BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa
ini,
ketika
kondisi
dunia
telah
mengarah
pada
liberalisasi perdagangan, batas-batas negara sudah menjadi semakin menghilang. Liberalisasi di bidang perdagangan bagi sebagian besar negara di dunia dianggap sebagai suatu kesempatan emas untuk
meningkatkan pembangunan, kesejahteraan, dan kemakmuran rakyat dari negara tersebut. Usaha yang dilakukan tentu dengan berbagai cara yang berbeda. Salah satu usaha yang selalu dilakukan oleh negara adalah dengan menarik sebanyak mungkin investasi asing untuk masuk ke negaranya.
Menarik
investasi
asing
ke
dalam
suatu
negara
didasarkan
kepada suatu kepercayaan bahwa untuk menjadi suatu negara yang makmur, pembangunan nasional harus diarahkan ke bidang industri. Hal ini merupakan salah satu poin dari teori negara modern yang
Modern nations have gone through three stages of political development: the politics of primitive unification, the
politics welfare.
of
industrialization,
and
the
politics
of
social
Pada saat ini, kebanyakan negara masih berada dalam tahap unifikasi atau tahap industrialisasi. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Inggris, Perancis sudah mencapai tahap ketiga, yaitu tahap kesejahteraan rakyat (welfare programs). Kesemua negara tersebut menggunakan teori ini secara per tahap, dalam arti mereka melakukan unifikasi terlebih dahulu, dilanjutkan dengan industrialisasi, kemudian diakhiri dengan tahap kesejahteraan rakyat. Berbeda dengan negara-negara maju yang menggunakan teori Organski secara bertahap, Indonesia dalam penggunaan dan pencapaian teori tersebut melakukan dalam tiga tahap sekaligus dan sehingga kewajiban
seringkali
terjadi
pertentangan
antara
hak-hak
hubungan kepentingan individu dengan negara. Contoh yang paling mudah adalah ironisme penggalakkan investasi modal asing dengan daya tarik akan murahnya upah buruh di Indonesia, di satu sisi (tahap industrialisasi). Di sisi lain, gerakan pemerintah untuk lebih
memperhatikan hak dan kewajiban buruh beserta semakin besar pengaruh perserikatan buruh (tahap kesejahteraan rakyat). Akibatnya terjadi ketidak pastian hukum yang terlihat dari banyaknya demonstrasi yang dilakukan oleh buruh Indonesia.
Persoalan ini mengakibatkan para investor asing enggan untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya perusahaan industri yang menutup atau memindahkan usahanya
ke
negara
lain,
seperti
ke
Vietnam
dan
Cina.
Bahkan
ada
kecenderungan pula mereka yang sudah melakukan investasi sejak lama di Indonesia meninggalkan Indonesia dan memindahkan investasinya ke negara lain.
Masuknya modal asing bagi perekonomian Indonesia merupakan tuntutan keadaan baik ekonomi maupun politik Indonesia. Alternatif penghimpunan dana pembangunan perekonomian Indonesia melalui
investasi modal secara langsung sangat baik dibandingkan dengan penarikan dana internasional lainnya seperti pinjaman dari luar negeri. Modal asing tersebut juga merupakan alat untuk
mengintegrasikan ekonomi global. Selain itu, kegiatan investasi akan memberikan dampak positif bagi negara penerima modal, seperti
mendorong tumbuhnya bisnis, adanya alih teknologi dari investor baik dalam bentuk proses produksi maupun permesinan, dan menciptakan lapangan pekerjaan.
Oleh karena itu diperlukan lingkungan bisnis yang sehat untuk berinvestasi di Indonesia supaya dapat menarik investor baik dalam dan luar negeri serta menjaga agar perusahaan yang sudah ada tetap memilih lokasi di Indonesia. Menurut Prof.Erman Rajagukguk, terdapat 3 syarat untuk dapat menarik modal asing untuk berinvestasi di Indonesia, yaitu:
Untuk menarik modal asing dibutuhkan adanya keuntungan ekonomi bagi investor, seperti dekat dengan sumber daya alam, tersedianya bahan baku, tersedianya lokasi untuk mendirikan pabrik yang
cukup, serta tersedianya tenaga kerja yang murah dan pasar yang prospektif. Ditinjau dari aspek ekonomi, Indonesia secara umum masih memiliki keunggulan alamiah dan komparatif, yaitu: Pertama, negeri yang sangat luas dengan kekayaan alam yang melimpah.
Kedua, jumlah penduduk sangat besar yang membentuk pasar dan potensi tenaga kerja yang murah.
Selain
potensi-potensi ekonomi
ini,
International akan
Moneter
Fund
(IMF)
memperkirakan
Indonesia
mengalami
peningkatan
seperti negara asia lainnya. Syaratnya, pemerintah harus serius dalam melanjutkan reformasi dan bisa meyakinkan pasar.
Deputi
Direktur
IMF
Anoop
Singh
menyatakan,
dengan
dilaksanakannya kebijaksanaan secara konsisten, kepercayaan pasar akan pulih dan Indonesia pasti akan memenuhi sasaran pertumbuhan. Langkah-langkah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi adalah
dengan melaksanakan reformasti structural yang meliputi reformasi perbankan, restrukturisasi perusahan, serta reformasi hukum.
Investor asing akan datang ke suatu negara sangat dipengaruhi faktor stabilitas politik. Terjadinya konflik elit politik atau konflik masyarakat akan berpengaruh terhadap iklim investasi.
Penanam modal asing akan datang dan mengembangkan usahanya, jika negara yang bersangkutan terbangun proses stabilitas politik dan proses demokrasi yang institusional.
Memburuknya
iklim
investasi,
meningkatnya
country
risk
serta
belum mantapnya kondisi sosial politik mempunyai pengaruh yang signifikan terjadi terhadap arus modal. Kondisi di seperti inilah yang
dalam
perkembangan
politik
Indonesia.
Akibatnya
terjadi pelarian arus modal yang sempat memuncak dan disebutkan pernah mencapai 40 miliar dollar AS dalam beebrapa bulan setelah krisis financial tahun 1997.
Akibat lain, sampai saat ini Indonesia tidak termasuk negara terfavorit disusun untuk berinvestasi. AT Kearney Dari hasil pemeringkatan Indonesia yang tidak
perusahaan
tahun
2001,
termasuk dalam 25 negara terfavorit tujuan investasi, sementara Cina menduduki peringkat kedua setelah Amerika Serikat.
Untuk
mewujudkan
sistem
hukum
yang
mampu
mendukung
iklim
investasi diperlukan aturan yang jelas mulai dari izin untuk usaha sampai dengan biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk mengoperasikan perusahaan. Kata kunci untuk mencapa kondisi ini adalah adanya penegakan supremasi hukum (Rule of Law).
Faktor
accountability serta
dengan memperbaiki
melakukan sistem
secara hukum
konstitusional
merupakan suatu syarat yang sangat penting dalam rangka menarik investor. Pembahasan tentang hubungan hukum dengan investasi pada era reformasi ini berkisar bagaimana menciptakan hukum yang mampu untuk memulihkan kepercayaan investor asing untuk kembali
menanamkan modalnya di Indonesia dengan menciptakan certainty (kepastian), fairness (keadilan), dan efficiency (efisien).
Melalui
undang-undang
penanaman
modal
yang
baru
dengan
diundangkannya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) pada tanggal 29 Maret 2007, maka iklim investasi di Indonesia diharapkan dapat menarik kembali investor asing. UUPM ini disusun dengan memperhatikan perubahan perekonomian global dan
keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional, sehingga perlu didorong terciptanya iklim penanaman modal yang
kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan dan efisien dengan tetap mengacu pada kepentingan ekonomi nasional. Setidaknya terdapat 3 hal penting yang diperintahkan oleh konsideran UUPM, yaitu:
1. Tujuan yang ingin dicapai dalam penataan penanaman modal adalah kepentingan ekonomi nasional.
3.
Harmonisasi
peraturan
penanaman
modal
dengan
perubahan
perekonomian global dan kewajiban internasional Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional dengan tetap mengacu kepada kedaulatan politik dan ekonomi nasional.
Berkaitan dengan undang-undang penanaman modal yang baru serta kepastian hukum dalam investasi modal asing di Indonesia, sudah tentu masalah mengenai penyelesaian sengketa merupakan hal yang sangat krusial. Pada bab-bab selanjutnya akan dibahas penyelesaian sengketa investasi asing (antara investor asing dengan pemerintah) yang hanya terbatas kepada penyelesaian sengketa melalui forum
arbitrase ICSID (International Centre for Settlement of Investment Disputes). Sebagai salah bahan penelitian, untuk yang terkait dengan asas yang sudah sangat dikenal, dikenal 3 asas yang sudah dikenal secara umumnya dalam hukum perjanjian, yang telah diatur dalam ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata:
Asas yang disebut konsensualisme yang berarti perjanjian hanya terjadi apabila telah tercapai kesepakatan kehendak antara para pihak dalam suatu perjanjian
Asas Pacta Sunt Servanda yang mempunyai arti perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh para pihak, berlaku sebagai
Undang-undang tersebut.
bagi
pihak-pihak
yang
melakukan
perjanjian
Berlaku asas hukum perdata internasional yang lebih dikenal dengan Partij Autonomie yang mempunyai arti kebebasan bagi pihak untuk menentukan isi dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, kesusilaan, mengikat kepentingan umum dan ketertiban.
Berdasarkan
pemikiran
diatas,
penulis
menganggap
perlu
melakukan penelitian berjudul Kajian Hukum Dagang Internasional dalam Perkara Sengketa Dagang Internasional.
B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan
uraian
pada
latar
belakang
diatas,
maka
Bagaimana
penyelesaian
sengketa
dagang
internasional
dalam
BAB II
Berkembangnya usaha perniagaan di Indonesia telah membawa pada suatu segi yang lain dari perniagaan itu sendiri, yaitu harapan agar dapat menyelesaikan setiap sengketa yang timbul dengan cepat, murah dan sebaik-baiknya. Dengan pengertian sebaik-baiknya dimaksudkan, bahwa penyelesaian sengketa tersebut tidak akan mengganggu sengketa iklim bisnis antara pihak yang bersengketa di samping terjaminnya relasi business dari para pihak karena dipegang teguhnya
kerahasiaan.
Dalam kedudukan
arti
kata
sehari-hari
sengketa
dimaksudkan upaya
sebagai
dimana
pihak-pihak
yang
melakukan
perniagaan
mempunyai masalah, yaitu menghendaki pihak lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu tetapi pihak lainnya menolak untuk berbuat demikian. Praktek menunjukkan bahwa yang paling sering terjadi dalam perniagaan modern adalah dipenuhinya pengertian sengketa seperti didefinisikan dalam kontrak perniagaan tertentu termasuk pengertian default dan jika hal ini terpenuhi maka prosedur yang tertera dalam kontrak juga menjadi apabila berlaku. salah satu Misalnya pihak suatu tidak kontrak melakukan
menentukan
default
pembayaran pada hari jatuh tempo (due date) atau paling lambat 14 hari sesudahnya, di samping tanggung jawab selanjutnya akan dipikul juga oleh perusahaan induk (mother company) atau oleh negara dalam hal BUMN (cross default).
Dunia perniagaan modern berpaling kepada ADR sebagai penyelesaian sengketa alternatif karena keperluan perniagaan modern menghendaki penyelesaian sengketa yang cepat dan tidak menghambat iklim
perniagaan sedangkan lembaga penyelesaian sengketa yang tersedia (yaitu Pengadilan) dirasa tidak dapat mengakomodasikan harapan
demikian. Upaya penyelesaian sengketa alternatif ini merupakan upaya yang paling tua yang telah dikenal sejak bangsa Mesopotamia yang tinggal diantara sungai Euphrat dan Tigris yang menyelenggarakan satu bentuk perwasitan dimana Raja Mesilin memutus sengketa antara 2 suku yang bersengketa. kemacetan Demikianlah, maka alternatif ini banyak sebagai untuk menjadi good
menghindari pilihan.
penyelesaian
sengketa yang
Timbullah
lembagalembaga
dikenal
offices sebagai bentuk penyertaan pihak ketiga yang membawa pihak yang bersengketa kemeja perundingan apabila negosiasi sudah tidak mungkin lagi. Good offices inilah sebetulnya yang merupakan bentuk penyertaan pihak ke-3 yang paling awal sebagai penyedia fasilitas.
Dari tahapan good offices ini biasanya berlanjut ketahapan mediasi yang dalam arti dasarnya sudah melangkah ke pengertian menengahi sengketa sehingga lebih aktif dari good offices.
dibawa usulan penyelesaian sehingga secara lebih aktif membantu dan mengarahkan para pihak untuk sampai pada kesimpulan penyelesaian sengketa yang dapat disepakati pihakpihak. Apabila ternyata para pihak sudah tidak lagi melihat celah penyelesaian berdasarkan take and give diantara para pihak di samping bahwa sengketa tersebut tidak lagi mendapatkan kekeliruan penafsiran ataupun kekeliruan
konfirmasi dari keadaan faktual (fact finding) maka dalam keadaan seperti ini tahap penyelesaian sengketa yang paling wajar adalah melalui arbitrase.
Sebetulnya
dengan
memilih
upaya
ADR
pihak
yang
bersengketa
seharusnya mengacu kepada kontraknya sendiri (apabila ada), yaitu kepada klausul kontrak yang menunjuk kepada penggunaan pihak ke-3 untuk membantu apabila negosiasi tidak berhasil, yaitu melalui jasajasa baik, mediasi dan konsiliasi di satu pihak serta arbitrase di lain pihak. Sudah barang tentu masing-masing dengan tata cara
Apabila yang dipilih ternyata arbitrase maka karena sifat putusan arbitrase sebagai putusan yang mengikat, maka sebaiknya dalam
kontrak yang bersangkutan diatur dengan tegas dan terinci tentang perangkat ketentuan mana yang akan diikuti, apakah misalnya
ketentuan-ketentuan BANI, UNCITRAL dan sebagainya serta hukum yang dipilihnya (choice of law).
Sebetulnya dalam proses arbitrase, misalnya dalam ketentuan BANI, lembaga jasa baik, mediasi dan konsiliasi sudah tercakup. Hal ini disebabkan pada waktu berjalannya proses terutama pada sidang
pertama para arbiter secara berulang-ulang menawarkan agar pihak pemohon dan termohon bernegosiasi lagi apabila dianggap masih
mungkin dan apabila dianggap perlu dengan ikut sertanya arbiter. Sifat upaya damai akan tetap terbuka sepanjang proses, artinya pada setiap tahap pada masa berjalannya persidangan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan untuk melakukan pendekatan damai.
Apabila usaha ini tidak berhasil maka proses selanjutnya berjalan sebagaimana biasa.
Dalam praktek perdagangan internasional sering terjadi munculnya kasus-kasus yang mempersoalkan tentang hukum negara mana yang akan dipakai apabila terjadi suatu perselisihan. Jawaban atas persoalan ini adalah terletak pada persetujuan para pihak yang bersangkutan yang termuat dalam kontrak dimana mereka sepakat memuat klausula tentang hokum negara mana yang akan dipakai.
Apabila para pihak menunjuk arbitrase pada negara tertentu, ini berarti bahwa pengadilan negara tersebutlah yang memiliki yurisdiksi dalam menangani perkara. Implikasi lainnya adalah bahwa para pihak juga menginginkan hukum dari negara tersebut yang akan dipakai sebagai manakala hokum para yang pihak menguasai tidak kontrak. Sebaliknya dapat terjadi
secara
jelas
menyatakan
kehendaknya
tentang hukum negara mana yang akan dipakai dalam kontrak tersebut apabila terjadi sengketa.
Adanya bukti keinginan para pihak ditunjukkan oleh pengadilan yang merujuk kepada kontrak itu sendiri dan situasi yang menguasai atau mempengaruhi proses pembuatan kontrak itu sendiri.
Dengan lain perkataan, bahwa hukum yang umum berlaku bagi suatu kontrak adalah sistem hukum yang menunjukkan atas dasar hukum
tersebut kontrak dibuat atau transaksi berkaitan sangat dekat dengan sistem hukum tersebut. Berdasarkan hukum Indonesia pun pihak-pihak bebas mengadakan perjanjian arbitrase. Dapat dikatakan, bahwa setiap persoalan hak yang termasuk wewenang seseorang dapat diselesaikan melalui arbitrase.
Penanaman modal asing di Indonesia telah berlangsung sejak Indonesia merdeka. Rancangan undang-undang penanaman modal asing pertama kali diajukan pada tahun 1952, namun belum sempat diajukan karena jatuhnya cabinet tersebut. Pada tahun 1953 rancangan undangundang tersebut kembali diajukan tetapi ditolak oleh pemerintah kita. Secara resmi undang-undang yang mengatur mengenai investasi modal asing adalah ketentuan Undang-undang Nomor 78 Tahun 1958, namun karena pelaksanaan undang-undang tersebut banyak mengalami hambatan, undang-undang tersebut diperbaharui dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 15 Tahun 1960.
Pada
masa
pemerintahan
Soekarno,
terjadi
pergerakan
anti
kapitalis (lebih tepatnya anti Amerika Serikat) yang menganggap bahwa penanaman modal asing merupakan penghisapan kepada rakyat dan merupakan faktor penghambat revolusi, maka Undang-undang Nomor 15 Tahun 1960 ini dicabut dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 16 Tahun 1965. Sehingga mulai tahun 1965 hingga tahun 1967 terjadi kekosongan hukum. Baru kemudian pada tahun 1967, diundangkan Undangundang Nomor 1 Tahun 1967 yang kemudian mengalami perubahan serta penambahan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1970. Pada tahun 1986, pemerintah mengeluarkan Putusan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1986 yang diikuti dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Ketua BKPM Nomor 12 Tahun 1986 disusul dengan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1986. Selanjutnya pada tahun 1987, pemerintah merubah Keppres tersebut dengan Keppres Nomor 50 Tahun 1987 yang diikuti dengan pencabutan SK Ketua BKPM Nomor 12 Tahun 1986 diganti dengan SK Ketua BKPM Nomor 5 Tahun 1987, yang pada prinsipnya yang memberikan dalam BKPM
terhadap Dengan
syarat
adanya
teknis
penanaman
Indonesia,
mengeluarkan SK Ketua BKPM Nomor 09/SK/1989. Pada tahun 1992, telah dikeluarkan PP Nomor 17 Tahun 1992 yang mengatur mengenai antara lain penanaman modal asing di kawasan Indonesia Bagian Timur.
Perkembangan
selanjutnya
dalam
bidang
penanaman
modal
ini
kemungkinan bagi investor asing untuk memiliki 100% saham dari perusahaan asing di Indonesia serta membuka peluang usaha pada bidang-bidang yang sebelumnya masuk ke dalam bidang tertutup
(negative list). Perkembangan penanaman modal asing yang lain adalah mengenai Daftar Negatif Investasi (DNI) yang pada sebelumnya disebut Daftar Skala Prioritas (DSP) pemerintah telah melakukan perubahan dan menyederhanakan dengan mengatur bidang-bidang usaha yang
tertutup bagi penanaman modal dalam rangka investasi modal asing. Pada tahun 1998, DNI ini diatur dalam Keppres Nomor 96 Tahun 1998 dan Keppres Nomor 99 Tahun 1998. Kedua peraturan tersebut dirubah dengan Keppres Nomor 96 Tahun 2000 yang kemudian diubah lagi dengan Keppres Nomor 118 Tahun 2000. Perkembangan yang paling terakhir adalah dengan digantinya Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
bersifat internasional. Hal ini disebabkan adanya unsur asing di dalam perjanjian tersebut sehingga berada dalam ruang lingkup hukum perdata internasional.
Lantas hukum mana yang berlaku apabila terdapat unsur asing di dalamnya ?
Pada prinsipnya, perjanjian investasi modal asing di Indonesia dilakukan dengan adanya pemakaian asas kebebasan berkontrak sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata. Kebebasan dalam hal ini yaitu kebebasan bagi para pihak untuk menentukan pilihan hukum (choice of law), pilihan forum (choice of jurisdiction), dan pilihan domisili (choice of domisili). Selain itu dikenal juga istilah Partij Autonomie yang merupakan titik paut penentu pada
perjanjian-perjanjian internasional.
Partij Autonomie merupakan suatu keadaan dimana para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan pilihan, mereka dapat memilih sendiri hukum yang digunakan dalam perjanjian mereka.
Pilihan hukum adalah hukum yang dipilih para pihak dalam kaitan timbulnya sengketa sebagai akibat pelaksanaan hubungan hukumnya.
Terdapat
macam
pilihan
hukum
yang
dikenal
dalam
hukum
Namun, apabila tidak tercantum pilihan hukum dalam perjanjian internasional yang dibuat para pihak, maka pengadilan atau lembaga
arbitrase
harus
menggunakan
faktor-faktor
mana
yang
paling
Para pihak dalam suatu perjanjian internasional, secara umum menentukan pilihan forumnya kepada lembaga arbitrase dibandingkan dengan pengadilan biasa. Hal ini disebabkan dengan arbitrase, dapat ditemukan suatu posisi yang netral dan keputusan yang adil dalam memutus perselisihan sengketa (apabila terjadi) bagi para pihak. Untuk mengikatkan para pihak dalam suatu perjanjian yang didalamnya terdapat pilihan forum arbitrase, maka diperlukan suatu kesepakatan para pihak sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa. Bentuk dari kesepakatan ini dapat berupa:
1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian yang tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa. Bentuk klausula arbitrase ini lebih sering dikenal dengan istilah Pactum de Compromittendo.
2. Suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah timbul sengketa. Bentuk klausula ini dikenal dengan Acta van Compromise.
Dapat dilihat, perbedaan antara Pactum de Compromittendo dengan Acta van Compromise hanya terletak pada saat pembuatan perjanjian, namun tidak dari segi perjanjiannnya.
Sebelum membahas pengaturan penyelesaian sengketa penanaman modal di Indonesia, perlu kita ketahui ketentuan-ketentuan yang bersifat internasional yang mana merupakan hasil dari kesepakatan banyak negara di seluruh dunia. Dalam rangka untuk menarik investor asing untuk menanamkan 2 modalnya di Indonesia, terkait pemerintah telah
menandatangani
konvensi
penting
dengan
penyelesaian
sengketa antara investor asing melawan partner lokal dan antar investor asing melawan Pemerintah Republik Indonesia melalui forum arbitrase. Dua konvensi internasional tersebut adalah Konvensi New York 1958 (diratifikasi ICSID dalam Keppres No. on 34 the Tahun 1981) dan of
Konvensi
(ratifikasi
Convention
Settlement
Investment Disputes Between States and Nationals of Other States). ICSID dalam hal ini merupakan satu-satunya lembaga arbitrase asing yang hanya menangani sengketa investasi modal asing.
Pengaturan
mengenai
penyelesaian
sengketa
penanaman
modal
menurut UUPM diatur di dalam Bab XV tentang Penyelesaian Sengketa, Pasal 32 UUPM yang menyatakan:
(1) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal, para pihak terlebih dahulu menyelesaikan sengketa tersebut melalui musyawarah dan mufakat. (2) Dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaian sengketa tersebut dapat dilakukan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa atau pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal dalam negeri, para pihak dapat menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase berdasarkan kesepakatan para pihak, dan jika penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak disepakati, penyelesaian sengketa tersebut akan dilakukan di pengadilan. (4) Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa tersebut melalui arbitrase yang harus disepakati oleh para pihak. Dari Pasal 32 ayat (1), dapat diketahui penyelesaian sengketa melalui forum pengadilan ataupun arbitrase merupakan jalan terakhir bagi para pihak dalam perjanjian. Kata musyawarah dan mufakat dapat diartikan sebagai adanya proses mediasi, konsiliasi, serta
negosiasi. Pada umumnya ketiga proses tersebut sering dilakukan terlebih dahulu oleh para pihak apabila terjadi sengketa. Hal ini dikarenakan, untuk menyelesaikan perkara melalui pengadilan ataupun arbitrase seringkali memakan biaya, waktu, dan tenaga. Pada
prakteknya, ketiga proses tersebut digunakan terlebih dahulu sebelum diajukan ke forum pengadilan ataupun arbitrase.
Berdasarkan Pasal 32 ayat (3) dan (4), dapat ditarik intisari, yaitu dalam hal terjadi perselisihan sengketa penanaman modal asing terdapat 2 pihak:
1. Partner asing dengan partner lokal dalam kerja sama mereka atau suatu joint venture, atau;
Hal yang perlu diperhatikan adalah apabila terjadi perselisihan sengketa, apakah suatu negara akan tunduk pada keputusan
pengadilan negeri lain, karena hal ini berkaitan dengan masalah kedaulatan. Apakah dengan hal ini, kita menyerahkan kedaulatan kepada mereka begitu saja ?
Dengan menyelesaikan sengketa melalui arbitrase internasional, Indonesia dikatakan telah menyerahkan kedaulatannya kepada
arbitrase tersebut. Hal ini dikarenakan Indonesia tidak selalu harus mengabulkan luar setiap permohonan hal pelaksanaan ini dapat keputusan dari
arbitrase
negeri.
Mengenai
dilihat
ketentuan Pasal V Konvensi New York 1958 yang menetapkan syaratsyarat bagi tidak dapat dilaksanakannya keputusan arbitrase luar negeri di negara penandatangan konvensi. Dalam Pasal tersebut dipaparkan bahwa pengakuan dan pelaksanaan suatu putusan
arbitrase dapat ditolak berdasarkan permohonan pihak yang diminta untuk melaksanakan putusan tersebut. Penolakan ini dapat terjadi apabila pihak yang meminta penolakan tersebut dapat membuktikan hal-hal yang tercantum dalam Pasal V kepada pejabat yang
berwenang di tempat pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase tersebut diminta, yaitu:
b. Pemberitahuan yang tidak lazim tentang akan atau sedang berlangsungnya berkepentingan. proses arbitrase kepada pihak yang
d. Jumlah arbitrase atau prosedur arbitrase yang tidak sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan.
Pasal V ayat (2) Konvensi New York 1958 juga menentukan, bahwa pengakuan dan pelaksanaan dari suatu putusan arbitrase dapat juga ditolak apabila badan yang berwenang dari negara tempat pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase dimohon menemukan:
a. Pokok persengketaan yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase berdasarkan hukum negara itu.
b. Pengakuan atau pelaksanaan putusan akan bertentangan dengan kepentingan umum hukum negara itu.
Hal lain yang perlu diperhatikan, yaitu pada umumnya pemilihan pengadilan di tempat partner lokal berada seringkali ditolak oleh investor asing. Hal ini disebabkan investor asing beranggapan
pengadilan lokal tidak dapat dipercaya atau alasan hakim lokal yang tidak mengerti permasalahan investasi. Oleh karena itu, sengketa antar para pihak melalui dalam forum perusahaan arbitrase. joint venture seringkali ini
diselesaikan
Pemilihan
arbitrase
dilakukan dengan menunjuk badan arbitrase yang sudah ada ataupun dengan membentuk arbitrase ad hoc. Investor asing tersebut lebih memilih arbitrase luar negeri dikarenakan:
b. Pelaksanaan putusan arbitrase lebih bernilai dibandingkan dengan putusan pengadilan biasa.
c. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase bersifat rahasia dan tidak terbuka untuk umum.
d. Para pihak dalam penyelesaian melalui arbitrase bebas untuk memilih prosedur penyelesaian sengketa tersebut,
dibandingkan dengan pengadilan yang terikat dengan Hukum Acara Perdata yang sudah ada.
g. Dalam
penyelesaian
sengketa
melalui
pengadilan,
maka
keputusan pengadilan dapat disbanding ke Pengadilan Tinggi, bahkan sampai tingkat kasasi Mahkamah Agung.
h. Para
pihak
memiliki
keleluasan
untuk
sepakat
mengenai
Indonesia dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1968 (LN 1968-32) memberikan persetujuan atas Konvensi Tentang Penyelesaian
Perselisihan Antar Negara dan Warga Negara Asing mengenai Penanaman Modal tersebut. Konvensi ini sering disebut juga dengan Konvensi Washington yang disponsori oleh Bank Dunia atau Konvensi ICSID. ICSID mempunyai jurisdiksi atas sengketa yang sedang berlangsung antar negara penandatangan dengan warga negara dari negara
penandatangan lainnya berdasarkan Chapter II Konvensi ICSID, dengan memberikan suatu persetujuan bersama untuk mengajukan sengketa
Penyelesaian sengketa menurut ICSID ini dapat dibagi menjadi 2, yaitu melalui konsiliasi atau arbitrase.
Pertama, dengan
sengketa
melalui
konsiliasi yang
dilakukan atas
membentuk para
Komisi
Konsiliasi untuk
didasarkan
kesepakatan
berkewajiban
menjelaskan
masalah-
masalah yang menjadi sengketa dan usaha agar kedua belah pihak yang
bersengketa mencapai kesepakatan penyelesaian menurut syarat-syarat yang dapat diterima keduanya. Komisi tersebut dalam setiap proses, dapat memberikan rekomendasi untuk penyelesaian sengketa para pihak. Kedua, penyelesaian pasal 36 sengketa (1) warga yang melalui arbitrase bahwa negara diatur setiap dalam warga
ketentuan
menyatakan, dari
atau untuk
negara
melakukan
penyelesaian
sengketa secara
harus
mengajukan Jenderal
tersebut harus
Sekretaris
mengirimkan
Ketentuan tentang keabsahan arbitrase ini dimuat melalui KUH Perdata Bab kedelapan belas melalui Pasal 1851-1864. Syarat-syarat bagi para pihak untuk mengadakan perjanjian arbitrase tunduk pada peraturan yang sama seperti untuk menyelenggarakan perjanjian pada umumnya.
Dilihat dari proses saat terjadinya perselisihan, maka terdapat dua macam perjanjian arbitrase, yaitu :
1. Pada saat perselisihan sudah terjadi, maka para pihak sepakat memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Kesepakatan ini dituangkan dalam suatu Perjanjian Arbitrase dimana perjanjian bersangkutan harus dinyatakan dalam suatu dokumen tertulis yang ditandatangani para pihak, baik secara di bawah tangan atau di hadapan Notaris. Pernyataan tertulis itu harus memuat persoalan-
persoalan yang menjadi pokok perselisihan dan nama para arbiter dalam jumlah ganjil. Adanya pelanggaran dapat terhadap ketentuan batalnya
persyaratan
perjanjian
tersebut
mengakibatkan
permufakatan tersebut.
2. Saat
yang
lain
untuk
memilih
penyelesaian
sengketa
melalui
arbitrase, adalah menentukan sebelum lahirnya sengketa. Dengan lain perkataan ketentuan arbitrase dibuat untuk menyelesai kan perselisihan yang timbul di kemudian di hari (pactum hari de
comprometendo).
Misalnya
apabila
kemudian
timbul
perselisihan yang menyangkut perjanjian ini maka perselisihan dimaksud akan diselesaikan dengan jalan Arbitrase. Dalam
klausula arbitrase ini biasanya disebutkan jumlah para arbiter dalam satuan ganjil di samping bahwa keputusan arbitrase cara
merupakan
keputusan
terakhir
yang
mengikat
serta
pengangkatan para arbiter. Akibat perjanjian arbitrase ini adalah menghindari jalan ke Pengadilan. Dalam hal ini Pengadilan melepaskan yurisdiksinya. Dengan kata lain perkataan perselisihan hanya dapat diselesaikan oleh para arbiter. Untuk dapat merumuskan suatu klausula
arbitrase yang baik sudah barang tentu peranan ahli hukum atau ahli arbitrase akan banyak membantu. Karena, di dalam merumuskan suatu ketentuan yang terkandung dalam klausula tersebut harus sangat hati-hati agar pihaknya atau kedua pihak sama-sama puas dan sama-sama tidak merasa dirugikan. Khususnya di pusat-pusat
arbitrase internasional terdapat bentukbentuk standar klausula arbitrase yang dapat digunakan para pihak seperti antara lain; a. Standar klausula Arbitrase ICSID yang berbunyi: The parties here to consent to submit to the International Centre for Settlement of Investment Disputes any dispute in relation to or arising out of this Agreement for settlement by arbitration pursuant to the Convention on the Settlement of Invesment Disputes between States and Nationals of other States. b. Standar klausula Arbitrase menurut UNCITRAL (United Naturis Commission International Trade Law) : Any dispute, controversy or claim arising out of or relating to this contract, or the breach, termination or invalidity thereof, shall be settled by arbitration in accordance with the UNCITRAL Arbitration Rules at a present in force. c. Standar klausula Arbitrase menurut ICC (International Chamber of Commerce) : Any dispute arising in connection with the present contract shall be finally settled under the Rules of Conciliation and Arbitration of the International Chamber of Commerce by one or more arbitrators appointed in accordance with the said Rules. d. Standar Amerika klausula Serikat, Arbitrase AAA menurut ketentuan Arbitration nasional. Di
(American
Association)
memberikan klausula standar yang berbunyi sebagai berikut : Any controversy or claim arising out of or relating to this contract, or the breach thereof, shall be settled by arbitration in accordance with the Commercial Arbitration Rules of the A.A.A., and judgment upon the award rendered by the Arbitrator(s) may be entered in any court having jurisdiction thereof.
Di samping memberikan standar klausula kontrak yang bersifat umum di atas, AAA memberikan pula standar klausula atau Rules yang bersifat khusus bagi bidang komersial tertentu, misalnya The
Construction Industry Arbitration Rules, The Real Estate Valuation Arbitration Rules, The Rules of the General Arbitration Council of the Textile and Apparel Industries, The Securities Arbitration
Ketentuan standar di atas dapat dimodifikasi dalam memenuhi keinginan para pihak khususnya yang berhubungan dengan : 1. Pemilihan pakar (expert) pada panel arbitrator misalnya dalam permasalahan sebagainya shipping, atau construction, untuk sale of goods dan
persyaratan
menjamin
netralitas,
kewarganegaraan (bukan kewarganegaraan yang sama dengan pihak yang bersengketa dan sebagainya; 2. Untuk membatasi atau meluaskan lingkup sengketa yang dapat dicakupnya (scope of dispute subject arbitration); 3. Ketentuan-ketentuan khusus tentang pembayaran; 4. Memberikan kewenangan khusus bagi para arbitrator, dalam bentuk provisional remedies, specific performance, atau right to
consult witness; 5. Ketentuan-ketentuan proceeding) location); atau bahasa yang dipergunakan (language of
tempat
penyelenggaraan
arbitrase
(special
6.
Ketentuan-ketentuan arbitrase.
tentang
jangka
waktu
berlangsungnya
Di Indonesia, badan arbitrase nasional yang ada, yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) memberikan klausula sebagai
berikut : Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini akan diselesaikan dalam tingkat pertama dan terakhir menurut peraturan prosedur tersebut. Dalam hubungan bisnis kadang terjadi sesuatu yang berada di luar kehendak para pihak, sehingga salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada pihak lainnya, misalnya keterlambatan pengiriman barang. Contoh ini seringkali melahirkan perselisihan diantara mereka. Untuk menyelesaikan perselisihan ini maka akan sampai kepada persoalan hokum mana yang akan dipakai. Masalah ini tidaklah mudah karena pihak-pihak yang berasal dari negara-negara yang sistem hukumnya berbeda, cara penafsiran yang berlainan, serta latar belakang pendidikan hukum dari para ahli hukumnya akan BANI oleh arbitrase yang ditunjuk menurut peraturan
Dalam menghadapi kontrak semacam ini dimana timbul pertanyaan tentang hukum mana yang harus dipakai terdapat dua macam pilihan hukum, yaitu : (1) Pilihan hukum secara tegas, misalnya dalam klausula tambahan ditentukan, bahwa untuk perjanjian jual beli
diam-diam dimana para pihak tidak memilih hukum mana yang akan berlaku tetapi pilihan hukum itu akan tampak melalui penafsiran, isi kontrak atau dari kehendak para pihak, misalnya bagi Indonesia melalui Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata (asas kebebasan berkontrak). Apabila para pihak tidak memberi petunjuk apapun, maka hakimharus mencari hukum yang paling tepat untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Untuk kontrak
internasional dalam menentukan titik taut penentu,adalah apa yang dinamakan hukum dari pihak yang melakukan prestasi yang paling karakteristik (the most characteristic connection). Hukum dari pihak inilah yang akan dipakai, misalnya dalam hal jual beli yang melakukan prestasi yang paling karakteristik adalah pihak penjual. Ialah yang harusmenyediakan transportasi, barangnya, ia harus kepada
memproduksinya,
pengirimannya,
pengapalan
pembeli. Semua usaha ini yang menjadikanpihak penjual sebagai pihak yang paling karakteristik apabila dibandingkan dengan pihak pembeli yang hanya mengeluarkan uang. Kadang-kadang para pihak dalam kontrak setuju untuk
menyelesaikan sengketa mereka dengan tidak memakai hukum negara salah satu pihak tetapi memakai ketentuan hukum kebiasaan atau berdasarkan praktek-praktek perdagangan internasional yang sudah
umum dipakai. Inilah yang disebut Lex Mercatoria (the Laws of Merchant) atau the Law of International Trade. Unsur-unsur yang
dapat menjadi Sumber Hukum Arbitrase adalah Hukum Internasional Publik (Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional), Convention on the Settlement of Investment Disputes 1965, Ketentuanketentuan hukum yang seragam (Uniform Law on Sales on Goods 1964) dan The Convention on Contract for the International Sale of Goods 1980), Prinsip-prinsip Hukum Umum (Pacta Sunt Servada), Ketentuanketentuan Hukum Yang Dikeluarkan oleh Organisasi-organisasi
Internasional, misalnya Resolusi PBB yang mengurus soal perdagangan dan pembangunan, yaitu UNCTAD (United Nations Commission on Trade and Development), dan Kebiasaan-kebiasaan dalam Perdagangan
BAB III
PENUTUP
Pada
saat
ini,
penyelesaian
sengketa
investasi
modal
asing
melalui lembaga arbitrase internasional pada umumnya lebih memadai dibandingkan dengan penyelesaian sengketa melalui pengadilan umum. Di Indonesia, dengan telah diratifikasinya konvensi internasional terkait dengan penyelesaian sengketa investasi modal asing, maka iklim investasi di Indonesia menjadi lebih sehat. Hal ini
ditunjukkan dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang merupakan nilai positif bagi Indonesia dalam rangka menegakkan supremasi hukum serta sebagai daya tarik investor asing untuk berkeinginan menanamkan modalnya di Indonesia.
Penyelesaian sengketa investasi modal asing merupakan sebuah persoalan yang relatif ada bagi negara yang membuka diri terhadap investasi eksistensi pemasukan asing di negaranya. akan Negara-negara yang merasa besar bahwa bagi
investasi negara,
memberikan
implikasi rupa
yang
maka
akan
sedemikian
men-design
sistem
hukumnya agar mampu berkolaborasi dengan kepentingan investasi tanpa mengorbankan kepentingan bangsa dan negara. Indonesia sebagai negara yang juga membuka pintu investasi dalam upaya pemanfaatan pelauang investasi dan sebagai resiko bagian masyarakat internasional yang mau tidak mau harus membuka peluang investasi bagi pelaku usaha manapun dan darimanapun, juga telah meregulasi aturan-aturan
investasi,
terbaru
adalah
Undang-undang
tentang
Penanaman
Modal
No.25 Tahun 2007, Undang-undang tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian internasional Sengketa yang No. 30 tahun 1999, dan aturan hukum
diratifikasi
terkait
penyelesaian
sengketa