Anda di halaman 1dari 8

Seiring dengan berkembangnya penelitian mengenai obat-obatan, saat ini banyak jenis antibiotika yang ditemukan di pasaran.

Antimikroba atau antibiotik adalah obat atau zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat atau membasmi mikroba lain (jasad renik atau bakteri), khususnya mikroba yang merugikan manusia (penyebab infeksi pada manusia). Antibiotika merupakan segolongan senyawa, baik alami maupun sintetik, yang mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme, khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri. Antibiotika, obat yang sangat ampuh dan sangat bermanfaat jika digunakan secara benar. Namun, jika digunakan tidak semestinya antibiotika justru akan mendatangkan berbagai dampak negatif dan hal inilah yang saat ini kerap terjadi dalam penggunaa antibiotika. Antibiotika digunakan secara bebas di masyarakat tanpa memperhitungkan rasionallitas dalam penggunaaan antibiotika. Suatu pengobatan dikatakan rasional bila memenuhi beberapa kriteria tertentu. Kriteria pemakaian obat secara rasional meliputi (Departemen Kesehatan R.I.,1997)15 : tepat indikasi, tepat obat, tepat penderita, tepat dosis dan cara pemakaian, serta waspada efek samping. Rasisonalitas penggunaan antibitioka sangat dibutuhkan karena penggunaan antibiotika yang irasional dapat menimbulkan efek yang membahayakan seperti muncul dan berkembangnya bakteri yang resisten terhadap antibiotik, munculnya penyakit akibat superinfeksi bakteri resisten, terjadinya toksisitas atau efek samping obat, sehingga perawatan penderita menjadi lebih lama yang berdampak pada biaya pengobatan yang menjadi lebih mahal, dan akhirnya menurunnya kualitas pelayanan kesehatan. Namun efek merugikan dari penggunaan antibiotika ini tidak mempengaruhi penggunaan antibiotika yang semakin luas dan semakin mudah untuk didapatkan di pasaran. Masyarakat begitu mudah untuk mendapatkan dan menggunakan antibiotika tanpa mengetahui apakah antibiotika tersebut tepat untuk mereka dan apakah efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan antibiotika tersebut. Selain penggunaan antibiotika yang irasional ditemui di masyarakat hawam, penggunaan antibiotika di rumah sakit dan klinik sering kali juga tidak rasional dimana dalam sebuah penetian tahun 2004 tentang penyakit infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) dan diare di empat provinsi mencakup Sumatera Barat, Kalimantan Timur, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat ditemukan telah terjadi peresepan antibiotika secara tidak rasioanal. Fakta ini sungguh mengejutkan, mengingat bahwa rumah sakit dan kiniklah yang menjadi tempat masyarakat untuk mendapatkan informasi namun dalam kenyataannya justru di rumah sakit dan klinik terjadi penggunaan antibiotika yang irasional. Dengan melihat kondisi seperti ini maka mutlak diperlukan upaya nyata pemerintah untuk menangani kasus penggunaan antibiotika yang irasional.
1

Tentu yang menjadi pertanyaan besar adalah bagaimanakah pengguanaan antibiotika di kalangan masyarakat umum, rumah sakit dan klinik sehingga terjadi kasus penggunaan yang irasional serta sejauh ini upaya apa yang telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini dan kebijakan apa yang perlu ditetapkan pemerintah untuk mengatasi permasalah irasional penggunaan antibiotika. Sejauh ini praktik penggunaan antibiotika seringkali dijumpai di kalangan masyarakat hawam, dimana penggunaanya dilakukan secara irasionalitas. Masyarakat sering kali mendiagnosa sendiri penyakitnya dan mengambil keputusan sendiri tanpa berkonsultasi dengan dokter menggunakan antibiotika untuk mengobati penyakit tersebut. Penyakitpenyakit seperti batuk, pilek biasa, atau diare yang belum jelas penyebabnya diobati dengan antibiotika yang belumlah tentu memerlukan penggunaan antibiotika dalam pengobatannya, hal ini tentu menunjukan bahwa penggunaan antibiotika tidak digunakan pada indikasi yang tepat. Sering kali masyarakat menggunakan antibiotika pada penyakit yang memiliki gejala yang sama namun belum tentu memerlukan pengobatan dengan antibiotik yang sama dan cendurung digunakan dalam jangka waktu yang lama tanpa pengawasan tenaga medis. Masyarakat cenderung mengabaikan peringatan pada kemasan obat yang bertulikan bahwa antibiotika harus diperoleh dengan resep dokter. Semua itu terjadi karena, keinginan masyarakat untuk cepat sembuh dari segala macam keluhannya. Belum lagi banyaknya promosi obat juga berperan besar dalam pembentukan sikap masyarakat dalam menggunakan obat termasuk antibiotika dan bagi kalangan masyarakat hawam antibiotika masih dianggap sebagai obat biasa yang dapat diperoleh dengan membeli bebas (Widhiartini, 2012). Ini jelas mengindikasikan bahwa informasi yang dimiliki oleh masyarakat mengenai antibiotika masih sangat terbatas. Masyarakat belum memahami bahwa konsumsi antibiotika secara tidak tepat dan tanpa pemantauan klinik dalam jangka panjang dapat berakibat buruk terhadap tubuh seperti, resistensi bakteri terhadap antibiotika tersebut, meningkatkan toksisitas, meningkatnya kejadian efek samping obat serta biaya pelayanan kesehatan menjadi tinggi. Irasionalitas penggunaan antibiotika tidak hanya ditemukan pada masyarakat hawam namun juga di rumah sakit dan klinik. Pada penelitian kualitas penggunaan antibiotika di berbagai rumah sakit ditemukan 30 % sampai dengan 80% tidak didasarkan pada indikasi (Hadi,2009). Penelitian di dua rumah sakit besar di Jawa Timur dan Jawa Tengah pada 2001 menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik secara tidak bijak mencapai 80 persen. Pada kasus di RSU dr Soetomoangka resisten terhadap antibiotik lini pertama (penyakit infeksi ringan) bisa mencapai 90 persen dan lini kedua (infeksi sedang) mendekati 50 persen.
2

Tingginya penggunaan antibiotik di rumah sakit akan meningkatkan angka resistensi bakteri di tempat itu yang pada akhirnya menyulitkan terapi. Bahkan, bakteri lebih mudah mutasi, yang berarti lebih cepat resisten terhadap berbagai antibiotik (Fachmi, 2011). Pemberian antibiotik seharusnya memperhitungkan riwayat penyakit yang dialami pasien sebelumnya. Ketidak tepatan pemberian antibiotik ini disebabkan oleh karena belum adanya kesepakatan antara dokter dan dokter, maupun rumah sakit dengan rumah sakit mengenai penggunaan antibiotika secara rasional. Padahal, untuk mendapatkan hasil optimal yang aman, efektif, dan efisien dari terapi antibiotika diperlukan suatu persepsi yang sama mengenai penggunaan antibiotika untuk meminimalisasi efek samping bagi pasien. Komite medis dari tiap rumah sakit harus memiliki pedoman penggunaan antibiotika dan rutin melakukan audit demi pemberian antibiotika yang aman bagi pasien. Sejauh ini pemerintah telah memberikan perhatian pada kasus penggunaan antibiotika. Salah satu bentuk dari usaha yang dilakukan pemerintah adalah dengan diberlakukannya undang-undang yang mengatur tentang penjualan antibiotika yang diatur dalam undangundang obat keras St. No. 419 tgl. 22 Desember 1949. Disebutkan bahwa antibiotika termasuk salah satu jenis obat keras, hal ini terdapat dalam pasal 1 ayat 1a yang berbunyi (Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 1949): Obat-obat keras yaitu obatobatan yang tidak digunakan untuk keperluan teknik, yang mempunyai khasiat yang mengobati, menguatkan, membaguskan, mendesinfeksikan, dan lain-lain tubuh manusia, baik dalam bungkusan maupun tidak, yang ditetapkan oleh Secretariat Vaan Staat, Hoofd va het Departement van Gesondheid. Peraturan mengenai distribusi obat, tertulis dalam Pasal 3 ayat 1 (Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan) yaitu: 1. Penyerahan persediaan untuk penyerahan dan penawaran untuk penjualan dari bahanbahan G (obat kesar), demikian pula memiliki bahan bahan ini dalam jumlah sedemikian rupa sehingga secara normal tidak dapat diterima bahwa bahan-bahan ini hanya diperuntukkan pemakain pribadi, adalah dilarang. Larangan ini tidak berlaku untuk pedagang-pedagang besar yang diakui, Apoteker-apoteker , yang memimpin Apotek dan Dokter Hewan. (2) Penyerahan dari bahanbahan G , yang menyimpang dari resep Dokter, Dokter Gigi, Dokter Hewan dilarang, larangan ini tidak berlaku bagi penyerahan-penyerahan kepada Pedagangpedagang besar yang diakui, Apoteker-apoteker, Dokter-dokter Gigi dan Dokter-dokter Hewan demikian juga tidak terhadap penyerahan-penyerahan menurut ketentuan pada Pasal 7 ayat 5.

Disamping menetapkan antibiotika sebagai obat keras, pada tahun 2011, Kemenkes telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

2406/MENKES/PER/XII/2011 tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik. Pedoman ini ditujukan untuk memberikan acuan bagi tenaga kesehatan yang menggunakan antibiotik dalam pemberian pelayanan kesehatan, dan fasilitas pelayanan kesehatan serta pemerintah dalam kebijakan penggunaan antibiotik. Tujuan dari dikeluarkanya permenkes ini, agar seluruh tenaga kesehatan memilki dasar hukum ketika melakukan pembinaan ataupun pendebatan terhadap penyalahgunaan antibiotik ini. Permenkes ini berisikan empat pasal ditambah dengan lampiran yang menjelaskan berbagai hal terkait penggunaan antibiotika. Mulai dari latar belakang hingga ke penilaian penggunaan antibiotik di tempat pelayanan kesehatan, dicantumkan dalam lampiran peraturan ini. Organisasi profesi pun dilibatkan sesuai tugas dan fungsi masing-masing dalam pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan permenkes ini, disamping dilakukan pula oleh dinas kesehatan provinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota. Dengan melihat kenyataan yang ada tentu menunjukkan bahwa penggunaan antibiotika baik di masyarakat maupun di rumah sakit tidak sesuai dengan undang-undang dan permenkes yang ada. Di dalam undang-undang obat keras St. No. 419 tgl. 22 Desember 1949 pada pasal ayat 1 ayat 1a dikatakan bahwa antibiotika termasuk ke dalam golongan obat keras, di mana pada pasal 3 ayat 1 dikatakan bahwa obat keras tidak boleh digunakan secara pribadi tanpa menggunakan resep dokter. Namun realita yang ada, masyarakat justru menggunakan antibiotika secara bebas, yang dapat diperoleh dengan sangat mudah tanpa menggunakan resep dokter bahkan antibiotika bisa diperoleh di warung-warung kelontong. Paradigma yang berkembang di masyarakat masih menganggap bahwa antibiotika adalah obat ampuh yang dapat menyembuhkan segala macam penyakit yang diderita tanpa mengetahui dampak negatif yang ditimbulkan dari penggunaan antibiotika tersebut. Jelas yang menjadi permasalahan di sini adalah kurangnya informasi yang dimiliki oleh masyarakat mengenai antibiotika. Peresepan yang dberikan oleh dokter juga memiliki pengaruh besar dalam berkembangnya informasi yang ada di masyarakat, dokter memberikan antibiotika pada penyakit seperti batuk, pilek biasa, atau diare yang belum jelas penyebabnya yang belumlah tentu memerlukan penggunaan antibiotika dalam pengobatannya, sehingga akan muncul persepsi di masyarakat bahwa penyakit-penyakit semacam itu dapat disembuhkan dengan antibiotika. Sama halnya dengan yang terjadi di masyarkat, di rumah sakit dan klinik juga terjadi irasionlaitas dalam penggunaan antibiotika. Hal ini disebabkan karena belum adanya
4

kesepakatan antara dokter dan dokter, maupun rumah sakit dengan rumah sakit mengenai penggunaan antibiotika secara rasional. Dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2406/MENKES/PER/XII/2011 tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik tentunya dapat digunakan sebagai acuan oleh tenaga kesehatan dalam menggunakan antibiotika sehingga antibiotika dapat digunakan secara bijak. Sesuai dengan pedoman dalam pemberian antibiotika diamana dokter harus menulis penggunaan antibiotik di rekam medik secara jelas, lengkap dan benar tentang regimen dosis pemberian antibiotik, dan interuksi tersebut juga ditulis di rekam pemberian antibiotik (RPA). Selain itu demi mempermudah medeteksi jenis bakteri yang menyerang pasien, rumah sakit harus meningkatkan ketersediaan dan mutu fasilitas penunjang, dengan penguatan pada laboratorium hematologi, imunologi, dan mikrobilogi atau laboratorium lain yang berkaitan dengan penyakit infeksi. Tentunya semua peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah tidak akan berari tanpa adanya pengawasan yang ketat terhadap jalannya peraturan tersebut. Oleh sebab itu pemerintah harus mengadakan sidak lapangan secara rutin untuk memantau bagaimana penggunaan antibiotika di masyarakat sehingga tidak akan ditemui lagi penjualan antibiotika secara bebas di toko-toko kelontong atau di tempat lain yang tidak semestinya. Disamping itu pemerintah juga harus membuat kebijakan periklanan mengenai antibiotika karena tidak dapat dipungkiri bahwa promosi obat juga berperan besar dalam pembentukan sikap masyarakat dalam menggunakan obat termasuk antibiotika. Dari pemaparan singkat di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu: 1. Irasionalitas penggunaan antibiotika di masyarakat disebabkan oleh kurangnya informasi yang dimiliki oleh masyarakat mengenai dampak negatif dari penggunaan antibiotika, untuk itu diperlukan edukasi dan berbagai aspek yang berkaitan dengan penggunaan antibiotika, agar tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang penggunaan antibiotika dapat mencapai tahap yang diinginkan. Sehingga tidak terjadi penyalahgunaan dan pengguna salahan antibiotika di kalangan masyarakat. Hal ini dapat difasilitasi dengan komunikasi yang lebih efektif antara dokter dengan pasien (masyarakat pada umumnya). 2. Irasionalitas penggunaan antibiotika di klinik dan rumah sakit disebabkan oleh belum adanya kesepakatan antara dokter dan dokter, maupun rumah sakit dengan rumah sakit mengenai penggunaan antibiotika secara rasional, namun dengan ditetapkannya Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2406/MENKES/PER/XII/2011 tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik dapat digunakan sebagai acuan oleh tenaga kesehatan dalam menggunakan antibiotika.
5

3. Pemerintah telah memberikan perhatian dengan menetapkan undang-undang obat keras St. No. 419 tgl. 22 Desember 1949 dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2406/MENKES/PER/XII/2011 tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik. Namun pemerintah harus melakukan pengawasan yang ketat terhadap jalannya kedua kebijakan ini agar dapat mewujudkan penggunaan antibiotika yang rasional sehingga tidak lagi ditemui penjualan antibiotika di warung-warung kelontong dan dokter dapat memberikan antibiotika kepada pasien secara tepat.

Daftar Pustaka

1. Anonim.2011. http://repository.ui.ac.id/dokumen/lihat/82.pdf. diakses pada 5 Mei 2012. 2. Candra, Asep. 2011. Batasi.Penggunaan.Antibiotik. http://health.kompas.com/read/2011/11/14/05535872/Batasi.Penggunaan.Antibiotik. diakses pada tanggal 5 Mei 2012 3. Menkes. 2011.Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor. 2406/MENKES/PER/XII/2011 tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik. Jakarta 4. Anonim.1949.Undang-Undang Obat Keras St. No. 419. Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Jakarta. 5. Anonim. http://www.scribd.com/doc/25264203/ANTIBIOTIKA-Www-hoirulblog-co-CcAntibiotika-Adalah-Zat-Yang-Dihasilkan. diakses pada tanggal 6 Mei 2012. 6. Astit, Wiratii.2012. Antibiotika Bukan Obat Dewa. http://rathikumara.com/2012/03/antibiotika-bukan-obat-dewa.html. diakses pada tanggal 6 Mei 2012

Anda mungkin juga menyukai