Anda di halaman 1dari 6

Abul Hasan Ali An-Nadwi (1914-1999) :

Tegar Membentengi Ummat dari Peradaban Materialisme

Oleh : Imanuddin Kamil, Lc., M.Pd.I

Fenomena menyedihkan yang terjadi di negara-negara muslim akibat serbuan budaya dan
peradaban Barat -terutama dalam aspek pendidikan-, telah mendorong Abul Hasan Ali An-Nadwi
(selanjutnya ditulis An-Nadwi) mencurahkan perhatian yang besar terhadap permasalahan ini.
Kegundahan dan kerisauan An-Nadwi dalam hal ini sangat nampak dalam buku-buku dan
ceramah-ceramahnya di beberapa negara Muslim.

Penyadaran dan upaya membangunkan ummat dari kondisi terlena, penguatan identitas
dan ‘izzah sebagai muslim serta penegasan peran ummat Islam yang urgent di abad modern ini,
selalu mendapat porsi yang besar dalam kiprah da’wah dan karya-karya ilmiahnya. Hampir
sebagian besar buku-buku dan ceramah beliau dilandasi dan dibangun dengan spirit dan ruh yang
membangkitkan ini.

Karya monumentalnya yang berjudul Madza Khasira Al-'Alam bi Inhithati Al-Muslimin


(Apa Kerugian yang Diderita Dunia Akibat Kemunduran Kaum Muslimin) sampai sekarang masih
relevan dikaji para aktivis generasi muda. Beliau menulis buku ini dengan penuh percaya diri
dalam balutan pancaran optimisme padahal yang dibahas soal kejatuhan ummat. Terlihat dari judul
yang powerfull dan menumbuhkan selfconfident dalam diri ummat, pada saat yang dibahas adalah
masalah kemunduran dan keruntuhan ummat. Pesan pentingnya, An-Nadwi ingin menyadarkan
kembali ummat Islam bahwa mereka adalah faktor utama yang menentukan wajah dunia.
Karenanya kemunduran ummat Islam bukan hanya kerugian bagi mereka saja, namun petaka besar
bagi semesta dunia.

Gemerlap kemajuan Barat sama sekali tidak membuatnya silau dan inferior. An-Nadwi
justru menguliti kemajuan peradaban Barat itu dan menunjukkan kelemahan-kelemahannya.
Dalam pandangannya peradaban Barat tak lebih dari sebuah peradaban pincang. Ibarat pohon yang
busuk, maka buah yang dihasilkan juga busuk, karena mereka menanam pohon peradabannya
sambil membuang agama dan melupakan Tuhan.1

1
Abul Hasan Ali An-Nadwi, Madza Khasira Al-‘Alam bi Inhithati Al-Muslimin, (Kairo: Maktabah Al-Iman),
edisi Indonesia Kerugian Dunia Karena Kemunduran Umat Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, tt) terj. Bey Arifin.
Peradaban Barat menurutnya mempunyai ciri yang khas yaitu, 1) kepercayaan yang
berlebihan terhadap panca indera dengan meremehkan hal-hal yang di luar panca indera, 2)
kelangkaan rasa keagamaan dan kerohanian, 3) kecenderungan terhadap hal duniawi dan sangat
senang dengan kehidupan foya-foya, 4) memiliki rasa fanatik kebangsaaan (nasionalisme) yang
tinggi. Semua itu dapat diringkas dalam satu kata; “materialisme”. 2

Fenomena materialisme yang dihembuskan peradaban modern ini telah menjadi wabah
yang melanda dunia Islam. Bahayanya tidak hanya mengancam gaya hidup menjadi hedonis, cinta
dunia dan tamak. Cara berfikir pun teracuni worldview materialistis. Ilmu pengetahuan terjauhkan
dari nilai-nilai ketuhanan. Ruh pendidikan tercerabut dari tujuan hakikinya. Agama dan segala hal
yang terkait dengan nilai spiritual menjadi tersingkirkan dari area publik. Terkungkung dalam
wilyah privat yang asing dan digempur arus budaya hipokrit.

Pada gilirannya jiwa manusia menjadi kering, hampa dari keimanan. Perasaan beragama
menjadi luntur, dan dekadensi moral terjadi di mana-mana. Manusia menjadi kehilangan
esensinya, terpuruk dalam kubangan krisis rȗhiyyah. An-Nadwi menggambarkan manusia-
manusia yang sudah kehilangan kesempurnaan ruhnya itu bagaikan robot-robot yang tidak
memiliki rasa dan nurani. Karena jiwa dan hati telah mati dan menjadi keras membatu, maka
lenyaplah kebaikan, kehormatan dan akhlak.

Ketika ummat Islam mengekor kepada sistem dan konsep Barat, ini adalah masalah besar
bagi ummat Islam. Inilah sumber utama yang menjadikan ummat Islam kehilangan identitasnya.
Menurutnya dengan sistem dan konsep Barat yang sekular itu, ummat Islam kini menghadapi
ancaman murtad yang lebih berbahaya yaitu paham materialisme (kebendaan) yang datang dari
pengaruh Barat.3

Materialisme merupakan paham yang berdasarkan penolakan kepada agama dan


pemikiran yang menafikan adanya Tuhan, alam ghaib, wahyu dan kerasulan. Sungguhpun
penganjur-penganjur falsafah kebendaan ini tidak menganggapnya sebagai satu agama baru,
namun pada hakikatnya falsafah ini adalah sejenis agama baru. Paham baru inilah yang sedang
melanda dan mengancam dunia Islam tanpa disadari oleh ummat Islam.4

2
Lihat An-Nadwi, Madza Khasira Al-‘Alam bi Inhithati Al-Muslimin
3
An-Nadwi, Nahwa Al-Tarbiyyah Al-Islamiyyah Al-Hurrah, (Beirut: Muassasah Al-Risalah, 1985), cet. 5,
h. 25. Atau bisa juga dilihat dalam bukunya yang lain yang mengkaji lebih khusus masalah ini dalam Riddah Wala
Aba Bakr Laha (Murtad: Mengapa Tidak Ada Abu Bakar Memeranginya?, (Makkah Al-Mukarramah : Al-Maktabah
Al-Makkiyyah, 1992), cet. 2, h. 6-8.
4
An-Nadwi, Riddah wala Aba Bakr Laha, ibid.
Terdepan dalam Pertarungan Alam Pemikiran di Dunia Islam

Buku An-Nadwi yang lain menggambarkan sebuah refleksi pertarungan sengit alam
pemikiran yang melanda dunia Islam. Dan An-Nadwi hadir sebagai salah satu petarung yang
terdepan dalam mempertahankan identitas Islam dari serbuan pemikiran Barat. Kontribusi beliau
dapat dilihat misalnya pada karyanya, Al Shira’ Baina Al Fikrah Al Islamiyyah wa Al Fikrah Al
Gharbiyyah fi Al Aqthar Al Islamiy yah. Atau bukunya yang merindukan tampilnya Abu Bakar-
Abu Bakar baru dalam menghadapi fenomena gelombang kemurtadan pemikiran ini, Riddah wala
Aba Bakr Laha.

Buku lainnya, Al-Hadharah Al-Gharbiyyah Al-Wafidah wa Atsaruha fi Al-Jiil Al-


Mutsaqqaf. Sebuah karya yang menggambarkan pengaruh peradaban Barat dalam alam pikiran
para cendikia. Dan itu menjadi fenomena umum di hampir seluruh dunia Islam. 5 An-Nadwi
menyebutnya sebagai fenomena kemurtadan modern. Mengutip puisi Iqbal, An-Nadwi
merefleksikan puisi Iqbal sebagai potret generasi yang kehilangan identitasnya. “Pemuda-pemuda
cendikia itu ibarat gelas-gelas kosong, dengan bibir-bibir kering dahaga, wajah-wajah mengkilap,
namun ruhaninya gelap, akalnya bersinar tapi mata hatinya tumpul, keyakinannya lemah, banyak
berputus asa, tidak melihat apapun di alam ini, mereka para pemuda bagaikan orang besar padahal
bukan dan tidak pantas menjadi orang besar, mereka mengingkari dirinya sendiri dan
menggantungkan kepercayaan kepada orang lain.”

Untuk menumbuhkan identitas dan ‘izzah sebagai muslim, An-Nadwi juga banyak menulis
tokoh-tokoh Islam baik salaf (terdahulu) maupun khalaf (kontemporer). Ada buku Rijal Al-Fikr
wa Al-Da’wah fi Al-Islam, Al-Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari wa Kitabuhu Shahih Al-
Bukhari, Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri, Al-Imam ‘Abdul Qadir Al-Jailani, Al-Imam Al-Syahid
Hasan Al-Banna dan juga buku-buku yang mengangkat tokoh-tokoh da’i dan mujahid India
seperti Al-Imam Al-Syahid Ahmad bin ‘Irfan.6

Dalam ceramah-caramahnya pun, An-Nadwi banyak sekali bicara tentang tantangan


pemikiran ini serta ide-ide dan gagasannya tentang pendidikan Islam. Secara khusus, beliau
beberapa kali diundang negara-negara Teluk; Arab Saudi, Kuwait, Jordan dll, untuk berbicara
tentang topik tersebut. Tema-tema ceramahnya itu kemudian dibukukan dalam buku yang
berjudul, Ahadits Sharihah Ma’a Ikhwanina Al-‘Arab wa Al-Muslimin. Selain itu terdapat

5
Tentang karya-karya ini, lihat, Muhammad Ijtiba An-Nadwi, Abu Al-Hasan Ali Al-Nadwi Al-Da’iyah Al-
Hakim wa Al-Murabbi Al-Jalil, (Damaskus: Daar Al-Qalam, 2001), cet. 1.
6
Ibid.
karyanya yang lain seperti, Ila Mumatstsili Al-Bilad Al-Islamiyyah, Isma’i ya Mishr, Isma’i ya
Suriyyah, Ilaa Al-Islam min Jadid, dan lainnya.7

Adapun ceramah, wejangan dan gagasan-gagasan beliau terkait tema-tema tentang


pendidikan Islam, dibukukan dalam kitab yang berjudul, Nahwa Al-Tarbiyyah Al-Islamiyyah fi Al-
Hukumat wa Al-Bilad Al-Islamiyyah. Nizham Al-Tarbiyyah wa Al-Ta’lim fi Al-Aqthar Al-
Islamiyyah wa Atsaruh Al-Ba’id fi Ittijahat wa Qiyadatiha dan juga buku Al-Shira’ Baina Al-
Fikrah Al-Islamiyyah wa Al-Fikrah Al-Gharbiyyah.8

Barangkali apa yang digambarkan oleh ulama besar kontemporer saat ini, Syaikh Yusuf
Al-Qaradhawi tentang pokok-pokok pikiran An-Nadwi dalam karya dan kiprah da’wahnya
menjadi pandangan dan pengakuan yang paling otoritatif. Sebuah penilaian yang disampaikan
seorang tokoh yang punya kapasitas untuk seorang tokoh yang juga memiliki kapasitas dan
dihormati.

Al-Qaradhawi menulis dalam Rakaiz Al-Fiqh Al-Da’awi ‘Inda Al-‘Allamah Abi Al-Hasan
Al-Nadwi, (Pilar-pilar dan Asas yang Menjadi Landasan Da’wah An-Nadwi) yang dimuat pada
website resminya, http://www.qaradawi.net. Menurut Al-Qaradhawi, pilar-pilar tersebut
mencapai 20 pilar sebagaimana yang dijelaskan berikut:

1. Ta’miq Al-Iman fi Muwajahah Al-Madiyyah (Menumbuhkan dan menguatkan keimanan


dalam menghadapi wabah Materialisme)
2. I’laa Al-Wahy ‘ala Al-Aql (Mengedepankan Wahyu dari pada Akal)
3. Tautsiq Al-Shillah bi Al-Quran (Menguatkan Hubungan dengan Al-Quran)
4. Tautsiq Al-Shillah bi Al-Sunnah (Menguatkan Hubungan dengan Sunnah)
5. Isy’aal Jadzwah Al-Ruhiyyah (Rabbaniyyah Al-Ijabiyyah) (Menyalakan Potensi Cahaya
Ruhani [Rabbaniyyah yang Positif])
6. Al-Bina La Al-Hadm, Al-Jam’u La Al-Tafriq (Membangun bukan Menghancurkan,
Menyatukan Bukan Memecahbelah)
7. Ihya Ruh Al-Jihad fi Sabilillah (Menghidupkan Ruh Jihad fi Sabilillah)
8. Istihya Al-Tarikh Al-Islami wa Buthulatihi (Menghidupkan Sejarah Islam Dan Para
Pahlawannya)
9. Naqd Al-Fikrah Al-Gharbiyyah wa Al-Hadharah Al-Madiyyah (Kritik Terhadap
Pemikiran Barat dan Peradaban Materialisme)

7
Ibid.
8
Ibid.
10. Naqd Al-Fikrah Al-Qaumiyyah wa Al-‘Ashabiyyah Al-Jahiliyyah (Kritik Terhadap
Pemikiran Nasionalis dan ‘Ashabiyyah Jahiliyyah)
11. Ta’kid ‘Aqidah Khatm Al-Nubuwwah wa Muqawamah Al-Fitnah Al-Qadiyaniyyah
(Menegaskan Aqidah Kenabian Terakhir dan Memerangi Fitnah Qadiyani)
12. Muqawamah Al-Riddah Al-Fikriyyah (Memerangi Fenomena Murtad Pemikiran)
13. Ta’kid Daur Al-Ummah Al-Muslimah wa Istimraruha fi Al-Tarikh (Menegaskan Peran
Ummat Islam dan Eksistensi dalam Sejarah)
14. Bayan Fadhl Al-Shahabah wa Manzilatuhum fi Al-Din (Penjelasan Mengenai Keutamaan
Sahabat dan Posisi Mereka dalam Agama)
15. Al-Tanwih bi Qadhiyyah Filisthin wa Tahriruha (Mengingatkan Permasalahan Palestina
dan Pembebasannya)
16. Al-‘Inayah bi Al-Tarbiyyah Al-Islamiyyah Al-Hurrah (Menjaga dan Merawat Pendidikan
Islam yang Mandiri)
17. Al-‘Inayah bi Al-Thufulah wa Al-Nasy’u (Menjaga dan Merawat Fase Kanak-kanak dan
Remaja)
18. I’dad Al-‘Ulama wa Al-Du’at Al-Rabbaniyyin Al-Mu’ashirin (Menyiapkan Ulama dan
Da’i Rabbani yang Mengerti Zamannya)
19. Tarsyid Al-Shahwah wa Al-Harakat Al-Islamiyyah (Mengayomi Semangat Kebangkitan
dan Pergerakan Islam)
20. Da’wah Ghair Al-Muslimin (Berda’wah Kepada Non Muslim)9

Itulah pengakuan dan penghargaan seorang tokoh untuk sang tokoh. Sebagaimana pepatah
Arab mengatakan, ‘La Ya’rif Al-Rijal Illa Al-Rijal’ kurang lebih maknanya, ‘Orang Besar Hanya
dapat Dikenali oleh Orang Besar’. Demikianlah, perhatian seorang An-Nadwi terhadap
permasalahan ummat, wabil khusus masalah pendidikan dan tantangan pemikiran yang
dihadapinya, benar-benar telah dirasakan oleh ummat, mendapatkan apresiasi dan kesaksian dari
seorang tokoh ummat saat ini. Fajazaahullaahu Khairal Jazaa yaa Aba Al Hasan!

Bukan Sekedar Da’i yang Teoritis, Beliau Praktisi Da’wah Mumpuni

Kiprah da’wah An-Nadwi tidak hanya dalam tataran ide dan gagasan saja, secara praktek
An-Nadwi juga banyak terlibat dan melibatkan diri dalam proyek-proyek da’wah yang ril dan
membumi. Beliau tercatat sebagai salah satu tokoh ummat yang membidani lahirnya institusi
pendidikan tinggi, seperti Al-Jami’ah Al-Islamiyyah di Madinah Al-Munawwarah, dimana beliau

9
Yusuf Al-Qaradhawi, Rakaiz Al-Fiqh Al-Da’awi ‘Inda Al-‘Allamah Abi Al-Hasan Al-Nadwi,
http://www.qaradawi.net/library/72/3752.html
sebagai tim perumus dan duduk sebagai anggota Majlis Al-Istisyari. Sebagaimana beliau juga aktif
dan berperan besar dalam pembentukkan Lembaga Kajian Islam Oxford, An-Nadwi juga
dipercaya sebagai Direkturnya pada tahun 1983. Menjadi salah satu tokoh dewan pendiri Rabithah
Alam Islami juga sebagai dewan penasehat di beberapa univesitas Islam terkemuka. 10

Di India sendiri, tanah kelahirannya. An-Nadwi berafiliasi pada sebuah institusi


pergerakan yang cukup terkenal dan menyejarah, Nadwah Al-‘Ulama dan Daar Al-‘Ulum-nya.
Sebuah lembaga pemikiran dan kajian yang didirikan para ulama India sebagai respon terhadap
serangan pemikiran Barat saat itu. Serangan itu bukan dipahami dalam arti musuh yang harus
dienyahkan dan dimusnahkan. Namun hal itu dimaknai dalam respon perlunya membentengi diri
dari pengaruh buruk Barat itu sendiri. Sementara kebaikannya diambil dan dimanfaatkan dalam
frame dan spirit keimanan yang kuat.

Di sanalah An-Nadwi dibesarkan dan dibina. Di lembaga ini pula ia berkiprah,


membesarkannya dan megabdikan diri untuk kemajuan Nadwah. Ia pernah menjadi murid, guru
dan sekaligus anggota ulama yang berhimpun di dalamnya bahkan pernah menjadi pucuk
pimpinannya. Tidak berlebihan jika Daar Al-Nadwah direpresentasikan sebagai kontruksi ide dan
gagasan-gagasan An-Nadwi. Atau sebaliknya, An-Nadwi merepresentasikan dirinya sebagai duta
dari Daar Al-Nadwah itu sendiri. Dan lembaga ini layak berbangga dengan gelar Al-Nadwi yang
disandangnya serta ketokohannya yang disegani di dunia Islam.

Beberapa penghargaan dari organisaisi dan lembaga internasional serta para pemimpin
dunia Islam diberikan kepada An-Nadwi sebagai apresiasi bagi karya dan khidmat beliau terhadap
ummat dan agama ini. Di antaranya; King Faishal International tahun 1980, kehormatan haflah
takrim di Jeddah Saudi Arabia tahun 1985 dan kehormatan yang sama pada tahun 1996 di Istanbul
Turki, penganugerahan bintang tanda jasa USESCO dari Liga Arab, gelar Doktor H.C dalam
bidang Adab dari Kasymir University, tahun 1981, Hasanah Bolkiah Awward tahun 1998 dan
Imam Waliyyullah Ad-Dahlawi Award tahun 1999 serta terpilih sebagai tokoh Islam berpengaruh
dari pemerintah Emirat di Dubai pada tahun 1998.

Semua penghargaan dan hadiah-hadiah yang diberikan kepadanya diinfakkan dan


disumbangkan kepada para mujahidin Afghanistan, para fuqara, masjid, sekolah, lembaga-
lembaga agama dan pendidikan. Itu semua karena sikap zuhud yang melekat dalam dirinya.

10
Lihat, Muhammad Ijtiba, op.cit. h. 63.

Anda mungkin juga menyukai