1 Mendukung pemerintahan 6 4
Indonesia
2 Menukung pemerintah 23 21
Belanda
3 Mendukung pemerintah 42 45
Australia
4 Mendukung pengawasan 16 17
PBB
5 Abstain 13 14
Klaim Indonesia terhadap Irian Barat tidak
memiliki dasar hubungan ras, tidak mempunyai
fakta geografis dan etnologis regional.
Hal ini seperti yang dikatakan Menlu Australia,
Percy Spender pada Agustus 1950 sepulang
kunjungannya dari Belanda sebagai berikut:
(1) Secara geografi, Irian Barat tidak dapat dilihat
sebagai bagian dari Kelompok Konstinental RI
didasarkan garis lintang sejajar 130 derajat
medrupakan garis pembelahan secara alamiah;
(2) Secara ras dan budaya penduduk Irian
tidak memiliki pertalian keturunan dengan
penduduk Indonesia.
Di sisi lain terdapat persamaan antara
penduduk Irian dan ras Melanesia (Aborigin).
Garis lintang sejajar 130 derajat
menunjukkan batas yang dicapai oleh
kebudayaan Indo-Melayu;
(3) Perkembangan sosial dan ekonomi
penduduk Irian Barat dinilai lebih rendah
daripada penduduk Indonesia.
Dari sudut sejarah, tidak terdapat hubungan
yang mendasar antara kawasan Irian Barat
dengan kawasan Kepulauan Indonesia lainnya;
(4) Dari segi hukum, menurut pemerintah
Australia bahwa status Irian Barat belum
ditentukan, karena KMB gagal menyelesaikan
masalah terkait apakah Irian Barat menjadi
milik Indonesia masih terkatung-katung.
Jadi klaim Indonesia terhadap wilkayah Irian
Barat dinyatakan sebagai agresi dari luar
Australia merasa khawatir jika Irian Barat diserahkan
kepada Indonesia, karena pembentukan
pemerintahannya belum jelas dan baru merdeka.
Australia khawatir tentang masa depan politik dalam
negeri Indonesia yang dari tahun-ke tahun
komunisme di Indonesia telah menunjukkan
pengaruh kuat, sehingga berhasil mempengaruhi
kebijakan politik Soekarno yang tampaknya bergerak
masuk ke dalam pelukan komunis.
Di bawah tekanan PKI yang militan, akhirnya
pemerintahan Soekarno bersekutu dengan komunis
untuk menjalin hubungan poros Jakarta-Pyongyang-
Peking dalam upaya mengusir pengaruh Barat dari
Asia.
Hal ini akan mengancam keamanan Australia.
Berkenaan dengan itu Arthur Calwell dari Partai Buruh (Partai
Oposisi) memperingatkan pemerintah Australia bahwa jika
klaim Indonesia atas Irian Barat dibiarkan, maka kelak
Indonesia juga akan berbuat hal yang sama terhadap Timor
Portugis, Papua Nugini, dan akhirnya wilayah Australia Utara
juga akan diincar Indonesia.
Indonesia mulai tahun 1954 berusaha memasukkan masalah
Irian Barat dalam agenda pembicaraan di Sidang Majelis
Umum PBB melalui empat kali resolusi pro-RI yang diajukan
pada tahun 1954, 1955, 1956, 1957 mengalami kegagalan,
karena tidak didukung 2/3 mayoritas suara yang diperlukan
bagi diterimanya suatu resolusi.
Hal ini terjadi berkat perjuangan gigih Australia dalam lobi-
lobinya untuk menggagalkan ambisi Indonesia memasukkan
Irian Barat ke dalam wilayahnya.
Kegagalan politik diplomasi di PBB soal Irian Barat,
Indonesia mengubah perjuangan lebih konfrontatif
membentuk Front Nasional Pembebasan Irian Barat tahun
1958.
Pada 19 Desember 1961 dikeluarkan Tri Kora:
a. Gagalkan pembentukan “Negara Papua” bikinan Belanda,
b. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat,
c. Bersiaplah untuk memobilisasi umum).
Pembentukan Komando Mandala Pembebasan Irian Barat 2
Januari 1962.
Soekarno tidak akan melibatkan Uni Sovyet dalam kemelut
Irian Barat dengan mengizinkan Sulawesi sebagai pangkalan
militer Uni Sovyet, sehingga akan terjadi konflik terbuka di
kawasan Asia Tenggara.
Hal ini membuat Amerika Serikat khawatir, sehingga
negeri ini menekan pihak Belanda untuk berunding
guna mencegah terseretnya Uni Sovyet dan Amerika
Serikat ke dalam konfrontasi langsung di Pasifik
Barat-daya.
Uni Sovyet mendukung Indonesia dalam
pembebasan Irian Barat, karena selaras dengan garis
kebijakan politik luar negeri Uni Sovyet dalam upaya
menyebarkan komunisme (Perang Dingin) dengan
menetapkan garis kebijakan politik luar negeri
dengan membantu negara-negara yang baru
merdeka (Indonesia) melawan sebuah kekuatan
Kolonial Belanda yang tetap ingin bercokol di Irian
Barat.
Pada 15 Agustus 1962 ditandatangani Perjanjian
New York berisi penyerahan pemerintahan di
Irian Barat dari pihak Kerajaan Belanda kepada
PBB.
Selanjutnya PBB membentuk United
NationsTemporary Excecutive Authority (UNTEA)
bertugas melakukan penentuan pendapat rakyat
(Pepera) di Irian Barat sebelum akhir tahun 1969
dengan ketentuan bahwa kedua belah pihak
(Belanda dan Indonesia) akan menerima hasilnya.
Hasil Pepera menunjukkan penduduk Irian Barat
memilih ada dalam lingkungan NKRI.