Anda di halaman 1dari 50

HUKUM PERDATA

INTERNASIONAL
OLEH:
MIA KUSUMA FITRIANA,S.H.,M.Hum
Click icon to add
picture

BAB I

KAIDAH – KAIDAH
HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
PENGERTIAN HPI
 HPI International Privat Law (Inggris) &
Internationale Privat Rech (Belanda)

Hukum / kaedah / nilai2 / norma-norma / aturan yg ditetapkan /


dirumuskan menjadi aturan2 yg berlaku & dilaksanakan pada suatu
masyarakat utk menciptakan keadilan, ketertiban, & keamanan.

Perdata (Privat) hubungan hukum antar perorangan tanpa ada


kepentingan Negara, pemerintah & kepentingan umum.

Internasional  hubungan hokum yg dilakukan seseorang dgn orang lain


yg melewati batas Negara (transnasional).
Terdapat unsur asing (Foreign Element)
Hubungan hukum antar perorangan, dikatakan internasional karena ada
hubungan hukum antara org yg 1 dengan org di Negara lain.

Ex: perkawinan yg berbeda Kewarganegaraan


Yg bersifat public : hukumnya yg internasional (berlaku utk semua).
Yg bersifat privat : hubungan hokum antar perorangan
SEJARAH HPI
Pada masa Romawi berkembang asas-asas HPI yang dilandasi asas territorial yang sampai sekarang masih dianggap sebagai asas HPI yang
penting, yakni:

1.Asas Lex Rei Sitae (Lex Situs)


-hukum harus diberlakukan atas suatu benda adalah hukum dimana benda berada atau
terletak.

2.Asas Lex Loci Contractus


- terhadap kontrak (yang bersifat HPI) adalah hukum dimana kontrak itu dibuat atau
ditandatangani.

3. Asas Lex Domicili


-hukum yang mengatur hak dan kewajiban perorangan adalah hukum dimana seseorang
berkediaman tetap.
PERSAMAAN DAN PERBEDAAN
HPI DAN HUKUM INTERNASIONAL

Persamaan:
-masing-masing mengatur hubungan atau persoalan yang
melintas batas negara (Internasional)
PERBEDAAN
HPI HI
• Obyek • Obyek
Hubungan Hubungan Publik
keperdataan/privat
• Subyek • Subyek
Perseorangan Negara
• Sumber Hukum
• Sumber Hukum
Hukum Nasional -Kebiasaan Internasional
-General Principles of Law
-Putusan-putusan Hakim dll.
Dalam HPI, adalah hubungannya /
peristiwanya yang bersifat Internasional.

Sedangkan Kaidahnya adalah Hukum


Perdata Internasional.

Karakter HPI adalah Hukum Nasional Bukan


Internasional
Didalam Persitiwa/Hubungan Hukum tersebut terdapat unsur asing.

Terdapat unsur asing (Foreign Element)


Hubungan hukum antar perorangan, dikatakan internasional karena ada hubungan hukum antara
org yg satu dengan org di Negara lain.

Misalnya :
1. Perkawinan yg berbeda Kewarganegaraan
Yg bersifat public : hukumnya yg internasional (berlaku utk semua).
Yg bersifat privat : hubungan hukum antar perorangan
2. Kontrak Ekspor Impor WNI dengan WNA
Yg bersifat public :hukumnya yg internasional (berlaku utk semua).
Yg bersifat privat : hubungan hukum antar perorangan
MASALAH POKOK HPI
1. Hakim / Pengadilan mana yang berwenang
menyelesaikan persoalan hukum yang
mengandung unsur asing.
2. Hukum manakah yang harus diberlakukan untuk
mengatur atau menyelesaikan persoalan-
persoalan hukum yang mengandusng unsur asing.
3. Bilamana / sejauh mana suatu pengadilan harus
memperhatikan dan mengakui putusan-putusan
pengadilan asing.
Permasalahan tsb terjadi karena:
• Adanya kenyataan bahwa dalam waktu yang sama dalam
suatu wilayah geografis terdapat sejumlah sistem hukum
yang harus dilaksanakan.
• Selain adanya berbagai sistem tsb, orang yang dihadapkan
pada adanya berbagai sistem peradilan
• Cara pemilihan yang digunakan sebagai dasar pengambilan
keputusan.
 HPI :

1. Bagian dari system nasional Negara yg mengatur hubungan


rakyatnya dgn rakyat Negara lain.

2. Hubungan hukumnya bersifat Transnasional

3. Masing2 negara memiliki HPI masing-masing yg memiliki


kedudukan sederajat dgn Negara lain.
Click icon to add
picture

BAB II

TITIK – TITIK PERTALIAN


DALAM HPI
PENGERTIAN
HPI melahirkan titik taut / titik pertalian
Titik taut / titik pertalian yaitu
faktor2/keadaan2/peristiwa2 yg
menciptakan adanya hubungan
perdata nasional.
TITIK PERTALIAN PRIMER
(TITIK TAUT PEMBEDA)
 Titik taut / titik pertalian primer, yaitu;

Faktor-faktor/keadaan-keadaan/peristiwa-peristiwa
yg dapat membedakan apakah suatu hubungan
hukum yg dilakukan oleh seseorang dgn org lain
adalah merupakan hub perdata internasional atau
bukan hub.perdata internasional.
 Faktor2/keadaan2/peristiwa2 yg di maksud adalah :

1) Nasionalitas (kewarganegaraan) apabila yg melakukan hub itu memiliki


kewarganegaraan yg berbeda. Berlaku pada Negara yg menganut system
kewarganegaraan.

2) Bendera kapal karena merupakan identitas suatu kapal. Dapat dikatakan


juga Teritorialitas (menunjukkan wilayah hukum). Hukum yg digunakan
adalah hukum yg berlaku di Negara pemilik bendera.

3) Domisili (tempat tinggal) berlaku bagi Negara yg menganut system


hukum domisili. Pemberlakuannya di sesuaikan dgn dimana seseorang itu
berdomisili tanpa memperhatikan WNnya atau WNA.
4) Residence (tempat kediaman )

5) Kewarganegaraan Badan Hukum

6) Pilihan Hukum Intern

7) Tempat dilaksanakannya Perbuatan Hukum


TITIK PERTALIAN SEKUNDER
 Titik taut / titik pertalian sekunder faktor2/keadaan2/peristiwa2 yg
dapat menentukan suatu ketentuan hukum yg diberlakukan atau akan
di berlakukan dlm suatu peristiwa hub perdata internasional.

1) Choise of Law (pilihan hukum) para pihak memilih hukum tertentu utk di
berlakukan berdasarkan kesepakan para pihak.
2) Lex Rae Sitae utk suatu benda, hokum yg berlaku adalah dimana letak benda tsb.
3) Lex Loci Actus (perbuatan) utk suatu perbuatan hukum, hukum yg berlaku adalah
dimana perbuatan hukum dilakukan
4) Lex Loci Contractus (tempat di buatnya kontrak) utk perbuatan kontrak, hokum yg
berlaku adalah dimana kontrak tersebut di sepakati
5) Lex Loci Commisi Delicti (perbuatan melawan hukum) dimana tempat perbuatan
melanggar hukum itu dilakukan, hukum di tempat itulah yg berlaku.
6).Mobilia Sequntuuntur Personam (Kewarganegaraan atau Domisili pemilik benda bergerak)

7) Lex Loci Celebrationis (Tempat Diresmikannya Pernikahan)

8) Lex Patriae (Kewarganegaraan)

9) Lex Domicile (Domisili)

10) Kewarganegaraan Bendera atau Pesawat Udara

11) Tempat Kediaman

12) Tempat Keduddukan Badan Hukum

13) Lex Loci Solutionis (Tempat Dilaksanakannya Kontrak)


 Terhadap Titik Taut Penentu ini, didalam sitem hukum Indonesia terdapat 3 kaidah
utama HPI yang diatur dalam Pasal 16, 17 dan 18 Algemene Bepalingen van
Wetgeving voor Indonesia (AB).

 Berkaitan dengan Status Personal, menurut pasal 16 AB harus di atur menurut


hukum kebangsaan atau kewarganegaraannya.

 Berkaitan dengan Benda Tidak Bergerak dan Benda Bergerak, menurut pasal 17
AB di atur menurut hukum negara tempat terletaknya benda tsb.

 Berkaitan dengan Perbuatan Hukum, menurut pasal 18 AB di atur menurut hukum


tempat dilaksanakannya perbuatan hukum.
TAHAP-TAHAP PENYELESAIAN SUATU PERKARA HPI
DALAM KAITANNYA DENGAN TITIK TAUT PENENTU

1. Ditentukan titik pertalian primer untuk menentukan peristiwa


hukum/bukan. Menjadi ranah HPI/Bukan.
2. Ditentukan titik pertalian sekunder untuk menentukan hukum
manan yang akan di gunakan.
3. Hakim berusaha menetapkan kaidah-kaidah hukum internal dalam
penyelesaian perkara
4. Hakim memutuskan perkara
 Otonomie Van Partijn = kehendak para pihak

Dalam hub perdata internasional harus mengutamakan


kehendak para pihak karena “kehendak para pihak”
mendapatkan kedudukan yg istimewa dlm membuat perikatan.

Hub. Titik pertalian primer dgn sekunder yaitu :


1. Harus diketahui apakah hub tersebut termasuk HPI atau
bukan (menggunakan titik pertalian primer)
2. Utk mengetahui hukum yg akan di berlakukan
(menggunakan titik pertalian sekunder)
HUKUM ACARA DALAM HPI
Dasar2 dlm penetapan Yurisdiksi Perkara Trans-Nasional :
1) Titik taut Primer
2) Titik taut Sekunder
Substansi pokok yg dibicarakan dlm Yurisdiksi yaitu terkait dgn kewenangan /
kompetensi suatu Pengadilan Negara tertentu atas pokok perkara.

Dgn demikian, pokok HPI yaitu :


1. Hakim / Peradilan mana yg berwenang menyelesaikan perkara yg mengandung
unsur asing.
2. Hukum mana yg harus diberlakukan oleh hakim / pengadilan dlm menyelesaikan
perkara yg mengandung unsure asing.
3. Sejauh mana pengadilan nasional Negara akan mengakui putusan2 hkum asing /
mengenai hak2 yg dimunculkan berdasarkan hkum / putusan pengadilan asing.
Click icon to add
picture

BAB III
Asas-asas HPI
ASAS – ASAS HPI TENTANG
BENDA
 Pentingnya klasifikasi Benda dalam HPI
Bergera
k
Berwujud
Tidak
Bergera
k
BENDA

Tidak
????
Berwujud
HUKUM YANG BERLAKU
TERHADAP BENDA BERGERAK DAN TIDAK BERGERAK

A) Benda Tidak Bergerak


Asas umum yang diterima didalam HPI menentukan bahwa
status benda tidak bergerak ditetapkan berdasarkan,
- Lex Rei Sitae atau Lex Situs
Pandangan yang sama juga diikuti oleh Indonesia.
Menurut Pasal 17 AB pengaturan mengenai Benda Tidak
Bergerak di Indonesia,
-diatur berdasarkan hukum dimana benda yang
bersangkutan berada/terletak.
B) Benda Bergerak

Berkaitan dengan benda bergerak didalam dua asas mengajarkan


bahwa hukum yang berlaku dalam masalah benda bergerak adalah
ditetapkan berdasar;
1. Hukum tempat pemegang hak atas benda tsb
berkewarganegaraan (asas nasionalistas)
2. Hukum tempat pemegang hak atas benda tsb berdomisili (asas
domisili)
C) Benda Tidak Berwujud

Asas HPI yang relevan dengan benda tidak berwujud diantaranya


menetapkan bahwa, yang harus diberlakukan adalah, sistem hukum;
1. Kreditur berdomisili
2. Gugatan atas benda diajukan
3. Pembuatan perjanjian utang-piutang
4. Pilihan Hukum
5. The Substantial Connection
6. Pihak yang prestasinya paling khas.
ASAS – ASAS HPI DALAM KELUARGA
A). Perkawinan
Dalam perkawinan ini asas-asas HPI kaitannya dengan;
- Keabsahan perkawinan
- Akibat Hukum Perkawinan
- Perceraian dan Akibat Hukumnya
contoh: Perceraian bisa diselesaikan atas dasar Lex
Loci Celebrationis / Joint Nationality / Joint Residence/
Tempat diajukannya perceraian.
B). Pewarisan
Pada dasarnya pewarisan dikenal melalui 2 hal, yaitu;
1. Undang-undang
2. Testamen (Surat Wasiat)

Fakta-fakta dalam perkara pewarisan yang potensial dapat


mempertautkan perkara HPI adalah:
1. Status dan kedudukan harta peninggalan
2. Penentuan kapasitas hukum pewaris
3. Penentuan Validitas Substantial/formal dari testamen
Click icon to add picture

HUKUM YANG DIGUNAKAN


BAB IV DALAM
ARBITRASE INTERNASIONAL
INTERNATIONAL CHAMBER OF
COMMERCE
(ICC)
 Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela
kepada pihak ketiga yang netral serta putusan yang
dikeluarkan sifatnya final dan mengikat.
 Badan arbitrase dewasa ini sudah semakin populer dan
semakin banyak digunakan dalam menyelesaikan sengketa-
sengketa internasional.
 ICC berlaku secara internasional hal ini dianut dalam pasal 1
ketentuan Pengadilan Arbitrase Internasional yang
menyatakan “Mahkamah Internasional Arbitrase
(“Pengadilan”) dari International Chamber of Commerce (the
“ICC”) adalah badan arbitrase melekat pada ICC
 Menurut Ketentuan ICC, hukum (materiil) yang dipakai oleh Arbiter
memutuskan perselisihan yang diajukan kepadanya yang pertama-tama
didasarkan pada hukum yang dikehendaki para pihak.
Jadi disinilah pilihan hukum dihormati. Apabila tidak ada pilihan hukum, maka
hukum yang digunakan adalah hukum dimana persidangan tsb dilaksanakan.

Tempat dilaksanakannya arbitrase antara yang ditentukan oleh Dewan


Arbitrase berbeda dengan yang ditentukan oleh para pihak sendiri.
Konsekuensi hukumnya pun berbeda;
1. Jika tempat dilaksanakannya Arbitrase ditentukan oleh dewan
Arbitrase tidak mempunyai akibat bagi penentuan hukum yang berlaku.
2. Jika tempat dilaksanakannya Arbitrase ditentukan oleh para pihak,
maka pilihan tempat yang demikian mencakup bahwa hukum negara
yang bersangkutan juga dipakai untuk arbitrase.
BADAN ARBITRASE NASIONAL
INDONESIA
(BANI)
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang No.30 Tahun 1999,
arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan
umumyang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para
pihak yang bersengketa.

Dalam ketentuan peraturan Arbitrase BANI tidak secara tegas disebutkan tentang Hukum
yang dipergunakan sebagai dasar bagi Arbiter BANI untuk memutuskan suatu
sengketa/perkara yang diserahkan.

Namun karena BANI berkedudukan dan didirikan di Indonesia, maka BANI mendasarkan
dirinya pada ketentuan Hukum Indonesia.

Sehingga hukum yang digunakan / dipakai oleh BANI untuk menyelesaikan suatu perkara,
yang pertama-tama hukum yang dikehendaki para pihak.
Apabila ketentuan tsb tidak ada, maka yang berlaku adalah hukum Indonesia.
 Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam dua bentuk, yaitu:
Factum de compromitendo yaitu klausa arbitrase yang tercantum
dalam suatau perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum
timbul sengketa.
Akta Kompromis yaitu suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat
para pihak setelah timbul sengketa.

Sebelum UU arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur


dalam pasal 615 s/d 651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu,
pada penjelasan pasal 3 ayat 1 Undang-undang No.14 Tahun 1970
tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa
penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau
melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan.
KETENTUAN EX AEQUO ET BONO
 Ex aequo et bono berasal dari bahasa Latin.
Kamus Juridisch Latin karya GRW Gokkel dan N van der
Wal –yang kemudian dialihbahasakan S Adiwinata (1986),
hanya mendefinisikan secara singkat frase tersebut sebagai
“menurut keadilan”.
 Dalam literatur berbahasa Inggris, ex aequo et bono sering
diartikan sebagai “according to the right and good”,
atau “from equity and conscience”. Sesuatu yang diputuskan
menurut ex aequo et bono adalah sesuatu yang diputuskan
“by principles of what is fair and just”.
 Arbiter juga berwenang menjatuhkan putusan atas dasar Ex
aequo et bono apabila hal tsb disetujui oleh para pihak.
Click icon to add picture

BAB V

INTERNATIONAL CENTER FOR


THE SETTLEMENT OF INVESTMENT
DISPUTE
(ICSID)
ICSID
 Salah satu badan arbitrase untuk menyelesaikan sengketa internasional
adalah ICSID, yang berdudukan di Washington D.C.
 ICSID (International Center for the Settlement of Investment Dispute)
merupakan lembaga arbitrase yang berfungsi menyelesaikan sengketa
penanaman modal asing yang bernaung dan diprakarsai oleh bank Dunia.
 Konvensi yang mendirikan badan ini adalah Konvensi Washington atau
disebut juga Word Bank Convention yang ditandatangani di Washington D. C.,
18 Maret 1965. Konvensi ini mulai berlaku pada 14 Oktober 1966.
 ICSID tidak menyelesaikan sengketa antar subyek hukum perdata.
 ICSID menyelesaikan sengketa antar pemerintah sebagai subyek publik dan
para investor sebagai subyek hukum perdata. Kedudukan pemerintah sebagai
subyek hukum publik karena pemerintah yang mengeluarkan berbagai izin
terkait dengan investasi.
 Berdasarkan UU No.5 Tahun 1968, Pemerintah Indonesia meratifikasi
Konvensi tentang penyelesaian sengketa mengenai penanaman
modal antarnegara dan warga negara lain (convention on the
Settlement of Investment Dispute Between States and Nationals of
Other States).
 Undang-Undang ini berisi 5 pasal.

Pasal 2 menyatakan bahwa sesuatu perselisihan mengenai


penanaman modal antara Republik Indonesia dengan warga negara
asing diputuskan menurut konvensi ICSID dan mewakili Republik
Indonesia dalam perselisihan tersebut untuk hak substitusi.
Pasal 3 disebutkan bahwa untuk melaksanakan putusan
Mahkamah Arbitrase ICSID di wilayah Indonesia, maka diperlukan
pernyataan Mahkamah Agung untuk melaksanakannya.
YURISDIKSI ICSID
Mengenai yurisdiksi ICSID mengenai sengketa penanaman modal asing ini diatur dalam Pasal
25 Konvensi tersebut, menurut pasal ini, sedikitnya ada tiga persyaratan pokok yang harus
dipenuhi oleh para pihak untuk dapat menggunakan sarana arbitrase ini, yaitu :

1. Harus ada kesepakatan

Para pihak sebelumnya harus mencapai kata sepakat untuk menyerahkan sengketanya
kepada arbitrase ICSID. Konvensi mensyaratkan adanya sepakat yang tertulis yang menunjuk
pemakaian ICSID.

Penunjukan badan arbitrase ini tercantum dalam klausula perjanjian penanaman modal yang
menetapkan penyerahan suatu sengketa yang kelak mungkin timbul dari perjanjian tersebut.
Menurut Pasal 25 ayat (1) Konvensi ICSID, kata sepakat untuk menyerahkan sengketa
kepada arbitrase ICSID tidak perlu “dinyatakan” di dalam dokumen tersendiri. Negara
penerima modal melalui peraturan perundang-undangannya dapat menawarkan agar
sengketa yang timbul antara investor dan negara penerima modal diserahkan kepada
arbitrase ICSID.
2. Yurisdiksi Rationae Materiae

Yurisdiksi arbitrase ICSID terbatas pada sengketa hukum (legal


disputes) akibat adanya penanaman modal saja. Sengketa ini adalah
antara warga negara suatu negara dan negara peserta konvensi ICSID.
Jadi disini harus ada suatu hubungan internasional, dalam arti kata “luar
negeri” khususnya menyangkut perbedaan kewarganegaraan antara
warga negara penggugat dan negara yang menggugat.

3. Yurisdiksi Rationae Personae

Dewan arbitrase ICSID hanya memiliki kewenangan mengadili sengketa


antara negara dan warga negara asing lainnya yang negaranya adalah
juga anggota atau peserta Konvensi ICSID.
HUKUM YANG DIGUNAKAN ICSID
 Pasal 42 ayat (1) Konvensi ICSID menyatakan bahwa dalam
penyelesaian perkara yang diserahkan kepada ICSID,
hukum yang dipergunakan untuk menyelesaikan perkara
yang bersangkutan pertama-tama adalah hukum yang
disepakati oleh para pihak yang berselisih (pilihan hukum).

Sehubungan dengan pilihan hukum ini, timbul persoalan,


hukum manasajakah yang dapat dipilih oleh para pihak?
Mengenai hal ini ada beberapa kemungkinan. Umumnya
para pihak dapat memakai salah satu hukum nasional para
pihak atau bahkan hukum nasional negara ketiga.
 Kemudian Pasal 42 ayat (1) Konvensi tersebut di atas
disebutkan juga bahwa apabila pilihan hukum yang demikian
tidak ada, maka hukum yang digunakan adalah hukum
nasional (termasuk kaidah-kaidah HPI) negara peserta
konvensi ICSID, dan hukum internasional.
 Hukum negara peserta disini tentunya adalah host state
(negara penerima modal). Hukum nasional disini yang
dipakai sistem hukum negara yang bersangkutan secara
keseluruhan. Penunjukan kepada hukum negara peserta itu
merupakan suatu gesamtverweisung.
Click icon to add
picture

BAB VI

PELAKSANAAN DAN
PENGAKUAN PUTUSAN

PENGADILAN ASING DI
INDONESIA
PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN ASING DI INDONESIA

 Putusan pengadilan asing tidak dapat dieksekusi di wilayah Republik


Indonesia kecuali undang-undang mengatur sebaliknya.

Ketentuan–ketentuan tentang pelaksanaan (eksekusi) putusan Arbitrase


Asing (Internasional) di Indonesia terdapat dalam Undang–Undang No.
30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Aturannya terdapat dalam Bab VI pasal 65 sampai dengan pasal 69.
Ketentuan–ketentuan tersebut pada dasarnya sejalan dengan ketentuan
tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing
(internasional) seperti yang diatur dalam Konvensi New York 1958.
  Pasal 65 UU No. 30 Tahun 1999 menetapkan bahwa yang berwenang menangani masalah pengakuan
dari pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
 
 Selanjutnya pasal 66 mengatur hal–hal sebagai berikut: Putusan arbitrase internasional hanya diakui
serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat–syarat
sebagai berikut:
a.    Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu
negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun
multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase I nternasional.
b.   Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada
putusan yang menurut ketentuan hukum perdagangan.
  c.    Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat
dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
  d.   Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh
eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan
  e.    Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yagn menyangkut
Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan
setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya
dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
 Selanjutnya pasal 67 menetapkan bahwa permohonan pelaksanaan
putusan arbitrase internasional dilakukan setelah putusan tersebut
diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada
Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
 
 Walaupun telah terdapat pengaturan yang cukup jelas dan tegas
mengenai pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) dalam
UU No. 30 Tahun 1999, dibandingkan dengan masa ketika belum
adanya pengaturan yang jelas mengenai hal tersebut (yaitu sebelum
adanya UU No. 30 Tahun 1999), Indonesia masih sering menuai kritik
dari dunia internasional mengenai pelaksanaan putusan arbtirase
internasional.
 Pengadilan Negeri Indonesia seharusnya TIDAK BOLEH menolak
untuk mengabulkan permohonan eksekusi atas keputusan arbitrase
asing/Internasional yang telah dipilih/ditunjuk sendiri oleh para pihak
yang menyusun kontrak bisnis mereka. Hal ini mengingat Indonesia
telah meratifikasi UN Convention on The Recognizition and
Enforcement of Arbitral Awardsmelalui Keputusan Presiden No.
34/1981.
 Hanya saja, dalam realitasnya, yang terjadi adalah:
 Pihak Indonesia dalam kontrak tsb, menolak berperkara di muka arbitrasi internasional yg telah
disetujuinya sendiri sewaktu proses penyusunan kontrak bisnis dg partner asingnya. Pihak
Indonesia malah menggugat balik partner asingnya di muka PN Indonesia.
 Setelah keputusan dijatuhkan oleh arbitrase internasional dan mengalahkan pihak Indonesia
(terutama disebabkan selama proses arbitrase berlangsung, pihak Indonesia tidak pernah
muncul sama sekali), maka partner asing tsb mengajukan permohonan penetapan eksekusi
keputusan arbitrase tsb di muka PN di Indonesia.
 Permohonan penetapan eksekusi tsb digugat oleh pihak Indonesia agar tidak dikabulkan oleh
PN ybs. Sering sekali terjadi, PN Indonesia akhirnya juga TIDAK mengabulkan permohonan
penetapan eksekusi putusan arbitrase asing tsb, dg alasan beraneka ragam, misalnya karena
pihak Indonesia tidak cukup didengar pendapatnya selama proses arbitrase berlangsung
(padahal selama proses arbitrase, pihak Indonesia sendiri yg tidak bersedia menghadiri proses
arbitrase), atau karena alasan perjanjian pokok diantara kedua belah pihak bertentangan dg
ketertiban umum di Indonesia,jadi perjanjian para pihak memang sudah tidak sah sejak awalnya.
 Konsekwensi dari sikap banyak PN di Indonesia yang sering menolak mengeksekusi
keputusan arbitrase asing, padahal Indonesia telah meratifikasi Convention on The
Recognizition and Enforcement of Arbitral Awards dapat berakibat, banyak pengusaha
Indonesia lainnya yang tidak dipercaya (di-black list) oleh pengusaha asing untuk
melakukan kontrak bisnis internasional.
Click icon to add
picture

THANK YOU

Anda mungkin juga menyukai