Anda di halaman 1dari 13

4

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Lamun Dugong (Thalassia hemprichii) Lamun dugong (Thalassia hemprichii) merupakan salah satu tumbuhan dari kelas Angiospermae dan termasuk ke dalam kelompok lamun. Lamun (seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut (Dahuri 2003). Berikut ini klasifikasi taksonomis dari lamun dugong (Thalassia hemprichii) menurut Phillips dan Menez (1988) dalam Soedharma (2007). Divisi Kelas Subkelas Ordo Famili Genus Spesies : Anthophyta : Angiospermae : Monocotyledoneae : Helobiae : Hydrocharitaceae : Thalassia : Thalassia hemprichii

Morfologi lamun dugong dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Lamun dugong (Thalassia hemprichii)


(Sumber: koleksi pribadi)

Lamun dugong memiliki jumlah yang cukup berlimpah dan sering dominan pada padang lamun campuran. Lebar kisaran vertikal intertidalnya mendekati 25 m. Lamun ini tumbuh pada substrat pasir berlumpur yang berbeda atau pasir medium kasar atau pecahan koral kasar (Dahuri 2003). Daun lamun dugong bercabang dua, tidak terpisah, berbentuk pita dan bertepi rata dengan

ujung daun membulat serta memiliki akar yang berbuku-buku yang pendek. Pada umumnya, lamun dugong ditemukan pada dasar berlumpur dan berpasir, hidup bersama dengan jenis lamun lain yaitu Enhalus acoroides dan Halophila ovalis (Setyawan et al. 2009). Pertumbuhan lamun diduga sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal seperti kondisi fisiologis dan metabolisme, serta faktor eksternal seperti zat-zat hara dan tingkat kesuburan pertanian. Kecepatan tumbuh daun lamun dugong adalah 4,51 mm hari-1 untuk daun baru maupun daun lama (Dahuri 2003). Lamun dugong mampu tumbuh dan berkembang dalam kondisi tak beroksigen (anoxia) atau berkadar oksigen rendah yang merupakan sifat habitat pasang surut yang dangkal. Hal ini disebabkan karena lamun ini mempunyai strategi metabolik (dengan mikrozoma akar aerobik) sehingga mampu berkoloni di habitat laut dangkal dengan berhasil dan mengusir sebagian kelompok tumbuh-tumbuhan lainnya (Romimohtarto dan Juwana 2007). Lamun yang dijumpai di Asia Tenggara berjumlah 20 jenis dan hanya 12 jenis lamun yang dijumpai di perairan Indonesia. Penyebaran padang lamun di Indonesia mencakup perairan Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Irian Jaya. Lamun dugong (T. hemprichii) merupakan spesies yang dominan dan dijumpai hampir di seluruh Indonesia (Dahuri 2003). Pemanfaatan lamun secara umum hingga saat ini yaitu sebagai bahan kerajinan, bahan kasur, atap rambai, bahan upholstery dan kemasan, pupuk, penyaring limbah, stabilisator pantai, bahan untuk pabrik kertas, sumber bahan kimia penting, dan fooder (makanan hewan/ternak) (KLH 2001). Ekosistem padang lamun sangat penting artinya bagi kehidupan penyu hijau

(Chelonia mydas) dan dugong (Dugong dugon), karena tumbuhan tersebut merupakan sumber makanan bagi kedua jenis hewan air itu. Thalassia hemprichii merupakan salah satu jenis lamun yang dikonsumsi oleh penyu hijau (Dahuri 2003). 2.2 Ekstraksi Senyawa Aktif Ekstraksi adalah pemisahan suatu zat dari campurannya dengan pembagian sebuah zat terlarut antara dua pelarut yang tidak dapat tercampur untuk

mengambil zat terlarut tersebut dari satu pelarut ke pelarut yang lain (Rahayu 2009). Sudjadi (1986) juga menyatakan bahwa ekstraksi merupakan teknik yang sering digunakan bila senyawa organik dilarutkan atau didispersikan dalam air. Pelarut yang tepat ditambahkan pada fase larutan dalam airnya. Larutan organik dan air akan terpisah dan senyawa organik akan mudah diambil ulang dari lapisan organik dengan menguapkan pelarutnya. Teknik ekstraksi bermanfaat untuk memisahkan campuran senyawa dengan berbagai sifat kimia yang berbeda. Ekstraksi meliputi distribusi zat terlarut diantara dua pelarut yang tidak dapat tercampur. ekstraksi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu aqueus phase dan organic phase. Cara aqueus phase dilakukan dengan menggunakan air, sedangkan cara organic phase dilakukan dengan menggunakan pelarut organik

(Rahayu 2009). Sifat penting yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah kepolaran senyawa yang dilihat dari gugus polarnya (seperti gugus OH, COOH, dan lain sebagainya). Hal ini yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah selektivitas, kelarutan, kemampuan tidak saling bercampur, kerapatan, reaktivitas dan titik didih. Ekstrak dan pelarut biasanya harus dipisahkan dengan cara penguapan, destilasi atau rektifikasi, maka titik didih kedua bahan tidak boleh terlalu dekat (Rahayu 2009). Menurut Kurnia (2010), ekstraksi dengan pelarut dapat dilakukan dengan cara dingin dan cara panas. Cara dingin yaitu metode maserasi dan perkolasi, sedangkan cara panas antara lain dengan refluks, soxhlet, digesti, destilasi uap dan infuse. Harborne (1987) mengelompokkan metode ekstraksi menjadi dua, yaitu ekstraksi sederhana dan ekstraksi khusus. Ekstraksi sederhana terdiri atas: a) Maserasi, yaitu metode ekstraksi dengan cara meredam sampel dalam pelarut dengan atau tanpa pengadukan; b) Perkolasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan; c) Reperkolasi, yaitu perkolasi dimana hasil perklorasi digunakan untuk melarutkan sampel di dalam perkulator sampai senyawa kimianya terlarut; d) Diakolasi, yaitu perkolasi dengan penambahan tekanan udara.

Ekstraksi khusus terdiri atas: a) Sokletasi, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan untuk melarutkan sampel kering dengan menggunakan pelarut bervariasi; b) Arus balik, yaitu metode ekstraksi secara berkesinambungan dimana sampel dan pelarut saling bertemu melalui gerakan aliran yang berlawanan; c) Ultrasonik, yaitu metode ekstraksi dengan menggunakan alat yang menghasilkan frekuensi bunyi atau getaran antara 25-100 KHz 2.3 Antioksidan Antioksidan adalah senyawa-senyawa yang mampu menghilangkan, membersihkan, menahan pembentukan ataupun memadukan efek spesies oksigen reaktif (Muchtadi 2001). Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi, dengan cara mencegah

terbentuknya radikal bebas. Antioksidan juga merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi, dengan mengikat radikal bebas, dan molekul yang sangat reaktif sehingga kerusakan sel akan dihambat (Winarsi 2007). 2.3.1 Fungsi antioksidan Penggunaan senyawa antioksidan juga antiradikal saat ini semakin meluas seiring dengan semakin besarnya pemahaman masyarakat tentang peranannya dalam menghambat penyakit degeneratif. Penyakit degeneratif yang ditimbulkan akibat efek dari radikal bebas seperti tekanan darah tinggi, jantung koroner, diabetes dan kanker yang didasari oleh proses biokimiawi dalam tubuh. Masalahmasalah ini berkaitan dengan kemampuan antioksidan untuk bekerja sebagai inhibitor (penghambat) reaksi oksidasi oleh radikal bebas reaktif

(Kuncahyo dan Sunardi 2007). Radikal bebas adalah atom atau molekul yang tidak stabil dan sangat reaktif karena mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital terluarnya. Untuk mencapai kestabilan atom atau molekul, radikal bebas akan bereaksi dengan molekul disekitarnya untuk memperoleh pasangan elektron. Reaksi ini akan berlangsung terus menerus dalam tubuh dan bila tidak dihentikan akan menimbulkan berbagai penyakit degeneratif (Andayani et al. 2008).

Radikal bebas yang dihasilkan secara terus menerus selama proses metabolisme normal, dianggap sebagai penyebab terjadinya kerusakan fungsi selsel tubuh yang akhirnya menjadi pemicu timbulnya penyakit degeneratif. Reaksi radikal bebas secara umum dapat dihambat oleh antioksidan tertentu baik alami maupun sintetis (Juniarti et al. 2009). Di dalam tubuh kita terdapat senyawa yang disebut antioksidan yaitu senyawa yang dapat menetralkan radikal bebas seperti enzim Superoksida Dismutase (SOD), gluthatione peroksidase, dan katalase. Selain itu, antioksidan dapat diperoleh dari asupan makanan yang banyak mengandung vitamin C, vitamin E dan betakaroten serta senyawa fenolik (Andayani et al. 2008). Menurut Hariyatmi (2004), antioksidan memiliki beberapa fungsi yaitu sebagai pemutus rantai reaksi pembentuk radikal bebas dengan menyumbangkan atom H, pereduksi dengan mentransfer atom H atau oksigen, pengikat logam dan mampu mendekomposisi hidroperoksida menjadi bentuk stabil. Fungsi

antioksidan lainnya yaitu dapat digunakan sebagi upaya untuk memperkecil terjadinya proses oksidasi dari lemak dan minyak, memperkecil terjadinya proses kerusakan dalam makanan, memperpanjang masa pemakaian dalam industri

makanan, meningkatkan stabilitas lemak yang terkandung dalam makanan serta mencegah hilangnya kualitas sensori dan nutrisi (Kuncahyo dan Sunardi 2007). Selain itu, antioksidan juga berperan penting untuk mempertahankan mutu produk pangan. Berbagai kerusakan seperti ketengikan, perubahan nilai gizi, perubahan warna dan aroma, serta kerusakan fisik lain pada produk pangan karena oksidasi dapat dihambat oleh antioksidan (Trilaksani 2003). 2.3.2 Jenis antioksidan Antioksidan memiliki jenis yang beragam. Berdasarkan sumbernya antioksidan dibagi dalam dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesis reaksi kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami). Diantara beberapa contoh antioksidan sintetik yang diijinkan untuk makanan, ada lima antioksidan yang penggunaannya meluas dan menyebar diseluruh dunia, yaitu Butil Hidroksi Anisol (BHA), Butil Hidroksi Toluen (BHT), propil galat, Tert-Butil Hidoksi Quinon (TBHQ) dan tokoferol. Antioksidan tersebut merupakan antioksidan alami yang telah diproduksi secara

sintetis untuk tujuan komersial. BHA memiliki kemampuan antioksidan (carry through, kemampuan antioksidan baik dilihat dari ketahanannya terhadap tahap-tahap pengolahan maupun stabilitasnya pada produk akhir) yang baik pada lemak hewan dalam sistem makanan panggang, namun relatif tidak efektif pada minyak tanaman. BHA bersifat larut lemak dan tidak larut air, berbentuk padat putih dan dijual dalam bentuk tablet atau serpih serta bersifat volatil. Antioksidan sintetik BHT memiliki sifat serupa BHA, akan memberi efek sinergis bila dimanfaatkan bersama BHA, berbentuk kristal padat putih dan digunakan secara luas karena relatif murah. TBHQ dikenal sebagai antioksidan paling efektif untuk lemak dan minyak, khususnya minyak tanaman karena memiliki kemampuan antioksidan yang baik pada penggorengan tetapi rendah pada pembakaran (Trilaksani 2003). Antioksidan alami yang terdapat dalam bahan pangan dapat dikategorikan menjadi dua golongan, yaitu pertama yang tergolong zat gizi, yaitu: vitamin A dan karatenoid, vitamin E, vitamin C, vitamin B2, seng (Zn), tembaga (Cu), selenium (Se) dan protein, dan yang kedua tergolong sebagai zat non-gizi, seperti biogenik amin, fenol, polifenol, tanin dan komponen tetrapirolik (Muchtadi 2001). Antioksidan alami mampu melindungi tubuh terhadap kerusakan yang disebabkan spesies oksigen reaktif, mampu menghambat terjadinya penyakit degeneratif serta mampu menghambat peroksidase lipida pada makanan. Meningkatnya minat untuk mendapatkan antioksidan alami terjadi beberapa tahun terakhir ini. Antioksidan alami umumnya mempunyai gugus hidroksi dalam struktur molekulnya (Kuncahyo dan Sunardi 2007). Antioksidan alami ditemukan hampir di semua jenis tanaman,

mikroorganisme, jamur, dan jaringan hewan. Bahan pangan yang dapat dijadikan sebagai sumber antioksidan alami, seperti rempah-rempah, coklat, biji-bijian, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Umumnya, antioksidan alami terdiri dari komponen fenol dan kelompok antioksidan alami terpenting yaitu tokoferol, flavonoid, dan asam fenol (Pokorny et al. 2001). 2.3.3 Mekanisme kerja antioksidan Mekanisme kerja antioksidan seluler, antara lain berinteraksi langsung dengan oksidan, radikal bebas atau oksigen tunggal, mencegah pembentukan jenis

10

oksigen reaktif, mengubah jenis oksigen reaktif menjadi kurang toksik, mencegah kemampuan oksigen reaktif, memperbaiki kerusakan yang timbul. Antioksidan yang baik akan bereaksi dengan radikal bebas segera setelah senyawa tersebut terbentuk. Mekanisme antioksidan dalam menghambat oksidasi atau

menghentikan reaksi berantai pada radikal bebas dari lemak yang teroksidasi, dapat disebabkan oleh empat macam mekanisme reaksi, yaitu pelepasan hidrogen dari antioksidan, pelepasan elektron dari antioksidan, adisi lemak ke dalam cincin aromatik pada antioksidan, dan pembentukan senyawa kompleks antara lemak dan cincin aromatik dari antioksidan (Ketaren 1986). Sesuai mekanisme kerjanya, antioksidan memiliki dua fungsi. Fungsi pertama merupakan fungsi utama dari antioksidan yaitu sebagai pemberi atom hidrogen. Antioksidan yang mempunyai fungsi utama tersebut sering disebut antioksidan primer. Senyawa ini dapat memberikan atom hidrogen secara tepat ke radikal lipida atau mengubahnya ke bentuk lebih stabil, sementara turunan radikal antioksidan tersebut memiliki keadaan lebih stabil dibanding radikal lipida. Beberapa contoh antioksidan primer adalah superoksida dismutase (SOD), Butylated Hidroxyanisol (BHA), Butylated Hidroxytoluene (BHT) dan tokoferol. Penambahan antioksidan primer dengan konsentrasi rendah pada lipida dapat menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi lemak dan minyak. Penambahan tersebut dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi maupun propagasi. Fungsi kedua merupakan fungsi sekunder antioksidan, yaitu memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai mekanisme diluar mekanisme pemutusan rantai autooksidasi dengan pengubahan radikal lipida ke bentuk lebih stabil (Trilaksani 2003). Antioksidan sekunder disebut juga antioksidan eksogeneus atau nonenzimatis. Antioksidan dalam kelompok ini disebut pertahanan preventif. Sistem pertahanan ini, pembentukan senyawa oksigen relatif dihambat dengan cara pengkelatan metal, atau dirusak pembentukannya. Beberapa contoh antioksidan sekunder adalah asam askorbat (vitamin C), vitamin E, beta karoten, asam urat, bilirubin dan albumin, asam erithorbat (D-isomer asam askorbat) dan garam sodiumnya, dilauril tiopropionat (Winarno 2008).

11

2.4 Uji Aktivitas Antioksidan Salah satu uji untuk menentukan aktivitas antioksidan penangkap radikal adalah metode 1,1 diphenyl-2-picrylhidrazyl (DPPH). Metode ini memberikan informasi reaktivitas senyawa yang diuji dengan suatu radikal stabil. DPPH memberikan serapan kuat pada panjang gelombang 517 nm dengan warna violet gelap. Penangkapan radikal bebas menyebabkan elektron menjadi berpasangan yang kemudian menyebabkan penghilangan warna yang sebanding dengan jumlah elektron yang diambil (Kuncahyo dan Sunardi 2007). Metode serapan radikal DPPH merupakan metode yang sederhana, mudah, waktu pengujian singkat dan sampel yang digunakan sedikit serta tidak membutuhkan banyak reagen seperti halnya uji lain (xantin-xantin oksidase, metode Tiosianat, antioksidan total). Hasil pengukuran menunjukkan kemampuan antioksidan sampel secara umum tidak berdasarkan jenis radikal yang dihambat. Pada metode ini, DPPH berperan sebagai radikal bebas yang diredam oleh antioksidan dari bahan uji, dimana DPPH akan bereaksi dengan antioksidan tersebut membentuk 1,1-difenil-2-pikril hidrazin (Juniarti et al. 2009). Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan dapat dilihat pada Gambar 2.

Diphenylpicrylhydrazyl (radikal bebas)

Diphenylpicrylhydrazine (non radikal)

Gambar 2 Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan
(Sumber: Molyneux 2004)

Aktivitas antioksidan yang terdapat pada sampel dinyatakan dalam persentase inhibisinya terhadap radikal DPPH. Persentase inihibisi ini didapatkan dari serapan antara absorban DPPH dengan absorban sampel yang diukur dengan spektrofotometer UV-Vis. Besarnya aktivitas antioksidan ditandai dengan nilai IC50, yaitu konsentrasi larutan sampel yang dibutuhkan untuk menghambat 50% radikal bebas DPPH (Andayani et al. 2008). Semakin kecil nilai IC50 berarti

12

semakin tinggi aktivitas antioksidan. Secara spesifik suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat jika nilai IC50 kurang dari 0,05 mg/ml, kuat untuk IC50 antara 0,05-0,10 mg/ml, sedang jika IC50 bernilai 0,10-0,15 mg/ml dan lemah jika IC50 bernilai 0,15-0,20 mg/ml (Molyneux 2004). 2.5 Fitokimia Fitokimia merupakan senyawa bioaktif dari tanaman yang dapat melindungi kesehatan manusia dari penyakit degeneratif. Kelompok utama fitokimia yang diduga berkontribusi dengan antioksidan tanaman yaitu polifenol, karotenoid, dan antioksidan vitamin seperti vitamin C dan vitamin E (Lako et al. 2007). Fitokimia memiliki peran penting dalam penelitian obat yang dihasilkan dari tumbuh-tumbuhan. 2.5.1 Alkaloid Alkaloid adalah suatu golongan senyawa organik yang terbanyak ditemukan di alam. Hampir seluruh senyawa alkaloid berasal dari tumbuhtumbuhan dan tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan. Semua alkaloid mengandung paling sedikit satu atom nitrogen yang biasanya bersifat basa dan dalam sebagian besar atom nitrogen ini merupakan bagian dari cincin heterosiklik (Lenny 2006). Alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik (Harborne 1987). Hampir semua alkaloid yang ditemukan di alam mempunyai keaktifan biologis tertentu, ada yang sangat beracun tetapi ada pula yang sangat berguna dalam pengobatan. Jenis dan konsentrasi alkaloid dapat menjadi sangat beracun, salah satu jenis alkaloid yang beracun adalah nikotin. Alkaloid memiliki kegunaan dalam bidang medis, antara lain sebagai analgetika dan narkotika, mengubah kerja jantung, penurun tekanan darah, obat asma, sebagai antimalari, stimulan uterus, dan anastesi lokal (Sirait 2007). 2.5.2 Triterpenoid/ Steroid Triterpenoid adalah senyawa alam yang terbentuk dengan proses biosintesis dan terdistribusi secara luas dalam dunia tumbuhan dan hewan. Struktur terpenoid dibangun oleh molekul isoprene dengan kerangka terpenoid

13

terbentuk dari dua atau lebih banyak satuan isoprene (C5) (Sirait 2007). Secara umum triterpenoid diekstrak dari jaringan tumbuhan memakai eter minyak bumi, eter atau kloroform dan dapat dipisahkan secara kromatografi pada silika gel atau alumina memakai pelarut tersebut. Terpenoid terdiri atas beberapa macam senyawa yaitu komponen minyak atsiri, diterpenoid, giberelin, triterpenoid, steroid dan karotenoid (Lenny 2006). 2.5.3 Flavonoid Senyawa flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar yang ditemukan di alam. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu dan biru serta sebagai zat warna kuning yang ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan. Secara biologis flavonoid memainkan peranan penting dalam kaitan penyerbukan tanaman oleh serangga. Sejumlah flavonoid mempunyai rasa pahit sehingga dapat bersifat menolak jenis ulat tertentu (Lenny 2006). Flavonoid umumnya terdapat pada tumbuhan sebagai glikosida. Gugusan gula bersenyawa pada satu atau lebih grup hidroksil fenolik. Flavonoid terdapat pada seluruh bagian tanaman termasuk pada buah, tepung sari, dan akar. Flavonoid berperan terhadap warna dalam organ tumbuhan seperti bunga, buah, daun, atau warna pada pigmen. Flavonoid pada tumbuhan berguna untuk menarik serangga dan binatang lain untuk membantu proses penyerbukan dan penyebaran biji (Sirait 2007). Flavonoid sebagai antioksidan berfungsi sebagai pengikat logam, mampu mengikat zat peroksida, seperti Fe dan Cu (Hariyatmi 2004). 2.5.4 Saponin Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang telah dideteksi lebih dari 90 suku tumbuhan. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun dan dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa. Pencarian saponin dalam tumbuhan telah dirangsang oleh kebutuhan akan sapogenin yang mudah diperoleh dan dapat dirubah di laboratoriun menjadi sterol hewan yang berkhasiat penting misalnya kortison dan estrogen kontraseptif.

Banyak saponin yang mempunyai satuan gula sampai lima dan komponen yang umum ialah asam glukuronat. Pembentukan busa yang mantap sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau sewaktu memekatkan ekstrak tumbuhan merupakan

14

bukti terpercaya akan adanya saponin. Saponin jauh lebih polar dari pada sapogenin karena ikatan glikosidanya (Harborne 1987). Saponin menyebabkan stimulasi pada jaringan tertentu misalnya, pada epitel hidung, bronkus, dan ginjal. Stimulasi pada ginjal diperkirakan menimbulkan efek diuretika. Sifat menurunkan tegangan muka yang ditimbulkan oleh saponin dapat dihubungkan dengan daya ekspentoransia, dengan sifat ini lendir akan dilunakkan atau dicairkan. Saponin dapat juga sebagai prekursor hormon steroid (Sirait 2007). 2.5.5 Fenolhidrokuinon Kuinon adalah senyawa berwarna dan memiliki kromofor dasar. Kuinon dapat dibagi menjadi empat kelompok yaitu, benzokuinon, naftokuinon. antrakuinon, dan kuinon isoprenoid. Senyawa kuinon yang terdapat sebagai glikosida sedikit larut dalam air, kuinon lebih mudah larut dalam lemak dan akan terekstraksi dalam tumbuhan bersama-sama dengan karotenoid dan klorofil. Reaksi yang khas adalah reduksi bolak-balik yang mengubah kuinon menjadi senyawa tanpa warna, kemudian warna kembali lagi bila terjadi oksidasi oleh udara. Reduksi dapat dilakukan dengan menggunakan natrium borohidrida (Harbone 1987). 2.5.6 Tanin Tanin adalah senyawa organik yang terdiri dari campuran senyawa polifenol kompleks, dibangun dari elemen C, H dan O serta sering membentuk molekul besar dengan berat molekul lebih besar dari 2000. Tanin dapat dijumpai pada hampir semua jenis tumbuhan hijau di seluruh dunia baik tumbuhan tingkat tinggi maupun tingkat rendah dengan kadar dan kualitas yang berbeda-beda. Senyawa ini memiliki sifat antara lain dapat larut dalam air atau alkohol karena tanin banyak mengandung fenol yang memiliki gugus OH, dapat mengikat logam berat, serta adanya zat yang bersifat antirayap dan jamur. Tanin yang terdapat pada kulit kayu dan kayu dapat berfungsi sebagai penghambat kerusakan akibat serangan serangga dan jamur, karena memilki sifat antiseptik (Shut 2002).

15

2.6 Serat Pangan (Dietary Fiber) Serat pangan merupakan komponen dari jaringan tanaman yang tahan terhadap proses hidrolisis oleh enzim dalam lambung dan usus kecil. Serat-serat tersebut banyak berasal dari dinding sel berbagai sayuran dan buah-buahan. Secara kimia dinding sel tersebut terdiri dari beberapa jenis karbohidrat seperti selulosa, hemiselulosa, pektin, dan nonkarbohidrat seperti polimer lignin, beberapa gum, dan mucilage. Karena itu dietary fiber pada umumnya merupakan karbohidrat atau polisakarida. Berbagai jenis makanan nabati pada umumnya banyak mengandung dietary fiber (Winarno 2008). Walaupun demikian serat kasar tidaklah identik dengan dietary fiber. Menurut Scala (1975) dalam Winarno (2008) kira-kira hanya seperlima sampai setengah dari seluruh serat kasar yang benar-benar berfungsi sebagai dietary fiber. Kadang-kadang juga digunakan istilah residu non-nutritif untuk menunjukkan bagian dari makanan yang tidak dapat dicerna dan diserap oleh tubuh. Akan tetapi sesungguhnya residu non-nutritif tersebut tidak sama dengan serat pangan, meskipun ada bagian-bagian pangan yang tercakup pada keduanya. Perbedaan utama antara keduanya adalah pada residu non-nutritif terkandung dinding sel bakteri (mikroflora) usus yang juga tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pencernaan. Secara umum serat pangan (dietary fiber) didefinisikan sebagai kelompok polisakarida dan polimer-polimer lain yang tidak dapat dicerna oleh sistem gastrointestinal bagian atas tubuh manusia. Terdapat beberapa jenis komponennya yang dapat dicerna (difermentasi) oleh mikroflora dalam usus besar menjadi produk-produk terfermentasi. Serat pangan total (total dietary fiber, TDF) terdiri dari komponen serat pangan larut (soluble dietary fiber, SDF) dan serat pangan tidak larut (insoluble dietary fiber, IDF). SDF diartikan sebagai serat pangan yang dapat larut dalam air hangat atau panas serta dapat terendapkan oleh air yang telah dicampur dengan empat bagian etanol. Adapun IDF diartikan sebagai serat pangan yang tidak larut dalam air panas maupun dingin. IDF merupakan kelompok terbesar dari TDF dalam makanan, sedangkan SDF hanya menempati jumlah sepertiganya (Muchtadi 2001).

16

Serat pangan larut dan tidak larut memiliki manfaat yang berbeda namun keduanya akan bekerja sama dan saling melengkapi. Serat larut akan membentuk gel sehingga makanan yang mengandung serat larut dalam lambung akan menimbulkan rasa kenyang dan makanan akan tinggal lebih lama. Hal ini dikarenakan penyerapan makanan pada dinding usus berlangsung lambat dan juga serat akan terikat pada gel yang terbentuk. Berbeda halnya dengan serat tidak larut, serat ini tidak dapat membentuk gel dalam proses pencernaan namun tetap akan menimbulkan efek kenyang dalam lambung. Rasa kenyang yang didapat tidak akan berbeda dengan makanan tanpa serat. Namun demikian, dengan mengonsumsi serat asupan kalori yang didapatkan lebih rendah (Yuliarti 2008). Pada masa lalu, serat pangan hanya dianggap sebagai sumber energi yang tidak tersedia (non-available energy source) dan hanya dikenal mempunyai efek sebagai pencahar perut. Akan tetapi berdasarkan penelitian Muchtadi (2001) dapat diketahui bahwa terdapat suatu hubungan erat antara konsumsi serat pangan dan insiden timbulnya berbagai macam penyakit. Salah satu contohnya yaitu pengaruh konsumsi dietary fiber pada kadar kolesterol tinggi telah dibuktikan pada pasien sukarelawan, yang kemudian juga dibuktikan pada hewan percobaan, bahwa pasien yang memiliki kandungan kolesterol tinggi tetapi rendah konsumsi serat bahan makanan, dengan meningkatkan konsumsi dietary fiber akan nyata turun kadar kolesterol dalam darahnya, terutama bila hal tersebut dilakukan secara kontinyu (Winarno 2008).

Anda mungkin juga menyukai