Anda di halaman 1dari 26

HUKUM WARIS PERDATA (BW)

DR. I GUSTI PUTU ANOM KERTI SH., MKN


Pewaris dan Dasar Hukumnya
Pewaris adalah seseorang yang meninggal dunia, baik laki-laki
maupun perempuan yang meninggalkan sejumlah harta kekayaan
maupun hak-hak yang diperoleh beserta kewajiban-kewajiban
yang harus dilaksanakan selama hidupnya, baik dengan surat
wasiat maupun tanpa surat wasiat.
Dasar hukum seorang ahli waris mewarisi sejumlah harta pewaris
menurut sistem hukum waris BW ada 2 (dua) cara, yaitu:

a. Menurut ketentuan Undang-Undang;

b. Ditunjuk dalam surat wasiat (testamen).


Dasar hukum tersebut menentukan bahwa untuk melanjutkan
kedudukan hukum bagi harta seseorang yang meninggal, sedapat
mungkin disesuaikan dengan kehendak dari orang yang meninggal
itu. Undang-undang berprinsip bahwa seseorang bebas
menentukan kehendaknya tentang harta kekayaannya setelah ia
meninggal dunia. Namun, bila orang dimaksud tidak menentukan
sendiri ketika ia masih hidup tentang apa yang akan terjadi
terhadap harta kekayaannya, dalam hal demikian undang-undang
kembali akan menentukan perihal pengaturan harta yang akan
ditinggalkan oleh seseorang tersebut.
Di samping undang-undang, dasar hukum seseorang mewarisi
harta peninggalan pewaris juga melalui cara yang ditunjuk dalam
surat wasiat. Surat wasiat atau testamen adalah suatu pernyataan
tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia. Sifat
utama surat wasiat adalah mempunyai kekuatan berlaku setelah
pembuat surat wasiat meninggal dunia dan tidak dapat ditarik
kembali. Selama pembuat surat wasiat masih hidup, surat wasiat
masih dapat diubah atau dicabut, sedangkan setelah pembuat
wasiat meninggal dunia surat wasiat tidak dapat lagi diubah,
dicabut, maupun ditarik kembali oleh siapa pun.
Seseorang dapat mewariskan sebagian atau seluruh hartanya
dengan surat wasiat, maka sisanya merupakan bagian ahli waris
berdasarkan undang-undang (ahli waris ab intestato). Jadi,
pemberian seorang calon pewaris berdasarkan surat wasiat tidak
bermaksud untuk menghapuskan hak untuk mewaris secara ab
intestato.
Ahli Waris Menurut Sistem BW dan Porsi
Bagiannya

Undang-undang mengatur beberapa hal yang menyangkut ahli


waris. Ketentuan-ketentuan yang menyangkut masalah ahli waris
tersebut terdapat dalam ketentuan Pasal 832, Pasal 833, Pasal 834,
Pasal 837 dan Pasal 1066 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Ketentuan Undang-Undang pada prinsipnya menegaskan bahwa
yang berhak menjadi ahli waris adalah keluarga sedarah dan
suami-istri yang masih hidup. Jika yang pertama tidak ada, maka
negara lah yang maju menjadi ahli waris. Menurut undang-undang,
seluruh ahli waris dengan sendirinya memperoleh hak milik atas
semua harta peninggalan pewaris.
Ahli waris memiliki hak untuk mengadakan gugatan kepada siapa
saja demi memperjuangkan hak warisnya. Gugatan yang berisi
tuntutan untuk memperoleh warisan yang didasarkan kepada hak
waris yang dimilikinya lebih dikenal dengan "heriditatis pelitio".
Gugatan semacam itu dapat ditujukan kepada setiap orang sejauh
menyangkut diserahkannya segala sesuatu yang timbul dari hak
waris termasuk di dalamnya segala hasil pendapatan dan ganti
rugi.

Pada dasarnya semua harta peninggalan adalah milik ahli waris,


dalam hal ini berlaku hukum waris menurut undang-undang.
Adapun ketetapan dalam wasiat tetap diakui keberadaannya. Oleh
sebab itu, setiap ahli waris dapat menuntut pembayaran dari suatu
harta warisan atau harta peninggalan. Artinya adalah semua harta
warisan atau harta peninggalan harus segera dibagi-bagi kepada
para ahli waris dalam keadaan utuh tidak terbagi-bagi, jadi dalam
satu kesatuan.
Undang-undang menetapkan adanya keluarga sedarah yang
berhak mewaris dan keberadaan suami atau istri (yang hidup
paling lama) dengan pewaris. Mereka yang berhak mewaris dapat
dibagi menjadi 4 (empat) golongan, yaitu:
a. Golongan I: Anak, atau keturunannya dan janda atau
duda, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal
852, Pasal 852 a, Pasal 852b, dan Pasal 515 KUH
Perdata.20 Bagian golongan pertama yang meliputi anggota
keluarga dalam garis lurus ke bawah, yaitu anak-anak
beserta keturunannya, janda dan/atau duda yang
ditinggalkan atau yang hidup paling lama, masing-masing
memperoleh satu bagian yang sama. Oleh karena itu, bila
terdapat empat orang anak dan janda maka mereka masing-
masing mendapat hak 1/5 bagian dari harta warisan.21
b. Golongan II: Bagian golongan kedua yang meliputi anggota keluarga
dalam garis lurus ke atas, yaitu orangtua, (bapak/ibu), saudara-saudara
atau keturunannya, yang jumlah bagiannya ditetapkan di dalam Pasal
854, Pasal 855, Pasal 856, dan Pasal 857 KUH Perdata. Bagi orangtua
ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan
kurang ¼ (seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka
menjadi ahli waris bersama saudara pewaris. Oleh karena itu, bila
terdapat 3 (tiga) orang saudara yang menjadi ahli waris bersama-sama
dengan ayah dan ibu, maka ayah dan ibu masing-masing akan
memperoleh 4 bagian dari seluruh harta warisan; sedangkan separuh dari
harta warisan itu akan diwarisi oleh tiga orang saudara yang masing-
masing memperoleh 1/6 bagian.
c. Golongan III: meliputi kakek, nenek, dan leluhur dalam garis lurus ke atas,
yang jumlah bagiannya telah ditetapkan dalam, Pasal 853, Pasal 858 ayat (1)
KUH Perdata. Apabila pewaris sama sekali tidak meninggalkan ahli waris
golongan pertama dan golongan kedua, maka dalam kondisi ini sebelum
harta warisan dibagi, terlebih dahulu harus di bagi 2 (dua) atau yang disebut
dengan kloving. Selanjutnya separuh yang satu merupakan bagian sanak
keluarga dari garis ayah pewaris, dan bagian yang separuhnya lagi
merupakan bagian sanak keluarga dari garis ibu pewaris. Bagian yang
masing-masing separuh hasil kloving itu harus diberikan pada kakek pewaris
untuk bagian dari garis ayah; sedangkan untuk bagian dari garis ibu harus
diberikan kepada nenek.
d. Golongan IV: Ahli waris golongan keempat meliputi anggota keluarga
dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat
keenam. Yang terdiri dari, paman dan bibi serta keturunannya, baik dari
garis pihak ayah maupun garis dari pihak ibu, yang bagiannya telah
ditetapkan dalam Pasal 858 ayat (2), Pasal 861, Pasal 832 ayat (2), Pasal
862, Pasal 863, Pasal 864, Pasal 865, dan Pasal 866 KUH Perdata. Cara
pembagian harta warisan golongan keempat sama dengan ahli waris
golongan ketiga, yaitu harta warisan dibagi 2 (dua), satu bagian untuk
paman dan bibi serta garis keturunannya dari garis ayah dan satu bagian
lagi untuk paman dan bibi serta keturunannya dari garis ibu.
Hukum Waris Adat
1. Pengertian Hukum Waris Adat

Hukum waris adat adalah proses penerusan dan peralihan


kekayaan materiil dan immaterial dari turunan ke turunan.

Menurut Soepomo, hukum waris adat memuat peraturan-peraturan


yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-
barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda
(immateriele goederen) dari suatu angkatan manusia (generatie)
kepada keturunannya.
Sistem keturunan yang terdapat dalam masyarakat Indonesia memiliki
kekhususan dalam hukum warisnya yang satu sama lain berbeda-beda,
yaitu:

a. Sistem Patrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis


keturunan pihak nenek moyang laki-laki. Di dalam sistem ini kedudukan
dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris sangat menonjol,
contohnya pada masyarakat batak. Yang menjadi ahli warisnya hanya anak
laki-laki sebab anak perempuan yang telah kawin dengan cara "kawin
jujur yang kemudian masuk menjadi anggota keluarga pihak suami
selanjutnya ia tidak merupakan ahli waris orangtuanya yang meninggal
dunia.
b. Sistem Matrilineal, yaitu sistem kekeluargaan yang menarik garis
keturunan pihak nenek moyang perempuan. Di dalam sistem kekeluargaan
ini pihak laki-laki tidak menjadi ahli waris untuk anak-anaknya. Anak-
anak menjadi ahli waris dari garis perempuan/garis ibu karena anak-anak
merupakan bagian dari keluarga ibunya, sedangkan ayahnya masih
merupakan anggota keluarganya sendiri, contoh sistem ini terdapat pada
masyarakat Minangkabau.

c. Sistem Parental atau bilateral, yaitu sistem yang menarik garis


keturunan dari 2 (dua) sisi, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu. Di
dalam sistem ini kedudukan anak laki-laki dan perempuan di dalam hukum
waris adalah sama atau sejajar. Artinya, baik anak laki-laki maupun anak
perempuan merupakan ahli waris dari harta peninggalan orangtua mereka.
2. Unsur-unsur Hukum Waris Adat

Unsur-unsur waris adat yang mendiami Negara Indonesia terdiri atas:


pewaris; harta warisan; dan ahli waris. Berikut akan diuraikan beberapa
unsur-unsur tersebut, yaitu:
a. Pewaris

Pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia dan


meninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih
hidup, baik keluarga melalui hubungan kekerabatan, perkawinan maupun
keluarga melalui persekutuan hidup dalam rumah tangga. Pengalihan harta
kepada keluarga yang disebutkan terakhir ini biasanya bersifat jaminan
keluarga yang diberikan oleh ahli waris melalui pembagiannya. Oleh
karena itu, yang tergolong sebagai pewaris adalah: (1) orangtua atau
ayah/ibu, (2) saudara-saudara yang belum berkeluarga atau yang sudah
berkeluarga tetapi tidak mempunyai keturunan, dan (3) suami atau istri
yang meninggal dunia.
b. Harta warisan

Harta warisan adalah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang


yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. Harta warisan itu terdiri atas:

1) Harta bawaan atau harta asal;

2) Harta perkawinan;

3) Harta pusaka yang biasa disebut mbara-mbara nimana dalam hukum


waris adat suku Kaili di Sulawesi Tengah.

4) Harta yang menunggu, yaitu harta yang akan diterima oleh ahli waris,
tetapi ahli waris yang akan menerima itu tidak diketahui keberadaannya.
c. Ahli waris

Ahli waris adalah orang yang berhak mewarisi harta peninggalan pewaris,
yakni; anak kandung, orangtua, saudara, ahli waris pengganti (pasambei),
dan orang yang mempunyai hubungan perkawinan dengan pewaris (janda
atau duda). Selain itu, dikenal juga anak angkat, anak tiri, dan anak luar
kawin, yang biasanya diberikan harta warisan di antara mereka, selain itu,
biasa juga diberikan harta dari pewaris, baik melalui wasiat maupun
melalui hibah.
3. Asas-asas Hukum Waris Adat

Ada 5 (lima) asas dalam hukum waris adat, yaitu:

a. Asas ketuhanan dan pengendalian diri Yaitu adanya kesadaran bagi para
ahli waris bahwa rezeki berupa harta kekayaan manusia yang dapat
dikuasai dan dimiliki merupakan karunia Tuhan atas keberadaan harta
kekayaan.
b. Asas kesamaan dan kebersamaan hak
Asas ini merupakan asas yang menentukan bahwa setiap ahli waris
memiliki kedudukan yang sama sebagai orang yang berhak utnuk
mewarisi harta peninggalan pewarisnya, seimbang antara hak dan
kewajiban tanggung jawab bagi setiap ahli waris untuk memperoleh harta
warisannya.

c. Asas kerukunan dan kekeluargaan


Asas ini menentukan bahwa, para ahli waris mempertahankan untuk
memelihara hubungan kekerabatan yang tentram dan damai, baik dalam
menikmati dan memanfaatkan harta warisan tidak terbagi maupun dalam
menyelesaikan pembagian harta warisan terbagi.
d. Asas musyawarah dan mufakat
Asas musyawarah dan mufakat, yaitu para ahli waris membagi harta
warisannya melalui musyawarah yang dipimpin oleh ahli waris yang
dituangkan dan bila terjadi kesepakatan dalam pembagian harta warisan,
kesepakatan itu bersifat tulus ikhlas yang dikemukakan dengan perkataan
yang baik yang keluar dari hati nurani pada setiap ahli waris.
e. Asas keadilan
Asas keadilan yaitu asas yang berdasarkan status, kedudukan, dan jasa,
sehingga setiap keluarga pewaris mendapatkan harta warisan, baik bagian
sebagai ahli waris maupun bagian sebagai bukan ahli waris, melainkan
bagian jaminan harta sebagai anggota keluarga pewaris.
HUKUM ISLAM
AKAN DI BAHAS OLEH
DOSEN YANG BERSANGKUTAN

Anda mungkin juga menyukai