Kelas: XI MIPA 5 Mata Pelajaran: Sejarah Indonesia Perjanjian Renville Perjanjian Renville merupakan perjanjian yang dimana antara Indonesia dengan Belanda yang diadakan pada tanggal 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral USS Renville yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan ditengahi oleh Komisi Tiga Negara “KTN”, Committee of Good Offices for Indonesia, yang diterdiri dari Amerika Serikat, Australia dan Belgia. Latar Belakang Perundingan Renville Perundingan Linggarjati pada 11-13 November 1946 menyepakati berdirinya Republik Indonesia Serikat (RIS) yang diakui Belanda. Hasil perundingan disahkan pada 25 Maret 1947. Namun, Belanda ternyata hanya mau mengakui kedaulatan RIS sebatas Jawa dan Madura saja. Tugiyono Ks dalam buku Sekali Merdeka Tetap Merdeka (1985) menyebutkan, Belanda bahkan melanggar Perjanjian Linggarjati dengan melancarkan serangan pada 21 Juli 1947 hingga 5 Agustus 1947. Serangan ini dikenal dengan sebutan Agresi Militer Belanda I. Latar Belakang Perundingan Renville Agresi Militer Belanda I membuat sebagian dunia internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), melontarkan penyesalan. Mereka mendesak Belanda agar menghentikan serangan dan segera menggelar perundingan damai dengan pihak Indonesia. Tokoh Delegasi Perundingan Renville Perundingan yang disebut Perjanjian Renville ini dilangsungkan pada 8 Desember 1947. Sebagai penengah adalah Komisi Tiga Negara (KTN) yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia,dan Belgia. Adapun para tokoh yang terlibat sebagai delegasi dalam Perjanjian Renville adalah sebagai berikut: Delegasi Indonesia terdiri dari Amir Syarifudin, Ali Sastroamijoyo, H. Agus Salim, Dr. J. Leimena, Dr. Coatik Len, dan Nasrun. Isi Perundingan Renville Isi Perjanjian Renville: 1. Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai wilayah Republik Indonesia (RI). 2. Disetujui adanya garis demarkasi antara wilayah RI dan daerah pendudukan Belanda. 3. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan Belanda di Jawa Barat dan Jawa Timur. Dampak Perundingan Renville Perjanjian Renville sangat merugikan Indonesia. Seharusnya Indonesia tidak dibagi-bagi, melainkan utuh milik bangsa Indonesia. Sebagai konsekuensinya, tentara Indonesia harus meninggalkan daerah-daerah yang strategis karena daerah tersebut menjadi kekuasaan Belanda. Selain itu, Indonesia mengalami blokade ekonomi Belanda. Belanda mencegah masuknya pangan, sandang, dan senjata ke wilayah Indonesia. Dampak Perundingan Renville Ketidakpuasan rakyat terhadap perjanjian Renville berakibat pada berakhirnya Kabinet Amir Syarifuddin yang dianggap menjual negara terhadap Belanda. Lagi-lagi Belanda melanggar perjanjian. Mereka mengaku tidak lagi terikat pada perjanjian Renville. Bahkan pada 19 Desember 1948 Belanda melancarkan agresi militer yang ke II di Yogyakarta.