasangka baik kepada Tuhannya Ta’ala semestinya akan
mendorongnya berbuat ihsan dalam beramal.
Barangsiapa yang meninggal dunia dalam kondisi seperti itu, maka dia akan mendapatkan
apa yang dia kira (yakini). Sebaliknya, mengira bakal diampuni dan mendapat rahmat
sementara dia terus menerus melakukan kemaksiatan, maka hal itu termasuk kebodohan.
Hal itu dapat menjerumuskannya kepada pemahaman murji’ah (seseorang tidak akan kafir
dengan perbuatannya). " Al-Mufhim Syarh Muslim, 7/ 5,6)
Kedua : Ketika mengalami musibah dan saat
menjelang kematian
Dari jabir radhiallahu anhu dia berkata, Aku mendengar Nabi sallallahu’alaihi wa
sallam tiga hari sebelum wafat bersabda:
“Janganlah salah satu di antara kalian meninggal dunia kecuali dia berprasangka baik
kepada Allah.” (HR. Muslim, 2877)
Dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 10/220 dikatakn, " Seorang mukmin
diharuskan berprasangka baik kepada Allah Ta’ala, dan lebih ditekankan dalam
prasangkan baik kepada Allah ketika ditimpa musibah dan ketika akan meninggal
dunia.
Berprasangka baiklah saat Allah beri musibah
Maka, dalam hadis tersebut mengarahkan bagi kaum yang beriman jika kita ingin mendapat kebaikan dari
Allah SWT, maka hendaklah berbaik sangka kepada-Nya. Jika kita berbaik sangka kepada Allah, maka
kebaikan akan datang kepada kita. Pun sebaliknya, bila saat tertimpa musibah kita langsung menyalahkan
musibah itu kepada Allah, maka keburukan yang kita tanamkan dalam benak kita lah yang akan datang.
Sebagaimana firman-Nya:
"Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai
sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui" (Al Baqarah:
216)
Ketika sakitpun harus berprasangka baik
lafal Tajassasuu pada asalnya adalah Tatajassasuu, lalu salah satu dari kedua
huruf Ta dibuang sehingga jadilah Tajassasuu, artinya janganlah kalian
mencari-cari aurat dan keaiban mereka dengan cara menyelidikinya (dan
janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain) artinya, janganlah
kamu mempergunjingkan dia dengan sesuatu yang tidak diakuinya, sekalipun
hal itu benar ada padanya.
(Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging
saudaranya yang sudah mati?) lafal Maytan dapat pula dibaca
Mayyitan; maksudnya tentu saja hal ini tidak layak kalian lakukan.
(Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya)
Sementara itu Ibnu Katsir dalam Tafsir Al Qur’anil ‘Adhim juga menjabarkan ayat di atas. Menurutnya,
dengan tegas Allah melarang seluruh hamba-Nya yang beriman agar menjauhi prasangka buruk (suuzan).
Mencurigai perilaku orang lain dengan tuduhan yang tidak benar dan tidak berdasar adalah murni
perbuatan dosa.
Membicarakan keburukan orang lain (gibah) dalam ayat tersebut juga diibaratkan sedang memakan
bangkai saudaranya sendiri. Bisa dibayangkan perbuatan memakan bangkai tentu sesuatu yang sangat
hina bagi kita manusia.
Di sisi lain, Allah melalui ayat ini memerintahkan kepada manusia untuk selalu beriman dan bertakwa.
Dengan selalu berbaik sangka kepada Allah Swt,
kita juga akan mendapatkan banyak sekali
manfaatnya.
• Selain bernilai ibadah, berbaik sangka kepada Allah Swt juga mendorong seseorang
untuk terus memperbaiki amal ibadahnya. Hal ini berkaitan dengan rasa percaya kita
kepada Allah, bahwa Ia akan selalu menolong dan memberikan yang terbaik kepada
hamba-Nya, oleh karenanya kita akan selalu memohon doa dan ampun kepada Allah.
• Hasan Al-Bashri ra mengatakan bahwa, “Sesungguhnya seorang mukmin ketika
berbaik sangka kepada Tuhannya, maka ia akan memperbaiki amalnya. Sementara
orang buruk, dia berprasangka buruk kepada Tuhannya, sehingga ia melakukan amal
keburukan.” (HR Ahmad).
3. Dijauhkan dari rasa takut
Sebagai seorang manusia, memiliki rasa takut adalah hal yang banyak dialami
oleh semua orang. Namun, ketika kita berprasangka baik kepada Allah Swt,
maka secara tak langsung kita akan selalu memohon keselamatan agar
terhindar dari ketakutan.
Hal ini karena Allah selalu memberikan segala sesuatu yang diharapkan dari
hamba-Nya.
4. Merasa dekat dengan Allah SWT
• Berprasangka baik kepada Allah Swt juga akan mendekatkan diri kita kepada Allah.
• Rasulullah saw bersabda, “Allah Swt berfirman, ‘Sesungguhnya Aku berdasarkan pada
prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Aku akan selalu bersamanya jika ia mengingat-Ku. Jika
ia mengingat-Ku dalam hatinya, maka Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia
berzikir mengingat-Ku dalam suatu jemaah, maka Aku akan sebut-sebut dia dalam
jemaah yang lebih baik dari mereka. Jika ia mendekati-Ku sejengkal, maka Aku akan
mendekatinya sehasta. Jika ia mendekati-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya
sedepa. Apabila ia mendekati-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendekatinya dengan
jalan cepat.” (HR. Al-Bukhari).
5. Terhindarkan dari hal-hal buruk di akhirat