Anda di halaman 1dari 22

BAB I LAPORAN KASUS

A. IDENTIFIKASI Nama Umur / Tanggal Lahir Jenis kelamin Berat Badan Tinggi Badan Agama Alamat Kebangsaan MRS B. ANAMNESA (alloanamnesis dengan ibu penderita, 26 April 2011) Keluhan Utama Keluhan Tambahan : Kejang : Demam : Anak R : 2 tahun : laki-laki : 13 kg : 87 cm : Islam : Jl. Kentang RT 10 RW 05 Pagaralam Sumatera Selatan : Indonesia : 24 April 2011

Riwayat Perjalanan Penyakit 4 hari sebelum MRS, penderita mengeluh demam, demam tidak terlalu tinggi, batuk (-), pilek (-), sulit menelan ada, muntah ada, sebanyak 2 kali dalam 1 hari, isi apa yang diamakan, sebanyak gelas belimbing, muntah tidak menyemprot, bab cair tidak ada, bak seperti biasa, keluar cairan dari telinga (-) , nafsu makan menurun ada, kejang tidak ada. Penderita lalu dibawa ke praktek dokter umum, diberi obat paracetamol sirup dan obat racikan, penderita mengalami perbaikan. Demam turun dan penderita tidak muntah lagi. Penderita tidak minum obat lagi karena merasa sudah baikan.

8 jam SMRS, penderita mengeluh demam tidak terlalu tinggi, tiba-tiba, terusmenerus, batuk (-), pilek(-), mual (-), muntah(-), nafsu makan menurun ada, keluar cairan dari telinga (-), BAB cair (-), BAK seperti biasa (-), nafsu makan menurun, kejang ada 1 kali, berupa kejang fokal hanya pada kedua tangan penderita, berupa kejang tonik, kejang berlangsung selama 1-2 menit, setalah kejang penderita sadar. Lalu penderita dibawa ke RSMH 2 jam SMRS, penderita kejang, kejangnya seluruh tubuh, tonik klonik, mata penderita berdelik samping kiri, frekuensinya 1 kali, lamanya < 5 menit, dengan temperature tubuh ketika masuk 37, 50 C. Setelah kejang penderita sadar. Penderita dirawat di bagian neurologi anak sejak tanggal 24 April 2011, selama perawatan penderita mendapatkan terapi sehingga demam turun (temperatur berkisar 36.5-370 C) dan kejang (-) Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat kejang demam sebelumnya disangkal. Riwayat trauma pada kepala sebelumnya disangkal. Riwayat Penyakit Dalam Keluarga Riwayat kejang demam pada keluarga disangkal Riwayat kejang pada keluarga disangkal Riwayat Kehamilan dan Kelahiran Masa kehamilan Partus Ditolong oleh Berat badan lahir Panjang badan lahir Keadaan saat lahir Riwayat Makan : Cukup bulan : Spontan : dokter : 4300 gram : 52 cm : Langsung menangis

Susu formula : 0 - sekarang Bubur bayi Nasi tim Nasi Tengkurap Duduk Berdiri Berjalan Kesan Riwayat Imunisasi BCG DPT Polio Hepatitis B Campak Kesan C. : 1 kali, scar + (pada lengan kanan) : 3 kali : 4 kali : 3 kali : 1 kali : Imunisasi dasar lengkap : 4 - 6 bulan : 6 12 bulan : 12 bulan sekarang : 4 bulan : 8 bulan : 9 bulan : 1 tahun 5 bulan : Perkembangan motorik dalam batas normal

Riwayat Perkembangan

PEMERIKSAAN FISIK Tanggal pemeriksaan: 26 April 2011 Keadaan Umum Kesadaran Nadi Pernapasan Suhu Berat Badan Tinggi Badan Lingkar Kepala : Kompos mentis : 110 x/menit, reguler, isi dan tegangan: cukup : 24 x/menit : 36.5C : 13 kg : 87 cm : 48 cm (lingkar kepala dalam batas normal)

Status Gizi : BB/U TB/U BB/TB

: : 13/12.7x 100% : 102.36% :87/87 x100% : 100%

Kesan:13/12.7x100% : 102.36% Kesan gizi baik

Keadaan Spesifik Kepala Bentuk Rambut Mata : Normosefali, simetris, UUB menutup (+),UUB membonjol (-) : Hitam, lurus, tidak mudah dicabut. : Cekung (-), Pupil bulat isokor 3mm, reflek cahaya +/+, konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-). Hidung: Sekret (-), napas cuping hidung (-). Telinga Mulut : Sekret (-), nyeri tekan (-), nyeri tarik tragus (-) : Mukosa mulut dan bibir kering (-), sianosis (-). Faring hiperemis (+), granuler (-) Leher Thorak Paru-paru Inspeksi Perkusi Jantung Inspeksi Palpasi : Iktus kordis tidak terlihat : Thrill tidak teraba : Statis, dinamis simetris, retraksi -/: Sonor pada kedua lapangan paru : Pembesaran KGB (-), JVP tidak meningkat.

Tenggorokan : Tonsil hiperemis, T2-T2, detritus (-)

Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronki (-), wheezing (-).

Auskultasi : HR: 110 x/menit, irama reguler, BJ I-II normal, bising (-) Abdomen

Inspeksi Palpasi Perkusi

: Datar : Lemas, hepar dan lien tidak teraba : Timpani

Auskultasi : Bising usus normal Lipat paha dan genitalia Ekstremitas : Pembesaran KGB (-) : Akral dingin (-), sianosis (-), edema (-), capillary refill < 2 detik. Pemeriksaan Neurologis Fungsi motorik Pemeriksaan Gerakan Kekuatan Tonus Klonus Reflek fisiologis Reflek patologis Fungsi sensorik GRM Tungkai Tungkai Kiri Lengan Kanan Luas +5 Eutoni + normal Lengan Kiri Luas +5 Eutoni + normal Kanan Luas Luas +5 +5 Eutoni Eutoni + normal + normal : Dalam batas normal

Fungsi nervi craniales : Dalam batas normal : Kaku kuduk tidak ada Tanda Brunzki 1 dan 2 tidak ada Tanda Lasegue tidak ada D. Hb Ht Leukosit LED Trombosit PEMERIKSAAN LABORATORIUM : 12,1 g/dl : 35 vol% : 9800/mm3 : 10 mm/jam : 317.000/mm3

Hematologi (24 April 2011)

Hitung jenis Natrium Kalium Klorida E.

: 0/2/0/53/45/2 : 131 mmol/l : 4,0 mmol/l : 94 mmol/l

DIAGNOSA BANDING Kejang Demam Komplek + tonsilo faringitis Akut Meningitis + tonsilo faringitis Akut Ensefalopati + tonsilo faringitis Akut F. DIAGNOSA KERJA Kejang Demam Kompleks + tonsilo faringitis Akut

F.

PENATALAKSANAAN IVFD D5 ,1/2 NS gtt 8 makro Stesolid sirup 3 x 2 mg Parasetamol sirup 3 x 120 mg (jika perlu)

G.

RENCANA PEMERIKSAAN Lumbal pungsi EEG

H.

PROGNOSA Quo ad vitam Quo ad functionam : dubia ad bonam : dubia ad bonam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.I Pendahuluan Kejang demam merupakan tipe kejang yang paling sering terjadi pada anak, dimana 2-5% anak pernah mengalami serangan kejang demam sebelum usia 5 tahun. Meskipun biasanya kejang hanya berlangsung beberapa menit saja, kejang demam sering menimbulkan kecemasan pada orang tua. Kecemasan tersebut meliputi peristiwa serangan kejang itu sendiri ataupun akibatnya di kemudian hari seperti berulangnya kejang, kejadian epilepsi atau kerusakan saraf akibat kejang. 1 Kejang merupakan bangkitan motorik yang terjadi akibat adanya mekanisme yang mencetuskan sel neuron untuk melepaskan muatan listrik secara berlebihan. Mekanisme yang mencetuskan kejang diantaranya adalah gangguan pada membran sel neuron yaitu gangguan keseimbangan natrium dan kalium atau akibat adanya ketidakseimbangan antara neurotransmitter eksitasi dan inhibisi. Salah satu bentuk dari neurotransmiter inhibisi adalah GABA (gama amino butyric acid). Apabila kadar GABA turun maka kemampuan inhibisi pada sinaps saraf juga akan menurun sehingga akan timbul kejang.1 2.2 Definisi dan Klasifikasi Kejang Demam Definisi dan klasifikasi kejang demam telah beberapa kali mengalami revisi. Livingstone (1954) membagi kejang demam menjadi kejang demam sederhana (KDS) dan epilepsi yang dicetuskan oleh demam. Ciri-ciri KDS menurut Livingstone adalah usia anak 6 bulan sampai 4 tahun, kejang kurang dari 15 menit, kejang umum, kejang dalam 16 jam pertama demam, neurologis normal, EEG yang dilakukan 4 minggu bebas panas hasilnya normal dan frekuensi kejang kurang dari 4 kali dalam setahun. Sedangkan kejang demam yang tidak memenuhi kriteria KDS dikelompokkan dalam epilepsi yang dicetuskan oleh demam.2

Menurut kesepakatan

UKK Neurologi

anak (2004),

kejang demam

didefinisikan sebagai bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranial. Klasifikasi kejang demam menurut UKK Neurologi adalah sama dengan klasifikasi menurut ILAE. Saat ini definisi dan klasifikasi kejang demam yang digunakan adalah menurut kesepakatan UKK Neurologi Anak 2004. 3,4 Nelson Ellenberg (1976) membagi kejang demam menjadi 2 yaitu benign febrile convulsion dan kejang demam kompleks. Dikatakan benign febrile convulsion bila serangan kejang pertama kali usia 6 bulan sampai 4 tahun, sebelumnya pernah panas tanpa kejang, kejang umum, lamanya kurang dari 10 menit, tidak ada riwayat keluarga dengan kejang demam, dan tidak ada gangguan neurologis. Kejang demam kompleks bila kejang fokal, lama lebih dari 10 menit, ada riwayat kejang demam dalam keluarga, lebih dari 1 kali kejang dalam 24 jam, ILAE membagi kejang demam menjadi KDS dan KDK. Disebut KDS bila kejang bersifat umum, tonik klonik, lama kejang kurang dari 15 menit dan tidak timbul kembali dalam 24 jam. Bila lama kejang lebih dari 15 menit dan bersifat fokal atau terjadi kembali dalam 24 jam maka diklasifikasikan dalam kejang demam kompleks (KDK).1 2.3 Epidemiologi Kejang demam merupakan tipe kejang yang paling sering dijumpai pada anakanak. Dua sampai lima persen dari seluruh anak mengalami sedikitnya satu kali kejang demam dalam lima tahun pertama kehidupan. Verity dkk dalam suatu penelitian di Inggris pada tahun 1970 hingga 1975 mendapatkan prevalensi kejang demam sebesar 2,3%. Di Jepang, Tsuboi tahun 1974-1980 mendapatkan prevalensi kejang demam yang lebih tinggi yaitu sebesar 8,3%. Eka dkk pada tahun 19992001 di RS Moh. Hoesin Palembang mendapatkan 429 penderita kejang demam, terutama pada usia 12-17 bulan. Pada umumnya penderita kejang demam tergolong kejang demam sederhana. Verity dkk melaporkan kejadian kejang demam sederhana terjadi pada 76,9% kasus

dan KDK 18,8% kasus. Delapan persen berlangsung lama (lebih dari 15 menit), dan 16% berulang dalam waktu 24 jam.1 Kejang demam bergantung pada umur, dimana umumnya dijumpai pada bayi dan anak. Usia anak yang tersering mengalami kejang adalah 6 bulan sampai 3 tahun. Keterkaitan umur dengan kejang demam adalah berhubungan dengan tingkat kematangan anatomi, fisiologi, dan biokomiawi otak. Delapan puluh lima persen kejang demam terjadi sebelum usia 4 tahun, terbanyak pada usia 17-23 bulan. Hanya sedikit yang mengalami kejang demam pertama sebelum usia 2 tahun dan hampir 90% mengalaminya sebelum usia 3 tahun. Perbandingan kejang demam antara anak laki-laki dan anak perempuan adalah hampir sama berkisar 1,1-1,4:1. 1 Faktor genetik mempunyai peranan dalam kejadian kejang demam. Berg dkk dalam penelitiannya melaporkan 24% penderita kejang demam memiliki kerabat tingkat pertama yang juga menderita kejang demam. Verity dkk melaporkan 26% penderita kejang demam memiliki riwayat keluarga dengan kejang demam, terutama pada orang tua atau saudara kandung. Van Esch dkk mendapatkan risiko terjadinya kejang demam pada saudara kandung penderita kejang demam adalah 10% yaitu sekitar 2 kali risiko rata-rata populasi. Lennox (1949) berpendapat bahwa kepekaan terhadap bangkitan kejang demam diturunkan oleh sebuah gen dominan dengan penetrasi yang tidak sempurna. Lennox (1949) berpendapat bahwa 41,2% anggota keluarga penderita mempunyai riwayat kejang sedangkan pada anak normal hanya 3%. 1,4 2.4 Etiologi Mekanisme yang mencetuskan terjadinya kejang pada kejang demam belum diketahui secara pasti. Banyak teori yang telah dikemukakan para ahli mengenai berbagai kemungkinan mekanisme terjadinya kejang pada kejang demam selain faktor demam itu sendiri. Berdasarkan beberapa literatur disebutkan, faktor yang mungkin memiliki peranan terhadap terjadinya kejang demam adalah faktor genetik, riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga, faktor perinatal

(asfiksia dan riwayat perawatan saat neonatus), faktor suhu, defisiensi besi, defisiensi seng, hiponatremia dan channelopathy.1,2 Walaupun mekanisme pasti kejang demam belum dapat diketahui, beberapa faktor yang berperan dalam mekanisme terjadinya kejang antara lain adalah gangguan pada membran sel neuron, gangguan pada mekanisme inhibisi prasinaps dan paska-sinaps serta gangguan pada sel glia.1,2 2.4.1 Gangguan pada membran sel neuron Potensial membran sel neuron bergantung pada permeabilitas sel tersebut terhadap ion natrium dan kalium. Membran neuron permeabel terhadap ion kalium dan kurang permeabel terhadap ion natrium sehingga dalam sel pada keadaan normal konsentrasi ion kalium cenderung tinggi sedangkan konsentrasi ion natrium rendah.2 Bila keseimbangan terganggu, sifat semi-permeabel berubah sehingga ion natrium dan kalium berdifusi melalui membran dan mengakibatkan perubahan kadar ion dan perubahan potensial yang menyertainya. Potensial aksi terbentuk di permukaan sel dan menjadi stimulus yang efektif pada bagian membran sel lainnya dan menyebar sepanjang akson.2 2.4.2 Gangguan pada mekanisme inhibisi prasinaps dan paska-sinaps Sel neuron saling berhubungan sesamanya melalui sinaps-sinaps. Potensial aksi yang terjadi di satu neuron dihantar melalui neuron akson yang kemudian membebaskan zat transmitter pada sinaps yang mengeksitasi atau menginhibisi membran paska-sinaps. Neurotransmitter eksitasi (asetilkolin, glutamat) mengakibatkan depolarisasi, zat neurotransmiter inhibisi (GABA, glisin) menyebabkan hiperpolarisasi neuron penerimanya. Jadi satu impuls dapat mengakibatkan eksitasi atau inhibisi pada transmisi sinaps.2 Tiap neuron berhubungan dengan sejumlah besar neuron lainnya melalui sinaps eksitasi atau inhibisi, sehingga otak merupakan struktur yang terdiri dari sel neuron yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi aktifitasnya. Pada keadaan normal didapatkan keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi. Gangguan terhadap keseimbangan ini dapat mengakibatkan terjadinya bangkitan kejang. Efek inhibisi

10

ialah meninggikan tingkat polarisasi membran sel. Kegagalan mekanisme inhibisi mengakibatkan terjadinya lepas muatan listrik yang berlebihan. Zat GABA mencegah terjadinya hipersinkronisasi melalui mekanisme inhibisi. Gangguan sintesis GABA mengakibatkan perubahan keseimbangan eksitasi-inhibisi sehinhgga dapat menimbulkan bengkitan kejang. 2 2.4.3 Gangguan pada sel glia Sel glia diduga berfungsi untuk mengatur ion kalium ekstraseluler di sekitar neuron dan terminal presinaps. Pada gliosis atau keadaan cedera, fungsi glia yang mengatur monsentrasi ion kalium ekstraseluler akan tergangggu yang akan mengakibatkan meningkatnya eksitabilitas sel neuron sekitarnya. Rasio yang tinggi antara kadar ion kalium ekstraseluler dibanding intraseluler dapat mendepolarisasi membran neuron.2 Astroglia berfungsi membuang ion kalium yang berlebihan saat aktifnya sel neuron. Sewaktu kejang kadar ion kalium meningkat sebanyak 5 kali atau lebih di cairan interstisial yang mengitasi sel neuron. Waktu ion kalium diserap oleh astroglia cairanpun ikut diserap dan sel astroglia menjadi membengkak (edema). Pada penelitian eksperimental, didapatkan bahwa bila kation dimasukkan ke dalam sel astrosit melalui pipet makro akan timbul letupan kejang pada sel neuron disekitarnya, hal ini merupakan suatu ilustrasi mengenai peranan sel astroglia dalam mengatur aktivitas neuronal.2 2.5 Patofisiologi Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan suatu energi yang didapatkan dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting ialah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak ialah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air.4 Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel

11

neuron dapat dilalui dengan ,mudah oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion didalam dan di luar sel, maka terdapatlah perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel.4 Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler, rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi, atau aliran listrik dari sekitarnya, perubahan patofosiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.4 Pada keadaan demam kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun Natrium melaui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan ini demikian besarnya sehingga dapat menyebar keseluruh sel maupun ke sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadilah kejang.4 Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya amabang kejang seorang anak menderita kejang pada suhu tertentu. Pada anak dengan amabng kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38C sedangkan pada anak dengan ambang kejang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40C atau lebih. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang.4 2.5.1 Peranan Besi dalam Terjadinya Kejang

12

Penelitian Gatti menyebutkan pada saat pasien terinfeksi oleh patogen akan terjadi pelepasan faktor inflamasi interleukin 1 (IL-1). IL-1 akan mempengaruhi hipotalamus dan hipokampus. IL-1 akan merangsang pusat pengaturan suhu di hipotalamus sehingga akan menimbulkan kenaikan suhu (demam) dan akan menimbulkan kejang bila sudah ada faktor risiko lain. Sementara di hipokampus IL-1 mempengaruhi neurotransmiter dan dapat menyebabkan timbulnya kejang bila sudah terjadi gangguan sebelumnya (sudah ada faktor pencetus) yang mempengaruhi faktor keseimbangan antara neurotransmiter eksitasi (glutamat) dan neurotransmiterinhibisi (GABA). Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi neurotransmiter GABA adalah adanya defisiensi besi yang menyebabkan menurunnya kadar GABA. Penurunan kadar GABA akan menyebabkan tidak efektifnya mekanisme inhibisi sehingga terjadi kejang.1 GABA adalah neurotransmiter inhibisi utama pada otak. GABA tertinggi konsentrasinya pada substansia nigra dan globus palidus. GABA dan glutamat dibentuk di otak dari molekul asam sitrat pada siklus kreb, reaksi ini dikenal sebagai shunt GABA. Sintesis GABA dipengaruhi oleh beberapa faktor. Diantaranya adalah peranan B6 dalam bentuk fosfat piridoksal yang merupakan kofaktor pada sintesis GABA dari asam glutamat. Faktor lain yang masih dalam penelitian adalah peranan besi pada sintesis GABA.1 Besi mempunyai peran yang sangat besar dalam proses pertumbuhan dan perkembangan otak yaitu dalam proses mielinisasi saraf otak. Besi juga mempunyai peran penting terhadap sistem neurotransmiter, diantaranya dalam proses sintesis serotonin, norepinefrin dan enzim GABA transaminase, serta sistem dopaminergik.
1

Batra (2002) melakukan penelitian untuk melihat efek defisiensi besi terhadap metabolisme GABA pada hewan percobaan. Pada penelitian tersebut didapatkan terjadinya penurunan aktifitas enzim untuk GABA (GABA shunt enzim) yaitu GDH, GAD dan GABA-T (glutamat dehidrogenase, glutamat dekarboksilase, dan GABA-transaminase) dan kadar GABA sendiri akibat adanya defisiensi besi. Penelitian ini menyimpulkan terdapat peranan besi terhadap GABA.1

13

2.6 Manifestasi Klinis Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi (diatas 38C) dan cepat yang disebabkan oleh infeksi diluar susunan saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis media akuta, bronkitis, furunkulosis dan lainnya. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonikklonik, tonik, klonik fokal atau akinetik. Wujud kejang dapat pula berupa mata berbalik ke atas disertai kekakuan atau kelemahan. Atau, terjadi gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekakuan. Kejang seluruh tubuh ini akan berhenti dengan sendirinya setelah mendapat pertolongan pertama. Setelah itu anak tampak capek, mengantuk, dan tidur pulas. Begitu terbangun kesadaran sudah pulih kembali. tanpa adanya kelainan saraf. 3,5 2.7 Diagnosis Kejang Demam Diagnosis kejang demam dapat ditegakkan melalui anamnesis yang lengkap pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Kejang demam paling sering terjadi pada anak usia antara 6 bulan hingga 5 tahun. Pada batas usia tersebut, kejang lebih banyak disebabkan oleh penyebab yang beragam. Namun, hal ini tidak berarti bahwa setiap anak diluar batas usia tersebut harus dilakkukan pemeriksaan scan otak dan pemeriksaan ekstensif lainnya. Kenaikan suhu yang tinggi dan cepat pada saat kejang kejadian kejang dapat menjadi patokan. Semakin tinggi demam akan dapat mencetuskan bangkitan kejang.6 Segera setelah kejang berhenti, seorang anak harus sadar kembali dan tanpa ditemukan adanya kelainan neurologis. Jika terdapat kelainan neurologis setelah kejang atau menjadi tidak sadar setelahnya, maka harus dipikirkan penyebab lain dari kejang.6

14

Pada kejang harus diperhatikan jenisnya (tonik atau klonik), bagian tubuh yang terkena (fokal atau umum), lamanya kejang berlangsung, frekuensinya, selang atau interval antara serangan, keadaan saat kejang dan setelah kejang (post-iktal). Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan, dan dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi atau mencari penyebab, seperti darah perifer, elektrolit dan gula darah.3 Pungsi Lumbal Pemeriksaan ialah 0,6-0,7%.3 Pada bayi kecil sering manifestasi meningitis tidak jelas secara klinis, oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada: 3 a. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan b. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan c. Bayi > 18 bulan tidak rutin Elektroensefalografi Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan terjadinya epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan.3 Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal.3 Pencitraan Foto X-ray kepala dan neuropencitraan seperti Computed tomography (CT) atau magnetic esonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan atas indikasi, seperti:3 a. Kelainan neurologik fokal menetap (hemiparesis) b. Parese nervus VI c. Papiledema cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis

15

2.8 Diagnosis Banding Menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus dipikirkan apakah penyebab dari kejang itu di dalam atau di luar susunan saraf pusat (otak). Kelainan di dalam otak biasanya karena infeksi,misalnya maningitis, ensefalitis, abses otak dan lain-lain. Oleh sebab itu perlu waspada untuk menyingkirkan dahulu apakah ada kelainan organik di otak. Baru setelah itu dipikirkan apakah kejang demam ini tergolong dalam kejang demam sederhana atau epilepsi yang diprovokasi oleh demam.4 2.9 Penatalaksanaan Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan datang kejang sudah berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu lebih dari 2 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.3 Obat yang praktis dan dapat diberikan orang tua atau di rumah adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 mg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak diatas usia 3 tahun.3 Kejang yang belum berhenti dengan diazepam rektal dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila 2 kali dengan diazepam rektal masih kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Dan disini dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg.3 Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/ menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, yaitu 12 jam setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin kijang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang intensif.3

16

Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demamnya dan faktor resikonya, apakah kejang demam sederhana atau kompleks.3 2.9.1 Pengobatan intermiten Yang dimaksud dengan pengobatan intermiten adalah pengobatan yang diberikan pada saat anak mengalami demam, untuk menceegah terjadinya kejang demam. Terdiri dari pemberian antipiretik dan antikonvulsan.3,7 a. Antipiretik Antipiretik pada saat demam dianjurkan, walaupun tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya kejang demam. Dosis asetaminofen yang digunakan berkisar 10-15 mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali 3-4 kali sehari.3 Asetaminofen dapat menyebabkan sindrom reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan, meskipun jarang. Parasetamol 10 mg/kg sama efektifnya dengan ibuprofen 5 mg/kg dalam menurunkan suhu tubuh.3 b. Antikonvulsan Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam menurunkan risiko berulangnya kejang (1/3-2/3 kasus), begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5C. 3 Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus. Fenobarbital, karbamazepin, fenitoin pada saat demam tidak berguna unutk mencegah demam.3

BAGAN PENGHENTIAN KEJANG DEMAM3

KEJANG Diazepam rectal 0,5 mg/kgBB atau Berat badan < 10 kg: 5 mg Berat badan > 10 kg: 10 mg

17

KEJANG Diazepam rectal (5 menit) Di rumah sakit

KEJANG Diazepam IV Kecepatan 0,5-1 mg.menit (3-5 menit) (Depresi pernafasan dapat terjadi)

KEJANG Fenitoin bolus IV 10-20 mg/kgBB Kecepatan 0,5-1 mg/kgBB/menit (pastikan venilasi adekuat)

KEJANG Transfer ke ICU

2.9.2 Pemberian obat rumat Pengobatan rumat adalah pengobatan yang diberikan secara terus menerus untuk waktu yang cukup lama.3,7 Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang. Dengan meningkatnya pengetahuan bahwa kejang demam benign dan efek samping pengguaan obat terhadap kognitif dan perilaku, profilaksis terus menerus diberikan dalam jangka pendek, kecuali pada kasus yang sangat selektif. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar (40-50%). Obat pilihan saat ini adalah asam valproat meskipun dapat menyebabkan hepatitis namun insidennya kecil.3

18

Dosis asam valproat 15-40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, fenobarbital 3-4 mg/kg per hari dalam 1-2 dosis.3 Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri sebagai berikut:3 Kejang lama > 15 menit Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya hemiparesis, paresis Todd, Cerebral Palsy, retardasi mental, hidrosefalus. Kejang fokal Pengobatan rumat dipertimbangkan bila: Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan Kejang demam > 4 kali per tahun Pengobatan rumat diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan. 2.10 Prognosis Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya baik dan tidak perlu menyebabkan kematian. Dua penyelidikan masing-masing mendapatkan angka kematian 0,46% dan 0,76% (Fridrerichsen dan Melchior, 1954; Frantzen dkk, 1968).4 Dari penilaian yang ada, frekuensi terulangnya kejang berkisar antara 25-50%, yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama. Apabila melihat kepadaumur, jenis kelamin, dan riwayat keluarga, Lennox-Buchthal (1973) mendapatkan:4 Pada anak umr kurang dari 13 tahun, terulangnya kejang pada wanita 50 % dan pria 33 % Pada anak umur antara 14 bulan dan 3 tahun dengan riwayat keluarga adanya kejang, terulangnya kejang ialah 50%, sedang pada tanpa riwayat kejang 25%.

19

Resiko yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang demam tergantung dari faktor: 4 Riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga Kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang demam Kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor tersebut di atas, maka dikemudian hari akan mengalami serangan kejang tanpa demam sekitar 13%, dibanding bila hanya terdapat 1 atau tidak sama sekali faktor tersebut diatas, serangan kejang tanpa demam hanya 2-3% saja. (Consensus Statement on Febrile Seizures, 1981).4

BAB III ANALISA KASUS


Seorang anak laki-laki berusia 2 tahun datang dengan keluhan utama kejang serta keluhan tambahan demam tidak terlalu tinggi. Dari anamnesa 4 hari sebelum MRS, penderita mengeluh demam, demam tidak terlalu tinggi, batuk (-), pilek (-), sulit menelan ada, muntah ada, sebanyak 2 kali dalam 1 hari, isi apa yang diamakan, sebanyak gelas belimbing, muntah tidak menyemprot, bab cair tidak ada, bak seperti biasa, keluar cairan dari telinga (-) , nafsu makan menurun ada,

20

kejang tidak ada. Penderita lalu dibawa ke praktek dokter umum, diberi obat paracetamol sirup dan obat racikan, penderita mengalami perbaikan. Demam turun dan penderita tidak muntah lagi. Penderita tidak minum obat lagi karena merasa sudah baikan. 8 jam SMRS, penderita mengeluh demam tidak terlalu tinggi, tibatiba, terus-menerus, menggigil (-), batuk (-), pilek(-), mual (-), muntah(-), nafsu makan menurun ada, keluar cairan dari telinga (-), BAB cair (-), BAK seperti biasa (-), nafsu makan menurun, kejang ada 1 kali, berupa kejang fokal hanya pada kedua tangan penderita, berupa kejang tonik, kejang berlangsung selama 1-2 menit, setalah kejang penderita sadar. Lalu penderita dibawa ke RSMH. 2 jam SMRS, penderita kejang, kejangnya seluruh tubuh, tonik klonik, mata penderita berdelik samping kiri, frekuensinya 1 kali, lamanya < 5 menit, dengan temperature tubuh ketika masuk 37, 50 C. Setelah kejang penderita sadar. Penderita dirawat di bagian neurologi anak sejak tanggal 24 April 2011, selama perawatan penderita mendapatkan terapi sehingga demam turun (temperatur berkisar 36.5-370 C) dan kejag (-). Dari riwayat penyakit dahulu penderita tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya, riwayat trauma juga tidak ada. Riwayat trauma ditanyakan karena merupakan salah satu penyebab terjadinya kejang. Dari anamnesis didapatkan bahwa kejang didahului oleh demam, kejang berlangsung kurang dari 5 menit dan, frekuensi dua kali, kejang pada awalnya bersifat fokal lalu pada kejang kedua bersifat umum, diantara dua kejang yang ada penderita dalam keadaan sadar, setelah kejang penderita sadar, dari data ini lebih mendekati sebagai kejang demam komples .Dari riwayat penyakit dahulu tidak ada riwayat kejang sebelumnya dan tidak ada riwayat trauma. Dari pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda infeksi intrakranial seperti gangguan kesadaran, muntah yang menyemprot, penonjolan UUB, tonus otot yang melemah maupun defisit neurologis. Akan tetapi pada pemeriksaan tenggorok didapatkan tonsil yang membesar (T2 T2) dan dinding faring posterior hiperemis , yang menunjukkan adanya proses peradangan di daerah tersebut. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan leukosit tidak meningkat dan dijumpai nilai yang normal

21

pada pemeriksaan natrium dan kalium sehingga diagnosis banding ensefalopati karena gangguan elektrolit dapat disingkirkan. Dari pemeriksaan fisik ketika penderita masuk rumah sakit didapatkan keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis, nadi 140 x/menit, reguler, isi dan tegangan: cukup, pernapasan 34 x/menit, dan suhu 37.5 c. Berdasarkan status mentalis dan status neurologikus tidak terlihat adanya penurunan kesadan maupun GRM yang positif sehingga dapat menyingkirkan kemungkinan meningitis sebagai penyebab demam. Suhu tubuh pasien ketika masuk tidak terlalu tinggi menunjukkan kemungkinan infeksi bukan berasal dari infeksi bakteri. Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan laboratoris maka pasien ini di diagnosa sebagai kejang demam komplek + tonsilofaringitis akut dan ditatalaksana dengan pemberian terapi intermiten yaitu stesolid sirup 3 x 2 mg, parasetamol sirup 3 x 50 mg. Dipertimbangkan juga melakukan pemeriksaan lumbal pungsi untuk memastikan penyebab demam bukan merupakan suatu proses intracranial. Prognosa pasien ini quo ad vitam bonam dan quo ad fungsionam bonam, kematian karena kejang demam belum pernah dilaporkan.

22

Anda mungkin juga menyukai