Anda di halaman 1dari 3

Dekonstruksi Feminisme Terhadap Konsep Tafsir Oleh: Kholili Hasib* Metode dekonstruksi digunakan beberapa tokoh feminis muslim

untuk memasukkan ide -ide kesetaraan gender dalam Islam. Di antaranya adalah Aminah Wadud, Rifaat Hasa n, Fatima Mernisi, Asghar Ali Engineer. Metode tersebut digunakan sebagai pisau a nalisa untuk membedah konsep tafsir dan hukum Islam. Tafsir klasik beserta hukum -hukumnya dibedah karena diasumsikan bias gender. Tulisan ini menjelaskan kritik terhadap logika-logika dekonstruksi aktivis feminisme untuk pembacaan teks al-Q uran dan teks-teks agama. Pembacaan Dekonstruktif Teori dekonstruksi secara umum dapat dipahami sebagai metode pembongkaran terhad ap realitas yang mengandung logika oposisi binner. Oposisi biner adalah dua real itas yang dipandang secara berhadap-hadapan, bertolak belakang dan memiliki kedu dukan yang berbeda. Paradigma ini menerangkan asumsi adanya hak istimewa yang di sandang subyek dan memandang rendah terhadap obyek, sebagai pihak kelas kedua (C hristopher Norris,Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida, hal. 9). Paradigma ini meyakini adanya pertentangan antara subyektifitas dan obyjektifita s, ucapan dan tulisan, makna dan bentuk, jiwa dan badan, transendental dan imane si, induksi-deduksi, baik dan buruk dan lain sebagainya. Logika oposisi biner inilah yang dibongkar oleh dekonstruksi. Alasannya, yang re alitas yang pertama (subyek) dianggap superior sedangkan yang pihak kedua (obyek ) hanya representasi palsu dari kebenaran atau sesuatu. Konsep seperti ini menim bulkan pemikiran yang berpotensi untuk menguasai kepada yang lain (the other). Ata u mengharuskan adanya otoritas tunggal dan melegitimasi universalitas doktrin. Terkait dengan aplikasi terhadap teks, teori ini meyakini bahwa teks adalah simb ol yang tidak mengandung makna utuh tapi menjadi arena pergulatan yang terbuka. Maka, metode ini membuka ruang yang bebas untuk mencari makna-makna di dalam tek s. Sementara realitas yang tampak di hadapan kita -- termasuk teks -- sesungguhn ya bukan realitas hakiki, akan tetapi hanya sekedar trance atau sign saja (Noeng Muhadjir,Filsafat Ilmu, Positivisme,Postpositivisme dan Postmodernisme hal. 204 ). Metode ini yang kemudian diaplikasikan oleh tokoh feminsime muslim terhadap rela si pria dan wanita, teks al-Quran dan kaidah hukum-hukum Islam yang berkaitan den gan wanita. Ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan kepemimpinan laki-laki, tent ang waris dan hukum-hukum keperempuanan dibongkar, karena berparadigma oposisi b inner itu. Pola relasi antar pria dan wanita yang selama ini berjalan dalam Islam dimasukka n ke dalam logika oposisi binner. Tentu saja pandangan miring ini tidak tepat d an salah sasaran. Pria dinilai sebagai subyek dan wanita sebagai obyek. Dimana p osisi subyek menjadi pihak yang superior, memiliki otoritas dan berhak menguasai w anita yang dalam konteks ini berposisi sebagai the others. Islam tidak pernah membuat relasi seperti itu. Pandangan semacam ini sesungguhny a mengikuti bahasa posmo yang menyatakan segala sesuatu dianggap sebagai teks, te rmasuk fenomena relasi antara pria dan wanita. Akibatnya, relasi tersebut laya k untuk dibongkar. Tentunya pandangan tersebut merupakan sebuah kerancuan karena dekonstruksi yang digunakan untuk membaca teks-teks biasa (manusia), kemudian d imanfaatkan untuk pembacaan realitas yang sakral, perkara tsawabit (perkara poko k yang tetap dalam urusan agama) dan bahkan metafisik. Alat Sekularisasi Paradigma seperti itu membuka peluang besar bagi kaum feminis dalam membuat kesi mpulan bahwa teks al-Quran dan tafsirannya bias gender sebagaimana yang dilakukan oleh Amina Wadud -- feminis asal Amerika Serikat. Dalam bukunya berjudul Quran a nd Woman: Rereading the Sacred Text from a Womans Perspective (edisi Indonesia be rjudul Quran Menurut Perempuan), Wadud berusaha membongkar metode klasik dan me nggantinya dengan metode tafsir gaya baru yang diberi nama Hermeneutika Tauhid. In ilah yang menjadi pisau bagi dekonstruksi. Terminologi Tauhid di sini tidak berart i model pembacaannya mengikuti pokok-pokok akidah Islam, namun justru sebalikny a, Wadud berusaha membongkar pokok-pokok agama Islam dengan metode ciptaannya i tu.

Menurut Wadud, tidak ada metode tafsir al-Quran yang benar-benar obyektif. Masing -masing ahli tafsir melakukan beberapa pilihan subjektif. Dia juga menyatakan ba hwa untuk menjamin al-Quran senantiasa sesuai dan relevan dengan perkembangan ja man, maka al-Quran harus terus direinterpretasi. Teksnya dibiarkan tetap, tetapi maknanya terus-menerus diperbaharui seperti dalam tradisi pembacaan Bibel. Anju ran untuk menafsir ulang ayat-ayat al-Quran dilatarbelakangi pemikirannya yang me yakini teks al-Quran hanyalah simbol belaka dan kalimat-kalimat yang dzaniyyat (s amar-samar maknanya) diyakini sesungguhnya peluang untuk melakukan pemaknaan sec ara kreatif. Pandangan Wadud ini tentunya sangat merusak karena hal ini bukan sekedar persoal an pemikiran tapi sudah masuk pada perkara keyakinan. Persoalan ini menyangkut kepercayaan terhadap konsep kesakralan al-Quran. Pemikiran bahwa nash al-Quran sim bol kosong adalah adopsi dari teori dekonstruksi. Padahal kata Ibn Taimyah setia p huruf dalam al-Quran itu suci dan benar-benar wahyu Allah, bukan sekedar simbol yang kita bisa bermain-main di sana. Kalimat dzanni dalam al-Quran pun bukan berar ti setiap orang bisa menafsirkan namun ada kaidah penafsiran yang diajarkan Rasu lullah Shalallahu alai wa sallam. Di sinilah tempat ijtihad para fuqaha (ahli fik ih) dan mufassirin (ulama ahli tafsir) yaitu mereka yang memiliki otoritas dan b ukan sembarang muslim. Aplikasi dekonstruksi semacam itu sesungguhnya bukan sekedar mencari makna, tapi justru akan merusak konsep tentang al-Quran sebagai wahyu Allah yang suci. di In donesia metode seperti itu telah banyak dikembangkan. Salah satu contoh adalah b uku berjudul Argumen Kesetaraan Gender. Di halaman 66 buku tersebut ditulis langk ah-langkah teknis mendapatkan makna baru dari teks al-Quran agar tidak bias gende r. Langkah-langkah tersebut, pertama; mendudukkan teks al-Quran setara dengan tek s naskah-naskah lainnya yang tidak memiliki makna kesucian. Kedua; mencurigai atau skeptis terhadap bahasa Arab, pemahaman para ulama terdahulu dan para sahabat N abi. Ketiga; mendasarkan kepada ideologi relativisme. Keempat ; membuat dikotom i tekstual-kontekstual. Mendudukkan teks al-Quran sederajat dengan teks biasa, sama saja berarti merenda hkan kitab suci al-Quran yang dijamin penjagaannya oleh Allah swt. Langkah ini mu ngkin bertujuan bersikap adil, tapi sejatinya mereka tidak mampu berposisi adil. Buktinya, mereka malah merendahkan dan tidak memposisikan al-Quran pada tempat y ang sebenarnya. Ini bukan keadilan, tapi perendahan. Metode ini juga mengajak un tuk mencurigai bahasa Arab, ulama dan para sahabat. Ajakan ini lebih bernuansa a rogansi. Kita diajak mencurigai ulama dan sahabat sementara di sisi lain diseru untuk mempercayai feminis. Salah satu ide yang dilontarkan dalam buku tersebut adalah bahwa bahasa Arab -yang digunakan al-Quran -- memihak laki-laki. Contoh, kata ganti Tuhan selalu men ggunakan kata ganti laki-laki. Si penulis buku lantas berkesimpulan, Tuhan salah dalam meminjam bahasa Arab sebagai media menyampaikan firman-Nya. Pernyataan yang murni subyektif ini gagal menjelaskan apa parameter benar dan sa lahnya Tuhan. Sehingga logikanya tidak menjunjukkan kejelasan benar dan tidaknya . Misalnya, di satu sisi mengklaim bahwa bahasa Arab yang digunakan sebagai medi a firman-Nya adalah bias jender, namun di sisi lain menyatakan Tuhan tidak memih ak laki-laki. Memperdebatkan kalimat-kalimat bahasa Arab yang feminis dan maskul in juga tidak logis dan tidak berguna. Sebagai contoh apabila kita menyebut kata , misalnya, hadzihi sabburotun (ini papan tulis) yang menggunakan kata feminim, da n hadza qalamun (ini pena) yang menggunakan kata maskulin apakah lantas kita berf ikir bahwa kita telah melakukan diskriminasi terhadap papan tulis karena disebut dengan kata feminis? Sungguh perdebatan semacam ini adalah sebuah kesia-siaan dan tidak akan mendatangkan manfaat. Relativis tafsir juga akan merusak otoritas kenabian. Jika makna teks al-Quran be rubah-ubah, maka otoritas Nabi Muhammad tentu tidak diperlukan lagi. Bagitu pul a dengan penafsiran Nabi SAW yang kemudian ditransmisi kepada generasi berikutn ya secara mutawatir akan dianggap sebagai sesuatu yang kadaluarsa. Maka tamatlah doktrin-doktrin vital yang diajarkan Nabi SAW melalui perawi sahabat itu. Dalam penafsiran juga tidak dikenal dikotomi tekstual dan kontekstual. Tafsir itu tek stual sekaligus kontekstual. Salah satu buktinya adalah penerapan kaidah bahasa Arab sekaligus memperhatikan asbabun nuzul. Tapi kontekstual di sini bukan berma

kna terbuka, moderat dan realtif, seperti dipahami kaum liberal. Kontekstualisas i tafsir tetap setia kepada kaidah, dan otoritas Nabi saw. Harusnya kita semua menyadari bahwa Al-Quran turun dengan bahasa al-Quran, sehingg a untuk memahaminya tidak mungkin terlepas dari kaidah bahasa Arab. Agar penaf sir memahami hakikat kalimat-kalimat bahasa Arab, maka seorang Mufassir harus me ngetahui makna asli, sejak kata itu belum digunakan oleh wahyu sampai kemudian i a digunakan oleh al-Quran. Mufassir juga harus mengetahui sinonim, makna musytar aq. Syarat lain untuk menjadi seorang Mufassir diantaranya, menguasai ilmu tau hid, ushul fikih, dan ilmu hadis. Tanpa kualifikasi tersebut, penafsiran akan be rakibat fatal. Sebagaimana fatalnya menganalisis bahasa inggris dengan kaidah ba hasa jawa. Bahasa menjadi rusak. Terakhir, apabila teks al-Quran dikontekstualisasikan, maka hal tersebut berarti memasukkan teks suci ke dalam ruang budaya. Tindakan semacam ini sama saja deng an melempar agama menjadi produk budaya. Padahal dalam ajaran Islam, budaya harus disesuaikan dengan nilai dan ajaran agama, bukan sebaliknya. Sejatinya, yang t erjadi disini adalah sebuah upaya sekularisasi dan bukan sekedar kontekstualisa si kerena Feminisme dengan teori dekonstruksinya berusaha membebaskan manusia da ri agama dan pengaruh metafisik yang mengontrol logika dan bahasa mereka.

Anda mungkin juga menyukai