Anda di halaman 1dari 25

TUGAS MAKALAH

TOKOH – TOKOH PEMBAHARUAN DI MESIR

Dosen Pengampu: Jamil Abdul Aziz, MA

Disusun Oleh:

Dasa Octania (191310216)


Nadya Rahmah (191310227)

INSTITUT PERGURUAN TINGGI ILMU AL-QUR’AN JAKARTA


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT karena telah melimpahkan
rahmat dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah Aliran Modern Dalam Islam yang berjudul Tokoh – Tokoh Pembaharuan
di Mesir untuk memenuhi tugas.

Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapat
bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, kami menyadari jika terdapat kekurangan baik
dari susunan kata maupun tata bahasa. Oleh karena itu, kami menerima segala
saran dan kritik dari pembaca guna memperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dan
memeberikan inspirasi bagi setiap pembaca.

Jakarta, 28 januari 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................ 2
C. Tujuan Penulisan .................................................................................. 2

BAB II : PEMBAHASAN

A. Jamaluddin AL-Afghani
1. Biografi Jamaluddin Al Afghani ..................................................... 3
2. Pemikiran dan Ide-Ide Pembaharuan Jamaluddin AL-Afghani ...... 5
B. Muhammad Abduh
3. Biografi Muhammad Abduh ........................................................... 9
4. Pemikiran dan Ide-Ide Pembaharuan Muhammad Abduh .............. 10
C. Muhammad Rasyid
5. Biografi Muhammad Rasyid ........................................................... 16
6. Pemikiran dan ide-ide pembaharuan Muhammad Rasyid .............. 17

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagaimana telah diketahui, benturan-benturan antara Islam dan


kekuatan Eropa telah menyadarkan ummat Islam bahwa mereka memang
tertinggal jauh dari Eropa. Pada abad 19, di banyak wilayah Islam (dunia
Islam), seperti di benua Afrika, Timur Tengah dan India, bermunculan
gerakan-gerakan pemurnian pembaharuan. Gerakan pembaharuan itu
dengan segera juga memasuki dunia politik, karena Islam memang tidak
bias di pisahkan dengan politik.1
Timbulnya gerakan-gerakan tersebut, menurut Munawir Sjadzali,
paling tidak di latar belakangi oleh tiga hal. Pertagma, kemunduran dan
kerapujhan dunia Islam yang disebabkan oleh factor-faktor internal. Kedua
intervensi Barat tehadap kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam. Dan ini
berakhir dengan kolonialisme Negara-negara Barat atau sebagian besar
wilayah dunia Islam. Ketiga, keunggulan Barat dalam bidang ilmu,
teknologi dan organisasi pemerintahan.2
Gagasan politik yang pertama kali muncul adalah gagasan Pan-
Islamisme (persatuan Islam sedunia) yang mula-mula di dengungkan oleh
gerakan Wahabiah dan Sanusiyah. Namun gagasan ini baru disuarakan
denagn lantang oleh tokoh pemikir Islam terkenal, Jamaluddin Al-Afghani
(1839-1897 M).
Menurut L.Stoddard, Al-Afghani lah orang pertama yang menyadari
sepenuhnya akan dominasi Barat dan bahayanya. Oleh karena itu, dia
mengabdikan dirinya untuk memperingatkan dunia Islam akan hal itu dan
melakukan usaha-usaha yang teliti untuk pertahanan. Ummat Islam
menurutnya, harus meninggalkan perselisihan-perselisihan dan berjuang
dibawah panji bersama. Akan tetapi, ia juga berusaha membangkitkan

1
Badri Yatim, Sejarah Paeradaban Islam, (Raja Grafindo Persada: Jakarta, 1993), hal. 184
2
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (UI Press: Jakarta, 1991), hal. 115

1
2

semangat local dan nasionalisme negeri-negeri Islam. Karena itu, Al-


Afghani dikenal sebagai bapak nasionalisme dalam Islam.

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan biografi Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan
Muhammad Rasyid!
2. Jelaskan pemikiran dan ide-ide pembaharuan Jamaluddin Al-Afghani,
Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid!

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui biografi Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan
Muhammad Rasyid.
2. Mengetahui Pemikiran dan ide-ide pembaharuan Jamaluddin Al-Afghani,
Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Jamaluddin Al-Afghani
1. Biografi Jamaluddin Al-Afghani

Jamaluddin Al-Afghani adalah salah seorang pemimpin pergerakan


Islam pada akhir abad ke-19, yang agak berbeda dari kedua pemimpin
sebelum dia: Muhammad bin Abdul Wahab (abad-18) dan Muhammad bin
‘Ali As-Sanusi (awal abad-19).3

Jamaluddin lahir di Afghanistan pada tahun 1839 M. meninggal dunia


di Istambul di tahun 1897 M. ketika baru berusia dua puluh dua tahun ia
telah menjadi pembantu bagi pangeran Dost Muhammad Khan di
Afghanistan. Di tahun 1864 M. ia menjadi penasehat Sher Ali Khan.
Beberapa tahun kemudian ia dia di angkat oleh Muhammad A’zam Khan
menjadi perdana menteri. Dalam pada itu Inggris telah mencampuri soal
politik dalam negeri Afghanistan dan dalam pergolakan yang terjadi
Afghani memilih pihak yang melawan golongan yang disokong Inggris.
Pihak pertama kalah dan Afghani merasa lebih aman meninggalkan tanah
tempat lahirnya dan pergi ke India di tahun 1869 M.4

Sayyid Sand adalah ayah Afghani, yang dikenal, dengan gelar Shadar
Al-Husaini. Ia tergolong bangsawan terhormat dan mempunyai hubungan
nasab dengan Hussein ibn Ali r.a., dari pihak Ali At-Tirmizi, seorang
perawi hadits. Oleh karena itu, di depan nama Jamaluddin al-Afghani
diberi titel ‘Sayid’. Keluarga Afghani adalah madzhab Hanafi8. Afghani
mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Diantara adalah bahasa Arab,
yang meliputi nahwu, sharaf, ilmu bayan dan ma’aninya: ilmu syari’ah
yang meliputi tafsir, hadits dan musthalahnya, fiqh dan ushulnya: ilmu
kalam, ilmu tasawwuf, filsafat, logika, etika, dan politik: fisika dan ilmu

3
Muhammad al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern, (Pustaka Panji Mas: Jakarta, 1968), hal. 30
4
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Bulan Bintang:
Jakarta, 1975), hal. 51

3
4

pasti, yang mencakup matematika, geometri, al-jabar, ilmu kedokteran dan


anatomi.5

Afghani melanjutkan belajar ke India selama satu tahun. Di India


Afghani menekuni sjumlah ilu pengetahuan melalui metode modern.
Kemudian ia meneruskan perjalanannya menuju Mekkah untuk
menunaikan ibadah haji. Perjalanannya ini menghabiskan waktu selama
setahun. Ia singgah dari satu kota ke kota lain, sambil mengamati adat
istiadat masyarakat yang dilewati. Ia sampai di Mekkah pada tahun 1857.

Dengan bekal penguasaan ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin,


akhirnya muncullah sosok Jamaluddin Al-Afghani denagn karakternya
yang khas. Seperti ditulis oleh Hourani, Afghani digambarkan sebagai
seorang yang sangat setia dengan keyakinan- keyakinannya dan tegar
dalam menegakkan keyakinannya tersebut, bersikap zuhud tetapi cepat
marah apabila disinggung kehormatan diri dan agamanya. Afghani disebut
pula sebagai ‘si jenius uang tegar’, pandai bicara, menguasai beberapa
bahasa tetapi disayangkan tidak suka menulis.6

Al-Afghani mendidik murid-muridnya secara rutin dengan metode


mengajar yang sistematis. Setiap orang yang bertamu kerumahnya atau
pada setiap kesempatan beliau memberikan juga pelajaran yang tidak
sistematis. Inilah menurut Ahmad Amin, memberi pengaruh besar
terhadap perkembangan pemikiran dan politik Mesir.7 Mungkin inilah
awal munculnya kesadaran politik masyarakat Mesir, sekalipun dia masih
melakukannya secara diam-diam.

Meskipun pada mulanya ia menjauhi persoalan persoalan politik mesir,


tetapi ternyata soal politik tidak dapat ditinggalkan sama sekali. Sebab,
masalah politik itu juga yang memaksa dia keluar dari Mesir, pada tahun
1879. Sesudah sepuluh tahun dia mesir dengan berbagai kiprah politiknya

5
Ecyclopedia of Islam, II, E. J. Brill, 1965, hal. 417
6
Albert Hourani, Arabic Thought in The Liberal Age 1798-1939, Oxford University Press,
London, 1962, hal. 112.
7
Ahmad Amin, Zu’ama al-Ishlahfi al-‘Ashr al-Hadits, Maktabah an-nahdah al-Misriyah, Kairo,
1977. hal. 52.
5

al-Afghani berpindah-pindah lagi dari satu negeri ke negeri lain. Ke india


pada tahun 1879, ke London dan paris tahun 1883. Seterusnya al-afghani
ke iran pada tahun 1889, ke rusia tahun 1890 dan akhirnya memenuhi
undangan sultan abdul hamid sampai dia meninggal di istambul sebagai
tahanan politik pada tahun 1897.

2. Pemikiran dan ide pembaharuan Jamaluddin Al-Afghani

Pada saat kembalinya sayid Jamaluddin Al-afghani ke India untuk


kedua kalinya setelah pergi meninggalkan Mesir karena ketidak senangan
Inggris yang telah menghasut kaum teolog untuk melawan jamaluddin atas
kegiatan-kegiatan Jamaluddin yang menyebabkan banyaknya orang kristen
yang masuk Islam. Di sini, ia menuliskan risalah yang sangat terkenal,
Pembuktian Kesalahan Kaum Materialis, risalah ini menimbulkan gejolak
besar kalangan materialis.8

Sayid Jamaluddin al-Afghani pernah menerbitkan jurnal Al-Urwat-Al-


Wuthqa yang mengecam keras Barat. Jurnal tersebut juga dikenal sebagai
jurnal anti penjajahan, yang diterbitkan di Paris. Jurnal ini segera menjadi
barometer perlawanan imperialisme dunia Islam yang merekam komentar,
opini, dan analisis bukan saja dari tokoh-tokoh Islam dunia, tetapi juga
ilmuwan-ilmuwan barat yang penasaran dan kagum dengan
kecermelangan Afghani.

Pada tahun 1889, al-Afhgani diundang ke Persia untuk suatu urusan


persengketaan politik antara Persia dengan Rusia. Bersamaan dengan itu
al-Afghani melihat ketidakberesan politik dalam negeri Persia sendiri.
Karenanya, ia menganjurkan perombakan sistem politik yang masih
otokratis. Dan beberapa kontribusi al-Afghani yang lain adalah
perlawanan terhadap kolonial barat yang menjajah negeri-negeri Islam
(terutama terhadap penjajah Inggris). Kemudian upaya melawan pemikiran
naturalisme India, yang mengingkari adanya hakikat ketuhanan.
Menurutnya dasar aliran ini merupakan hawa nafsu yang menggelora dan

8
Herry Mohammad, Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani,
2006).
6

hanya sebatas egoisme sesaat yang berlebihan tanpa mempertimbangkan


kepentingan umat manusia secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan
adanya pengingkaran terhadap hakikat Tuhan dan anggapan bahwa materi
mampu membuka pintu lebar-lebar bagi terhapusnya kewajiban manusia
sebagai hamba Tuhan. Dari situlah al-Afghani berusaha menghancurkan
pemikiran ini dengan menunjukkan bahwa agama mampu memperbaiki
kehidupan masyarakat dengan syari’at san ajaran-ajarannya.9

Sayid Jamaluddin Al- Afghani juga mengembangkan pemikiran (dan


gerakan) salafiyah, yakni aliran keagamaan yang berpendirian bahwa
untuk dapat memulihkan kejayaannya, umat Islam harus kembali kepada
ajaran Islam yang masih murni seperti yang dahulu diamalkan oleh
generasi pertama Islam, yang juga biasa disebut salaf (pendahulu) yang
saleh. Dalam rangka usaha pemurnian akidah dan ajaran Islam, serta
pengembalian keutuhan umat Islam, sayid jamaluddin al-Afghani
menganjurkan pembentukan suatu ikatan politik yang mempersatukan
seluruh umat Islam (Jami’ah islamiyah) atau Pan-Islamisme. Menurut
sayid Jamaluddin al- Afghani, asosiasi politik itu harus meliputi seluruh
umat Islam dari segala penjuru dunia Islam, baik yang hidup dalam
negara-negara yang merdeka, termasuk Persia, maupun mereka yang
masih merupakan rakyat jajahan. Ikatan tersebut, yang didasarkan atas
solidaritas akidah Islam, bertujuan membina kesetiakawanan dan pesatuan
umat Islam dalam perjuangan; pertama, menentang tiap sistem
pemerintahan yang dispotik atau sewenang-wenang, dan menggantikannya
dengan sistem pemerintahan yang berdasarkan musyawarah seperti yang
diajarkan Islam, hal mana juga berarti menentang sistem pemerintahan
Utsmaniyah yang absolut itu. Kedua, menentang kolonialisme dan
dominasi Barat.

Menurut sayid Jamaluddin Al- Afghani, dalam ikatan itu eksistensi dan
kemandirian masing-masing negara anggota tetap diakui dan dihormati,
sedangkan kedudukan para kepala negaranya, apa pun gelarnya, tetap

9
Saiful Hadi, 125 Ilmuwan Muslim Pengukir Sejarah, (Jakarta: Insan Cemerlang, Tt).
7

sama dan sederajat antara satu dengan yang lain, tanpa ada satu pun dari
mereka yang lebih ditinggikan.

Sayid Jamaluddin Al-Afghani mendiagnose penyebab kemunduran di


dunia Islam, adalah tidak adanya keadilan dan syura (dewan) serta tidak
setianya pemerintah pada konstitusi dikarenakan pemerintahan yang
sewenang-wenang (despotik), inilah alasan mengapa pemikir di negara-
negara Islam di timur tidak bisa mencerahkan masyarakat tentang inti sari
dan kebaikan dari pemerintahan republik. Pemerintahan republik,
merupakan sumber dari kebahagiaan dan kebanggaan. Mereka yang diatur
oleh pemerintahan republik sendirilah yang layak untuk disebut manusia;
karena suatu manusia yang sesungguhnya hanya diatur oleh hukum yang
didasari oleh keadilan dan mengatur gerakan, tindakan, transaksi dan
hubungan dengan orang yang lain yang dapat mengangkat masyarakat ke
puncak kebahagiaan. Bagi sayid Jamaluddin Al- Afghani, pemerintah
rakyat adalah “pemerintahan yang terbatas”, pemerintahan yang yang
dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, dan karenanya
merupakan lawan dari pemerintahan absolut. Merupakan suatu pemerintah
yang berkonsultasi dalam mengatur, membebaskan dari beban yang
diletakkan pemerintahan despotik dan mengangkat dari keadaan
membusuk ke tingkat kesempurnaan.

Ide-ide pembaruan sayid Jamaluddin al-Afghani ialah; Pertama, musuh


utama adalah penjajahan Barat yang merupakan kelanjutan dari perang
salib; Kedua, umat Islam harus menentang penjajahan di mana dan kapan
saja; Ketiga, untuk mencapai tujuan itu, umat Islam harus bersatu atau
Pan-Islamisme. Pan-Islamisme merupakan ide pembaruan al-Afghani
dalam bidang politik. Ide ini mengajarkan agar semua umat Islam seluruh
dunia bersatu, untuk membebaskan mereka dari perbudakan asing. Bersatu
bukan berarti leburnya kerajaan-kerajaan Islam menjadi satu, tapi mereka
harus mempunyai satu pandangan hidup.
8

Dalam pengertian yang luas, Pan-Islamisme berarti solidaritas antara


seluruh muslim di dunia internasional. Tema perjuangan yang terus
dikobarkan oleh al-Afghani dalam kesempatan apa saja adalah semangat
melawan kolonialiasme dengan perpegang kepada tema-tema ajaran Islam
sebagai stimulannya. Murtadha Muthahhari menjelaskan bahwa diskursus
tema-tema itu antara lain di seputar; perjuangan melawan absolutisme para
penguasa, melengkapi sains dan teknologi modern, kembali kepada ajaran
Islam yang sebenarnya, iman dan keyakinan akidah, perjuangan melawan
kolonial asing, persatuan Islam, menginsafkan semanghat perjuangan dan
perlawanan ke dalam tubuh masyarakat yang sudah separoh mati dan
perjuangan melawan ketakutan terhadap Barat.

Sayid Jamaluddin Al-Afghani menolak ajaran qadha’ dan qadhar yang


mengandung paham fatalistik. Menurut pendapatnya, qadha’ dan qadar
mengandung arti bahwa segala sesuatu terjadi menurut ketentuan sebab
akibat. Qadhā’ dan qadar, menurutnya, sama dengan hukum alam ciptaan
Tuhan. Ide lain dari pembaruan al-Afghani adalah pernyataan beliau yang
mengatakan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup dan tidak ada orang
yang bisa menutupnya. Reinterpretasi ajaran-ajaran al-Qur’an dan Hadis
agar sesuai dengan zaman modern hanya bisa dilakukan melalui ijtihad.

Ide-ide ini dituangkan dalam tulisan-tulisannya yang dipublikasikan


dalam majalah al-Urwat al-Wutsqa. Dalam sebuah tulisannya yang
berjudul “Persatuan Islam”, ia mengatakan: “Umat Islam pernah bersatu
dalam kesatuan umat dibawah pemerintahan yang gilang gemilang. Pada
masa itu, umat Islam mencapai kemajuan dalam ilmu dan sains. Mereka
terkemuka dibidang filsafat dan ilmu-ilmu yang lain. Apa yang kita capai
pada waktu itu, kini menjadi pusaka dan kebanggan umat Islam sampai
sekarang. Umat Islam harus sadar bahwa dalam keadaan apa pun, mereka
tidak boleh berdamai dan bekerja sama dengan orang yang menjajah
mereka.”
9

B. Muhammad Abduh
1. Biografi Muhammad Abduh

Muhammad Abduh adalah seorang sarjanah, pendidik, mufti, ‘alim,


teolog dan tokoh pembaharu Islam terkemuka dari Mesir. Muhammad
Abduh memiliki nama lengkap Muhammad bin Abduh bin Hasan
Khairullah.10 Ia dilahirkan dari keluarga petani pada tahun 1849 M atau
1266 H, di suatu desa di Mesir Hilir. Mengenai di desa mana ia dilahirkan
masih belum diketahui secara pasti. Sedangkan tahun 1849 M adalah
tahun yang umum dipakai sebagai tahun kelahirannya. Namun, ada yang
mengatakan bahwa ia lahir pada tahun sebelumnya yaitu 1848 M.
Perbedaan pendapat tentang tempat, tanggal dan tahun lahirnya
disebabkan karena pada saat itu terjadi kekacauan di akhir kepemimpinan
Muhammad Ali (1805-1849 M). Kekerasan yang dipakai oleh penguasa-
penguasa Muhammad Ali dalam mengumpulkan pajak dari penduduk-
penduduk desa, menyebabkan para petani selalu berpindah tempat tinggal
untuk menghindari beban-beban berat yang dilakukan penguasa-penguasa
Muhammad Ali kepada mereka. Sehingga Ayah dari Muhammad Abduh
sendiri selalu berpindah tempat tinggal dari desa ke desa, dan dalam kurun
waktu satu tahun saja Ayah Muhammad Abduh sudah beberapa kali
pindah tempat tinggal. Sehingga pada akhirnya Ayah Muhammad Abduh
menetap di desa Mahallat Nashr dan membeli sebidang tanah di sana.

Ayah Muhammad Abduh bernama Abduh bin Hasan Khairullah, ia


mempunyai silsilah keturunan dengan bangsa Turki yang telah lama
tinggal di Mesir. Sedangkan Ibu dari Muhammad Abduh bernama
Junainah. Menurut riwayat hidupnya Ibu Muhammad Abduh berasal dari
bangsa Arab yang silsilah keturunannya sampai ke Umar bin Khattab yaitu
Khalifah kedua (Khulafaur Rasyidin). Abduh Ibn Hasan Khairullah
menikah dengan Ibu Junainah sewaktu merantau dari desa ke desa dan
ketika ia menetap di Mahallat Nashr, Muhammad Abduh masih dalam
ayunan dan gendongan Ibunya. Muhammad Abduh lahir dan beranjak

10
M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hal. 11.
10

dewasa dalam lingkungan pedesaan di bawah asuhan Ibu dan Ayahnya


yang tidak memiliki hubungan dengan pendidikan sekolah, tetapi memiliki
jiwa keagamaan yang teguh. Namun, di desanya Ayahnya sangat dikenal
sebagai orang terhormat yang suka memberi pertolongan.

2. Pemikiran dan Ide – Ide Pembaharuan Muhammad Abduh

Sebagaimana terlihat dalam biografinya, Muhammad Abduh dikenal


dalam dunia Islam sebagai mujadid. Ia berusaha untuk mengadakan
pembaharuan dengan mengajak kembali kepada ajaran Islam, mengkajinya
dengan jernih dan menafsirkan kembali (reinterpretasi) pemahaman agama
itu secara kritis, sehingga ajaran Islam benar-benar mampu
diaktualisasikan dalam perkembangan zaman yang selalu berubah,
sehingga ia dianggap sebagai bapak peletak aliran modern dalam Islam.11

Muhammad Abduh, sebagaimana gurunya Jamaluddin al-Afghani


melihat bahwa salah satu sebab mendasar bagi keterbelakangan umat
Islam adalah mundurnya tradisi intelektual. Karenanya, ia menginginkan
agar kebebasan berpikir umat harus membangkitkan kembali. Namun,
Muhammad Abduh berbeda dengan gurunya Jamaluddin al-Afghani yang
lebih mengutamakan bidang politik dari pada yang lain, maka Muhammad
Abduh kelihatannya melihat bahwa bidang pendidikan dan ilmu
pengetahuan lebih menentukan daripada bidang politik. Oleh karena itu,
ia mencurahkan perhatian yang besar dalam usaha mereformasi
pendidikan Islam dan mengintensifkan kembali tradisi intelektual yang
telah memudar. Hal ini bukan berarti bidang-bidang lain diabaikannya.
Untuk lebih jelasnya akan diketengahkan di bawah ini beberapa ide-ide
pemikirannya, antara lain:

a) Bidang pendidikan

Muhammad Abduh menganggap, pembaharuan dalam bidang


pendidikan, merupakan suatu hal yang sangat esensial bagi kemajuan
umat Islam. Hal ini didasarkan pada pakta sejarah, bahwa kondisi

11
John J. Donohue, Islam dan Pembaharuan, Teorj. (Jakarta: Rajawali, 1984), hal. 30.
11

lembaga pendidikan waktu itu, belum mampu mengantarkan umat


Islam kepada kemajuan yang diinginkan. Nampaknya, apabila diamati
terdapat dualisme dalam pendidikan. Sekolah-sekolah umum yang
berkiblat ke Barat, lebih memfokuskan pendidikannya ke arah
pengembangan intelektual, sedangkan madrasah-madrasah yang
berkiblat ke Timur memfokuskan pendidikannya ke arah pendidikan
spiritual dan kurang memperhatikan aspek intelektual.

Menurutnya, pendirian sekolah itu harus mengarah kepada dua


tujuan. Pertama, Mendidik akal dan jiwa anak didik. Kedua, mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat. Dari statemen yang dikemukakan di
atas, terlihat bahwa Muhammad Abduh menginginkan adanya konsep
pendidikan terpadu, yaitu pendidikan bukan hanya mementingkan
intelektual semata dan bukan pula yang hanya menjurus ke arah
spiritual, namun kedua-duanya berjalan seiring, sehingga pendidikan
dapat menjawab tantangan zaman, dan menghantarkan manusia ke
arah kebahagiaan dunia dan akhirat. Untuk mengaplikasikan
pemikirannya, Muhammad Abduh mengusahakan untuk mengubah
sistem pendidikan al-Azhar. Dipilihnya al-Azhar sebagai sasaran
pertama barang kali karena al-Azhar merupakan jantung masyarakat
Islam.12

Dalam hal kurikulum Muhammad Abduh menghendaki agar


dimasukkan mata kuliah filsafat untuk mahasiswa al-Azhar. Menurut
Abduh, filsafat dapat menghidupkan kembali intelektualisme Islam
yang sudah padam. Selain filsafat Abduh juga menginginkan, agar
ilmu pengetahuan modern harus dimasukkan ke dalam kurikulum al-
Azhar, agar ulama-ulama Islam mengerti kebudayaan modern dan
dapat mencari penyelesaian yang baik bagi persoalan-persoalan yang
timbul dalam zaman modern.

12
Nurkholis Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 311
12

Di samping ide-ide Muhammad Abduh untuk memasukkan


ilmu modern ke al-Azhar, ia juga berpendapat untuk memasukan
pendidikan agama yang mantap, sejarah Islam dan sejarah kebudayaan
Islam ke dalam sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah untuk
mendidik tenaga ahli dalam bidang administrasi, meliter, kesehatan,
perindustrian dan lain sebagainya.13 Sementara dalam bidang
administrasi pendidikan, Muhammad Abduh berpendapat untuk
memberikan honorium untuk ulama al-Azhar, mendirikan asrama
mahasiswa, beasiswa pendidikan, membangun rektorat dan
mengangkat pegawai-pegawainya dan mengintensifkan kembali
peranan perpustakaan.14 Apa yang telah disebutkan di atas, mengenai
pembaharuan kurikulum, metode dan administrasi pendidikan semua
itu merupakan pendidikan formal. Sedangkan dalam pendidikan non-
formal, Muhammad Abduh menyebutkan sebagai islah (usaha
perbaikan).

Dalam usaha penyelenggaraan pendidikan ini, Muhammad


Abduh melihat, penyaingnya campur tangan pemerintah, terutama
dalam mempersiapkan pendakwah. Dilihat dari pembaharuan
pendidikan yang dicanangkan Muhammad Abduh, kelihatannya ide-
idenya sangat relevan dengan perkembangan pendidikan modern
sekarang ini, terutama yang berhubungan dengan pemikiran beliau
tentang keterpaduan antara pendidikan agama dan umum dalam sistem
pendidikan. Ide beliau ini terlihat jelas ketika ia memasukan kurikulum
pendidikan umum ke Universitas al-Azhar yang notabene saat sangat
anti pada falsafah.

b) Bidang Ijtihad

Pembaharuan Muhammad Abduh dilatarbelakangi oleh kondisi


sosial umat Islam. Umat Islam saat itu berada dalam kemunduran di
segala bidang sebab kemunduran tersebut, menurut Muhammad

13
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 61.
14
Harun Nasution, dan Muhammad Abduh, Teologi Rasional Muktazilah, (Jakarta: UI Press,
1986), hal. 20.
13

Abduh, karena adanya paham jumud yang ada di kalangan mereka.


Karena dipengaruhi paham jumud, umat Islam tidak menghendaki
perubahan dan tidak mau menerima perubahan. Barangkali, kondisi
inilah yang tidak disenangi Muhammad Abduh dan mengakibatkan
umat Islam lupa terhadap ajaran yang sebenarnya. Oleh karena itu, dia
berusaha mengajak kembali kepada ajaran Al-Quran dan al-Sunnah,
sebagaimana Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Ibn Abdullah al-
Wahab. Namun, Muhammad Abduh tidak sebatas kembali kepada
AlQuran dan al-Sunnah, akan tetapi harus ajaran Al-Quran dan Sunnah
terhadap masalah-masalah agama dalam kehidupan umat Islam.15

Untuk mengetahui sejauh mana ijtihad yang dilakukan


Muhammad Abduh, di bawah ini dipaparkan contoh ijtihad
Muhammad Abduh: (1) Ketika dia menjadi mufti dia berfatwa tidak
musti harus mengikuti pendapat mazhab Hanafi, akan tetapi ia
berusaha mentarjih pendapat ulama atau dengan berijtihad dalam
menafsirkan ayat Al-Quran; contoh Muhammad Abduh membolehkan
untuk memakan sesembelihan ahli kitab.16 (2) Ijtihad Muhammad
Abduh telah terlihat dalam penafsiran ayat Al-Quran. Dalam hal ini ia
berpendapat bahwa kebolehan bertayamum meskipun air ada tidak
banyak lagi mereka sakit, tetapi bagi musafir.17 Dalam permasalahan
ini, nampaknya beliau meninggalkan pendapat mazhab. Dengan kata
lain, ia tidak terikat pada ulama mazhab dalam mengembangkan
pemikirannya, tetapi ia lebih cenderung menginteprestasi kembali
pendapat para ulama dan menyesuaikan dengan konteks sekarang ini
dengan menggunakan ijtihadnya.

c) Bidang Teologi

Muhammad Abduh melihat umat Islam pada umumnya


menganut paham fatalis (Jabariah). paham ini tentunya turut
mempengaruhi kemunduran umat, karena orang yang berpaham fatalis

15
John J. Donohue, Islam dan Pembaharuan, Terj. (Jakarta: Rajawali, 1984), hal. 30.
16
Ibid, hal. 146.
17
ibid, hal. 147.
14

tidak mengakui adanya eksistensi perbuatan manusia. Manusia hanya


menerima apa yang telah ditentukan Tuhan, tanpa mau berusaha.
Dengan demikian paham fatalis, kelihatannya telah menyelewengkan
paham qada dan qadar, yang dianut oleh umat Islam zaman Klasik.
Pada zaman klasik qada dan qadar mengandung unsur dinamis, dan
erat kaitannya dengan sunnatullah.18 Paham fatalis menurut
Muhammad Abduh perlu diubah dengan paham kebebasan manusia
dalam kemauan dan perbuatan. Dengan demikian kata Muhammad
Abduh, akan menimbulkan dinamika umat Islam kembali.19

Adapun anggapan bahwa pengakuan terhadap adanya usaha


seorang hamba dapat membawa kepada paham syirik, menurut
Muhammad Abduh pengertian syirik yang dimaksudkan dalam Al-
Quran dan Sunnah adalah meyakini bahwa selain Allah mempunyai
pengaruh yang mengungguli sebab-sebab dzahir yang telah ditetapkan
serta meyakini bahwa sesuatu selain Allah mempunyai kekuasaan
terhadap kemampuan semua makhluk dengan meminta pertolongan
kepadanya pada masalah-masalah yang tidak sanggup diatasi oleh
manusia, seperti meminta agar menang dalam peperangan tanpa
adanya kekuatan bala tentara atau meminta agar sembuh dari penyakit
tanpa berobat dan lain sebagainya.

d) Bidang Sosial

Dalam bidang sosial Muhammad Abduh menekankan arti


pentingnya persatuan. Persatuan adalah merupakan faktor penting bagi
keteguhan masyarakat. Ide persatuan ini erat kaitannya dengan tujuan
yang akan dicapai yaitu menentang atau mendobrak imprialisme barat.
Umat Islam kata Muhammad Abduh akan selalu terhina bila mana
tidak ada rasa persatuan. Muhammad Abduh mengibaratkan persatuan
bagaikan buah dari sebuah pohon yang bercabang, berdaun, berdahan
dan berakar. Pohon itu adalah akhlak yang mulia dengan segala

18
Muhammad Abduh, Risalah al-Tauhid, terj. Firdaus, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hal. 46-47.
19
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 66.
15

tingkatannya, umat Islam harus mendidik dirinya dengan pendidikan


Islam yang sebenarnya untuk mendapatkan buah tersebut. Sebab tanpa
pendidikan, cita-cita akan sia-sia dan menjadi mimpi belaka, setiap
kebutuhan tidak akan terpenuhi. 20

Namun demikian, bukan berarti Muhammad Abduh berpaham


sosialis alakomunis, dia masih tetap mengakui hak milik perorangan,
dan dia selalu menghimbau para hartawan agar mau bekerja sama dan
mengorbankan hartanya untuk memajukan pendidikan masyarakat.
Usaha yang nampak dalam bidang sosial ini juga Muhammad Abduh
mendirikan organisasi sosial yang bernama al-Jami’iyyat al-Khairiyyat
alIslamiyat. Tujuan organisasi ini adalah menyantuni fakir miskin anak
yang tidak mampu orang tuanya membiayai. Wakaf juga tidak luput
dari perhatiannya karena wakaf merupakan sumber dana yang sangat
efektif. Untuk itu, ia membentuk majelis administrasi wakaf. Salah
satu sasarannya ia ingin memperbaiki masjid, manajemen dan
administrasinya.21

e) Bidang Ketatanegaraan

Dalam bidang ketatanegaraan, kelihatannya Muhammad Abduh


berpendapat bahwa kekuasaan negara harus dibatasi. Mesir, pada
zamannya, telah mempunyai konstitusi dan usahanya di waktu itu
tertuju kepada kebangkitan kesadaran rakyat akan hak-hak mereka
menurut pendapatnya, di mana pemerintah wajib bersikap adil
terhadap rakyat. Konsekuensinya, rakyat harus patuh dan mempunyai
loyalitas yang tinggi terhadap pemerintah. Kepala negara adalah
manusia biasa, dia bisa berbuat salah dan dipengaruhi oleh hawa
nafsunya dan kesadaran rakyatlah yang bisa membawa kepala negara
yang demikian sifatnya kembali kepada jalan yang benar. Kesadaran

20
Muḥammad al-Bahi, Pemikiran Islam Modern, Terj. (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1989), hal. 67.
21
Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh, hal 118.
16

rakyat dapat dibangun melalui pembangunan sarana-sarana


pendidikan, surat kabar dan sebagainya.22

C. Muhammad Rasyid
1. Biografi Muhammad Rasyid

Rasyid Ridha adalah murid Muhammad ‘Abduh yang terdekat. Ia


lahir pada tahun 1865 di al-Qalamun, suatu desa di Lebanon yang letaknya
tidak jauh dari kota Tripoli (Suria). Menurut keterangan, ia berasal dari
keturunan al-Husain, cucu Rasulullah. Semasa kecil, ia belajar di sebuah
sekolah tradisional di al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan
membaca al-Qur’an. Pada tahun 1882, ia meneruskan pelajaran di al-
Madrasah al-Wataniah al-Islamiyyah (Sekolah Nasional Islam) di Tripoli.
Sekolah ini didirikan oleh al-Syaikh Husain al-Jisr, seorang ulama Islam
yang telah dipengaruhi oleh ide-ide modern.23 Di Madrasah ini, selain dari
bahasa Arab diajarkan pula bahasa Turki dan Perancis, dan di samping
pengetahuan-pengetahuan agama juga diajarkan pengetahuan modern.
Rasyid Ridha meneruskan pelajarannya di salah satu sekolah agama yang
ada di Tripoli. Namun hubungan dengan al-Syaikh Hussein al-Jisr berjalan
terus dan guru inilah yang menjadi pembimbing baginya di masa muda.

Selanjutnya ia banyak dipengaruhi oleh ide-ide Jamaluddin al-


Afghani dan Muhammad ‘Abduh melalui majalah al-Urwah al-Wutsqa. Ia
berniat untuk menggabungkan diri dengan al-Afghani di Istambul, tetapi
niat itu tidak terwujud. Sewaktu Muhammad ‘Abduh berada dalam
pembuangan di Beirut, ia mendapat kesempatan baik untuk berjumpa dan
berdialog dengan murid utama al-Afghani itu. Pemikiran-pemikiran
pembaruan yang diperolehnya dari al-Syaikh Hussain al-Jisr dan yang
kemudian diperluas lagi dengan ide-ide al-Afghani dan Muhammad
‘Abduh amat mempengaruhi jiwanya. Beberapa bulan kemudian ia mulai
menerbitkan majalah yang termasyhur, al-Manar.

22
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal.68.
23
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Pemikiran dan Gerakan, 1992, hlm. 69.
17

Di dalam nomor pertama dijelaskan bahwa tujuan al-Manar sama


dengan tujuan al-Urwah al-Wutsqa, antara lain, mengadakan pembaruan
dalam bidang agama, sosial dan ekonomi, memberantas takhayyul dan
bid’ah-bid’ah yang masuk ke dalam tubuh Islam, menghilangkan faham
fatalisme yang terdapat dalam kalangan umat Islam, serta faham-faham
salah yang dibawa tarekat-tarekat tasawwuf, meningkatkan mutu
pendidikan dan membela umat Islam terhadap permainan politik negara-
negara Barat.

Rasyid Ridha melihat perlunya diadakan tafsir modern dari al-


Qur’an, yaitu tafsir yang sesuai dengan ide-ide yang dicetuskan gurunya.
Ia selalu menganjurkan kepada gurunya, Muhammad ‘Abduh, supaya
menulis tafsir modern. Karena selalu didesak, ‘Abduh akhirnya setuju
untuk memberikan kuliah mengenai tafsir al-Qur’an di al-Azhar. Kuliah-
kuliah itu dimulai pada tahun 1899. Keterangan-keterangan yang diberikan
gurunya oleh Rasyid Ridha dicatat untuk selanjutnya disusun dalam
bentuk karangan teratur. Apa yang ia tulis ia serahkan selanjutnya kepada
guru untuk diperiksa. Setelah mendapat persetujuan lalu disiarkan dalam
al-Manar. Dengan demikian, akhirnya muncullah apa yang kemudian
dikenal dengan Tafsir al-Manar.

2. Pemikiran dan Ide Pembaharuan Muhammad Rasyid

Muhammad Rasyid Ridha sangat terpengaruh oleh Ihya Ulum ad


Din karya al-Ghazali. Kitab Ihya Ulum ad-Din membantu membentuk
pandangannya bahwa umat muslim harus secara sadar menghayati
(menginternalisasikan) keimanannya, dan melampaui ketaatan-ketaatan
lahiriyah belaka, serta harus selalu menyadari implikasi etis dari tindakan-
tindakannya. Kitab Ihya Ulum ad-Din mendorong Muhammad Rasyid
Ridha muda untuk berkonsentrasi kepada persiapan spiritual untuk
kehidupan akhirat. Kitab tersebut tidak hanya menarikminatnya untuk
18

berulang kali membacanya, tetapi telah menjadi gurunya yang pertama


dalam membentuk kepribadiannya.24

Sewaktu dalam pengaruh al-Ghazali itulah, kata Muhammad


Rasyid Ridha ia mengikuti tarekat Naqsyabandiyyah, mengamalkan
ajaranajarannya, dan melaksanakan latihan- latihan ‘uzlah yang sangat
berat. Beberapa tahun kemudian setelah tekun menjalani kehidupan sufi
dan mengamalkan ajaran-ajaran tarekat, menyadari banyakanya bidah dan
khurafat yang terdapat dalam ajaran-ajaran tasawuf dan tarekat tersebut.
Karena itu, ajaran-ajaran tersebut ditinggalkannya. Bahkan, sikapnya
terhadap ajaran-ajaran tasawuf dan tarekat, tidak hanya sampai disitu,
tetapi ia membimbing masyarakatnya agar meninggalkan ajaran-ajaran
yang telah bercampur baur dengan bidah dan khurafat tersebut. Yaitu
dengan membuka pengajian untuk kaum pria dan pengajian untuk kaum
wanita, menebang pohon- pohon yang dianggap keramat dan membawa
berkah, dan melarang masyarakat mencari berkah dari kuburan-kuburan
para wali atau bertawasul dengan para wali yang telah wafat.25

Perubahan sikap Muhammad Rasyid Ridha terhadap ajaran


tasawuf dan tarekat muncul setelah ia mempelajari kitab-kitab hadits
dengan tekun. Perubahan sikapnya terhadap ajaran-ajaran tersebut semakin
terlihat dengan jelas setelah ia terpengaruh oleh ide-ide pebaharuan Syekh
Jamal al-Din al-Afghani dan Syekh Muhammad Abduh yang dimuat
dalam majalah al-‘Urwah al-Wutsqa yang mereka terbitkan di Paris,
Perancis. Rasyid Ridha mulai membaca majalah tersebut ketika ia masih
belajar di Tripoli.26

24
Ibrahim Ahmad al-Adawy, Rasyid Ridha al-Imamul Mujtahid, (Kairo: Al-Muassah al-
Mishriyyah al-Ammah li al-Ta’lif wal Anfa’ wa al-Nasyr, t.th), h. 36.
25
Muhammad Ibn Abdillah al-Salman, al-Syaikh al-Salafi wa al-Muslih (Cet. I Riyadh: Jami’ah
al-Imam Muhammad Ibn Su’ud al-Islamiyah, 1933), h. 36-38.
26
Muhammad Ibn Abdillah al-Salman, al-Syaikh al-Salafi wa al-Muslih (Cet. I Riyadh: Jami’ah
al-Imam Muhammad Ibn Su’ud al-Islamiyah, 1933), h. 198.
19

Melalui surat kabar ini, Muhammad Rasyid Ridha mengenal


gagasan dua tokoh pembaharu yang sangat dikaguminya, yaitu Jamaluddin
Al- Afghani, seorang pemimpin pembaharu dari Afghanistan, dan
Muhammad Abduh, seorang pembaharu dari Mesir.

Ide-ide brilian yang dipublikasikan itu begitu berkesan dalam


dirinya dan menimbulkan keinginan kuat untuk bergabung dan berguru
pada kedua tokoh itu. Keinginan untuk bertemu dengan Al-Afghani
ternyata belum tercapai, karena tokoh ini lebih dahulu meninggal dunia.
Namun, ketika Muhammad Abduh dibuang ke Beirut pada akhir 1882,
Muhammad Rasyid Ridha berkesempatan berdialog serta saling bertukar
ide dengan Abduh. Pertemuan dan dialog dengan Muhammad Abduh
semakin menumbuhkan semangat juang dalam dirinya untuk melepaskan
umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kebodohannya.

Di Libanon, Muhammad Rasyid Ridha mencoba menerapkan ide-


ide pembaruan yang diperolehnya. Namun, upayanya ini mendapat
tentangan dan tekanan politik dari Kerajaan Turki Usmani yang tidak
menerima ide-ide pembaruan yang dilontarkannya. Akibat semakin
besarnya tentangan itu, akhirnya pada 1898 M, Rasyid Ridha pindah ke
Mesir mengikuti gurunya, Muhammad Abduh, yang telah lama tinggal di
sana. Di kota ini, Muhammad Rasyid Ridha langsung menemui
Muhammad Abduh dan menyatakan keinginannya untuk menjadi murid
dan pengikut setia Abduh. Rasyid Ridha tidak hanya menjadi murid yang
paling dekat dan setia kepada Abduh tetapi menjadi mitra, penerjemah,
dan pengulas pemikiran- pemikirannya.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pembaruan Islam adalah proses pemurnian dimana konsep pertama atau


konsep asalnya difahami dan ditafsirkan sehingga menjadi lebih jelas bagi
masyarakat pada masanya dan lebih penting lagi penjelasan itu tidak
bertentangan dengan aslinya. Pembaruan Islam mempunyai rujukan yang
jelas, yaitu Al-Quran dan As-Sunnah, sementara pembaruan lain akan terus
berproses mencari dan tidak memiliki rujukan yang mutlak dan pasti.

Salah satu pemikiran Pembaharuan Jamaluddin Al-Afghani yang paling


populer adalah Pan Islamisme. Yang dimaksud Pan Islamisme yang
digagas Jamaluddin adalah sebuah gerakan untuk menyatukan umat muslim
dan membangun dunia Islam di bawah satu pemerintahan untuk melawan
kekuatan asing (bangsa Barat).

Pemikiran Abduh meliputi: segi politik dan kebangsaan, sosial


kemasyarakatan, pendidikan, serta akidah dan keyakinan.
Walaupun pemikirannya mencakup berbagai segi, namun bila diteliti dalam
menggagas ide-ide pembaharuannya, Abduh lebih menitikberatkan pada
bidang pendidikan.

Pemikiran Muhammad Rasyid Ridha menegaskan jika umat Islam ingin


maju, mereka harus kembali berpegang kepada Alquran dan sunnah. Ia
membedakan antara masalah peribadatan (yang berhubungan dengan Allah
Swt.) dan masalah muamalah (yang berhubungan dengan manusia).

20
DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad. 1996. Risalah al-Tauhid. terj. Firdaus. Jakarta: Bulan


Bintang.

Ahmad al-Adawy, Ibrahim dan Rasyid Ridha al-Imamul Mujtahid. Kairo: Al-
Muassah al-Mishriyyah al-Ammah li al-Ta’lif wal Anfa’ wa al-Nasyr.

Al-Bahi, Muḥammad. 1989. Pemikiran Islam Modern. Terj. Jakarta: Pustaka


Panjimas.

Al-Bahiy, Muhammad. 1968. Pemikiran Islam Modern. Pustaka Panji Mas:


Jakarta.

Amin, Ahmad. 1977. Zu’ama al-Ishlahfi al-‘Ashr al-Hadits. Maktabah an-nahdah


al-Misriyah: Kairo.

Ecyclopedia of Islam. 1965. II. E. J. Brill.

Hadi, Saiful. Tt. 125 Ilmuwan Muslim Pengukir Sejarah. Jakarta: Insan
Cemerlang.

Hourani, Albert. 1962. Arabic Thought in The Liberal Age 1798-1939. Oxford
University Press: London.

Ibn Abdillah al-Salman, Muhammad. 1933. al-Syaikh al-Salafi wa al-Muslih. Cet.


I Riyadh: Jami’ah al-Imam Muhammad Ibn Su’ud al-Islamiyah.

J. Donohue, John. 1984. Islam dan Pembaharuan. Terj. Jakarta: Rajawali.

Lubis. Tt. Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh. Tk:Tp.

Madjid, Nurkholis. 1998. Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung:


Mizan.

Mohammad, Herry. 2006. Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20.


Jakarta: Gema Insani.

Nasution, Harun dan Muhammad Abduh. 1986. Teologi Rasional Muktazilah.


Jakarta: UI Press.
Nasution, Harun. 1975. Pembaharuan Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Nasution, Harun. 1975. Pembaharuan Dalam Islam. Sejarah Pemikiran dan


Gerakan. Bulan Bintang: Jakarta.

Quraish Shihab, M. 1994. Studi Kritis Tafsir Al-manar. Bandung: Pustaka


Hidayah.

Sjadzali, Munawir. 1991. Islam dan Tata Negara. UI Press: Jakarta.

Yatim, Badri. 1993. Sejarah Paeradaban Islam. Raja Grafindo Persada: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai