Anda di halaman 1dari 22

HUKUM DAGANG

DR. I GUSTI PUTU ANOM KERTI SH MKN


SURAT BERHARGA

Dalam praktik perdagangan, pembayaran dapat dilakukan dengan menggunakan


uang tunai (uang chartal) atau dengan surat-surat berharga (uang giral), seperti
Cek dan Bilyet Giro. Dalam transaksi perdagangan antar negara atau antar
pulau, sering pula digunakan Wessel (bank draft atau bill of exchange).
Pembayaran hutang juga tidak jarang menggunakan instrument Surat Sanggup
(promissory notes), dan sebagainya. Instrumen hukum tersebut di atas disebut
Surat Berharga (commercial paper). Intinya, pembayaran dalam transaksi
perdagangan tidak selalu berupa uang tunai, tetapi juga menggunakan Surat
Berharga.
A. KONSEP DASAR

Surat Berharga dalam Bahasa lain disebut pula sebagai commercial paper
atau negotiable instrument. Dikatakan surat berharga karena surat
tersebut memiliki harga' atau nilai ekonomis tertentu. Dikatakan
commercial paper, karena surat tersebut memang seringkali tidak hanya
dijadikan pengganti as at means of extending credit in terms of money.
Penegasan Hoeber memang tidak memberikan definisi secara jelas, tetapi
dari penegasan itu dapat diketahui bahwa yang dimaksud commercial
paper adalah surat yang berfungsi menggantikan uang tunai.
B. HAKIKAT SURAT BERHARGA

Pada hakekatnya surat berharga adalah kontrak dan sekaligus benda Dengan
demikian, bagi surat berharga berlaku dua ketentuan hukum, yaitu hukum
perjanjian (contract law) dan hukum kebendaan (property law).
Surat berharga disebut sebagai kontrak, karena di dalamnya terkandung janji
(promises) dari pihak-pihak yang terlibat (pembuat atau penandatangan
Misalnya, dalam sebuah wesel, seorang tertarik (drawee) yang telah
melakukan akseptasi mempunyai kesanggupan dan karenanya berkewajiban
membayar wesel tersebut pada saat jatuh tempo (time instrument) atau pada
saat diunjukkan oleh pembawa (demand instrument). Bila drawee tidak
membayar penerbitnya (drawer) tersebut berkewajiban untuk membayar
kepada pemegang surat tersebut (payee).
Dilihat dari bentuknya, surat berharga termasuk dalam klasifikasi formal conract."
Hal ini dapat dilihat dari ketentuan perundang-undangan yang mempersyaratkan
bentuk (form) tertentu dari surat berharga tersebut. Persyaratan mengenai bentuk
yang ditetapkan oleh undang-undang dimaksudkan untuk lebih menjamin
penggunaan surat berharga sebagai pengganti uang tunai (misalnya bentuk cek atau
wesel), atau sebagai surat utang (promissory notes dan certificate of deposit).
Misalnya bentuk wesel (draft atau wissel) dan cek (check) disebutkan di dalam
Pasal 100 dan 178 KUHD.
Bentuk surat sanggup (promissory notes) disebutkan di dalam Pasal 174 KUHD,
sedangkan bentuk certificate of deposit (sertifikat deposito) diatur di luar KUHD,
khususnya di dalam peraturan perundang-undangan di bidang perbankan. yang
menerbitkan surat tersebut (pada surat sanggup) atau kepada perintah membayar
ditujukan (pada wesel atau cek).

Sebagai suatu kontrak dan sekaligus sebagai benda, surat berharga mempunyai 2
(dua) fungsi utama, yaitu sebagai instrumen kredit, di mana di dalamnya terdapat
janji-janji berkenaan dengan pembayaran sejumlah uang, dan juga berfungsi sebagai
pengganti uang tunai karena di dalamnya terkandung hak atas penuntutan sejumlah
uang. Hakekat surat berharga sebagai benda yang mudah dialihkan pemilikannya
menyebabkan surat tersebut dapat diperdagangkan."
C. HUBUNGAN HUKUM DALAM LEMBAGA SURAT
BERHARGA
Sebagai suatu kontrak, penerbitan surat berharga melahirkan hubungan
hukum antara pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Meskipun surat
berharga memiliki eksistensinya sendiri, namun sebagai pengganti uang
tunai atau sebagai instrumen kredit, biasanya penerbitan surat berharga
terkait dengan suatu perikatan pokok. Misalnya, wesel digunakan untuk
membayar harga barang yang diimport. Cek digunakan untuk membayar
harga pelayanan jasa hukum atau jasa lainnya.
Surat sanggup diterbitkan sebagai janji dari seseorang debitur untuk membayar
kembali kredit yang telah dinikmatinya. Sertifikat deposito diterbitkan karena
seseorang bersedia menyimpan uangnya di bank untuk jangka waktu tertentu.
Meskipun penerbitan surat berharga biasanya terkait dengan suatu perikatan
pokok, tidak berarti bahwa kedudukan surat berharga bersifat assessor
sebagaimana Sertifikat Hak Tanggungan atau hak jaminan hutang lainnya. Bila
surat berharga bersifat assesoir, maka berakhirnya atau batalnya perikatan
pokokakan mengakibatkan berakhirnya atau batalnya surat berharga. Hal ini akan
sangat merugikan pihak ketiga yang membeli surat berharga di Bursa Efek.
Sebagaimana sudah disebutkan di atas, bahwa surat berharga merupakan
instrumen yang dapat diperjualbelikan. Oleh karenanya, bila eksistensi surat
berharga digantungkan (assesoir) pada peristiwa pokoknya, hal itu akan sangat
merugikan pemegang surat berharga yang tidak tahu menahu bahwa perikatan
pokoknya dibatalkan. Sebagai contoh, untuk membayar harga pembelian atau
import barang, seorang pembeli membayar dengan wesel yang berjangka waktu
(time instrument). Penjual barang yang membutuhkan uang sebelum jatuh tempo
wesel tersebut kemudian menjualnya kepada orang lain yang beriktikad baik.
Karena suatu sebab, jual beli barangnya dibatalkan, padahal wesel sudah terlanjur
dijual. Jika karena pembatalan jual beli barang menyebabkan wesel ikut batal,
maka pembeli wesel akan sangat dirugikan karena ia telah membayar harga wesel
tersebut kepada penjual wesel.
Jika pada saat jatuh tempo wesel ia (pemegang wesel) datang kepada akseptan
atau penerbit, dan akseptan atau penerbit menolak dengan alasan wesel batal
karena perikatan pokoknya telah dibatalkan, maka jelas pemegang wesel akan
kehilangan uang yang telah diserahkan kepada penjual wesel tersebut. Apalagi
jika wesel itu telah dialihkan beberapa kali oleh para endosannya. Itu sebabnya,
berakhirnya atau batalnya perikatan pokok tidak serta merta menyebabkan
berakhirnya atau batalnya wesel.
Hubungan hukum dalam lembaga surat berharga ditentukan oleh jenis atau
macam surat berharga yang bersangkutan. Dalam wesel, hubungan hukum terjadi
antara penerbit atau penarik (drawer), para endosan, dan pemegang terakhir atau
payee. Jika tertarik (drawee) telah melakukan akseptasi, maka tertarik juga
termasuk salah satu pihak yang berkewajiban membayar wesel kepada
pemegangnya.
Biasanya penarik mempunyai dana pada tertarik, sehingga berdasarkan
suatu kesepakatan ia mempunyai hak untuk menarik dananya dengan cara
memerintahkan kepadanya (tertarik) untuk membayar kepada pihak ketiga,
yaitu penerima atau pemegang wesel (payee). Selanjutnya jika penerima
berkeinginan untuk mendapatkan uang tunai, tetapi surat wesel tersebut
belum jatuh tempo, ia dapat menjualnya kepada pihak ketiga lainnya
dengan discount rate tertentu. Dengan penjualan itu ia menyerahkan
(endors) kepada pihak ketiga berikutnya. Demikian seterusnya, sampai pada
pemegang terakhir, yang pada saat jatuh tempo berhak untuk memperoleh
pembayaran sebagaimana disebutkan di dalam surat wesel tersebut.
Pemegang terakhir adalah kreditur wesel. Sedangkan para endosan,
akseptan, dan penarik wesel, semuanya adalah para debitur wesel. Namun
perlu dicatat, bahwa seorang tertarik (drawee) yang tidak melakukan
akseptasi, ia tidak berkewajiban untuk membayar wesel tersebut pada saat
jatuh tempo.
Dalam lembaga cek, hubungan hukum terjadi antara penarik tertarik
(drawer, yang selalu bank), dan penerima atau pemegang cek Biasanya
penarik mempunyai dana atau rekening di bank yang bersangkutan. Oleh
karena itu, ia mempunyai hak untuk menarik Kembali dana yang
bersangkutan. Ketika ia (pemilik dana di bank) harus membayar sejumlah
uang kepada seorang pihak ketiga, ia dapat memerintahkan bank untuk
membayar kepada orang tersebut dengan dana yang ia simpan di bank yang
bersangkutan.
Penarikan dana dengan cek dapat dilakukan jika sebelumnya telah
disepakati bahwa dana tersebut dapat ditarik dengan menggunakan cek.
Namun bila penarik tidak mempunyai dana yang cukup bank dapat menolak
untuk membayar. Dalam hal ini penarik berkewajiban untuk menanggung
pembayaran cek 'kosong' tersebut. Dengan demikian, para debitur cek
adalah tertarik (bank) dan penarik sendiri.
Dalam surat sanggup, hubungan hukum terjadi antara penerbit dan
pemegang surat sanggup. Biasanya surat sanggup diterbitkan oleh orang
yang telah mendapatkan fasilitas pinjaman. Untuk melunasi pinjaman
tersebut ia diminta untuk menerbitkan surat sanggup. Permintaan penerbitan
surat sanggup ini terjadi karena mungkin pemberi pinjaman tidak ingin
terlalu terikat dengan tanggal jatuh tempo yang disanggupi oleh penerima
pinjaman. Dengan memegang surat sanggup ia dapat memperoleh uang
tunai dengan menjual surat sanggup tersebut sebelum jatuh tempo.
Oleh karena surat sanggup pada dasarnya berisi pertanyaan kesanggupan
dari penerbit sendiri, 19 maka debitur surat sanggup sesungguhnya adalah
penerbitnya sendiri. Dalam hal surat sanggup tersebut telah dialihkan oleh
pemegangnya dengan cara endosemen, maka para endosan juga merupakan
debitur atau para debitur dari surat sanggup yang bersangkutan.

Hubungan hukum yang timbul dari lembaga surat berharga berakhir dengan
pembayaran dari surat yang bersangkutan. Kecuali jika terjadi sengketa
berkenaan dengan surat berharga tersebut, maka pengakhiran hubungan
hukum juga dapat diputuskan oleh Hakim yang memeriksa perkara yang
bersangkutan.
D. MACAM-MACAM SURAT BERHARGA

Dilihat dari pengaturan surat berharga yang dikenal di Indonesia, macam-macam


surat berharga dapat dikelompokkan ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu surat
berharga yang diatur di dalam KUHD, dan surat berharga yang diatur di luar
KUHD.
Surat berharga yang diatur di dalam KUHD antara lain: wesel, surat sanggup, dan
cek. Apabila pembatasan pengertian surat berharga hanya sampai pada unsur atau
sifat mudah dialihkan (transferable) atau dapat diperdagangkan (negotaible), dan
tidak sampai pada fungsinya sebagai pengganti uang tunai atau sebagai pernyataan
berutang sejumlah uang, maka konosemen (bill of lading) dapat dimasukkan pula
sebagai surat berharga.
Surat berharga yang diatur di luar KUHD antara lain sertifikat deposito dan bilyet
giro. Sebagai salah satu bentuk surat berharga yang diakui dalam praktik,
sebenarnya legalitas bilyet giro belum begitu kuat, karena sampai saat ini
pengaturan bilyet giro baru pada level Surat Edaran dan Surat Direktur BI, yaitu:
SEBI No. 4/670/UPPB/Pb tgl 24 Januari 1972, yang disempurnakan dengan SK Dir
28/32/KEP/DIR 4 Juli'95 dan SE 28/32/UPG 4 Juli 1995, serta SE 2/10/DASP 8
Juni 2000.
Sebagai surat edaran, maka perubahan pengaturannya menjadi sangat fleksibel
tergantung pada kebijakan Bank Indonesia sendiri dalam melaksanakan Undang-
Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Seharusnya, apabila
pembentuk hukum konsisten, maka pengaturan bilyet giro, semestinya dicantumkan
dalam undang-undang, karena dalam lembaga bilyet giro tersebut terdapat
hubungan hak dan kewajiban sebagaimana halnya dalam surat berharga, khususnya
cek. Sebagaimana telah dikemukakan tentang surat berharga sebagai formal
contract, maka bentuk (form) bilyet giro sebagai alternatif cek juga seharusnya
diatur di dalam undang-undang, bukan di dalam Surat Edaran BI.

Anda mungkin juga menyukai