Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PEMIKIRAN MODERN DALAM ISLAM


“PEMBAHARUAN DI MESIR (2) JAMALUDDIN AL-
AFGHANI, MUHAMMAD ABDUH RASYID RIDHA, MURID-
MURID MUHAMMAD ABDUH”

Tugas Makalah
Mata Kuliah Pemikiran Modern dalam Islam
Semester VI (S1) Tahun Akademik 2021
Kelompok II :
Sitti Aisyah
NIM: 30100118122
Ashar
NIM: 30100118121

Dosen Pemandu;
Dr. Hj. Darmawati H., M.HI

JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN FILSAFAT DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2021
BAB II
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan Modern Islam terjadi pada abad ke-19, meskipun disadari
bahwa dasar-dasar dari perkembangan modern tersebut sudah muncul sejak abad
sebelumnya. Gerakan politik dan intelektual yang mulai bergerak ke berbagai
kawasan negeri-negeri Islam. Tema sentral dari gerakan tersebut umumnya
berkisar pada dua hal, protes melawan kemerosotan internal dan serangan
eksternal. Kebangkitan itu tidak berarti bahwa sebelumnya Islam dalam kondisi
sedemikian pasif untuk menghadapi perubahan demi perubahan yang terjadi.
Faktor terpenting yang menentukan arus perubahan adalah sejauh mana
gerakan pembaharuan dapat terimplementasi secara nyata dalam kehidupan,
sehingga mampu membentuk sebuah perubahan baru. Dengan demikian
pembaharuan memiliki kekuatan yang sangat besar dalam menciptakan kondisi
masyarakat agar sesuai dengan perkembangan modernisme dengan tidak
meninggalkan ide-ide dasar ajaran yang bersifat normatif. Melalui pemikiran
cerdas yang dimiliki oleh tokoh-tokoh pembaharu, mereka mulai melakukan
aplikasi pemikirannya ke dalam proses kehidupan.
Kondisi keberagaman dan sosial umat Islam terjadi di Mesir pada kurun
waktu sebelum abad ke-19 terjadi kelemahan-kelemahan diberbagai sektor
kehidupan akibat adanya ekspansi Eropa, sehingga kondisi yang sedemikian
memunculkan tokoh-tokoh muslim untk melakukan pergeseran pemikiran
sehingga mampu merubah kondisi kehidupan umat Islam.
Dalam makalah ini, penulis membahas mengenai pembaharuan di Mesir pada
abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang banyak tokoh pembaru yang muncul seperti
Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh Rasyid Ridha dan Murid-murid
Muhammad Abduh. Pada dasarnya mereka merasa tergugah untuk melakukan
pembaruan. Mereka melihat keadaan umat Islam yang terjajah oleh bangsa Barat.
Sehingga pemikiran yang mereka keluarkan bermaksud agar Islam bisa keluar
dari penjajahan, bahkan bisa kembali jaya seperti halnya yang dialami di masa
lampau. Kemajuan yang telah dicapai Barat, membuat mereka bersaing dalam
menguasai daerah-daerah umat Islam. Mesir merupakan daerah yang strategis,
sehingga tak heran jika Mesir menjadi salah satu negara Islam yang dijajah oleh
Barat. Hal inilah yang membuka mata para pemikir-pemikir Islam untuk
melakukan perubahan meninggalkan keterbelakangan menuju modernisasi di
berbagai bidang. Hal inilah yang membuka mata para tokoh pembaharuan Islam
untuk melakukan perubahan dan meninggalkan keterbelakangan menuju
modernisasi di berbagai bidang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang, maka yang menjadi pokok permasalahan,
Bagaimana Biogarafi dari Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh Rasyid
Ridha dan Murid-murid Muhammad Abduh dan bagaimana pemikiran modern
dari Tokoh-tokoh tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Tokoh Pembaharuan di Mesir dan Pemikirannya
1. Jamaluddin al-Afghani dan Pemikirannya
Jamaluddin al-Afghani terlahir dengan nama Muhammad bin Shafdar di
Asadabad, Afganistan pada tahun 1838, bertepatan dengan 1254 H.1 Beliau
memiliki garis keturunan dari cucu Rasulullah SAW, Al-Hussain bin Ali bin Abi
Thalib,2 karena itulah dalam biografi yang menuliskan jati dirinya sering diawali
dengan gelar As-Sayyid dan di akhirnya ditambah dengan nisbat Al-Hussaini.
Ia adalah seorang tokoh pemimpin politik sekaligus sebagai pembaru.
Jamaluddin al-Afghani semasa hidupnya sering berpindahpindah dari satu daerah
ke daerah lain. Pada usia 22 tahun ia menjadi pembantu Pangeran Dos
Muhammad Khan di Afghanistan.Jamaluddin ke Mesir pada tahun 1871. Ia
tinggal di Mesir selama delapan tahun, namun meskipun hanya sementara di sana,
pengaruhnya di Mesir sangatlah besar.
Pada usia dua puluh tahun, al-Afghani menjadi pembantu pangeran Dust
Muhammad Khan di Afghanistan. Tahun 1864 ia menjadi penasehat Sharm Ali
Khan dan beberapa tahun kemudian menjadi Perdana Menteri. Ketika terdesak
oleh Inggris karena mencampuri urusan politik Afghanistan, ia pergi ke India dan
mengenal pendidikan modern. Ketika India jatuh ke tangan Inggris ia pergi ke
Mesir (1871). Di Mesir (1879) ia mempunyai murid seperti Muhammad Abduh
dan Saad Zaghlul. Tahun 1883 al-Afghani pindah ke Paris dan mendirikan
Jamiyat al-Wustqa, beranggotakan orang India, Mesir, Suriah dan Afrika Utara
dengan tujuan memperkuat persaudaraan muslim. Tahun 1889 al-Afghani
diundang ke Rusia untuk menyelesaikan persengketaan antara Rusia dan Persia.
Namun karena ada perselisihan antaranya dengan Syah Nasir al-Din, al-Afghani
dipaksa keluar dari Persia. Kemudian diundang Sultan Abdul Hamid II (1892) dan
menetap di Istambul. Tetapi karena al-Afghani melontarkan ide demokrasi yang

1
Khairuddin Muhammad Az-Zirkili, Al-A’lam (Cet I; Vol. 6; Beriut: Daar Al-‘ilm Li Al-
Malayiin, 2002), h. 168
2
Muhammad Basya Al-Makhzumi, Khaatirat Jamaluddin Al-Afghani: Araa’wa AfkarI
(Cet I; Kairo: Maktabat Asy-Syuruq ad-Duwaliyah, 2002), h. 29
bertentangan dengan kekuasaan Sultan, maka ia di penjara sebagai tahanan politik
dan tidak bisa mengembangkan ide-ide politik dan agama sampai wafatnya tahun
1897.
Dalam perjalanan hidup dan aktivitasnya, al-Afghani berpindah dari satu
negara ke negara lainnya, seperti India, Mesir, dan Paris. Ia mulai mendapat
pendidikan di kampungnya, lalu dilanjutkannya di Kabul dan Iran. Al-Afghani
disebut sebagai modernis Muslim yang pertama dan asli. Walaupun tidak
melakukan modernisme di bidang Intelektual secara spesifik, ia telah menggugah
kaum Muslimin untuk mengembangkan dan menyuburkan disiplin-disiplin
filosofis dan ilmiah dengan memperluas kurikulum lembaga-lembaga pendidikan
dan melakukan pembaharuanpembaharuan pendidikan secara umum.3
Al-Afghani termasuk jajaran tokoh-tokoh pembaru yang telah membuka
penafsiran ijtihad secara formulatif bagi kehidupan modern. Suatu rekayasa ijtihad
yang memberi dukungan solusi bagi tuntutan modernitas. Pemikiran
pembaharuannya didasarkan pada keyakinan bahwa agama sesuai untuk semua
bangsa, zaman, dan keadaan. Tidak ada pertentangan antara keduanya, menurut
pendapatnya dilakukan penyesuaian dengan mengadakan interpretasi baru
terhadap ajaran-ajaran Islam yang tercantum Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Dalam gerak politisnya, Al-Afghani senantiasa berpihak pada kelompok yang
menentang kolonialisme Inggris yang menyebar hampir di seluruh Timur Tengah.
Kelihaiannya dalam berkomunikasi dengan para penguasa Muslin menyebabkan
dia menjadi incaran mereka untuk dijadikan partner ataupun penasehat.
Ide modernisme pertama mengenai pembaruan politik disuarakan oleh Al-
Afghani yakni ada dua unsur yang pertama Kesatuan Dunia Islam dan yang kedua
Populisme. Kesatuan Politik Dunia Islam, dikenal dikenal sebagai Pan-Islamisme
yang mana didesakkan oleh Al-afghani sebagai salah satunya benteng pertahanan
terhadap pendudukan dan dominasi asing atas negeri-negeri muslim. Adapun
dorongan Populis timbul dari pertimbangan keadilan dan dari kenyataan bahwa
suatu pemerintahan konstitusional oleh rakyatlah yang akan kuat terus

3
Abdul Hamid, Pemikiran Modern Dalam Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 244-
245
berdiri.Dengan perkataan lain, kekuasaan di tangan rakyat (demokrasi) yang
sekaligus menjadi jaminan untuk menjadi kekuatan dan intrik-intrik asing. Hal ia
dengungkan ketika dia melihat adanya campur tangan Inggris dalam hal politik di
Mesir.
Pokok-pokok pemikiran Jamaluddin al-Afghani dalam mengadakan
pembaharuan diantaranya :
a) Umat Islam mundur karena meninggalkan ajaran agamanya, yakni Islam yang
sebenarnya.
b) Karena Statis, kurang berpegang pada taklid.
c) Meninggalkan akhlak yang tinggi dan lupa kepada Lupa kepada ilmu
pengetahuan.
d) Pemerintah harus bersifat musyawarah.4
Menurut Jamaluddin al-Afghani, pada intinya Islam sangat tepat dijadikan
sebagai landasan bagi sebuah masyarakat modern. Islam adalah agama akal dan
membebaskan penggunaan akal pikiran. Al-Afghani berdalih, bahwasanya al-
Qur’an harus ditafsirkan dengan akal dan mestilah dibuka kesempatan bagi
penafsiran ulang (reintrepetasi) oleh para individu dalam setiap zaman. Dengan
menekankan penafsiran al-Qur’an secara rasional, al-Afghani yakin bahwa Islam
mampu menjadi dasar bagi sebuah masyarakat ilmiah modern, sebagaimana ia
telah menjadi dasar masyarakat muslim masa pertengahan yang dibangun
berdasarkan keimanan. Selain itu ia juga berdalih bahwa jika dipahami secara baik
Islam merupakan sebuah keyakinan dinamis sebab ia mendorong sikap aktif,
yakni sikap tanggung jawab terhadap urusan dunia.
2. Muhammad Abduh dan Pemikirannya
Muhammad Abduh Ibn Hasan Khairullah, lahir di suatu desa di propinsi
Gharbiyyah, Mesir, pada tahun 1265 H/1849 M, namun adapula yang mengatakan
ia lahir sebelum tahun itu. Ayahnya bernama Abdullah Hasan Khairullah berasal
dari Turki yang lama Tinggal di Mesir. Muhammad Abduh adalah seorang yang
cerdas, akan tetapi pada awalnya ia tidak terlalu bersemangat dalam menuntut
ilmu. Kemudian ia belajar bersama Syekh Darwisy, bersamanya Abduh menjadi

4
Soraya Rasid, Sejarah Islam Abad Modern (Yogyakarta: Ombak, 2013), h. 99
semangat membaca, karena Syekh Darwisy sering mengajak Abduh untuk
membaca bersama. Setelah selesai belajar bersama Darwisy, Abduh melanjutkan
studinya di al-Azar Mesir. Dalam masa studinya itu, Abduh bertemu dengan
Jamaluddin al-Afghani, ia pun berguru kepadanya, ia juga menjadi murid yang
paling setia.
Munculnya pemikiran Muhammad Abduh tentang pendidikan di latar
belakangi oleh kondisi sosial dan pemahaman keagamaan umat Islam Mesir
waktu itu. Kondisi tersebut ditandai dengan pemikiran yang statis dan jumud,
serta sistem pendidikan yang bersifat dualistik. Kondisi yang sesungguhnya tidak
menguntungkan bagi umat Islam. Persoalan tersebut muncul karena ketidaktahuan
umat Islam pada universalitas ajaran Islam yang sesungguhnya. Pada awalnya
upaya Muhammad Abduh yang mencoba bersikap akomodatif terhadap ilmu-ilmu
umum (Barat) mendapat tantangan yang cukup berat, terutama dari ulama al-
Azhar yang masih berpikiran tradisional dan statis, serta masyarakat awam yang
dapat masih dipengaruhi oleh ulama tradisional. Untuk itu, tidak heran jika
akhirnya Muhammad Abduh di hujat dan pada tahun 1905 harus rela tersigkir dari
lingkungan Universitas al Azhar. Akibat dari sikap yang kurang bersahabat
terhadap ideide pembaruan yang coba ditawarkan oleh Muhammad Abduh,
menyebabkan ide-ide pembaruannya yang briliyan di bidang pendidikan tak bisa
terlaksana secara konkrit.
Hal-hal yang dilakukan oleh Muhammad Abduh dalam mengadakan
pemikiran pembaharuan diantaranya :
a) Mendirikan majalah ar-urwatul wusqa bersama rekannya Jamaluddin
alAfghani.
b) Mengajak umat kembali kepada ajaran Islam sejati.
c) Ajaran kemasyarakatan dalam Islam dapat disesuaikan dengan zaman.
d) Taklid dihapuskan dan ijtihad dihidupkan ulama.
e) Islam katanya rasional, menghendaki akal, waktu, tidak bertentangan dengan
akal, bila lahirnya ayat tidak bertentangan dengan pendapat akal maka harus
dicarikan interpretasinya hingga sesuai dengan pendapat akal.
f) Islam tidak bertentangan dengan ilmu, Islam maju karena ilmu(Rasid, 2013:
103).
Menurut Abduh, pendidikan merupakan lembaga yang paling strategis untuk
mengadakan pembaharuan-pembaharuan sosial secara sistematis. Gagasannya
yang paling mendasar dalam sistem pendidikan adalah bahwa ia sangat
menentang sistem dualisme. Menurutnya, dalam lembaga-lembaga pendidikan
umum harus diajarkan agama. Sebaliknya, dalam lembaga-lembaga pendidikan
agama harus diajarkan ilmu pengetahuan modern. Usaha yang dilakukan oleh
Abduh dalam mewujudkan gagasan pembaharuannya adalah melalui Universitas
al-Azhar.
Menurutnya, seluruh kurikulum pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan
saat itu. Ilmu-ilmu filsafat dan logika yang sebelumnya tidak diajarkan,
dihidupkan kembali. Demikian juga dengan ilmu-ilmu umum perlu diajarkan di
Universitas al-Azhar. Dengan memasukkan ilmu pengetahuan modern ke
lembaga-lembaga pendidikan agama dan sebaliknya, dimaksudkan untuk
memperkecil jurang pemisah antara golongan ulama dan ahli modern, dan
diharapkan kedua golongan ini bersatu dalam menyelesaikan persoalan-persoalan
yang muncul di zaman modern.
3. Muhammad Abduh Rasyid Ridha dan Pemikirannya
Syekh Rasyid Ridha adalah seorang ulama mujahid, yang membawa bendera
Islam dalam kancah perjuangan ia bernama lengkap Muhammad Rasyid bin Ali
Ridha bin Muhammad Syam Al-Din Al-Qalamuny. Ia lahir pada tanggal 27
Jumadzil ula tahun 1282 H atau pada tahun 1865 M, disuatu desa bernama
Qalamun di Libanon yang letaknya tidak jauh sekitar 4km dari kota Tripoli
(Suria).5 Ia adalah seorang bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan
langsung dari sayyidina Husain, putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putri
Rasulullah saw, dan sekaligus cucu dari Rasulullah Saw.
Keluarganya sangat dijaga oleh budi pekerti yang mulia dan terkenal sebagai
dai-dai Islam, menjadi suri tauladan bagi manusia dalam hal ibadah, ilmu,
keutamaan dan menjaga diri serta keluhuran di mata Allah.
5
Harun Nasution, Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 992
Kemampuannya dalam memahami segala pandangannya yang menonjol
inilah yang kemudian membawanya pada pemikiran-pemikiran Islam cemerlang
di majalah terbitan al-Manar. Rasyid Ridha melanjutkan studinya hingga
memperoleh Ijazah Alamiyah. Rasyid Ridha mulai mencoba menjalankan ide-ide
pembaruan itu ketika masih berada di Suria, tetapi usaha-usahanya mendapat
tantangan dari pihak Kerajaan Usmani. Ia merasa terikat dan tidak bebas. Oleh
Karena itu ia memutuskan pindah ke Mesir dan mulai dekat dengan Muhammad
Abduh. Mereka bertemu pertama kali pada akhir tahun 1882 sewaktu Muhammad
Abduh diusir dari Mesir dan datang ke Beirut. Dengan penuh keikhlasan
Muhammad Abduh membina Ridha dalam pengembangan kepribadian dan
keahliannya. Keakraban itu menimbulkan kecemburuan di kalangan murid-murid
Abduh yang lain, khususnya yang berkebangsaan Mesir.
Sepeninggal Abduh, Rasyid Ridha melanjutkan apa yang telah dirintis
bersama-sama gurunya, yakni pembaruan keagamaan, dengan meneruskan
penerbitan majalah AlManar dan tafsir Al Qur’an dengan nama yang sama.
Sumbangan Rasyid Ridha pada pemikiran sistem politik lebih banyak dan lebih
utuh meskipun bernapas tradisional dan kurang asli. Selain karena pembawaan
pribadi, pandangan politik Rasyid Ridha yang demikian tradisional itu tampaknya
disebabkan oleh perkenalannya yang sangat terbatas dengan alam pikiran Barat
yang antara lain disebabkan tidak dikuasainya bahasa-bahasa Eropa.
Corak pembaruan yang dibawa oleh tokoh Rasyid Ridha ini merupakan
gerakan pembaruan yang sama sebagaimana yang dilakukan oleh Muhammad
Abduh. Kemajuan Islam pada Zaman Klasik adalah karena mereka (umat Islam)
mementingkan ilmu pengetahuan. Barat maju karena mereka berani mengambil
ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh Islam. Jika umat islam mengambil
ilmu modern dari Barat, berarti usaha mengambil kembali milik Islam sendiri.
Setelah Muhammad Abduh wafat, Ridha aktif kembali dalam bidang politik. Ia
menentang pemerintahan yang absolut, yakni Kerajaan Utsmani. Ia berusaha
menjelaskan kepada dunia Islam, terutama dunia Arab akan bahaya politik
kerjasama Arab dengan Negara Barat.
Sebagaimana kebanyakan pemikir politik Islam Zaman Klasik dan
Pertengahan, Rasyid Ridha tetap menganggap keturunan Quraisy sebagai salah
satu syarat untuk dapat menduduki jabatan khalifah meskipun dalam hal ini ia
mengikuti rasionalisasi Ibn Khaldun.
Hal-hal yang dilakukan oleh Rasyid Ridha dalam mengadakan pemikiran
pembaharuan diantaranya :
a) Untuk mengetahui Islam yang murni harus kembali kepada Al Qur’an dan As
Sunnah.
b) Ajaran Islam katanya tidak membawa kepada statis tetapi dinamis.
c) Peradaban barat tidak bertentangan dengan Islam, peradaban Barat sekarang
berasal dari peradaban Islam zaman klasik.
d) Pembaharuan juga memasuki fiqh.
e) Rasyid Ridha menyalurkan pemikiran pembaharuannya melalui majalah yang
diterbitkannya bernama al Manar.
Majalah tersebut dibaca oleh mahasiswa yang datang dari berbagai pelosok
dunia Islam yang studi di al Azhar University, selesai studi mereka kembali ke
tanah airnya membawa pemikiran pembaharuan yang disampaikan oleh Rasyid
Ridha. Sehingga pemikiran pembaharuan tersebut menjalar ke berbagai penjuru
dunia Islam.6
Pada dasarnya pokok pikiran Rasyid Ridha tidak jauh berbeda dengan
gurunya, terutama dalam titik tolak pembaharuannya yang berpangkal dari segi
keagamaan, tuntutan adanya kemurnian ajaran Islam, baik dari segi akidahnya
maupun dari segi amaliyahnya.
Menurut pendapat dari Rasyid Ridha ummat Islam mundur karena tidak lagi
menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, dan perbuatan mereka telah
menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Disamping itu sebab-
sebab yang membawa kemunduran ummat Islam, karena faham fatalisme, ajaran-
ajaran tariqad atau tasawuf yang menyeleweng semua itu membawa kemunduran
ummat Islam menjadi keterbelakangan dan menjadikan ummat tidak dinamis.

6
Soraya Rasid, Sejarah Islam Abad Modern, h. 103
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemikiran-pemikiran pembaharu yang digagas oleh Jamaluddin al-Afghani,
Muhammad Abduh dan muridnya Rasyid Ridha pada awalnya berangkat dari
kondisi masyarakat Islam di Mesir yang mengalami kemunduran karena adanya
imperialisme Barat. Namun demikian, ide-ide cerdas dari tokoh-tokoh tersebut
merupakan representasi adanya kondisi umat Islam secara makro, sehingga
gagasan pemikiran-pemikiran pembaharu tersebut tidak hanya dapat memberikan
gambaran kondisi umat Islam di Mesir tetapi menjadi kepentingan umat Islam
secara menyeluruh. Hal ini dapat dipahami karena memang kehidupan tokoh-
tokoh pembaharuan pemikiran Islam Modern ini secara geografis berada di Mesir
dan melakukan perjalanan ke berbagai wilayah, meskipun kadang dilakukan
dengan adanya tekanan penguasa pada saat itu dan melahirkan berbagai ide-ide
pemikiran modern diberbagai bidang.
B. Saran
Saya menyadari bahwa makalah yang saya susun masih terdapat kekurangan
bahkan kekeliruan. Oleh karena itu, saya sangat berharap saran yang membangun
agar penyusunan makalah saya dapat lebih baik lagi di kesempatan selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Djambatan. 1992.
Rasid, Soraya. Sejarah Islam Abad Modern. Yogyakarta: Ombak. 2013.
Hamid, Abdul. Pemikiran Modern Dalam Islam. Bandung: Pustaka Setia. 2007.
Az-Zirkli, Khairuddin Muhammad. Al-A’lam. Cet I; Vol. 6; Beriut: Daar Al-‘ilm
al-Malayiin. 2002.
Al-Makhzumi, Muhammad Basya. Khaatirat Jamaluddin Al-Afghani: Araa’wa
Afkari. Cet. I; Kairo: Maktabat Asy-Syuruq ad-Duwaliyah. 2002.

Anda mungkin juga menyukai