Anda di halaman 1dari 2

Sasaran yang Ingin Dicapai dan Metode yang Dilakukan Oleh Al-Ghazali

Langkah awal dalam Islah adalah menarik diri (al insihab) dari kesibukan urusan publik
dan menggantinya dengan sibuk membenahi diri untuk menjalani dua proses penting yaitu:
1. Mengevaluasi semua pemikiran, keyakinan, dan persepsi yang diterima dari masyarakat
saat itu yang penuh dengan berbagai mazhab dan aliran yang bertentangan, terutama setelah
benar-benar mampu membedakan antara ‘Islam’ yang terangkum dalam Al-Qur’an dan
sunnah dengan konsep Islam yang diwarisi dari nenek moyang atau yang dilahirkan oleh
mazhab dan kelompok lalu diangkat ke suatu derajat yang setara dengan Islam sehingga
menghalangi manusia dari Al-Qur’an dan sunnah, menumpulkan kemampuan akal mereka
untuk berijtihad, dan memperkuat taqlid dan fanatisme mazhab yang fanatik.
2. Mengevaluasi kecenderungan jiwa dan tujuan sebenarnya yang didapatkan selama
menjalani aktivitas mazhab, yaitu kecenderungan yang hanya berkisar pada menjadikan
tokoh-tokoh mazhab sebagai pemegang otoritas hukum dan bukan Islam. Kecenderungan
tersebut telah mencampakkan ulama ke dalam kenistaan dan menjadikan mereka sebagai
mainan para penguasa.

Al-Ghazali memahami semua itu dengan baik sehingga dia mulai membenahi dirinya
sendiri dan pemikirannya. Sikap zuhud dan tasawuf menjadi pilihan barunya, sejak saat itu dia
mulai berguru kepada Syaikh al-Fadhl bin Muhammad al Farmadzi, murid Abu al-Qasim al-
Qusyairi, yang sangat terkenal pada masa itu sehingga menjadi tumpuan utama para pendamba
zuhud dan tasawuf. Tidak lama kemudian, Al-Ghazali melepaskan semua jabatannya, dia pergi
menuju ke Syam dan tinggal disana selama 10 tahun dengan terus berpindah-pindah tempat
antara Damaskus, Baitul Maqdis, dan Hijaz. Dalam kurun waktu tersebut Al-Ghazali benar-
benar mengevaluasi seluruh pemikiran dan keyakinannya dan berusaha meluruskan perilaku
dan kecenderungan jiwanya. Akhirnya, Al-Ghazali berhasil membangun konsepnya sendiri
yang ia yakini kebenarannya dan merasa puas dengannya. Di puncak kepuasannya itu, Al-
Ghazali mengarang sebuah buku yang berjudul al Munqidz Min Adh Dhalal (Penyelamat dari
Kesesatan).
Setelah menyelesaikan petualangan fisik dan intelektual itu, Al-Ghazali sempat
kembali ke Baghdad. Di sana dia membuka majelis ceramah dan mulai mengajar serta
mengajarkan kitab Ihya' 'Ulum ad Din yang ditulis selama berpetualang di Syam. Kemudian
meninggalkan Baghdad menuju kota kelahirannya, Thus, untuk seterusnya mengajar dan
membimbing masyarakat di sana. Setelah kepindahannya ke Thus, menteri Fakhr al-Mulk bin
Nizham al-Mulk menghubunginya kemudian mengangkatnya sebagai guru di Madrasah
Nizhamiyah Naisabur untuk kedua kalinya. Al-Ghazali sempat mengajar di Naisabur beberapa
saat, namun kegiatan formal ini tidak menarik baginya, sehingga dia kembali lagi ke Thus dan
membangun sekolah sendiri di samping rumahnya dan sebuah pondokan untuk kegiatan
tasawuf.
Sasaran yang ingin dicapai oleh Al-Ghazali terfokus pada dua hal, yaitu:
1. Melahirkan generasi baru ulama dan elit pemimpin yang mau berbuat dengan pemikiran
yang bersatu dan tidak terpecah-pecah, usaha mereka saling melengkapi dan tidak saling
menjegal, dan memiliki tujuan yang tulus untuk Allah SWT serta sesuai dengan tuntunan
risalah Islam.
2. Memfokuskan perhatian untuk mengatasi penyakit-penyakit krusial yang menggerogoti
umat dari dalam daripada sibuk dengan gejala-gejala yang ditimbulkan oleh penyakit-
penyakit tersebut, yang di antaranya adalah ancaman para agresor yang datang dari luar.
Al-Ghazali tetap konsisten membagi waktunya untuk mengajar, menulis dan beribadah
sampai meninggal dunia pada hari Senin, 14 Jumadil Akhir, tahun 505 Hijriah/ 1111 Masehi.
Tampaknya sikap zuhud yang dijalani oleh al-Ghazali membuahkan perubahan yang
revolusioner pada kepribadian. Ketika masih mengajar di Madrasah Nizhamiyah Baghdad,
pakaian dan kendaraan yang digunakan olehnya diperkirakan senilai 500 Dinar, namun setelah
mengamalkan zuhud, semuanya hanya ditaksir sekitar 15 Qirath saja. Ketika Anu Syirwan,
pejabat tinggi Khalifah di Thus, berkunjung ke kediamannya, Al-Ghazali berkata kepadanya:
"Waktu yang Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib 75 kamu gunakan akan
diperhitungkan. Anda ibarat pesuruh yang sedang disewa, maka memanfaatkan waktu untuk
tugasmu itu lebih baik daripada mengunjungiku". Maka keluarlah pejabat tinggi tersebut dan
berkata, "Laa ilaha illa Allah. Diakah yang sewaktu masih muda selalu meminta tambahan
gelar kepadaku dan suka memakai emas dan pakaian sutera. Lalu keadaannya sekarang berubah
menjadi seperti ini!!"
Abu al Hasan Abdul Ghafur bin Ismail al-Farisi menggambarkan perubahan sikap Al-
Ghazali seperti berikut, "Saya sering menemuinya. Tadinya tidak pernah terlintas dalam hati
saya bahwa akan terjadi perubahan seperti ini, mengingat apa yang saya ketahui darinya di
masa lalu, saat itu dia terkesan tidak bisa mengontrol diri, tidak akrab dan menganggap rendah
serta meremehkan orang lain dengan penuh sikap sombong, arogan dan bangga dengan
kelebihan cirinya dalam berbicara, kecerdasan, kemampuan berargumentasi, mendapat
kehormatan dan kedudukan yang tinggi. Namun, keadaannya sekarang berubah total dan dia
berhasil membersihkan diri dan sifat-sifat buruk itu".
Metode Islah dan pembaharuan yang dilakukan oleh Al Ghazali didasarkan kepada
tiga kaidah utama, yaitu:
1. Kaidah pertama: Sesungguhnya tujuan dasar keberadaan umat Muslim (al ummah al
Muslimah) adalah untuk membawa risalah Islam kepada seluruh alam semesta. Jika umat
ini berpangku tangan dan tidak menyampaikan risalah Islam, maka dunia akan dipenuhi
oleh berbagai macam kekacauan dan kerusakan yang besar. Umat Islam dan masyarakat
lainnya akan menjadi korban dari keengganan kaum Muslim untuk
menyebarkan risalahnya.
2. Kaidah kedua: Kaidah ini memiliki hubungan yang sangat erat dengan kaedah pertama.
Selama umat Islam dituntut untuk menyebarkan misi reformasi ke seluruh pelosok bumi,
namun pada kenyataanya mereka malah berpangku tangan dan tidak menyampaikan misi
tersebut, maka yang harus dilakukan adalah mencari penyebab sikap berpangku tangan
tersebut dari internal umat Islam sendiri.
3. Kaidah ketiga: Sebagai pelengkap kaidah kedua. Selama ada kebutuhan yang sangat
mendesak untuk menemukan penyebab sikap berpangku tangan yang dilakukan oleh kaum
Muslim, maka tujuan terakhir dari pencarian ini adalah melakukan diagnosa dan memberi
jalan keluar, bukan sekadar menunjukkan reaksi emosional yang bersifat negatif dengan
sibuk mencari kambing hitam dan saling menuduh.

Anda mungkin juga menyukai