Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

HADIS TEMATIK

Tugas Makalah
Mata Kuliah Hadis
Semester IV (S1) Tahun Akademik 2020
Kelompok 9 :
Nurul Qalbi
NIM: 30100118134
Sitti Aisyah
NIM: 30100118122
Nur Isda Wanti
NIM: 30100118082
Muhammad Iqram
NIM: 30100118116
Andi Baso Faturrahman
NIM: 30100118083

Dosen Pemandu;
Dr. Tasmin M.Ag.

JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN FILSAFAT DAN POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sudah menjadi keyakinan bahwa sumber utama syari’at Islam adalah al-
Qur’an dan al-Hadist. Selain yang telah di tegaskan al-Qur’an sendiri, juga dalam
berbagai hadis Rasulullah menuntun agar umat islam berpegang teguh kepada ke
dua sumber tersebut. Sebagaimana lazimnya sebuah ilmu pengetahuan, ilmu hadis
terlahir sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang independen/otonom dan eksplisit
jauh setelah hadisnya bertebaran dari kota ke kota, padahal ilmu hadis senantiasa
mengiringi hadis sejak kemunculannya pada masa Rasulullah saw. Hal itu dapat
dibuktikan dengan munculnya beberapa ayat al-Qur’an yang mendorong untuk
melakukan penulisan dan klarifikasi berita dan pesan Nabi saw. untuk tidak
melakukan pemalsuan hadis.

ِ َّ‫ي فَ ْليَتَبَ َّوأ َم ْق َع َدهُ ِم َن الن‬


‫ار‬ َّ َ‫ب َعل‬
َ ‫ َم ْن َك َذ‬.
1

Sejalan dengan perkembangan waktu, umat manusia juga menghadapi


berbagai permasalahan yang harus di sikapi dan di jalankan dengan baik. Maka
bagi umat islam, permasalahan yang timbul kapan dan di manapun maka harus di
kembalikan kepada pegangan hidup mereka yang telah di tetapkan, yaitu al-
Qur’an dan Hadis. Pada makalah ini kami akan membahas dua hadis tentang batas
ketaatan pemimpin dan hadis larangan menyuap. Kepemimpinan merupakan
variabel yang tidak boleh di baiatkan dalam pembangunan masyarakat, bangsa,
dan hidup bernegara. Al- Qur’an dan hadist telah banyak memberikan
gambarakan tentang adanya hubungan positif antara pemimpin yang baik bagi
kesejahteraan masyarakatnya. Dalam pandangan islam, seorang pemimpin adalah
orang yang di beri amanat dan akan dimintai pertanggungjawabnnya.
Sebagai seorang pemimpin, bukan berarti menjadi orang yang paling
hebat, karena sesungguhnya pemimpin mempunyai tugas yang sangat berat yakni
melayani masyarakat yang menjadi tanggungjawabnya. Islam telah mengingatkan

1
Abu> ‘Abdillah Muhammad ibn Isma>’i>l al-Bukha>ri, al-Ja>mi’ al-S}ah}i>h}, Juz. I (Cet.
III; Beirut: Da>r Ibn Kas\i>r, 1407 H./1987 M.), h. 52.
umatnya untuk berhati hati di dalam memilih pemimpin. Sebab salah dalam
memilih pemimpin berarti turut berkonstribusi dalam menciptakan kesengsaraan
rakyat. Tanggung jawab seorang pemimpin sangat besar, baik di hadapan Allah
maupun di hadapan manusia.
Hadis yang kedua kami membahas tentang larangan menyuap, Dari realita
yang ada, dan sering juga kita dengar tentang kasus suap menyuap, padahal telah
jelas dilarang dalam agama islam, telah dijelaskan dalam nash, yaitu al Quran dan
al hadits bahwa perbuatan suap menyuap itu diharamkan. Akan tetapi banyak
sekali orang yang melakukan perbuatan suap menyuap, biasanya didalam
pengadilan, di luar itupun masih banyak lagi, seperti untuk masuk sekolah yang
bonafit bukan hanya bermodal dengan nilai UN yang bagus akan tetapi uang tetap
ada di belakang semua itu, oleh karena itu kita sebagai umat islam, jauhilah semua
perbuatan yang tercela tersebut.
Suap terjadi sebagai ungkapan gejala venalitas yang makin merebak.
Secara sosiologis, istilah venalitas menunjuk pada suatu keadaan saat uang bisa
digunakan membayar hal-hal yang secara hakiki tidak bisa dibeli dengan uang.
Keadilan bisa di pertukarkan dengan uang. Begitu pula dengan pasal-pasal dalam
kebijakan. Dalam uang terdapat faktor ekonomi yang bernama keuangan
Dalam makalah ini kami akan membahas terkait hadis ketaatan terhadap
pemimpin dan penjelasan hadisnya begitu pula dengan hadis larangan menyuap
kami akan membahas terjemahan dan penjelasan hadis tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kandungan Hadis Ketaatan terhadap Pemimpin
2. Bagaimana kandungan Hadis Laranga Menyuap

BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadis Ketaatan terhadap Pemimpin

ُ ‫صلَّى هَّللا‬
َ ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ ع َْن النَّبِ ِّي‬ ِ ‫َح َّدثَنَا ُم َس َّد ٌد َح َّدثَنَا يَحْ يَى بْنُ َس ِعي ٍد ع َْن ُعبَ ْي ِد هَّللا ِ َح َّدثَنِي نَافِ ٌع ع َْن َع ْب ِد هَّللا ِ َر‬
‫صيَ ٍة‬ِ ‫صيَ ٍة فَإ ِ َذا أُ ِم َر بِ َم ْع‬
ِ ‫َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل ال َّس ْم ُع َوالطَّا َعةُ َعلَى ْال َمرْ ِء ْال ُم ْسلِ ِم فِي َما أَ َحبَّ َو َك ِرهَ َما لَ ْم ي ُْؤ َمرْ بِ َم ْع‬
َ‫فَاَل َس ْم َع َواَل طَا َعة‬

Artinya:
Dari Abdullah Bin Umar, Dari Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, berkata,
“(keharusan) mendengar dan taat atas orang muslim itu bergantung terhadap
apa yang ia senangi dan benci, selama belum diperintahkan berbuat maksiat, bila
kemudian diperintahkan untuk berbuat maksiat maka tidak ada lagi (keharusan
untuk) mendengar taat”2
Taat kepada pemimpin adalah suatu kewajiban sebagaimana disebutkan
dalam al Kitab dan As sunnah. Diantaranya Allah berfirman yang artinya “ hai
orang-orang yang beriman, Ta”tilah Allah dan Tatilah RasulNya, dan ulil amri di
antara kamu”(QS. An-Nisa:4:49). Dalam ayat ini Allah menjadikan ketaatan
kepada pemimpin dalam urutan ketiga setelah ketaatan pada Allah dan RasulNya.
Namun, untuk pemimpin di sini tidaklah datang dengan lafazh ta’atilah karena
ketaatan kepada pemimpin merupakan ikutan (taabi’) dari ketaatan kepada Allah
dan RasulNya SAW. Oleh karena itu, apabila seorang pemimpin memerintahkan
untuk berbuat maksiat kepada Allah, maka tidak ada kewajiban dengar dan taat.
Ulil amri adalah orang-orang yang diserahi kewenangan untuk mengemban
kepentingan masyarakat banyak dan mashlahat-mashlahat penting. Maka yang
nasuk dalam kategori ini; raja, menteri, kepala departemen, direktur, lurah, pejabat
sipil, hakim, wakilnya, polisi maupun tentara. Rasulullah telah memerintahkan
kepada setiap muslim mendengarkan perintah mereka ini dan untuk
menindaklanjutinya baik perintah itu ia senangi atau tidak. “ boleh jadi kamu
membenci sesuatu , padahal ia amat baik bagimu”. Yakni ketika ulil amri itu
menyeru kita untuk berperang dan mengorbankan harta benda kita dijalan Allah,

2
Muh. Rusdi T, HadisnTarbawi I, (Cet I; Makassar: Alauddin University Press, 2012), h.
148-149
kita harus menyanggupinya, ketika mereka meminta kita untuk mengeluarkan
pajak yang disyariatkan itu kita harus memberikannya. ketika mereka
menganjurkan kita untuk membantu orang-orang yang tertimpa bencana maka kita
harus memenuhi anjuran mereka itu. Semua itu merupakan sesuatu keharusan
ntuk didengarkan dan dilaksanakan tanpa kita pedulikan apakah itu setuju dengan
keinginan kita atau tidak. Dan satu lagi kita juga tidak bisa memperhitungkan
apakah itu menyulitkan kita atau tidak, selama seruan itu untuk kemashlahatan
orang banyak dan halal secara hukum syariat, maka harus kita lakukan.
Berbeda halnya dengan mereka memerintahkan kita untuk melakukan
maksiat, misalnya memerinthkan kita untuk menuduh dan menyekap orang yang
tidak bersalah apa-apa serta menyakitinya dan menyita haratnya dengan unsure
menzhalimi atau permusuhan di dalam hatinya. Menganjurkan membawa perkara
ke pengadilan untuk dimanipulasi dan di hukumi secara curang. Bila ulil amri
memerintahkan kita untuk mengerjakan perintah yang seperti itu maka kita wajib
taat kepada allah dan mengingkari mereka. Menerima keputusan Allah dan
menolak perintah mereka, karena taat kepda mereka berarti sebuah keharamn
yang harus dijauhi.
Rasulullah SAW bersabda “ Tidak ada kewajiban ta’at dalam rangka
bermaksiat (kepada Allah). Ketaatan hanyalah dalam perkara yang maruf (bukan
maksiat). [HR. Bukhari no7257].
Rasulullah SAW juga bersabda “ seorang muslim wajib mendengr dan taat
dalam perkara yang dia sukai atau benci selama tidak di perintahkan untuk
bermaksiat. Apabila diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban
mendengar dan taat.” [HR. Bukhari 7144].

B. Hadis Larangan Menyuap

‫ ِه َع ْن‬€‫لَ َمةَ َع ْن أَبِي‬€‫ر ب ِْن أَبِي َس‬€


َ €‫َح َّدثَنَا قُتَ ْيبَةُ َح َّدثَنَا أَبُو َع َوانَةَ َع ْن ُع َم‬
َ َ‫أَبِي هُ َري َْرةَ ق‬
‫ال‬
‫ َي فِي‬€‫ َي َو ْال ُمرْ تَ ِش‬€‫َّاش‬
ِ ‫لَّ َم الر‬€‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس‬
َ ِ ‫لَ َع َن َرسُو ُل هَّللا‬
َ ‫َّحهُ اب ُْن ِحب‬
.‫َّان‬ َ ‫صح‬ َ ‫ َو‬, ُّ‫ َو َح َّسنَهُ التٍّرْ ِم ِذي‬,ُ‫ َر َواهُ ْال َخ ْم َسة‬.‫ْال ُح ْك ِم‬
Artinya:
“Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami
Abu 'Awanah dari Umar bin Abu Salamah dari ayahnya dari Abu Hurairah ia
berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaknati penyuap dan yang
disuap dalam masalah hukum.” (HR. Ahmad dan Al’arba’ah serta dihasankan
oleh At- Tirmidzi dan dishohihkan oleh Ibnu Hibban)3
Dalam hadits tersebut di atas telah diterangkan dengan jelas bahwasanya
Allah mengutuk orang yang memberi uang sogok dan yang menerimanya.
Pelaksanaan suap seakan sudah menjadi budaya dikalangan masyarakat,
mulai dari urusan pekerjaan, pemenangan suatu hukum dan kepentingan-
kepentingan politik lainnya. Untuk urusan apapun rasanya aneh apabila tidak ada
unsur suap-menyuap. Adapun suap-menyuap dalam Islam disebut al-Risywah,
Ibnu Atsir dalam kitab Nihayah fi Gharibil Hadits wa Atsar mendefinisikan al-
Risywah sebagai suatu usaha untuk memenuhi kepentingan dengan suatu
bujukan.4 Risywah (suap) secara terminologis berarti suatu harta yang diperoleh
sebab terselesaikannya suatu harta yang diperoleh atau sebab terselesaikannya
suatu kepentingan manusia (baik untuk memperoleh keuntungan maupun
menghindari kemadharatan) yang semestinya harus diselesaikan tanpa adanya
suatu imbalan.
Hasil yang diperoleh hakim dalam perbuatannya itu terbagi menjadi empat
macam: risywah (suap), hadiah, ujroh (upah), rizki. Suap kepada hakim dengan
tujuan supaya hakim tersebut dalam mengadili menggunakan cara yang tidak
benar hukumnya haram bagi hakim dalam menerima dan haram juga bagi orang
yang memberi suap tersebut. Tetapi apabila suap tersebut digunakan untuk
mendapatkan hak dalam artian apabila ada hakim yang menghalangi seseorang

3
Mausu’ah al-Hadits al-Syariif al-Kutub al-Sittah, (Riyadh: Dar al-Salam li-Nashri wa
Tauzi’, cet. 4, 2008) Jami’ al-Tirmidzi, No Hadits: 1336, hlm. 1785-1786.

4
Ibnu Atsir, Nihayah fi Gharibil Hadits wa Atsar, (maktabah syamilah)
untuk mendapatkan haknya. yakni dengan cara menarik upah kepada seseorang
yang ingin mendapatkan haknya, maka hal ini hukumnya haram bagi pelaku yang
menerima suap dan tidak haram bagi orang yang memberikan upah karena orang
tersebut memiliki wewenang mendapatkan haknya.
Sedangkan hadiah jika uang atau harta itu diberikan sebelum hakim
menduduki jabatannya sebagai seorang hakim. Maka halal bagi si pemberi itu
meneruskan kebiasaannya dengan memberikan hadiah tersebut. Akan tetapi jika
hadiah itu diberikan setelah hakim menduduki jabatannya sebagai hakim dan si
pemberi hadiah tidak mmeiliki persengketaan atau permasalahan yang ditangani
oleh hakim, maka hadiah tersebut boleh diambil kana tetapi hukumnya makruh.
Hukumnya haram bagi hakim menerima suap jika si pemberi hadiah sedang
bersengketa yang ditangani oleh hakim tersebut dan yang memeberi hadiah pun
hukumnya haram.
Dinamakan upah apabila seseorang hakim sudah mendapattkan gaji secara
rutin dari baitul mal, maka haram baginya untuk menerima upah dalam
memutuskan perkara. Dan rizki adalah suatu yang wajar diterima sang hakim.5

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam pandangan islam, seorang pemimpin adalah orang yang di beri amanat
dan akan dimintai pertanggungjawabnnya. Sebagai seorang pemimpin, bukan
berarti menjadi orang yang paling hebat, karena sesungguhnya pemimpin

5
Muhammad bin Isma’il al-Shon’ani, Subul al-salam syarh bulugh al-maram min jam’i
adilah al-ahkam, (Kairo: Dar al-Hadits, 2007) juz: 4, hlm: 170
mempunyai tugas yang sangat berat yakni melayani masyarakat yang menjadi
tanggungjawabnya. Islam telah mengingatkan umatnya untuk berhati hati di
dalam memilih pemimpin. Sebab salah dalam memilih pemimpin berarti turut
berkonstribusi dalam menciptakan kesengsaraan rakyat. Tanggung jawab seorang
pemimpin sangat besar, baik di hadapan Allah maupun di hadapan manusia.
Hadis yang kedua yaitu membahas tentang larangan menyuap, dari realita
yang ada, dan sering juga kita dengar tentang kasus suap menyuap, padahal telah
jelas dilarang dalam agama islam, telah dijelaskan dalam nash, yaitu al Quran dan
al hadits bahwa perbuatan suap menyuap itu diharamkan. Akan tetapi banyak
sekali orang yang melakukan perbuatan suap menyuap, biasanya didalam
pengadilan, di luar itupun masih banyak lagi.
B. Saran
Kami menyadari bahwa makalah yang kami susun masih terdapat kekurangan
bahkan kekeliruan. Oleh karena itu, kami sangat berharap saran yang membangun
baik dari pembaca, agar penyusunan makalah kita dapat lebih baik lagi di
kesempatan selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Bukha>ri, Abu> ‘Abdillah Muhammad ibn Isma>’i>l. al-Ja>mi’ al-


S}ah}i>h.Juz. I. Cet. III; Beirut: Da>r Ibn Kas\i>r, 1407 H./1987 M.

Ibnu Atsir, Nihayah fi Gharibil Hadits wa Atsar. Maktabah Syamilah


Ismail al-Shon’ani, Muhammad bin. Subul al-Salam Syarh bulugh al-Maram min
jam’i adillah al-ahkam. Kairo: Dar al-Hadits. 2007.
Riyadh: Dar al-Salam li Nashri wa Tauzi.Mansu’ah al-Hadits al-Syarif al-Kutub
al-Sittah. Cet. IV. 2008.
Rusdi T, Muh. Hadis Tarbawi I. Cet I: Makassar: Alauddin University Press.
2012.

Anda mungkin juga menyukai