Anda di halaman 1dari 25

Meraih Ketenangan dan Kesuksesan

Hidup dengan Berprasangka Baik pada


Allah dan MakhlukNya
Melly Ummu Kahla
Maksud berprasangka baik pada Allah adalah
1. Meyakini Allah

Sesungguhnya berprasangka baik kepada Allah Ta’ala yakni meyakini apa yang
layak untuk Allah, baik dari nama, sifat dan perbuatanNya. Begitu juga
meyakini apa yang terkandung dari pengaruhnya yang besar. Seperti
keyakinan bahwa Allah Ta’ala menyayangi para hamba-Nya yang berhak
disayangi, memaafkan mereka dikala bertaubat dan kembali, serta menerima
dari mereka ketaataan dan ibadahnya. Dan meyakini bahwa Allah Ta’ala
mempunyai berbagai macam hikmah nan agung yang telah ditakdirkan dan
ditentukan.
Prasangka baik itu melahirkan amal

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Telah jelas perbedaan antara husnuzhan dan ghurur (terpedaya diri
sendiri).
Berprasangka baik mendorong lahirnya amal, menganjurkan, membantu dan menuntun untuk
melakukannya. Inilah sikap yang benar. Tapi kalau mengajak kepada pengangguran dan bergelimang
dalam kemaksiatan, maka itu adalah ghurur (terpedaya diri sendiri).
Berprasangka baik itu adalah pengharapan (raja), barangsiapa pengharapannya membawa kepada
kataatan dan meninggalkan kemaksiatan, maka itu adalah pengharapan yang benar.
Dan barangsiapa yang keengganannya beramal dianggap sebagai sikap berharap, dan sikap berharapnya
berarti enggan beramal atau meremehkan, maka itu termasuk terpedaya.‘ (Al-Jawab Al-Kafi, hal. 24)
Prasangka baik pada Allah harus disertai
meninggalkan kemaksiatan

Syekh ShAleh Al-Fauzan hafizahullah berkata: “Prasangka yang baik kepada Allah
seharusnya disertai meninggalkan kemaksiatan. Kalau tidak,maka itu termasuk
sikap merasa aman dari azab Allah. Jadi, prasangka baik kepada Allah harus
disertai dengan melakukan sebab datangnya kebaikan dan sebab meninggalkan
kejelekan, itulah pengharapan yang terpuji. Sedangkan prasangka baik kepada
Allah dengan meninggalkan kewajiban dan melakukan yang diharamkan, maka itu
adalah pengharapan yang tercela. Ini termasuk sifat merasa aman dari makar
Allah." (Al-Muntaqa Min Fatawa Syekh Al-Fauzan, 2/269)
Seharusnya, seorang muslim senantiasa
berprasangka baik kepada Allah Ta’ala.

Ada dua tempat yang selayaknya seorang muslim memperbanyak


khusnuzhan kepada Allah.
Pertama: Ketika menunaikan ketaatan (kepada Allah).

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

َ ‫أل َخي ٍْر ِم ْنهُ ْم َوإِ ْن تَقَر‬


َّ َ‫َّب إِل‬
‫ى ِب ِشب ٍْر‬ ٍ ‫ظ ِّن َع ْب ِدي بِي َوأَنَا َم َعهُ إِ َذا َذ َك َرنِي فَإ ِ ْن َذ َك َرنِي ِفي نَ ْف ِس ِه َذ َكرْ تُهُ في نَ ْف ِسي َوإِ ْن َذ َك َر ِني ِفي َم‬
ٍ ‫أل َذ َكرْ تُهُ ِفي َم‬ َ ‫ أَنَا ِع ْن َد‬: ‫يَقُو ُل هَّللا ُ تَ َعالَى‬
‫ْت إِلَ ْي ِه بَاعًا َوإِ ْن أَتَا ِني يَ ْم ِشي أَتَ ْيتُهُ هَرْ َولَةً (رواه البخا‬
ُ ‫ى ِذ َراعًا تَقَ َّرب‬َّ َ‫َّب إِل‬
َ ‫ْت إِلَ ْي ِه ِذ َراعًا َوإِ ْن تَقَر‬
ُ ‫تَقَ َّرب‬
2675 ‫ رقم‬، ‫ ومسلم‬7405 ‫ رقم‬،‫) ري‬

“Allah Ta’ala berfirman, 'Aku tergantung persangkaan hamba kepadaKu. Aku bersamanya kalau dia mengingat-Ku.
Kalau dia mengingatku pada dirinya, maka Aku mengingatnya pada diriKu. Kalau dia mengingatKu di keramaian,
maka Aku akan mengingatnya di keramaian yang lebih baik dari mereka. Kalau dia mendekat sejengkal, maka Aku
akan mendekat kepadanya sehasta. Kalau dia mendekat kepada diri-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya
sedepa. Kalau dia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dengan berlari." (HR bukhari, no.
7405 dan Muslim, no. 2675)
Dapat diperhatikan dalam hadits ini, hubungan yang sangat jelas sekali antara
husnuzhan dengan amal. Yaitu mengiringinya dengan mengajak untuk
mengingat-Nya Azza Wa Jalla dan mendekat kepada-Nya dengan ketaatan.
Siapa yang berprasangka baik kepada Tuhannya Ta’ala semestinya akan
mendorongnya berbuat ihsan dalam beramal.

Hasan Al-Bashri Rahimahullah berkata:


“Sesungguhnya seorang mukmin ketika berbaik sangka kepada Tuhannya,
maka dia akan memperbaiki amalnya. Sementara orang buruk, dia
berprasangka buruk kepada Tuhannya, sehingga dia melakukan amal
keburukan." (HR. Ahmad, hal. 402).
Husnudzhan akan memperbaiki amalan

Ibnu Qayim rahimahullah berkata:


“Siapa yang dengan sungguh-sungguh memperhatikan, akan mengetahui
bahwa khusnuzhan kepada Allah adalah memperbaiki amal itu sendiri. Karena
yang menjadikan amal seorang hamba itu baik, adalah karena dia
memperkirakan Tuhannya akan memberi balasan dan pahala dari amalannya
serta menerimanya. Sehingga yang menjadikan dia beramal adalah prasangka
baik itu. Setiap kali baik dalam prasangkanya, masa semakin baik pula amalnya."
Secara umum, prasangka baik akan mengantar seseorang
melakukan sebab keselamatan. Sedangkan kalau melakukan sebab
kecelakaan, berarti dia tidak ada prasangka baik." (Al-Jawabu Al-
Kafi, hal. 13-15 )

Abul Abbas Al-Qurtubi rahimahullah berkata:


“Pendapat lain mengatakan, maknanya adalah: Mengira akan dikabulkan apabila berdoa,
mengira diterima ketika bertaubat, mengira diampuni ketika memohon ampunan,
mengira diterima amalnya ketika melaksanakannya dengan memenuhi persyaratan, serta
berpegang teguh terhadap kejujuran janji-Nya dan lapangnya KeutamaanNya.
Saya katakan demikian, karena dikuatkan dengan sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam;
‘Berdoalah kepada Allah dalam keadaan kalian yakin akan dikabulkan (doanya).’ (HR.
Tirmizi dengan sanad shahih)
Begitu juga seyogyanya bagi orang yang bertaubat, orang yang memohon
ampunan dan pelaku suatu amal yang bersungguhh-sungguh dalam
melaksanakan semua itu, hendaknya meyakini bahwa Allah akan menerima
amalnya dan memafkan dosanya. Karena Allah Ta’ala telah berjanji akan
menerima taubat yang benar dan amal yang shaleh.
Sedangkan kalau dia beramal dengan amalan-amalan tersebut tapi berkeyakinan atau
menyangka bahwa Allah Ta’la tidak menerimanya dan hal itu tidak bermanfaat, maka hal itu
termasuk putus asa terhadap rahmat dan karunia Allah . Itu termasuk di antara dosa besar.

Barangsiapa yang meninggal dunia dalam kondisi seperti itu, maka dia akan mendapatkan
apa yang dia kira (yakini). Sebaliknya, mengira bakal diampuni dan mendapat rahmat
sementara dia terus menerus melakukan kemaksiatan, maka hal itu termasuk kebodohan.
Hal itu dapat menjerumuskannya kepada pemahaman murji’ah (seseorang tidak akan kafir
dengan perbuatannya). " Al-Mufhim Syarh Muslim, 7/ 5,6)
Kedua : Ketika mengalami musibah dan saat
menjelang kematian
Dari jabir radhiallahu anhu dia berkata, Aku mendengar Nabi sallallahu’alaihi wa
sallam tiga hari sebelum wafat bersabda:
“Janganlah salah satu di antara kalian meninggal dunia kecuali dia berprasangka baik
kepada Allah.” (HR. Muslim, 2877)
Dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 10/220 dikatakn, " Seorang mukmin
diharuskan berprasangka baik kepada Allah Ta’ala, dan lebih ditekankan dalam
prasangkan baik kepada Allah ketika ditimpa musibah dan ketika akan meninggal
dunia.
Berprasangka baiklah saat Allah beri musibah

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu bahwa Rasulullah


Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda.
"Allah Ta'ala berfirman, "Aku berdasarkan prasangka hamba-Ku kepada-Ku.
Apabila ia berbaik sangka, maka ia akan mendapatkan kebaikan. Jika
berprasangka buruk, maka ia mendapatkan keburukan." (HR. Ahmad).
Allah memberi segala sesuatu tidak mungkin tanpa alasan, sering
kali kita merasa diberi nikmat yang tidak cocok dengan kita, namun
siapa sangka cara itu adalah yang terbaik dan paling kita butuhkan

Maka, dalam hadis tersebut mengarahkan bagi kaum yang beriman jika kita ingin mendapat kebaikan dari
Allah SWT, maka hendaklah berbaik sangka kepada-Nya. Jika kita berbaik sangka kepada Allah, maka
kebaikan akan datang kepada kita. Pun sebaliknya, bila saat tertimpa musibah kita langsung menyalahkan
musibah itu kepada Allah, maka keburukan yang kita tanamkan dalam benak kita lah yang akan datang.
Sebagaimana firman-Nya:
"Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai
sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui" (Al Baqarah:
216)
Ketika sakitpun harus berprasangka baik

• Al-Khatab berkata, "Dianjurkan bagi yang akan meninggal dunia berprasangka


baik kepada Allah Ta’ala. Berprasangka baik kepada Allah meskipun sangat
dianjurkan ketika mau meninggal dunia dan dalam kondisi sakit, akan tetapi
sepantasnya seseorang senantiasa berprasangka baik kepada Allah. “
• Berprasangka baik ketika akan meninggal dunia, bahwa Dia akan memaafkan
dan memberi rahmat kepadanya meskipun mereka kurang dalam melakukan
kebaikan. Maka dia berharap dapat merealisasikan hal itu kepada-Nya Ta’ala
sebagaimana yang Allah janjikan.
TAFSIR SURAH AL HUJURAT 12

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka


(kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah
mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.
Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang
sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang." (QS. Al-Hujurat: 12).
Tafsir ayat al hujurat 112

lafal Tajassasuu pada asalnya adalah Tatajassasuu, lalu salah satu dari kedua
huruf Ta dibuang sehingga jadilah Tajassasuu, artinya janganlah kalian
mencari-cari aurat dan keaiban mereka dengan cara menyelidikinya (dan
janganlah sebagian kalian menggunjing sebagian yang lain) artinya, janganlah
kamu mempergunjingkan dia dengan sesuatu yang tidak diakuinya, sekalipun
hal itu benar ada padanya.
(Sukakah salah seorang di antara kalian memakan daging
saudaranya yang sudah mati?) lafal Maytan dapat pula dibaca
Mayyitan; maksudnya tentu saja hal ini tidak layak kalian lakukan.
(Maka tentulah kalian merasa jijik kepadanya)

maksudnya, mempergunjingkan orang semasa hidupnya sama saja artinya


dengan memakan dagingnya sesudah ia mati. Kalian jelas tidak akan
menyukainya, oleh karena itu janganlah kalian melakukan hal ini. (Dan
bertakwalah kepada Allah) yakni takutlah akan azab-Nya bila kalian hendak
mempergunjingkan orang lain, maka dari itu bertobatlah kalian dari perbuatan
ini (sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat) yakni selalu menerima tobat
orang-orang yang bertobat (lagi Maha Penyayang) kepada mereka yang
bertobat
Dari ayat di atas, Sayyid Qutb dalam Tafsir Fi Zilalil Quran menerangkan bahwa suatu hal yang
mengiringi dugaan merupakan awal mula seseorang untuk membongkar aib dan mengetahui
keburukan saudaranya sendiri. Perilaku buruk ini berdasarkan ayat di atas jelas sangat
dilarang dan harus kita jauhi.

Sementara itu Ibnu Katsir dalam Tafsir Al Qur’anil ‘Adhim juga menjabarkan ayat di atas. Menurutnya,
dengan tegas Allah melarang seluruh hamba-Nya yang beriman agar menjauhi prasangka buruk (suuzan).

Mencurigai perilaku orang lain dengan tuduhan yang tidak benar dan tidak berdasar adalah murni
perbuatan dosa.
Membicarakan keburukan orang lain (gibah) dalam ayat tersebut juga diibaratkan sedang memakan
bangkai saudaranya sendiri. Bisa dibayangkan perbuatan memakan bangkai tentu sesuatu yang sangat
hina bagi kita manusia.
Di sisi lain, Allah melalui ayat ini memerintahkan kepada manusia untuk selalu beriman dan bertakwa.
Dengan selalu berbaik sangka kepada Allah Swt,
kita juga akan mendapatkan banyak sekali
manfaatnya.

Berikut pentingnya berbaik sangka kepada Allah Swt.


1. Termasuk ibadah

• Islam merupakan agama yang mempermudah umatnya untuk


mendapatkan pahala dari Allah Swt. Berbaik sangka kepada Allah Swt juga
dinilai sebagai ibadah yang tentunya akan mendapatkan pahala.
• Sebagaimana sabda Rasulullah saw, bahwa, “Sesungguhnya berprasangka
baik pada Allah adalah termasuk sebaik-baiknya ibadah.” (HR Abu Daud).
2. Memperbaiki amal

• Selain bernilai ibadah, berbaik sangka kepada Allah Swt juga mendorong seseorang
untuk terus memperbaiki amal ibadahnya. Hal ini berkaitan dengan rasa percaya kita
kepada Allah, bahwa Ia akan selalu menolong dan memberikan yang terbaik kepada
hamba-Nya, oleh karenanya kita akan selalu memohon doa dan ampun kepada Allah.
• Hasan Al-Bashri ra mengatakan bahwa, “Sesungguhnya seorang mukmin ketika
berbaik sangka kepada Tuhannya, maka ia akan memperbaiki amalnya. Sementara
orang buruk, dia berprasangka buruk kepada Tuhannya, sehingga ia melakukan amal
keburukan.” (HR Ahmad).
3. Dijauhkan dari rasa takut

Sebagai seorang manusia, memiliki rasa takut adalah hal yang banyak dialami
oleh semua orang. Namun, ketika kita berprasangka baik kepada Allah Swt,
maka secara tak langsung kita akan selalu memohon keselamatan agar
terhindar dari ketakutan.
Hal ini karena Allah selalu memberikan segala sesuatu yang diharapkan dari
hamba-Nya.
4. Merasa dekat dengan Allah SWT

• Berprasangka baik kepada Allah Swt juga akan mendekatkan diri kita kepada Allah.
• Rasulullah saw bersabda, “Allah Swt berfirman, ‘Sesungguhnya Aku berdasarkan pada
prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Aku akan selalu bersamanya jika ia mengingat-Ku. Jika
ia mengingat-Ku dalam hatinya, maka Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia
berzikir mengingat-Ku dalam suatu jemaah, maka Aku akan sebut-sebut dia dalam
jemaah yang lebih baik dari mereka. Jika ia mendekati-Ku sejengkal, maka Aku akan
mendekatinya sehasta. Jika ia mendekati-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatinya
sedepa. Apabila ia mendekati-Ku dengan berjalan, maka Aku akan mendekatinya dengan
jalan cepat.” (HR. Al-Bukhari).
5. Terhindarkan dari hal-hal buruk di akhirat

• Berprasangka baik erat kaitannya dengan harapan-harapan yang selalu tumbuh


kepada Allah Swt. Seorang Muslim akan selalu mengharapkan rahmat dari Allah
Swt.
• Dari Fadhalah bin Abid, dari Rasulullah, ia bersabda, “Ada tiga golongan manusia
yang tidak akan ditanya di hari kiamat yaitu, manusia yang mencabut selendang
Allah. Sesungguhnya selendang Allah adalah kesombongan dan kainnya adalah
al-Izzah (keperkasaan), manusia yang meragukan perintah Allah, dan manusia
yang putus harapan dari rahmat Allah.” (HR Ahmad, Thabrani dan Al-Bazaar)

Anda mungkin juga menyukai