Anda di halaman 1dari 4

Melindungi Hak-hak Pejalan Kaki Kecelakaan yang terjadi hari Minggu, 22 Januari 2012 di Tugu Tani Jakarta sangat

menyita perhatian kita semua. Dimana seorang perempuan muda berusia 29 tahun mengemudikan mobilnya dalam keadaan tidak terlalu "sadar" akibat pengaruh konsumsi alkohol dan narkotika sebelumnya. Akibatnya, saat berniat menginjak rem malah gas yang tertekan kakinya, sehingga mobil menerobos dan menabrak 14 orang yang berdiri di trotoar. Sembilan nyawa korban melayang dalam kecelakaan maut ini. Miris sekali, pejalan kaki harus meninggal padahal ia berada dalam wilayah kekuasaan pejalan kaki (baca: trotoar). Selain disebabkan karena pengemudinya yang berada di dalam pengaruh narkotika, kondisi trotoar di tempat kejadian landai hampir sama dengan badan aspal. Kondisi trotoar yang seperti ini tidak melindungi pejalan kaki maupun yang berada di atasnya. Hak hidup dapat sewaktu-waktu terancam bahkan tercabut. Kejadian ini menunjukan bahwa pejalan kaki memang belum memperoleh perlindungan memadai. Padahal hak pejalan kaki telah diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Di sana dijelaskan pejalan kaki punya hak yang sama dengan pengendara bermotor, sehingga diwajibkan pemerintah daerah setempat menyediakan trotoar untuk pejalan kaki. Dalam Pasal 25 dari UU LLAJ ini disebutkan setiap jalan yang digunakan untuk lalu lintas umum wajib dilengkapi perlengkapan jalan berupa fasilitas untuk sepeda, pejalan kaki dan penyandang cacat. Kondisi faktual menunjukan bahwa ketersediaan fasilitas pedestrian yang layak di banyak kota besar di Indonesia, bukan hanya Jakarta, masih sangat minim. Minimnya fasilitas pejalan kaki yang aman dan nyaman di suatu kota merupakan cerminan pemerintah kota tersebut belum memahami UU LLAJ dan melindungi pejalan kaki. Di DKI Jakarta sendiri, masalah trotoar belum menjadi suatu kebijakan yang terintegrasi dengan kebijakan penataan kota itu sendiri. Kota yang tertata dengan baik cenderung mengedepankan pembangunan trotoar untuk kepentingan para pejalan kaki.

Menurut Prof. dr. I Dewa Putu Sutjana, M.Erg., PFK., Sp.Erg., pakar ergonomik Universitas Udayana, trotoar dibangun sebagai sarana bagi

pejalan kaki, pemakai kursi roda, dan kereta bayi, agar dapat berjalan dengan lancar, aman, nyaman, tidak mengganggu lalu-lintas, dan menghindari kecelakaan lalu-lintas. Secara singkat, Trotoar dibuat senyaman dan seaman mungkin (ergonomis) agar minat penduduk kota untuk berjalan kaki makin meningkat. Hal ini dapat mengurangi kemacetan jalan yang disebabkan makin banyaknya warga yang mengendarai mobil karena enggan berjalan kaki dan mengurangi angka kecelakaan. Sejatinya ketersediaan fasilitas pejalan kaki yang berkualitas akan meningkatkan kerekatan hubungan sosial dan kualitas hidup warga di suatu kota. Sehingga ini akan menjadikan suatu kota yang layak huni. Selain itu, semakin baik kualitas pelayanan angkutan umum, akan semakin banyak pengguna fasilitas pejalan kaki. Dari sisi hak asasi manusia, ketersediaan trotoar bagi pejalan kaki berkaitan erat dengan perlindungan terhadap hak hidup warga negara. Di sebagian besar kota besar di Indonesia trotoar memang tersedia. Tetapi pada banyak tempat, terutama pusat-pusat bisnis seperti pertokoan, pasar, dan jalan-jalan besar lainnya, hak pejalan kaki untuk berjalan di trotoar benar-benar terampas. Karena banyak toko-toko maupun pedagang lainnya meletakkan barang dagangannya menjorok keluar dari lokasi jualan, bahkan sampai memakan habis badan trotoar. Selain terampas oleh para pedagang, pedagang kaki lima, trotoar pun seringkali digunakan sebagai parkiran sepeda motor, terutama di depan ruko yang dijadikan sebagai perkantoran. Karena trotoar telah dipenuhi yang selayaknya tidak berada di sana, pejalan kaki akhirnya berjalan di tepi badan jalan. Sepintas ini memang tidak berbahaya. Tetapi kita tidak tahu seperti apa kondisi para pengendara kendaraan bermotor, sehingga tidak jarang kendaraan terlalu merapat ke pinggir trotoar. Ketika tubuh pejalan kaki akhirnya tertabrak, tentu tidak mungkin menuntut pertanggungjawaban dari pihak yang telah memakai trotoar meskipun faktanya merekalah yang mengakibatkan pejalan kaki tidak bisa berjalan di trotoar. Selain trotoar, masih ada zebra cross. Berdasarkan peraturan secara universal yang ada di dunia dan tentu saja termasuk di Indonesia, kendaraan harus mendahulukan pejalan kaki ketika di zebra cross. Namun hak ini pun tidak selalu didapatkan pejalan kaki. Bahkan saat di lampu merah dan ada zebra cross, pejalan kaki harus melintas dengan berhati-hati karena tidak jarang kendaraan yang nyelonong begitu saja padahal lampu

masih merah. Selain itu, sepeda motor seringkali berjalan di trotoar ketika terjadi kemacetan. Tidak ada kata lain, pemerintah harus bertindak cepat, mengembalikan hak pejalan kaki untuk dapat berjalan kaki di trotoar dengan nyaman dan tentu saja aman. Caranya, pemerintah daerah harus segera menertibkan toko-toko maupun ruko yang dijadikan perkantoran yang telah melanggar peraturan, memfasilitasi para pedagang kaki lima yang bertebaran di trotoar untuk mendapatkan tempat berdagang yang strategis. Setelah mendapatkan haknya, kiranya pejalan kaki pun ingat akan kewajibannya. Selalulah berjalan kaki di trotoar, tidak menyeberang jalan dengan sembarangan, tetapi menyeberanglah di tempat yang telah ditentukan, seperti tangga penyeberangan dan zebra cross. Dibutuhkan kerja sama semua pihak untuk menyelaraskan berjalannya antara hak dan kewajiban. Untuk menghindari pejalan kaki menjadi korban kecelakaan seperti yang terjadi di Jakarta, perlu dipertimbangkan membuat trotoar jauh lebih tinggi dari jalan raya. Sehingga badan kendaraan tertahan di tepi trotoar ketika terjadi kecelakaan ataupun nyelonong akibat human error. Selain itu, trotoar yang tinggi mengakibatkan kendaraan tidak bisa berjalan di atas trotoar ketika terjadi kemacetan. Trotoar atau jalur pedestrian merupakan salah satu contoh fasilitas publik. Seharusnya fasilitas publik dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Disamping mudah diakses, kondisi fasilitas publik seharusnya dapat digunakan oleh masyarakat sesuai dengan peruntukannya. Pengawasan terhadap kondisi fasilitas publik juga perlu mendapat perhatian, sehingga dapat tetap berfungsi dengan baik. Pengawasan di sini sesungguhnya dapat dilakukan baik oleh aparat pemerintah maupun dengan cara membangun kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga fasilitas publik yang telah ada. - Endang Srihadi Sejatinya ketersediaan fasilitas pejalan kaki yang berkualitas akan meningkatkan kerekatan hubungan sosial dan kualitas hidup warga di suatu kota. Sehingga ini akan menjadikan suatu kota yang layak huni.

Selain itu, semakin baik kualitas pelayanan angkutan umum, akan semakin banyak pengguna fasilitas pejalan kaki. Dari sisi hak asasi manusia, ketersediaan trotoar bagi pejalan kaki berkaitan erat dengan perlindungan terhadap hak hidup warga negara.

Anda mungkin juga menyukai