Anda di halaman 1dari 22

Kelompok 6:

1.Dwi Lutfi Windiasari 1843700480


2.Izzy Januar Caesar P 1843700495
3.Muhammad Isdar 1843700484
4.Novianti Listiani 1843700481
5.Tika Wisudawati Saputri 1843700479
6.Abdul Aziz 1843700473
7.Riska 1843700476
8.Maya Marsela 1843700474
FARMAKOTERAPI
ASMA
Definisi Asma

Asma merupakan
gangguan peradangan
kronis pada saluran
udara yang
menyebabkan sumbatan
aliran udara dan episode
berulang berupa mengi,
sesak nafas, sesak
dada, dan batuk.
Epidemiologi
 Di amerika, 14 sampai 15 juta orang mengidap
asma, dan kurang lebih 4,5 juta di antaranya adalah
anak-anak.
 Di Indonesia?
 Merupakan salah satu penyakit utama yang
menyebabkan pasien memerlukan perawatan. Baik
dirumah sakit maupun di rumah.
 Setengah dari semua kasus asma berkembang
sejak masa kanak-kanak, sedangkan sepertiganya
pada masa dewasa sebelum umur 40 tahun.
 Dapat dimulai pada segala usia, mempengaruhi pria
dan wanita tanpa kecuali, dan bisa terjadi pada
setiap orang pada segala etnis.
Faktor Resiko Asma

Stress

Alergen

Makanan

Virus

Umur

Genetik

Jenis Kelamin
Penyebab Gejala
Spasme Otot
Asma

Bronkokontriksi

Diameter ↓ Kecepatan
Bronkiolus ↓ Aliran Udara
• Inspirasi → aktif

•Ekspirasi →pasif
Sesak lebih parah
saat Ekspirasi
Mudah kolaps saat
ekspirasi
Patofisiologi
Asma diawali ketika ada suatu alergen seperti HDM yang
merangsang pelepasan mediator inflamasi yang kemudian
mengaktifkan sel imun di sel target di saluran nafas, yang
kemudian menimbulkan bermacam-macam efek seperti
bronkokontriksi, hipersekresi mukus, dan stimulasi refleks saraf.
Pada asma terjadi mekanisme hiperreponsif bronkus dan
inflamasi, kerusakan sel epitel, kebocoran mikrovaskuler dan
kerusakan saraf.
Hiperresponsif bronkus merupakan respon bronkus yang
berlebihan berupa penyempitan bronkus akibat suatu
rangsangan. Limfosit t memiliki peran penting dalam patogenesis
asma, karena adanya suatu alergen akan melalui dendrit
kemudian dipresentasikan ke sel T berikatan dengan reseptor sel
T (TCR) CD4 dan CD8 yang kemudian melepaskan mediator
inflamasi seperti IL-2, IL-3, IL-4, IL-13, TNF-α, dan TGF-β
Manifestasi Klinik
ASMA KRONIK
• Asma klasik ditandai dengan episode dispenia yang disertai
dengan bengek, tetapi gambaran klinik asma beragam. Pasien
dapat mengeluarkan sempit dada, batuk (terutama pada
malam hari), atau bunyi saat bernafas. Hal ini sering terjadi
saat latihan fisik tetapi dapat terjadi secara spontan atau
berhubungan dengan alergen tertentu.
• Tanda-tandanya termasuk bunyi saat ekspirasi dengan
pemeriksaan auskulasi, batuk kering yang berulang, atau
tanda atopi.
• Asma dapat bervariasi dari gejala harian kronik sampai gejala
yang berselang. Terdapat keparahan dan remisi berulang, dan
interval antar gejala dapat mingguan, bulanan, atau tahunan.
• Keparahan ditentukan oleh fungsi paru-paru dan gejala
sebelum terapi disamping jumlah obat yang diperlukan untuk
mengontrol gejala
ASMA PARAH AKUT
• Asma yang tidak terkontrol dapat berlanjut menjadi keadaan
akut ketika inflamasi, edema saluran udara, akumulasi mukus
berlebihan, dan bronkospasmus parah menyebabkan
penyempitan saluran udara yang serius yang tidak responsif
terhadap terapi bronkhodilator biasa.
• Pasien mungkin mengalami kecemasan dan mengeluhkan
dispnea parah, nafas pendek, sesak dada, atau rasa terbakar.
Mereka mungkin hanya dapat mengatakan beberapa kata
dalam satu nafas. Gejala tidak responsif terhadap penanganan
yang biasa.
• Tanda termasuk bunyi yang terdengar dengan auskultasi saat
inspirasi san ekspirasi, batuk kering yang berulang, takhipnea,
kulit pucat atau kebiruan dan dada yang mengembang disertai
dengan retraksi interkostal dan supraklavilar. Bunyi nafas
dapat hilang bila obstruksi sangat parah.
Terapi
A. Tujuan Terapi
ASMA KRONIK
Tujuan penanganan asma kronik:
1. Mempertahankan tingkat aktivitas normal (termasuk latihan
fisik)
2. Mempertahankan fungsi paru-paru (mendekati) normal
3. Mencegaj gejala kronis dan yang mengganggu (misalnya:
batuk atau kesulitan bernafas pada malam hari, pada pagi hari,
atau setelah lathan berat)
4. Mencegah memburuknya asma secara berulang dan
meminimalisasi kebutuhan untuk masuk ICU atau rawat inap
5. Menyediakan farmakoterapi optimum dengan tidak ada atau
sedikit efek samping
6. Memenuhi keinginan pelayanan terhadap pasien dan keluarga.
ASMA PARAH AKUT
Tujuan penanganan adalah sebagai berikut:
1. Perbaikan hipoksemia signifikan
2. Pembalikan cepat penutupan saluran udara (dalam hitungan
menit)
3. Pengurangan kecenderungan penutupan aliran udara yang
parah timbul kembali
4. Pengembangan rencana aksi tertulis jika keadaan memburuk.
Terapi Non Farmakologi
• Pendidikan pasien adalah wajib untuk meningkatkan kepatuhan
pengobatan, manajemen diri keterampilan, dan penggunaan
layanan kesehatan
• Pengukuran obyektif aliran udara obyektif dengan pengukur
aliran puncak rumah mungkin tidak meningkatkan hasil pasien.
NAEPP menganjurkan pemantauan DTP hanya untuk pasien
dengan asma persisten berat yang mengalami kesulitan
mempersepsikan obstruksi jalan napas.
• Menghindari pemicu alergi yang diketahui dapat memperbaiki
gejala, mengurangi pengobatan gunakan, dan kurangi BHR.
Pemicu lingkungan (misalnya, hewan) harus dihindari di pasien
yang sensitif, dan perokok harus didorong untuk berhenti.
• Pasien dengan asma berat akut harus menerima oksigen untuk
mempertahankan PaO2 lebih besar dari 90% (> 95% pada
kehamilan dan penyakit jantung). Dehidrasi harus diperbaiki;
berat jenis urin dapat membantu mengarahkan terapi pada
anak-anak ketika penilaian status hidrasi sulit dilakukan.
Terapi Farmakologi

1. Agonis β2
2. Kortikosteroid
3. Metilxantin
• Teofilin tampaknya menghasilkan bronkodilatasi melalui
fosfodiesterase nonselektif inhibisi. Methylxanthine tidak efektif
oleh aerosol dan harus dikonsumsi sistemik (secara oral atau
IV). Teofilin lepas lambat lebih disukai untuk pemberian oral,
sedangkan bentuk kompleknya dengan ethylenediamine
(aminofilin) ​lebih disukai sediaan parenteral karena
meningkatkan kelarutannya. Teofilin IV juga tersedia.
• Teofilin dieliminasi terutama oleh metabolisme melalui enzim
CYP P450 (terutama CYP1A2 dan CYP3A4) dengan 10% atau
kurang diekskresikan melalui ginjal. Enzim sitokrom P450 hati
rentan terhadap induksi dan inhibisi dari pengaruh lingkungan
dan obat-obatan. Pengurangan yang signifikan secara klinik
pada bersihan disebabkan oleh ko-terapi dengan simetidin,
eritromisin, klaritromisin, allopurinol, propranolol,
siprofloksasin, interferon, tiklopidin, zileuton, dan obat lain.
Beberapa senyawa yang meningkatkan bersihan adalah
rifampisin, karbamazepin, fenobarbital, fenitoin, daging yang
dipanggang dengan arang, dan merokok.
4. Anti kolinergik
• Ipratropium bromida dan tiotropium bromida merupakan inhibitor
kompetitif reseptor muskarinik. Zat ini menghasilkan bronkodilatasi
hanya pada bronkokontriksi yang dimediasi kolinergik.
Antikolinergik merupakan bronkodilator efektif tetapi tidak sekuat
agonis β2.
• Waktu untuk mencapai bronkodilatasi maksimum dari ipratropium
aerosol lebih lama dari pada agonis β2 aksi pendek aerosol (2 jam
vs 30 menit). Dengan demikian hal ini memberikan efek atau
manfaat yang kecil dalam keadaan klinik karena efek beberapa
bronkodilator terlihat dalam 30 detik, 50% dari respon maksimum
muncul dalam 3 menit dan 80% respon maksimal tercapai dalam
30 menit durasi kerja Ipratropium bromida adalah 4 hingga 8 jam.

5. Kombinasi terapi pengontrol


• Advair merupakan sediaan kombinasi yang mengobati inflamasi
dan bronkokontriksi asma persisten sedang hingga parah.
Kombinasi flutikason (100, 250, atau 500 ucg) dengan salmeterol
dosis tetap (50 μg) mempunyai onset yang tepat (dalam satu
minggu), dan salmoterol dapat mengurangi dosis kortikosteroid
hidup hingga 50% pada pasien asma persisten.
Definisi PPOK
Menurut “The National Heart, Lung and Blood Insitute (NHLBI)”
dan WHO, PPOK didefinisikan sebagai penyakit yang ditandai
oleh terbatasnya saluran udara yang progresif yang tidak
sepenuhnya dapat pulih kembali. Kondisi paling umum yang
menyebabkan PPOK adalah bronkitis kronis dan enfisema.
Manifestasi PPOK
•Gejala awal PPOK termasuk batuk kronik dan produksi
sputum: pasien dapat mengalami gejala ini selama beberapa
tahun sebelum berkembangnya dispnea.
•Pemeriksaan fisik menunjukkan hasil normal pada pasien yang
berada pada tahap PPOK yang lebih ringan. Bila keterbatasan
aliran udara menjadi parah, pasien dapat mengalami sianosis
membran mukosa, “barrel cheest” karena pengembangan
paru-paru berlebuhan, peningkatan laju respirasi istirahat,
nafas dangkal, dan penggunaan otot respirasi pelengkap.
•Pasien dengan PPOK yang memburuk dapat mengalami
dispnea yang lebih parah, peningkatan volume sputum, atau
peningkatan kandungan nanah pada sputum.
1

Terapi farmakologi kronik PPOK


Baru 0:Resiko 1:Ringan 2:Sedang 3:Parah 4:Sangat parah
• Gejala
Karakterist kronik • FEV1 /FVC • FEV1 /FVC • FEV1 /FVC • FEV /FVC <70 %
1

ik • Paparan <70 % <70 % <70 % • FEV1<30% atau


terhadap • FEV1≥80 % • 50 % <FEV1 • 30 % <FEV1 adanya kegagalan
faktor • Dengan <80% <50% respirasi kronik
risiko atau tanpa • Dengan atau • Dengan atau atau gagal jantung
• Spirometri tanpa gejala tanpa gejala kanan
gejala
normal
Dari faktor risiko hindari faktor risiko, vaksinasi, influenza, vaksin pneumokokus

Tambahkan bronkodilator aksi pendek jika diperlukan


Tambahkan penanganan reguler dengan satu atau
lebih bronkodilator aksi panjang
Ditambahkan rehabilitasi
Tambahkan glukokortikoid
inhalasi jika keadaan terulang
Tambahkan
oksigen jangka
panjang jika terjadi
gagal pernafasan
kronik
Pertimbangkan
penanganan
melalui operasi
Terapi PPOK
•Gejala awal PPOK termasuk batuk kronik dan produksi
sputum: pasien dapat mengalami gejala ini selama beberapa
tahun sebelum berkembangnya dispnea.
•Pemeriksaan fisik menunjukkan hasil normal pada pasien yang
berada pada tahap PPOK yang lebih ringan. Bila keterbatasan
aliran udara menjadi parah, pasien dapat mengalami sianosis
membran mukosa, “barrel cheest” karena pengembangan
paru-paru berlebuhan, peningkatan laju respirasi istirahat,
nafas dangkal, dan penggunaan otot respirasi pelengkap.
•Pasien dengan PPOK yang memburuk dapat mengalami
dispnea yang lebih parah, peningkatan volume sputum, atau
peningkatan kandungan nanah pada sputum.
Terapi PPOK Yang Memburuk
1. Bronkodilator
• Dosis dan frekuensi bronkodilator ditingkatkan pada keparahan akut untuk
memberikan peredaan gejala. Agonis β2 aksi pendek lebih disukai karena onset aksi
yang cepat. Zat antikolinergik dapat ditambahan jika gejala bertahan meskipun dosis
agonis ditingkatkan β2.
• Bronkodilator dapat diberikan melalui MDI atau nebulisasi dengan efek yang serupa.
Nebulisasi dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan dispnea parah yang tidak
dapat menahan nafas setelah pemakaian MDI.
• Bukti klinis yang mendukung penggunaan teofilin saat keadaan memburuk hampir
tidak ada, dan oleh karenanya penggunaan teofilin sebaiknya dihindari
2. Kortikosteroid
• Hasil pengujian klinik menyarankan pada pasien dengan PPOK yang memburuk
secara akut untuk menerima kortikosteroid oral atau intravena dalam jangka pendek.
• Terlihat bahwa terapi jangka pendek (9-14 hari) sama efektifnya dengan terapi jangka
panjang dan dengan resiko efek samping yang lebih rendah. Jika terapi dilanjutkan
lebih dari 2 minggu, jadwal oral yang dturunkan bertahap sebaiknya diberikan untuk
menghindari supresi poros hipotalamus-pituitari-adrenal
TERIMAKASIH 

Anda mungkin juga menyukai