Anda di halaman 1dari 10

AL-INSIHAB DAN AL-‘AUDAH,

Kontribusi Imam al-Ghazali dalam Kebangkitan Islam

Oleh:Ahmad Kholili Hasib

Inpasonline.com-Hujjatul Islam imam al-Ghazali hidup antara tahun 1058 M-1111 M.


Ketika Kekhalifahan Abbasiyah mengalami kekacauan, baik politik maupun akhlak,
dan di saat yang sama Islam sedang menghadapi serangan tentara Salib. Ia seorang
pemikir besar, teolog terkemuka, filosof, faqih, dan sufi
Krisis yang dihadapi umat Islam pada zaman imam al-Ghazali seputar politik, aliran
pemikiran, militer, sosial dan keilmuan. Berpijak dari pengamatan terhadap titik-titik
problema umat itu, imam al-Ghazali melakukan evaluasi, analisis dan menawarkan
solusi.
Habib Muhammad Naquib al-Attas mengatakan; “Beliau hidup pada zaman
pergolakan agama dan pemikiran. Pergolakan ini dicetuskan oleh tantangan pandangan
alam asing yang disebarkan secara halus ke dalam pemikiran dan kepercayaan kaum
Muslim oleh para filosof dan pengikut mereka. Termasuk oleh berbagai golongan
sesat1”.
Di masa beliau hidup, pasukan Salib menginvasi Palestina dan sebagian wilayah
Syam. Umat Islam tidak berdaya menghadapi serangan besar-besaran secara tiba-tiba
ini. Ketika perang Salib I masih berkobar, di mana pasukan Salib masih menguasai
Baitul Maqdis, Kesultanan Bani Saljuk, kesultanan yang menopang kekhalifahan
Abbasiyah, mengalami perpecahan dan perang saudara.
Di saat itu, pemikiran mu’tazilah berkembang dan gerakan radikal Syiah Isma’iliyyah
cukup pesat. Pada tahun 1092, setahun setelah Imam al-Ghazali menjadi rektor
Nidzamiyah, Nizam al-Muluk, seorang sultan Bani Saljuk, dibunuh oleh seorang
anggota Assassin, kelompok radikal dari sayap Syiah Bathiniyyah2.
Runtuhnya akhlak dan kecintaan masyarakat pada dunia (hubbu dunya) mengakibatkan
perpecahan dan pertikaian antar umat Islam sendiri. Antar madzhab fikih menyerang
ajaran-ajarannya. Seperti dicatat oleh Ibnu Asakir: ”Dulu dalam waktu yang panjang,
para pengikut madzhab Hambali memperkuat dirinya dengan ide-ide kalam Asy’ari
ketika berhadapan dengan ahlu bid’ah (mu’tazilah). Karena Asyariyah dikenal piawai
dalam ilmu Kalam. Jika seorang Hambali membantah ahli bid’ah, maka ia

1
Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam Pengantar International Conference on al-Ghazali’s Legacy:
Its Contemporary Relevance (24-27 Oktober 2001): Kuala Lumpur, ISTAC, hal. 1
2
Gerakan Assasin dipimpin oleh Hasan al-Shabah muncul pada abad ke-5 H. Mengatasnamakan
membela Ahlul Bait. Mereka merencanakan gerakan teror membunuh pemimpin politik dan
ulama.Assasin berasal dari al-Hasyasyi. Dari kata hasyisy (obat terlarang). Para sejarawan mengatakan
bahwa kelompok ini mempengaruhi pengikutnya dengan obat terlarang sampai mabuk. Sehingga disebut
kelompok al-Hasyasyin. (Lihat Majid Irsan al-Kailani,Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan
Perang Salib,terj. (Bekasi:Kalam Aulia Mediatama, 2007), hal. 41

1
menggunakan argumen Asyari’”3. Kondisi inilah yang melanda umat Islam sebelum
serbuan tentara Salib ke Palestina.
Perpecahan dan pertikaian tersebut salah satu diantara faktornya adalah ta’ashub
(fanatisme). Hal ini dijelaskan oleh imam al-Ghazali, bahwa seorang ahli fikih
menampakkan kehebatan pribadinya sehingga mengabaikan ilmu-ilmu lainnya. Belum
lagi antar pengikut madzhab fikih ada perasaan paling berhak mendakwahkan
fatwanya. Seorang ahl kalam (mutakallimun) timbul perasaan paling ahli berdebat dan
mematahkan ahli bid’ah. Para filosof merasa sombong dengan ilmu logikanya.
Perasaan hebat secara berlebihan tersebut menghantarkan sombong dan hasud.
Berbagai krisis di dunia Islam pada zaman itu, oleh imam al-Ghazali dilihat dari
perspektif lebih luas dan dalam. Hujjatul Islam tidak memulainya dari sisi politik
atupun militer. Akan tetapi, imam al-Ghazali memulai dengan mengajar umat untuk
melakukan kritik diri (naqdu al-dzat). Kemunduran dan kelemahan demi kelemahan
yang memuncak terjadi karena ada ‘penyakit’ di dalam umat Islam sendiri yang
menghalangi untuk bangkit. Karena itu, beliau memulai dengan perbaikan pemikiran
dan keilmuan.
Sikap imam al-Ghazali dalam merespon situasi krisis ini tanpa membahas panjang bab
khusus tentang jihad (dengan makna qital) dalam kitab besarnya Ihya’ Ulumuddin
disalah pahami beberapa penulis, seperti Zaki Mubarak4.
Mengenai jihad dengan makna qital, adalah tidak benar imam al-Ghazali tidak paham
jihad. Dalam kitab Ihya Ulumuddin bab al Amru bil Ma’ruf wa Nahy anil Munkar
disinggung tugas Muslim dalam jihad. Seperti dikutip oleh Adian Husaini, seorang
ulama Damaskus yang pernah menjadi murid imam al-Ghazali di Masjid Umawiy,
Syekh Ali al-Sulami menjelaskan pandangan fikih jihad imam al-Ghazali. : “Jika satu
kelompok yang berjuang melawan musuh sudah mencukupi, maka mereka dapat
berjuang keras melawan musuh. Tetapi, jika kelompok itu lemah dan tidak memadai
untuk menghadapi musuh dan menghapuskan kejahatannya, maka kewajiban jihad itu
dibebankan kepada negara terdekat”. Dalam kitab Minhajul ‘Abidin, Imam al-Ghazali
menyatakan bahwa jihad merupakan kewajiban secara umum. Bila seorang Muslim
dibebani jihad maka dia wajib belajar fikih jihad5.

Naqdu al-Dzat dan Jihad Nafsu


Perbaikan besar-besaran dilakukan oleh imam al-Ghazali setelah dia ber’uzlah selama
sebelas tahun. Perbaikan secara umum itu dapat disebut proyek jihad nafsu. Majid
Irsan al-Kilani mengatakan pengaruh signifikan imam al-Ghazali dalam kebangkitan
dilihat dari sebuah prinsip yang bernama insihab dan audah. Al-Insihab artinya
menarik diri untuk memperbaiki keadaan internal dan membangun komunitas yang
tangguh. Al-‘Audah artinya terjun kembali ke kancah masyarakat untuk melakukan
perubahan-perubahan dengan nilai-nilai baru. Prinsip ini mengandung makna, umat

3
Ibnu Asakir, Tabyin Kadzib al-Muftari, hal. 163
4
Baca artikel Adian Husaini Memahami Konsep dan Kiprah Jihad imam al-Ghazali dalam jurnal Insani.
Adian menjawab kritikan posisi imam al-Ghazali dan menjelaskan alasan kenapa al-Ghazali yang
banyak menulis jihad nafsu, sebagai jihad akbar dalam tulisan-tulisannya khususnya Ihya Ulumuddin.
5
Imam al-Ghazali, Minhajul ‘Abidin, hal. 17

2
Islam meninggalkan pertikaian cabang lalu memfokuskan perhatian untuk mendidik
komunitas dengan membersihkan penyakit-penyakit dalam diri kemundian terjun ke
kancah masyarakat6. Secara umum prinsip ini masuk dalam medan jihad nafsu.
Salah satu model prinsip ini bisa diamati dalam autobiografi kitab al-Munkidz min al-
Dhalal. Richard Joseph Mc Carthy, peneliti Barat, berpendapat bahwa kitab al-
Munkidz menurut para ahli merupakan pengakuan imam al-Ghazali tentang petualang
keilmuannya7. Sesuai dengan namanya kitab ini berisi perjalanan intelektual imam al-
Ghazali menemukan solusi-solusi keilmuan dan membebaskan dari kesesatan. Dalam
autobriografi itu akhirnya jalan tasawwuf yang disimpulkan sebagai jalan punjak
menuju kebenaran.
Jihad nafsu dimulai dengan perbaikan ilmu pengetahuan. Lahirnya ulama-ulama yang
jahil, yang tidak kapabel keilmuannya, yang korupsi ilmu agama, yang berfatwa tanpa
ilmu yang memadai, yang akhlaknya rusak, yang cinta dunia, dan sebagainya, adalah
bencana terbesar yang dihadapi oleh umat Islam. Hal itu dikiritik oleh imam al-Ghazali
dalam karyanya, khususnya Ihya Ulumuddin.
Dalam Kitab Ihya Ulumuddin, beliau berpesan: Sesungguhnya, kerusakan rakyat
disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan
oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan
kedudukan, dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu
mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah lah tempat meminta segala hal8.
Kitab Al-Tibr al-Masbuk fi Nashihat al-Muluk adalah karya utama tentang politik al-
Ghazali yang menjelaskan perbaikan-perbaikan politik dan nasihat-nasihat untuk
penguasa. Karya itu adalah kumpulan tulisan beliau yang dihadiahkan kepada Sultan
Muhammad Ibnu Malik dari dinasti Saljuk. Menurut Imam al-Ghazali, khalifah adalah
pelindung pelaksanaan syari’at. Perjalanan hukum ilahi menjadi tanggung jawab
seorang penguasa. Maka, menurut beliau keberadaan negara adalah sangat urgen.
”Keteraturan agama tidak bisa dihasilkan kecuali dengan seorang Imam (pemimpin
negara) yang ditaati”9.
Menurut imam al-Ghazali, seorang “ulama” yang fasik lebih berbahaya daripada
seorang awam yang maksiat. “Ulama” yang fasik disebut dengan “ulama jahat” (ulama
suu’). Cirinya, menjual ilmu dengan harta. Parameternya bukan ilmu, tapi duniawi –
kedudukan (jaah), harta (maal), dan kebanggaan diri. Jika ada kemungkaran, dibiarkan
– demi kepentingan sesaat. Ulama Suu’ (ulama jahat) justru menjerumuskan negara
pada kerusakan, mencerai-beraikan masyarakat, dan bangsa.
Peran utama al-Ghazali adalah dalam mengokohkan kembali pilar penting peradaban
dan masyarakatnya, yaitu ilmu pengetahuan serta otoritas yang mengembannya
(ulama). Dalam kapasitasnya sebagai ulama, ia berusaha mengungkapkan kebenaran

6
Majid Irsan al-Kailani, Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib,terj. (Bekasi:Kalam
Aulia Mediatama, 2007), hal. 41
7
Richard Joseph Mc Carthy, Al-Ghazali dan Jalan Baru Intelektualisme pengantar terjemahan al-
Munkidz min al-Dhalal,(Surabaya: Pustaka Progresif, 2001), hal. 55
8 Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin juz II ,(Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyah), hal.381
9 Abu Hamid al-Ghazali, Al-Iqtishad fii al-‘Itiqad, (Beirut: Dar al-Qutaibah, 2003, cet. 1 ) hal. 69

3
dan membersihkannya dari kesalahan, serta menunjukkan mana jalan yang perlu
ditempuh dan mana yang perlu dihindari.
Ibnu Khaldun berpendapat, bahwa runtuhnya peradaban dikarenakan penyakit
materialisme dan menurunnya pengembangan ilmu pengetahuan. Ibnu Khaldun
mengatakan: “Jika kekuatan manusia, sifat-sifatnya serta agamanya telah rusak,
kemanusiannya juga akan rusak, akhirnya ia akan berubah menjadi hewan”10 .
Dalam hal ini, ciri khas imam al-Ghazali adalah melakukan kritik-kritik terhadap
ilmuan yang telah termakan budaya madiyyah (materialism) dan lebih cinta dunia
daripada akhirat. Baik filosof, mutakallimun, fuqaha’ dan sufi.
Dalam perkara para sufi, imam al-Ghazali memiliki perhatian terhadap fenomena guru
sufi pada zamannya. Dalam Kitabnya "Khulashah al-Tashanif fi al-Tasawwuf Imam
al-Ghazali berpendapat pada zamannya beliau menemui guru sufi yang tidak
memenuhi syarat. Bahkan tidak taat pada syariat.
Beliau mengatakan: 'Apalagi di zaman ini. Sebab, banyak orang yang mengaku
sebagai guru sufi. Tetapi, pada dasarnya dia hanya mengajak manusia kepada
permainan dan perbuatan tidak berguna. Bahkan, ada orang zindiq yang mengaku
sebagai mursyid yang menyimpang dari syariah11.
Karena itu, seorang mursyid wajib secara dzahir dan batin taat kepada syariah. Jika
seorang menemui mursyid yang menyimpang ini, maka ia wajib menolaknya.12
Kritik terhadap saintis, ahli kalam, ahli fikih dan lain-lain diungkapkan oleh imam al-
Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin dan al-Kasyf wa Tabyiin fi Ghururi al-Khalq
Ajmain.
Seorang yang tertipu dengan ilmunya ada beberapa kelompok. Di antaranya adalah
mereka yang menekuni ilmu-ilmu syariat dan ilmu rasional. Terhadap dua ilmu ini
mereka sangat disiplin. Namun di sisi lain mereka mengabaikan anggota tubuhnya dari
perbuatan maksiat. Ilmu syariat dan rasional dikuasai, namun tidak diamalkannya.
Ketertipuannya terletak pada perasaan diri bahwa dengan eksisnya ilmu syariat dalam
dirinya, ia merasa sudah aman dari murka Allah Swt. Prasangka yang berlebihan
bahwa ilmu yang ia pelajari langsung menaikkan derajatnya di sisi Allah Swt. Padahal,
untuk mendapatkan derajat tinggi, ilmunya harus diamalkan.
Mereka juga berperasangka bahwa ilmu yang dimiliki tidak mungkin menyebabkannya
masuk neraka. Lebih dari itu, mereka berperasangka bahwa dirinya – yang telah
meraih ilmu itu – bisa memberi syafaat kepada orang lain pada hari kiamat. Padahal,
ilmunya saja belum menjamin ia masuk surga.

10
Ibnu Khaldun, al-Mukaddimah, hal.289
11
Imam al-Ghazali, Khulashah al-Tashanif fi al-Tasawwuf, dalam Majmu’ Rasail al-Imam al-Ghazali,
hal. 335
12
Ibid

4
Mereka inilah yang tertipu dengan ilmu yang dimiliki. Padahal, ilmu yang bermanfaat
adalah apabila diamalkan dan membawa kepada rasa khasyyah (takut) kepada Allah
Swt.
Kelompok lain orang yang ghurur adalah golongan yang menguasai ilmu dan amalan-
amalan lahir. Meninggalkan maksiat lahir, namun mereka lupa terhadap amalan hati.
Seorang ahli ilmu syariat namun mengabaikan ilmu adab hati. Tidak sedikit orang
yang mengetahui cara membersihkan hati, menulis buku-buku tentangnya dan
mengajarkannya kepada orang lain namun lupa sabda Rasulullah Saw: “Barangsiapa
yang semakin bertambah ilmu namun tidak bertambah petunjuknya, maka ia tidak
akan mendekat pada Allah Swt kecuali malah semakih jauh”.
Di antarnya ada ilmuan yang hanya mencukupkan diri dengan ilmu fikih, tetapi abai
terhadap ilmu-ilmu yang lain. Siang-malam dihabiskan untuk meneliti persoalan
khilafiyah, namun lupa penyakit yang menempel dalam hatinya sendiri. Berprasangka
bahwa tidak ada ilmu lain yang menarik perhatiannya, kecuali ilmu perdebatan
(munadzarah), membela diri, mengalahkan lawan-lawannya demi eksistensinya
sebagai ilmuan yang ‘ahli’ fikih.
Akibatnya, tipe orang seperti itu mengabaikan sifat-sifat yang tercela seperti sombong,
riya, hasud, cinta kehormatan, pangkat dan mencari popularitas. Semua ini adalah
bentuk ketertipuan terhadap ilmunya. Kesibukannya hanya bertumpu pada amaliah
lahir saja.
Kelompok ghurur berikutnya adalah mereka yang mengetahui dan menyadari akhlak-
akhlak tercela. Hanya mereka ujub (bangga diri), menyangka bahwa akhlak yang
tercela tersebut telah lepas darinya. Mereka memang memiliki ilmu. Secara lahir
terlihat beradab kepada lainnya, namun dalam batinnya menyimpan sifat sombong,
gila hormat, jabatan dan gila popularitas. Perasaan batin ini tidak Nampak secara fisik,
namun tersimpan rapat dalam hati. Inilah ghurur yang berbahaya.
Lebih berbahaya lagi ketika ghurur tersebut semakin samar. Di antaranya seperti
prasangka hati bahwa perbuatan orang yang ujub tadi dianggapnya bukanlah
kesombongan namun upaya untuk memulyakan agama. Bersikap sombong namun
disangka itu memperjuangkan dan mensyiarkan agama. Mereka inilah agamawan yang
mencari kemulyaan dan kebanggaan diri melalui agama dengan hartanya yang
mewah13.
Imam al-Ghazali telah mengingatkan, penyakit orang berilmu itu ada tiga: hasud, riya
dan sombong. Kesombongan yang paling besar adalah menolak kebenaran dan
otoritas. Tatkala seseorang merasa dirinya telah menjadi ulama besar, telah mencapai
derajat mujtahid yang berhak memberi pandangan tertentu dalam hukum agama, maka
ia akan merendahkan ulama lainnya yang bertentangan dengannya.

Tasawuf dan Perang Salib

13
Imam al-Ghazali, Al-Kasyfu wa al-Tabyin fi Ghururi al-Khalqi Ajmain, dalam Majmu Rasail al-Imam
al-Ghazali, (Beirut-Libanon: Dar al Kutub al-Ilmiyah, 2006), hal. 163-170

5
Jihad dengan makna qital (perang fisik) tidaklah dihalangi oleh tasawuf. Karena tidak
ada doktrin dalam tasawuf yang menghalangi apalagi menolak qital. Justru sangat
banyak ulama-ulama sufi yang terlibat dalam peperangan.

Praktik kehidupan kaum sufi yang eksklusfi sering kali menjadi titik penolakan orang
terhadap tasawuf. Padahal, di luar kehidupan eksklusif itu kaum sufi peduli terhadap
jihad qital. Prof. Dr. As’ad al-Khatib menunjukkan bagaimana peran para sufi
melawan penjajahan dalam bukunya bertajuk ‘al-Buthulah wa al-Fida` Inda Shufiyah’.
Secara apik, buku ini menjelasakan perjuangan dalam medan laga mulai dari sufi-sufi
salaf abad pertengahan. Keberhasilan para pasukan menaklukkan hingga mengelola
pemerintahan tidak lepas dari peran mereka. Tidak hanya dulu tetapi hingga pegiat-
pegiat tarekat di zaman modern.

Tercatat nama-nama sufi seperti Hatim al-Ashom, syahid di medan jihad. Abu Yazid
al-Busthomi, yang ditujulu, sultan kaum al-Arif, adalah seorang prajurit di medan
jihad. Dan masih ada beberapa tokoh sufi yang juga mujahid14.

Di tengah-tengah medan laga Perang Salib terdapat energi dari kaum sufi. Nuruddin
Zanki membangun sekolah-sekolah di kota Harran Suriah dan menyerahkannya kepada
Syekh As’ad bin al-Manja (w/1221M), dan Syekh Hamid bin Mahmud (w.1174M),
guru sufi murid Syekh Abdul Qadir al-Jailani15.
Ibnu Kastir juga mencatat bahwa Najmuddin Yusuf Ayyub (ayah Shalahuddin al-
Ayyubi) membangun sebuah pemondokan sufi di Mesir, sebuah masjid dan parit di
luar gerbang daerah al-Nashr di Kairo. Sedangkan di Damaskus, beliau membukan
pondok sufi yang dikenal dengan nama al-Najmiyyah.16
Kepedulian Sultan Shalahuddin al-Ayyubi tidak kalah. Ia membangun sejumlah
madrasah di Kairo, Iskandariyah, Damaskus dan lain-lain. Madrasah-madrasah itu
untuk para pengikut madzhab Syafi’i, Hanafi dan Maliki.
Model-model madrasah yang dibangun baik oleh Nuruddin Zanki maupun
Shalahuddin al-Ayyubi mengadopsi madrasah al-Qadiriyah dan Nidzamiyah.
Madrasah al-Qadiriyah didirikan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Madrasah
Nidzamiyah adalah sekolah dimana imam al-Ghazali membangun karir.
Muhammad Ali As-Syalabi mencatat, Nuruddin Zanki yang bermadzhab Hanafi
sebagian besar pejabatnya menganut madzhab Syafii, dan kebanyakan mereka alumni
madrasah Nizamiyah, seperti Qadhi Kamal as-Syahrazuri, dan Ibnu Abi
Ashrun.17Bahkan selama masa pemerintahan Shalahuddin al-Ayyubi di Mesir telah
dibangun 300 ribath (pemondokan) untuk kaum sufi yang datang dari berbagai negara.
Sultan Shalahuddin al-Ayyubi sendiri merupakan amir yang sangat peduli dengan
amaliyah tasawuf. Seperti diceritakan oleh Ali Muhammad al-Syalabi, Shalahuddin

14
Moh Isho Mudin,Pedang Para Sufi,dalam http://inpasonline.com/new/pedang-para-sufi/
15
Majid Irsan al-Kailani, hal. 253
16
Ibnu Kastir,Al-Bidayah wa al-Nihayah hal.
17
Muhammad Ali al-Syalabi,Shalahuddin al-Ayyubi,Pahlawan Islam Pembebas Baitul Maqdis,terj.
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar), hal. 362

6
al-Ayyubi menyuruh tentaranya mendirikan shalat malam dan berdzikir yang banyak
kepada Allah. Dia memeriksa kemah tentara, jika di sana dia temukan tentaranya lalai
dari berdzikir, dia bangunkan tenara itu dan mengingatkan mereka akan pentingnya
memperbanyak dzikir kepada Allah, beribadah dan taat kepada –Nya18.
Pengaruh pendidikan tasawuf imam al-Ghazali sangat terasa pada masa syekh Abdul
Qadir al-Jailani. Metode madrasah al-Ghazali diadopsi oleh madrasah setelahnya,
seperti al-Qadiriyah, madrasah al-Adawiyah, madrasah as-Suhrawardiyah, madrasah
al-Bayaniyah, madrasah al-Ja’bari, Madrasah Hayat bin Qais al Harrani, madrasah
Aqil al-Manbaji.
Secara umum, madrasah pemikiran tasawuf imam al-Ghazali memiliki dua tujuan
pokok. Pertama, Melahirkan generasi baru ulama dan elit pemimpin yang mau berbuat
dengan pemikiran yang bersatu dan tidak terpecah-pecah. Kedua, Mengatasi penyakit-
penyakit krusial yang menggerogoti umat dari dalam.
Reformasi moral dengan penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) melalu jalan tasawuf imam
al-Ghazali melahirkan pejuang-pejuang yang lebih mencitai akhirat daripada cinta
dunia. Ia mengatakan, orang zuhud yang cinta pada Allah, mereka beperang di jalan
Allah seperti bangunan yang sangat kokoh, menunggu dua keindahan (ed: syahid atau
menang). Ketika ada perintah berjihad, harumnya surga masuk menyerbak ke dalam
rongga hidung. Mereka bergegas dengan cepat seperti orang kehausan menemuan air
es. Inilah sikap golongan shadiqin (orang-orang yang tulus)19.
Dari model reformasi nya, tasawuf imam al-Ghazali bertujuan melahirkan orang
mujahid yang zuhud. Sebab orang yang zuhud tidak takut mati, bahkan mencintai
kematian karena menginginkan bertemu dengan Allah Swt dengan cara yang mulya.
Dari sini dapat dipahami, tasawuf yang esensinya tazkiyatun nafs dan kehidupan zuhud
justru melahirkan manusia-manusia kuat yang tidak cinta duniawi. Kelemahan dan
kelesuhan jihad disebabkan kaum Muslimin takut mati dan cinta dunia (hubbub dunya
wa karahiyatul maut). Karena seorang yang ma’rifah (mengenal dengan sempurna)
Allah Swt, maka yang ada dalam hatinya hanya Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada harta,
kedudukan, dan kemulyaan matari. Sifat inilah merupakan sifat idel dari para mujahid.
Untuk membentuk pribadi-pribadi berjiwa pejuang (mujahid) dan hati yang bersih,
maka diperlukan pendidikan ideal. Dalam hal ini Imam al-Ghazali memulainya dari
memperbaharui (tajdid) pemahaman tentang ilmu dan pendidikan.

Megaproyek Menghidupkan Ilmu


Karya monumental Imam al-Ghazali adalah kitab Ihya’ Ulumuddin. Kitab ini
sepertinya dipersiapkan sangat matang untuk perbaikan masyarakat. Ciri khas
reformasi yang dilakukan adalah memadukan ilmu pengetahuan dengan tasawuf. Hal
ini digambarkannya dalam kitab Al-Munkidz min al-Dhalal. Ilmu falsafah, kalam dan
sains menemukan esensi kebenarannya jika bersentuhan dengan tasawuf.

18
Ibid, hal. 617
19
Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin 4, hal. 242

7
Hal ini dijelaskan dalam Al-Risalah al-Ladunniyah, bahwa seseorang menjadi bodoh
lantaran menemani jasad dan tinggal di ‘rumah’ (jiwa) yang kotor dan gelap. Sesorang
akan mudah menerima kebenaran ilmu apabila jiwa dikembalikan pada posisi awal
fitrahnya dan melenyapkan penyakit-penyakit yang mengotori jasadnya.20
Kitab Ihya’ Ulumuddin dibuka dengan bab Ilmu. Metode ini mengisyaratkan bahwa
pemahaman ilmu yang benar akan membuka esensi kebenaran cabang-cabang ilmu
yang lain. Proyek menghidupkan Islam (ihya’ al-‘ulumi) merupakan proyek besar
imam al-Ghazali. Imam al-Ghazali mejelaskan bahwa pembahasan dalam Ihya’
berdasarkan pemahaman para imama terdahulu dan para salaf shalihin21. Bab di
dalamnya sebetulnya telah diuraikan para alim terdahulu, hanya imam al-Ghazali
mensistemasi kembali dengan kemasan pembaharuan ditambah pemahaman hasil
kontemplasi selama beberapa tahun.
Kitab Ihya’ Ulumuddin dibagi dalam empat bagian besar. Yaitu Rub’ul Ibadat, Rub’ul
‘Adat, Rub’ul Muhlikat dan Rub’ul Munjiyat. Rub’ul Ibadat terdiri dari; Kitabul ilmu,
Kitabu Qowa’idul ‘Aqaid, Kitab Asraru al-Thaharah, Kitab Asrar al-Shalat, Kitab
Asrar al-Zakat, Kitab Asrar al-Shiyam, Kitab Asrar al-Haj, Kitab Adabu Tilawatil
Qur’an, Kitab al-Adzkar, Kitab al-Da’awat, Kitab Tartib al-Auwrad fil Auqat.
Penggalan pertama kitab Ihya’ Ulumuddin banyak membahas kajian fikih (hukum
Islam) dan hal-hal terkait dengan ibadah selain kitab ibadah. Adapun Kitabul Ilmu
merupakan pembukan untuk empat penggalan kitab tersebut. Sulit untuk
mengkatorikan secara tunggal tipe kitab ini. Ciri khas imam al-Ghazali secara
keseluruhan adalah mensepadukan ilmu-ilmu. Maka dalam penggalan pertama tersebut
terdapat bab ilmu, akidah dan fikih
Kemudian di penggalan kedua, Rub’ul ‘Adat berisi; Kitab al-Akl, kitab Adab al-Nikah,
kitab Ahkam al-Kasb, kitab al-Halal wal Haram, kitab Adab al-Suhbah wa al-
Mu’asyarah ma’a Ashnaf al-Khalq, kitab al-Uzlah, kitab Adab al-Safar, Kitab al-
Sama’, Kitab al-Amru bil Ma’ruf wa Nahy ‘anil Munkar, Kitab Adab al-Ma’isyah wa
Akhlak al-Nubuwah.
Jika di penggalan pertama mengkaji masalah teologis dan yuridis, maka di penggalan
kedua membahas etika-etika sosiologis. Pemikiran sosiologis nya selalu didasarkan
atas basis-basis teologis.Salah satu karateristik Islam adalah menjaga adab kepada
Allah SWT sekaligus adab kepada sesama manusia. Adab kepada-Nya dengan percaya
dan beribadah. Sedang adab kepada manusia adalah memenuhi hak-hak yang mesti
diberikan kepada mereka. Dua-duanya adalah kewajiban yang sifatnya hierarkis.
Berbuat baik kepada manusia, akan tetapi meninggalkan shalat misalnya bukan
karakter seorang Muslim. Begitu pula, menyembah kepada Allah akan tetapi berbuat
buruk kepada tetangga, adalah bukan karakter muslim bertauhid.
Artinya, seseorang yang bertauhid, mesti berbuat baik kepada manusia. Jika pun
akhlaknya buruk, maka ia belum menjadi muslim bertahid yang ideal. Sebaliknya,
berbuat baik kepada sesama juga mesti didasari dengan tauhid, keimanan, bukan yang
lainnya. Inilah yang disebut muslim yang baik.

20
Imam al-Ghazali,Al-Risalah al-Laduniyah, dalam Majmu’ Rasail al-Imam al-Ghazali, hal. 465
21
Pembukaan Ihya’ Ulumuddin 1,(Beirut-Lebanon: Darul Fikr, 1991), hal. 10

8
Penggalan ketiga,Rub’ul Muhlikat, berisi; ‘Ajaib al-Qalb, kitab Riadh al-Nafs, kitab
Afat Syahwatain, kitab Afatul Lisan, kitab Afatul Ghadab wal Hiqd wal Hasad, kitab
Damm al-Dunya, kitab Dzamm al-Mal wal Bukhl, kitab Dammu al-Jah wa al-Riya’,
kitab Dzamm al-Kibr wal ‘Ujub, kitab Dzamm al-Ghurur.
Penggalan Rub’ul Muhlikat merupakan penjalasan tentang penyakit jiwa yang wajib
dipelajari secara umum oleh setiap Muslim. Di antaranya cara membersihkan penyakit-
penyakit hati dan sebab-sebanya. Juga diuraikan bahaya serta kerusakan penyakit hati
tersebut22.
Baik pada penggalan pertama atau ketiga, imam al-Ghazali termasuk melontarkan
kritik dan kritik secara lugas. Seperti bahaya ulama su’, ulama yang menjual agama
dengan akhirat, ilmuan-ilmuan tertipu, akidah-akidah yang menyimpang. Semuanya
dijelaskan argumentasinya kemudian dianalisis dan dikritik.
Menurut imam al-Ghazali, sebelum melakukan kritik seseorang perlu menguasai
secara total masalah itu. Beliau mengatakan: “…aku yakin bahwa seseorang tidak akan
mengetahui kesalahan suatu ajaran sebelum dia mendalami seluk-beluk ajaran tersebut,
sehingga dia setara dengan orang yang ahli dalam dasar-dasar ilmu tersebut. Bahkan
dia harus unggul dan mencapai tingkat yang tinggi, sehingga dia menguasai kedalaman
yang rumit yang masih berada di luar jangkauan pengetahuan dari pakar yang diakui
dalam ilmu tersebut. Maka dapat disimpulkan bahwa hanya dengan cara inilah sebuah
kesalahan yang dia tunjukkan tersebut bisa dilihat apa adanya”.23
Penggalan terakhir adalah Rub’ul Munjiyat, yang terdiri dari; kitab Taubah, kitab al-
Shabr wa al-Syukr, kitab al-Khouf wa al-Raja’, kitab al-Faqr wa al-Zuhd, kitab
Tauhid wa Tawakkal, kitab al-Mahabbah wa al-Syauq wal Uns wa al-Ridha, kitab al-
Niyyah wa al-Shidq wa al-Ikhlas, kitab al-Muraqabah wa al-Muhasabah, kitab al-
Tafakkur, kitab Dzikri al-Maut.
Rub’ul Munjiyat adalah kitab tentang akhlak yang baik dan terpuji yang bisa
menyelamatkan seorang Muslim dari kerusakan (muhlikat). Merupakan ‘obat’ dari
penggalan ketiga (rub’ul muhlikat).
Bab ilmu menjadi bab pertama dan paling fenomenal karena pada zaman itu kerusakan
serius tardapa dalam masalah ini. Seperti dijelaskan di atas, akibat penyakit muhlikat
itu terjadi Dengki antar ilmuan, kekejaman penguasa, kehancuran moral, kerusakan
pendidikan, dan lain-lain yang semuanya wabah ini disebabkan oleh penyakit al-wahn;
cinta dunia (hubbu dunya) dan takut mati (karahiyatul maut).
Kitab Ihya’ Ulumuddin disipakan untuk menjadi ‘obat’ bagi penyakit-penyakit yang
dilanda masyarakat. Obat te rsebut tak lain adalah hikmah. Seperti diungkapkan
dalam Ihya Ulumuddin bahwa apabila hati tidak bertemu ilmu dan hikmah selama tiga
hari, maka hati itu akan mati. Karena makanan hati itu adalah ilmu dan hikmah.
Dengan keduanya ini hati menjadi hidup. Sebagaimana jasad yang membutuhkan
hidangan makanan. Akan tetapi, persoalannya bila hati sedang mati atau kesakitan,

22
Ibid, hal. 11
23
Abu Hamid Imam al-Ghazali,Al-Munkidz min al-Dhalal, hal. 133

9
manusia tidak merasakan apa-apa24. Sehingga banyak yang sakit jiwa tetapi tidak
merasa.
Konsep dan prinsip keilmuan imam al-Ghazali kemudian sangat berpengaruh di dunia
Islam bagian Timur pada waktu itu. Menurut analisis Majid Irsan Kailani, pengaruh
kurikulum Ihya’ Ulumuddin tampak dalam sosok Syekh Abdul Qadir al-Jailani yang
menginisiasi madrasah al-Qadiriyah. Madrasah ini dan Nidzamiyah menjadi model
madrasah-madrasah yang jumlahnya puluhan, mulai dari Mesir, Syam, Iraq dan lain-
lain. Alumni madrasah-madrasah inilah yang menduduki jabatan-jabatan penting di
kesultanan Bani Saljuk, Nuruddin Zanki dan Shalahuddin al-Ayyubi.
Kesimpulan
Dalam karya-karya imam al-Ghazali, reformasi yang dialakukan memiliki kekhasan.
Pertama, tulisan-tulisan imam al-Ghazali tidak memuat ajakan kepada kaum Muslimin
untuk berjihad (qital) melawan kaum Salib dan bangsa Mongol. Kedua, beliau lebih
cenderung melakukan kritik atas diri sendiri (al-naqd al-dzati).
Dalam sejarah, ternyata minimnya kekuatan militar dan jumlah manusia tidak menjadi
faktor keruntuhan peradaban. Bangsa yang memiliki kekuatan militer tetapi lemah
dalam ilmu pengetahuan akan dikalahkan oleh bangsa yang berilmu pengetahuan
meski lemah kekuatan militernya.
Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud mengatakan: “Telah berlaku beberapa kali dalam
sejarah, bagaimana sesuatu bangsa yang kuat tenaga manusianya tetapi tidak ditunjang
oleh budaya ilmu yang baik, akan menganut dan tunduk terhadap peradaban yang
ditaklukannya”. Contoh ketika bangsa Mongol di bawah pimpinan Jengis Khan dan
Kublai Khan menaklukkan Cina, ternyata dalam perjalanan waktu bangsa Mongol
‘dicinakan’ oleh rakyat Cina. Karena bangsa Cina berpengetahuan sedangkan bangsa
Mongol hanya mengandalkan kekuatan manusia.
Begitu pula ketika bangsa Mongol menyerang Baghdad secara membabi buta,
membantai penduduknya dan membakar perpustakannya. Namun, ternyata bangsa ini
terislamkan dalam beberapa tahun kemudian25.

24
Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin 1, hal. 18
25
Wan Mohd Nor Wan Daud,Budaya Ilmu, (Pustaka Nasional: Singapura,2007), hal. 12

10

Anda mungkin juga menyukai