Anda di halaman 1dari 1

APA saja Fokus Bahasan bermasalah di UU MIGAS no 22 Tahun 2001

BP Migas Harusnya Bagaimana?


BP migas merupakan badan pelaksana yang bertugas mengawasi dan mengendalikan kegiatan hulu migas sesuai Kontrak Kerja Sama agar maksimal bagi negara. Apa bedanya dengan Ditjen Migas MESDM? Peran Ditjen Migas adalah merumuskan serta meaksanakan kebijakan dan standardisasi teknik di bidang Migas. BP Migas adalah Produk UU Migas no 22 tahun 2001, tapi sebenarna dulu(ketika yang berlaku UU no8 1971) Badan yang berfungsi sama sudah ada dan menempel di Pertamina. Namun, Apakah bisa dipertahankan Integritasnya ketika badan pengawas disuruh mengawasi badan yang lebih besar dan secara hierarki berada di atas dia?seperti polisi disuruh menyelidikki polisi juga?. Meski banyak dipertanyakan karena tidak memilikki MWA (Majelis Wali Amanat) yang bertugas sebagai fungsi kontrol sesifik untuk BP Migas sekarang, opsi ini dianggap banyak orang akan menjaga integritas dan motivasi PERTAMINA untuk terus berkembang. Namun bila ditelaah, menempelnya Badan yang dahulunya bernama BKKA ini pada tubuh Pertamina (Di bawah Pertamina) merupakan pencerminan keberpihakkan negarawalau untuk beberapa orang berlebihan keberpihakannyakepada PERTAMINA.Yang pertama, Pertamina di beri privilege untuk belajar (Kan sambil mengawasi tuh) dan jelas memilikki hak lebih besar dalam memenangkan kepemilikkan suatu blok. Nasionalisasi juga dipercaya lebih mudah dengan opsi ini. Yuk jangan Ragu kita share lebih Banyak lagi di Kopsor.

Hulu Dan Hilir Harus dipisah (Tidak Boleh Memilikki Badan usaha Yang sama) dan Liberalisasi Sistem Hilir
Dengan UU Migas No 22 tahun 2001 kini di bidang Hulu dan Hilir terjadi segregasi ranah Bisnis. Jadi satu perusahaan/Badan Usaha, sebut saja X, bila memilikki Bisnis Hulu maka perusahaan X ini tidak boleh memilikki Bisnis Hilir. Perusahaan X baru boleh melaksanakan bisnis Hilir apabila membentuk/melahirkan perusahaan baru sesuai kaidah hukum yang berlaku di Indonesia. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya monopoli. Yang termasuk dalam usaha Hilir Ialah pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan Niaga (usaha penjualan) Minyak Bumi. Sebelum Lahirnya UU Migas ini, monopoli terjadi di Bisnis Hilir dimana 100% SPBU adalah milik Pertamina. Namun terlepas dari sponsor di belakang lahirnya UU Migas no 22 ini, penghilangan monopoli dipercaya mampu mendobrak performa Pertamina (Termotivasi). Selain itu, penghilangan monopoli ini juga bertujuan memfasilitasi bahkan menstimulus konsumen dan rakyat Indonesia untuk menggunakan BBM Non Subsidi dengan banyaknya pilihan dan ketersediaan bahan bakar non subsidi. Karena memang UU ini disusun dengan perencanaan mencabut Subsidi tak proporsional di masa yang akan datang. Tetapi ketika diterapkan, pada akhirnya bagian ini justru dianggap dapat membahayakan posisi PERTAMINA di masa yang akan datang, padahal asset kita yang satu ini harus dilindungi sepenuh Hati. Dari data penjualan BBM non subsidi, hampir 90%nya menggunakan BBM non subsidi dari perusahaan Non-PERTAMINA. Nah lhoh..

Liberalisasi Hulu Migas, Ke arah Nasionalisai-kah PERTAMINA?


Berdasarakan pasal 33 UUD 1945, seluas luas dan sebanyak banyaknya Harta kekayaan Sumber Daya Alam Indonesia adalah kekuasaan Negara dan Harus dimanfaatkan untuk memenuhi hajat hidup orang banyak. Tapi di sisi lain kita menyadari bahwa untuk melakukan eksplorasi kita msih membutuhkan pihak swasta sebagai Investor, serta teknologi dan kultur kerjanya juga masih harus kita pelajari (sebagian berpendapat kita masih butuh asing) Tapi kenyataannya UU Migas ini di sinyalir tak mampu menguatkan PERTAMINA sebagai National Oil Company. Bayangkan! Pertamina disejajarkan dengan Kontraktor asing lainnya dan tidak diberi privilege dalam proses tender. Posisi BP Migas yang tak menempel pada Pertamina juga disinyalir akan mempersulit perjalanan Nasionalisasi Pertamina ke depannya. Memang pada sisi eksplorasi khususnya yang sampai daerah frontier dan deepwater, Pertamina sendiri bahkan belum berani ambil bagian. Namun, Seharusnya Pemerintah mampu mendorong Pertamina seperti dengan mengadakan Hak Operatorship(Hak Menjadi Operator Blok Migas) suatu lapangan atau dengan dana untuk Pembelian saham supaya secara pelan tapi pasti mampu melakukan Nasionalisasi seperti di meksiko, bukan kasar seperti bolivia-venezuela. Lalu apa penyelesaiaan terbaik untuk bangsa kita, menurutmu?

Investasi di Indonesia Ribet dan Dipersulit


Awalnya perusahaan asing yang ingin melakukan usaha Hulu di Indonesia cukup memita perizinan dengan jalur investor->PERTAMINA>pengeboran. Banyak yang bilang bahwa proses izin Migas pasca reformasi dan pasca UU Migas No 21 jadi jauh lebih ribet dari sebelumnya. Awalnya, Proses perizinan ribet investor->ditjen migas->BpMigas->Bea cukai->Kehutanan,pemda,agraria->pemboran merupakan produk UU Migas no 22 tahun 2001 yang bertujuan untuk mengamankan integritas dan keabsahan dari hak pengoperasian suatu Blok/WKP Migas sesuai dengan kaidah demokrasi dan otonomisasi daerah pasca-reformasi. Sulitnya investor memasukan dana eksplorasi di Indonesia lebih disebabkan oleh jenis lapangan migas yang ditawarkan di bagian timur Indonesia adalah daerah yang sangat sulit, laut dalam, prospek kecil, tetapi pembagian hasil ( share) menggunakan skema standar dan tidak menarik. Padahal, dalam UU Nomor 22/2001 tertulis Kontrak kerja sama yang menguntungkan negara. Artinya bukah hanya PSC yang diperkenankan, tetapi jenis kotrak, lain seperti royalti, kontrak karya, gross-revenue split atau jenis kontrak lainnya yang disesuaikan dengan keadaan di lapangan. Misalnya disesuaikan dengan tingkat kesulitan, besarnya kandungan migas, tingginya kemampuan untuk berproduksi, serta komponen investasi yang berhubungan dengan kualitas produk. Kurangnya minat investor lebih karena kurangnya kreativitas pelaksana (Pemerintah, BP Migas,Ditjen Migas, KKKS), bukan karena undang-undang. Benarkah?

Anda mungkin juga menyukai