Anda di halaman 1dari 16

Peninnggalan Islam di

Nusantara
(Berupa Masjid)
Anggota Kelompok 9
 

Riky Iqbal Maulana 4219101


Haniyah Amanatul Janah 4219104
Evy Lutfiani 4219111
M. Reza Fahlefi 4219113
Pokok Pembahasan

Sejarah dan Budaya Sejarah dan Budaya Sejarah dan Budaya

Masjid Menara Kudus Masjid Raya Medan Masjid Agung Banten

1 2 3 4 5 6
Sejarah dan Budaya Sejarah dan budaya Sejarah dan Budaya
Masjid Baiturrahman Masjid Agung Yogyakarta
Masjid Agung Demak
Aceh
Sejarah Masjid Menara Kudus

Masjid Menara Kudus merupakan salah satu bentuk peninggalan


fisik yang mencerminkan strategi dakwah dari Sunan Kudus, serta
sebagai bangunan yang menjadi jejak peradaban Islam di Kudus.
Usia masjid ini disinyalir sudah hampir 500 tahun. Prasasti yang
ada di atas mihrab masjid ini sendiri berangka tahun 956 Hijriah,
atau 1549 Masehi. Fungsi masjid pada masa penyebaran Islam
tidak hanya digunakan sebagai tempat untuk melaksanakan
ibadah shalat akan tetapi juga sebagai tempat musyawarah para
Wali dan tempat mereka mendakwahkan agama Islam
Budaya Masjid Menara Kudus

Masjid Menara Kudus menjadi salah satu peninggalan Islam yang masih
ada dan masih di fungsikan sampai sekarang. Kudus jika dilihat dari segi
peninggalan purbakala, maka dapatlah diduga bahwa Kudus adalah kota
bersejarah, khususnya dalam penyebaran agama Islam. Peninggalan
budaya fisik (artefak) masa awal perkembangan Islam di Jawa merupakan
kesinambungan tradisi gaya seni bangunan pra- Islam (Hindu Budha)
dipadu dengan gaya seni bangunan Islam. Masjid Menara Kudus dimaknai
sebagai pernyataan simbolis nilai dan sikap toleransi terhadap pluralitas
kultural yang dihayati oleh masyarakat pendukung
Sejarah Masjid Baiturrahman Aceh

Masjid Raya Baiturrahman merupakan situs sejarah dan budaya dari era
Kejayaan Kesultanan Aceh yang masih bertahan sampai saat ini. Masjid
ini telah melalui banyak hal, mulai dari tragedi pembakaran oleh kolonial
Belanda tahun 1873, Gempa tsunami tahun 2004 hingga upaya renovasi
yang selesai dikerjakan pada tahun 2017.Masjid Raya Baiturrahman
seringkali dianggap sebagai representatif dari wisata sejarah dan budaya
di Kota Banda Aceh. Pengunjung juga tidak henti-hentinya datang
untukmenikmati pesona dari Masjid di Kota Serambi Mekkah ini. Namun,
apakah Masjid RayaBaiturrahman benar-benar berperan sebagai wisata
sejarah dan budaya dengan memenuhikomponen-komponen wisata
sejarah dan budaya yang memiliki nilai-nilai sejarah danwarisan budaya
secara lebih mendalam.
Budaya Masjid Baiturrahman Aceh

Masjid Raya Baiturrahman juga masih mempertahan kegiatan-


kegiatan keagamaanseperti halaqah masjid (ceramah sesudah
shalat magrib dan shalat subuh), pengajian dayahmayang setiap
hari rabu, majlis ta’lim khusus untuk perempuan dan kegiatan
pengetahuanserta pengajaran nilai-nilai islami terhadap anak.
Banyak pengunjung yang terpesona dengan keindahan dan
kemegahan dari ornanamen- ornamen dan infrastruktur masjid,
mulai darikubah, dinding, lantai hingga payung yang menyerupai
Masjid Nabawi di Madinah
Sejarah Masjid Raya Medan

Masjid Raya Medan atau disebut juga Masjid Raya Al-Mashun merupakan masjid
peninggalan Kesultanan Deli yang dibangun pada tahun 1906 M, pada masa
pemerintahan sultan Maimun Al-Rasyid Perkasa Alamsjah. Masjid ini selesai
dibangun dan dimulai digunakan pada tahun 1909 M. Hal ini dapat diketahui dari
prasasti bertuliskan Arab Melayu, dipahatkan pada sayap kiri dan kanan pintu
gerbang masuk menuju masjid. Sekaligus digunakan yang ditandai dengan
pelaksanaan Salat Jumat pertama di masjid ini. Keseluruhan pembangunannya
menghabiskan dana sebesar satu juta Gulden. Sultan memang sengaja
membangun masjid kerajaan ini dengan megah, karena menurut prinsipnya hal itu
lebih utama ketimbang kemegahan istananya sendiri, Istana Maimun. Pendanaan
pembangunan masjid ini ditanggung sendiri oleh Sultan, tetapi Tjong A Fie, tokoh
kota Medan dari etnis Tionghoa yang sezaman dengan Sultan Ma'moen Al Rasyid
turut berkontribusi mendanai pembangunan masjid ini.
Budaya Masjid Raya Medan

Di sekitar Gang-gang Masjid punya deretan jendela-jendela tak berdaun yang


berpotongan lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Adun beranda dan
jendela-jendela lengkung itu mengingatkan disain yang didirikan kerajaan-kerajaan
Islam di Spanyol pada Zaman Pertengahan. Sedangkan kubah mesjid mengikuti
model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan. Kubah utama
dikitari empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang
bertambah kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Mesjid Raya Banda
Aceh. Di anggota dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m
yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada anggota tengah.
Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang mesjid ini
berpotongan bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara mesjid berhias
paduan selang Mesir, Iran dan Arab.
Sejarah Masjid Agung Demak

Dalam sejarahnya, masjid Agung Demak didirikan atas petunjuk dan


pimpinan para wali pada sekitar abad ke-15 Masehi. Masjid Agung Demak
yang merupakan masjid Agung Kerajaan Bintara dibangun pada tahun
1474-1478. Selain sebagai masjid Agung Kerajaan pada zamannya,
karena letaknya berada disebelah barat alun-alun, maka masjid ini juga
berfungsi sebagai masjid jami’.Pembangunan masjid ini berlangsung atas
perintah Raden Patah, Raja pertama kesultanan Demak, yang menjadi
cikal bakal berdirinya kerajaan Islam serta sebagai cagar budaya
peninggalan kesultanan Glagahwangi Bintoro Demak. Struktur bangunan
Masjid, mempunyai nilai historis seni bangun arsitektur tradisional khas
Indonesia. Wujudnya misterius, karismatik, akan tetapi megah, anggun,
indah, mempesona dan berwibawa.
Budaya Masjid Agung Demak
Sebagai cagar budaya, Masjid Agung Demak memiliki nilai historis dan
arkeologis dengan arsitektur khas Indonesia, arsitektur masjid Agung
Demak dipengaruhi oleh arsitektur jawa kuno pada masa kerajaan Hindu.
Identitas pengaruh arsitektur terssebut dapat dilihat pada tiga aspek
pokok, yaitu atap meruruang keramat (cella), dan saka guru yang meliputi
ruang cella. Meru merupakan ciri khas atap bangunan suci di Jawa dan
Bali. Bentuk atap yang bertingkat tiga dan mengecil keatas merupakan
lambang vertikalitas dan orientasi kekuasaan keatas. Masjid ini
merupakan salah satu diantara bangunan Islam yang penting di Asia
Tenggara dan Dunia Islam pada umumnya. Masjid yang religius ini
meupakan dua fungsi sebagai tempat peribadatan dan ziarah.
Keberadaannya masih sangat dirasakan oleh masyarakat muslim
Indonesia dan negara tetangga
Sejarah Masjid Agung Banten
Sejarah pendirian Masjid Agung Banten berawal dari instruksi Sunan
Gunung Jati kepada anaknya, Hasanuddin. Konon, Sunan Gunung Jati
memerintahkan kepada Hasanuddin untuk mencari sebidang tanah yang
masih suci sebagai tempat pembangunan Kerajaan Banten. Setelah
mendapat perintah ayahnya tersebut, Hasanuddin kemudian salat dan
bermunajat kepada Allah agar diberi petunjuk tentang tanah untuk
mendirikan kerajaan. Konon, setelah berdo’a, secara spontan air laut yang
berada di sekitarnya tersibak dan menjadi daratan. Di lokasi itulah
kemudian Hasanuddin mulai mendirikan Kerajaan Banten beserta sarana
pendukung lainnya, seperti masjid, alun-alun, dan pasar. Perpaduan
empat hal: istana, masjid, alun-alun, dan pasar merupakan ciri tradisi
kerajaan Islam di masa lalu.
Budaya Masjid Agung Banten
Dalam sejarah Masjid Agung Banten, baik mengenai kapan
berdirinya, tokoh utama pendiri masjid, pembangunan/pemugaran
masjid dari masa ke masa, maupun seluk beluk bangunan Masjid
Agung Banten tercover jelas dalam catatan sejarah yang ada dan
masih dapat ditemukan sampai sekarang. Akan tetapi tidak
demikian halnya dengan sejarah penentuan arah kiblatnya.
Karena tidak ada catatan sejarah yang secara khusus, jelas dan
tegas dalam memberikan penjelasan tentang metode penentuan
arah kiblat Masjid Agung Banten.
Sejarah Masjid Agung Yogyakarta
Masjid Agung Yogyakarta atau disebut juga Masjid Gedhe Kauman
didirikan pada abad ke XVIII, dalam masa bersamaan dengan kraton,
pada masa Mangkubumi yang kemudian bergelar Hamengkubuwono I
membangun pusat pemerintahan baru setelah perjanjian Giyanti. Dengan
adanya perjanjian Giyanti pada tahun 1755 kerajaan dibagi menjadi dua,
antara Paku Buwana III, Sunan Surakarta dengan pamannya Mangkubuml
kemudian bergelar Hamengkubuwana I, dan mendirikan kota baru juga
membangun istana di Yogyakarta (64 Km dari Surakarta). Masjid Agung
Yogyakarta terletak dalam sebuah kompleks dikelilingi oleh dinding tebal.
Hal ini kelihatannya mendapat pengaruh arsitektur joglo rumah-rumah
arsitokrat Jawa. Mungkin pula adanya pagar dan gerbang berlapis-Iapis
merupakan pengaruh Hindu/Budha
Budaya Masjid Agung Yogyakarta
Arah kiblat pada Masjid Agung Yogyakarta tidak tegak lurus
dengan tata letak bangunan, agak menyamping sekitar lima belas
derajat ke arat Utara. Orientasi Masjid Agung Yogyakarta searah
dengan orientasi cardinal, dan tidak sama dengan orientasi ke
Ka'bah. Oleh karena itu lantainya bergaris-garis, syaf yang tegak
lurus arah Mekah. Bisa ditafsirkan kekuasaan Sultan atas Islam
lebih besar daripada para Kiai santri pada waktu mula didirikannya
masjid ini. Hal ini bisa dilihat dari kenyataan bahwa Pengulu,
bawahan Sultan yang bertanggung jawab memelihara masjid,
berperan utama pada upacara "grebeg".
Kesimpulan
Sejarah perkembangan Islam mulai menyebar di Indnesia pada
abad ke – 7, melalui berbagai teori teori, Islam masuk ke Indonesia
dengan damai dan tentram. Sebelum islam masuk ke Indonesia
terdapat agama Hindu dan Buddha, dan kepercayaan kepercayaan
yang ada di Indonesia seperti kapitayan. Dengan masuknya Islam
di Indonesia terdapat peninggalan sejarah berupa masjid masjid tua
sebagai saksi penyebaran Islam di Nusantara, banyak peninggalan
masjid percampuran antara agama Hindu dan Buddha, seperti
masjid kudus yaitu corak bangunannya seperti Budaya Agama
Hindu, dan tedapat masjid Baiturrahman dari Aceh, masjid Agung
Banten, dan Masjid Raya Medan merupakan peninggalan dari
penyebaran agama Islam di Nusantara.

Anda mungkin juga menyukai