Anda di halaman 1dari 4

‫رمضانيات‬

Memperlebar Jarak Pikir

Masih tentang aktiftas Nabi di Gua Hira’ saat menyendiri di Gua Hira’ jelang beliau didatangi Jibril untuk
kali pertama. Menarik kalimat yang disampaikan oleh Syekh Shafiyyur Rahman Al Mubarakfuri dalam
bukunya yang sangat terkenal tentang Siroh Nabawiyyah; Ar Rahiq Al Makhtum:

“Ketika usia beliau shallallahu alaihi wasallam mendekati 40 tahun DAN PERENUNGAN BELIAU YANG
LALU SEMAKIN MEMPERLEBAR JARAK ANTARA AKAL BELIAU DAN MASYARAKATNYA, maka beliau
mulai suka menyendiri. Beliau membawa sawiq (jenis makanan) dan air, kemudian pergi ke Gua Hira’
di Gunung An Nur.”

Menyendirinya beliau di Bulan Ramadhan di Gua Hira’ merupakan konsekuensi logis dari puncak
kegundahan. Perenungan itu beriringan dengan usia yang semakin matang. Titik pertemuan antara
kematangan pikir dan kematangan usia adalah kegundahan besar tentang keumatan.

Kegiatan berpikir beliau di Gua Hira’ dijelaskan lebih lanjut dalam Ar Rahiq Al Makhtum:

“Beliau menghabiskan waktunya untuk beribadah dan BERPIKIR TENTANG ALAM DI SEKELILINGNYA
DAN KEKUATAN DI BALIKNYA. BELIAU TIDAK NYAMAN DENGAN KEYAKINAN KEMUSYRIKAN
MASYARAKATNYA DAN LOGIKA MEREKA YANG RINGKIH. Hanya saja, di hadapan beliau tak dijumpai
jalan yang jelas, konsep yang pasti, pun tiada jalan yang beliau ridha dan nyaman untuk
menempuhnya.”

Menjadi anak lingkungannya. Begitulah beliau. Tapi bukan larut seperti garam dalam air. Ia harus
bersama tapi berbeda. Dengan berpikir, ia bisa mendapatkan itu. Daya pikir yang akan membawanya
hidup di tengah masyarakatnya dan tidak terpisah dari semua peristiwa dan permasalahan umatnya,
tapi tidak rela dengan kebekuan dan tidak mau dijajah oleh rasa kemustahilan untuk perubahan.

Keadaan sosial bisa membuat orang sampai meyakini bahwa yang berlangsung adalah sebuah
kebenaran. Sehingga kemusyrikan pun mereka anggap sebuah keyakinan benar. Mereka hanya
mendalihkan kepercayaan yang terjaga turun temurun dari kakek ke ayah mereka. Karenanya dalam
menyingkap penyebab sekaligus cara menerapi hal ini, Al Quran menggunakan palu godam:

‫أولو كان آباؤهم ال يعقلون شيئا وال يهتدون‬


“(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu
apa pun dan tidak mendapat petunjuk?” (Qs. Al Baqarah: 170)

Seakan Al Quran ingin menghantam kepala mereka agar segera sadar: penyebab nenek moyang kalian
tersesat dalam kemusyrikan adalah karena mereka tidak mau memakai akal mereka sehingga tidak
dapat petunjuk. Karenanya kalian segera pakai akal kalian untuk berpikir agar segera dekat dengan
jalan hidayah.

Di dalam ayat tersebut juga terdapat sentuhan penting dalam pembahasan aqidah. Semua kita tahu
bahwa akal manusia terlalu terbatas untuk memahami segala hal yang berhubungan dengan aqidah.
Apalagi dalam aqidah Islam banyak hal yang berhubungan dengan yang ghaib. Tapi lihatlah, bagaimana
kedekatan berakal dengan petunjuk. Bahkan dalam hal aqidah sekali pun.
Di sinilah tantangan bagi para ilmuwan Islam hari ini. Gelombang besar dunia sekarang bukan sedang
menuju ke agama. Tapi sedang menuju ruang kosong. Ya, ruang kosong tanpa tuhan. Karena justru
ironinya, para ilmuwan dan pemikirnya yang menjadi atheis. Padahal semestinya mudah sekali ilmu
mengantarkan mereka kepada jalan petunjuk. Tapi justru mereka tersesat jalan. Hingga menjumpai
ruang kosong ketuhanan dan ruang hampa kebingungan. Generasi muda Islam benar-benar dalam
ancaman serius. Karena sebagian orang yang tersesat dan sampai menyembah binatang menjijikkan
umpamanya, masih meyakini bahwa sebenarnya ada Yang Maha Berkuasa di balik semesta ini.
Sementara atheisme sampai meniadakan tuhan sama sekali dari hidup manusia. Ini titik nadir
kemanusiaan.

Hanya ada satu agama yang akan memuaskan akal mereka; Islam. Tapi masalahnya, kemana para
ilmuwan Islam. Apakah mereka mampu menyuguhkan kepuasan pemikiran dalam kemasan hidayah.
Ini benar-benar tantangan besar, karena mereka berhadapan dengan profesor di bidangnya tapi TK nol
kecil di ilmu agama. Masalahnya si profesor tetap saja menganggap bahwa ia hebat dengan cara
berpikirnya saat bicara agama.

Andai kita mau duduk di perpustakaan Islam, semua yang kita perlukan ada. Menjelaskan Islam dengan
sangat tebal logika bisa kita jumpai dengan mudah. Ambil contoh mudah, tafsir Al Quran. Ar Razi
sebagai salah satu filsuf besar dalam sejarah Islam yang di akhir hidupnya menasehati murid-muridnya
agar tidak berputar-putar bingung dalam mencari tuhan telah melahirkan sebuah buku tafsir mafatih
Al ghaib. Tentu tafsirnya dengan sentuhan logika sangat kuat ala filsuf. Segala hal dibahas dari hasil
perenungannya. Sampai-sampai para ulama membuat kalimat: di dalamnya ada apa saja kecuali tafsir.
Tapi sangat disayangkan, kalimat ini tidak ditempatkan pada tempat yang tepat. Kalimat ini membuat
para sarjana Islam menjauh dari tafsir yang hebat ini. Padahal andai anda pelajari tafsir ini, anda akan
mendapatkan kepuasan berpikir profesor nol kecil di atas. Adapun kalau benar anda tidak menjumpai
penjelasan tentang tafsir ayat, bukankah ada banyak kitab tafsir semisal Ath Thabari. Sementara
dengan tidak membuka tafsir Ar Razi, kita kehilangan ruang yang telah dibuka oleh ulama tafsir yaitu
tafsir dengan logika yang terpuji.

Dikarenakan tidak mampu bertarung secara logika, akhirnya para sarjana ilmu syariat minggir. Mereka
hanya mampu menjadi motivator. Tapi gagal total sebagai konseptor. Padahal mereka semua tahu, Al
Qadhi Abu Yusuf murid Imam Abu Hanifah yang membuatkan konsep keuangan dan kekayaan negara
dengan kitabnya Al Kharaj. Buku ini juga merupakan jawaban atas permintaan penguasa terbesar di
muka bumi saat itu; Khalifah Harus Ar Rasyid.

Mukaddimah buku itu berisi kalimat sebagai berikut:

“Inilah yang dituliskan oleh Abu Yusuf untuk Amirul Mukminin Harun Ar Rasyid.

Semoga Allah memanjangkan usia Amirul Mukminin, mengabadikan kemuliaan dalam kesempurnaan
nikmat dan kehormatan. Dan semoga Dia menjadikan kenikmatan ini bersambung dengan kenikmatan
akhirat yang tidak akan habis dan tidak hilang dan semoga kelak bisa mendampingi Nabi shallallahu
alaihi wasallam.

Sesungguhnya Amirul Mukminin -semoga Allah ta’ala menguatkannya- meminta saya untuk membuat
buku yang lengkap bicara tentang Al Kharaj, Al Usyur, shadaqat, dzimmi dan sebagainya yang harus
dibahas dan diterapkan.

Hal itu dimaksudkan untuk menghilangkan kezhaliman dari rakyatnya dan untuk baiknya urusan
mereka. Semoga Allah ta’ala memberikan taufik kepada Amirul Mukminin, membimbingnya,
membantunya dalam kepemimpinan dan mejaganya dari semua yang dikhawatirkan.”
Bayangkan, bagaimana cara mengembalikan suasana di atas. Saat para pemimpin atau siapa pun
memerlukan konsep di bidang apa pun di kehidupan ini, mereka langsung teringat ahli ilmu agama.
Semoga anak-anak muslimin yang hari ini belajar ilmu syariat tak hanya tumbuh sebagai motivator
apalagi hanya komentator. Lahirkan para konseptor. Agar bumi ini kembali ke genggaman syariat.

Syariat ini memberi ruang sangat lebar bagi akal. Puncaknya adalah ijtihad. Di mana seseorang yang
telah terpenuhi semua syarat ijtihad, salah keputusan ilmunya saja masih mendapatkan pahala.

Karenanya, tanda kehancuran peradaban Islam di berbagai dinasti ditandai dengan bekunya pemikiran
dan tertutupnya pintu ijtihad.

Di sinilah bahayanya tasawuf.

Tidak usah baper dulu.

Baca dengan seksama penjelasan berikut ini.

Tidak ada satu pun ilmuwan Islam yang tidak tahu kalau urusan hati sangat amat penting, bahkan
menempati urutan utama. Jelas. Gamblang. Pasti. No debat. Karenanya, perpustakaan Islam banjir
dengan kitab-kitab yang mengurusi hati. Karena begitulah syariat ini.

Tapi tasawuf bisa berarti kematian akal secara sistemik. Umat hanya dinina bobokkan dengan ritual
yang menjamin ampunan dan syafaat, jauh dari memikirkan dan membahas masalah keumatan. Ramai
dzikir, jauh dari pikir. Menjauh dari dunia, tapi tak sampai juga mengejar akhirat. Tentu saja ini terjadi
saat tasawuf telah keluar jalur dari aqidah dan ibadah Islam yang benar.

DR. M. Ali Ash Shalabi sebagai salah satu pakar sejarah Islam hari ini menuliskan dalam bukunya yang
berjudul ( ‫الدولة العثمانية وعوامل النهوض وأسباب السقوط‬/Turki Utsmani, penyebab kebangkitan dan kejatuhan)
di bab: sebab-sebab kejatuhan Turki Utsmani, di poin yang keempat beliau menyatakan:

“Keempat: Kaum Sufi yang menyimpang

Sesungguhnya penyimpangan terbesar yang terjadi di sejarah umat Islam adalah kemunculan kaum
sufi menyimpang yang menjelma sebagai sebuah kekuatan yang terstrutur di masyarakat Islam
dengan membawa keyakinan, pemikiran dan ritual yang jauh dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam.

Di akhir masa Turki Utsmani, kaum sufi menyimpang ini menguat keberadaannya.”

Penyimpangan ini membuat masyarakat Islam kembali menjauh dari syariat Allah dan mendekat
kembali kepada kejahiliyahan di tengah mereka masih meyakini berada di dalam aqidah Islam.

Kaum sufi ini menjadi lubang besar di peradaban Islam. Yang membuat musuh Islam mudah sekali
masuk dan menguasai negeri-negeri Islam melalui lubang besar mereka.

Berikut beberapa contohnya,

Mentalitas hina sampai pada level kaum sufi Al Azhar mensyukuri penjajahan yang dilakukan oleh
kaum kafir ke negeri mereka sendiri. Ketika salah satu syekh Al Azhar yang mengajarkan Geografi
Ekonomi menulis dalam buku kurikulum yang dicetak dan diajarkan dalam beberapa tahun:
“Sebuah kenikmatan Allah atas bangsa Mesir, bahwa Allah mengirim orang-orang asing yang
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan bidang ekonomi dan keuangan, sehingga masyarakat Mesir bisa
fokus beribadah kepada Allah!”

(Lihat buku: ‫ التصوف في مصر إبان العصر العثماني‬/ Tasawuf di Mesir Masa Turki Utsmani, karya DR. Taufik
Ath Thawil)

Contoh berikut ini sebenarnya terjadi berkali-kali dengan pola yang sama di berbagai zaman, adalah
musuh Islam yang memanfaatkan penyimpangan keyakinan dan matinya logika kaum sufi untuk
melegalkan kerusakan dan melanggengkan kehancuran. Ketika penjajah Perancis masuk ke Mesir
Napoleon Bonaparte sebagai seorang panglima kafir tahu persis bahwa kaum sufi adalah pintu besar
untuk menghentikan perlawanan jihad. Napoleon menyebarkan tulisan yang mengingatkan muslimin
bahwa peristiwa penjajahan dan penawanan adalah merupakan taqdir Allah, siapa yang mencoba
untuk melakukan perlawanan artinya melawan qadha’ dan qadar Allah. (Lihat buku sangat menarik
yang aslinya adalah tesis S2 Universitas Ummul Qura: ‫االنحرافات العقدية والعلمية في القرنين الثالث عشر والرابع‬
‫ عشر الهجريين وآثارها في حياة األمة‬/ penyimpangan aqidah dan ilmiah di abad 13 dan 14 Hijriyah dan
dampaknya bagi kehidupan umat, karya Ali bin Bakhit Az Zahrani, yang dicetak dalam 1094 halaman)

Al Quran sendiri mendorong sangat kuat untuk muslimin berpikir dan menggunakan akal mereka.
Salah satu buku yang memakan waktu penelitian selama 20 tahun padahal hanya 271 halaman adalah
buku berjudul ‫ القرآن والعقل‬/ Al Quran dan Akal, karya pemikir asal Maroko Syekh Abu Zaid Al Muqri’ Al
Idrisi -hafizhahullah-. Saat diwawancarai dalam sebuah stasiun televisi, apakah memang tema ini
memerlukan waktu sepanjang itu untuk anda menelitinya, dia menjawab: Semestinya layak untuk
lebih lama dari itu.

Jika Abbas Mahmud Al Aqqad, pemikir sekaligus sastrawan berkebangsaan Mesir abad lalu
menyatakan dalam judul salah satu bukunya: ‫ التفكير فريضة إسالمية‬/ Berpikir adalah kewajiban Islam.
Maka izinkan saya katakan: ‫التفكير فريضة حضارية‬/ berpikir adalah kewajiban peradaban.

Dan masih sangat melimpah ruah, karya para ulama sepanjang zaman yang membahas tentang
berpikir dan akal. Karena itu adalah salah satu ruh besar agama ini.

Akhirnya memunculkan pertanyaan besar.

Jika belajar ilmu-ilmu syariat sudah, tetapi tidak membangkitkan mentalitas berpikir. Di mana letak
kesalahannya? Apakah salah ilmu yang dipelajarinya, atau belajar syariat Islam tetapi dengan
metodologi syariat lain, ataukah memang malas adalah sifat yang masih sulit disapih.

Atau jangan-jangan jarak pikir kita dengan pikir musuh Islam sebenarnya memang tidak berjarak jauh?
Sehingga setinggi apa pun ilmu dan gelar para ilmuwan Islam, tidak melahirkan kegundahan terhadap
keadaan ini?

Entahlah...

Situdaun, 5 Ramadhan 1445 H

Yang mencintai karena DIA

Anda mungkin juga menyukai