Anda di halaman 1dari 4

Wasatiyah dalam Pemikiran

Oleh: Kholili Hasib


Dosen IAI Darullughah Wadda‟wah Bangil

Sebanyak empat puluh satu masjid di lingkungan pemerintah terpapar radikalisme.


Demikian kesimpulan survey P3M (Lembaga Perhimpunan Pengembangan Pesantren
dan Masyarak) pada kurun 29 September-21 Oktober 2017.

Sebagai tindak lanjut survey yang masih kontroversial itu, BNPT (Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme) akan membina takmir ke-41 masjid agar berpaham
moderat (news.detik.com 29/11/2018).

Pemikiran moderat, itu memang akhirnya yang menjadi solusi mengatasi apa yang
disebut “radikalisme”. Persoalannya, acauan apa dan mana suatu paham dikategorikan
moderat di situ belum jelas. Tetapi, pengertian yang berkembang dan jamak
sepertinya mengacu pada pemikiran sarjana-sarjana Barat.

Angel Rabasa misalnya mengatakan, Muslim Moderat adalah mereka yang menerima
kultur demokratis (dalam kehidupan), mendukung sistem politik demokrasi,
mendukung HAM (termasuk masalah kesetaraan gender dan kebebasan beribadah),
menghormati pluralisme (Angel Rabasa [dkk],Building Moslem Moderate Nerworks).

Pengertian moderat Angel Rabasa tersebut tidak bisa menjadi acuan. Sebab, moderat
dalam pikirannya tidak lain adalah pemikiran liberalisme. Ia menjadikan gender
equality (kesetaraan gender) dan pluralisme sebagai standar moderatisme. Jelas ini
menyesatkan. Tetapi memang, moderatisme dalam pemikiran Barat itu semacam tool
untuk agenda liberalisasi.

Jika pemikiran seimbang dan adil, maka yang tepat adalah istilah “wasatiyah”.
Maknanya identik dengan keadilan, menunjukkan kemulyaan, kebaikan,
keseimbangan duni-akhirat, tidak berlebihan tidak juga meremehkan ibadah atau
perintah agama.

Istilah wasatiyah berasal terminologi al-Qur‟an, “ummatan wasathan”. Allah Swt


menjelaskannya dalam al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 143: “Dan demikian (pula)
Kami menjadikan kamu (umat Islam) ummatan wasathan (umat yang adil dan
pilihan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan manusia) dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu” (QS. Al-Baqarah: 143).

Jadi, makna umat yang wasatiyah menurut ayat tersebut adalah, sikap seimbang
antara materi dan non-materi, adil menunjukkan kebaikan. Lebih jelasnya umat yang
adil, proporsional dalam beragama, bukan ghuluw (ekstrim) dan bukan tasahul
(meremehkan).
Pemikiran yang wasath yang bisa menjadi contoh adalah imam al-Ghazali. Ia menulis
kitab Al-Iqtishad fi al-I‟tiqad. Jika diterjemahkan “Kesederhanaan dalam
berkeyakinan”. Iqtishad di situ sesungguhnya wasatiyah. Dasar (al-ashl) yang
digunakan oleh imam al-Ghazali dalam kitab tersebut adalah keseimbangan antara
akal dan naql, yang merupakan rumusan akidah imam Asy‟ari.

Dalam muqadimah kitab dijelaskan prinsip pemikiran iqtishadi itu. Bahwa


Ahlussunnah wal Jama‟ah (Aswaja) menggabungkan antara tuntutan syariat dan
keniscayaan-keniscayaan akal. Aswaja tidak meninggalkan syariat karena memenuhi
keniscayaan akal. Juga tidak menolak keniscayaan akal semata untuk memenuhi dalil
teks syara‟.

Maka -- dalam kitab itu -- imam al-Ghazali menolak kelompok Hasywiyah dan
Falasifah serta Mu‟tazilah ekstrim. Keduanya menampilkan pemikiran yang tidak
seimbang. Ekstrim (ghuluw).

Hasyawiyyah merupakan kelompok ekstrim dalam memperlakukan nash (teks wahyu),


sehingga sampai mengakui hukum-hukum aqal. Sedangkan golongan falasifah dan
ekstrim Mu`tazilah sebagai merupakan kelompok yang ekstrim dalam menggunakan
aqal, sehingga sampai melawan dalil-dalil qath‟i syariat (Imam
al-Ghazali,Muqaddimah Iqtishad fi al-I‟tiqad,hlm. 11).

Merujuk pada itu, Aswaja itu bukan literalis dan bukan pula liberalis. Bukan
kelompok yang terlalu berpaku pada dzahir nash, juga bukan golongan yang
membuang nash wahyu.

Kedua-duanya adalah kelompok ekstrimis. Tidak adil mendudukan antara wahyu dan
aqal. Sedangkangkan dalam pandangan Aswaja, wahyu ada kedudukannya, dan aqal
juga memiliki kedudukan. Aswaja “menengahi” dua ekstrimis itu. Menyeimbangkan
antara wahyu dan aqal, dengan mendudukkan wahyu sebagai terdepannya. Kaidahnya
adalah “taqdiimul naqal „ala al-‟aqal” (medahulukan teks wahyu daripada akal).

Jadi, pemikiran yang seimbang, iqtishadi, dan wasathiy, sesungguhnya pemikiran yang
adil. Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas cukup jelas penjelasannya, suatu keadaan
dimana keadaan berada pada tempatnya yang wajar dan benar adalah keadilan (Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, hlm.
43).

Bila sesuatu tidak berada (tidak ditempatkan) pada tempatnya yang benar maka terjadi
ketidakadilan. Artinya tidak iqtishadi, dan tidak wasatiyah, dan terjadi bentuk
ekstrimisme (ghuluw).

Dalam ilmu falsafah imam al-Ghazali dinilai adil. Ia tidak menolak mutlak ilmu
Yunani. Tetapi diterima dengan saringan. Perkara yang menyebabkan kekufuran dan
bid'ah ia haramkan. Sedangkan yang tidak bertentangan dengan syara ia perbolehkan,
bahkan jika di perlukan menjadi utama.
Temat “memadu” kasih-sayang disediakan oleh agama. Yiatu dengan nikah.
Pernikahan yang wajar adalah antara lelaki dan perempuan. Ini fitrah. Jangankan
manusia, hewan pun berlaku fitrah. Pejantan menyukai betina. Tetapi, jika terjadi “adu
kasih” sesama jenis, antara laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan,
maka ini tidak adil, tidak wajar, tidak wasatiyah. Pendukungnya memiliki pemikiran
yang tidak seimbang. Maka, homoseksualisme itu bentuk ekstrimisme.

Tuhan berada pada supremasi tertinggi. Maka kepercayaan kepada Tuhan adalah
kepercayaan yang utama dan tinggi. Tuhan Maha Tinggi. Dia segala-galanya. Jika ada
yang anti pada Tuhan, maka ini bentuk ketidakwajaran. Sehingga, ateis itu kaum
ekstrimis juga.

Sebelum Nabi Muhammad Saw, umat-umat Nabi Nuh, Nabi Musa dan Isa dikecam
al-Qur‟an karena telah melebih-lebihkan aturan yang telah diberikan. Allah
berfirman:“Orang-orang Yahudi berkata: Uzair itu putera Allah dan orang-orang
Nasrani berkata: "Al Masih itu putera Allah. Demikianlah itu ucapan mereka dengan
mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati
Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling?” Inilah sikap ghuluw, seorang
nabi dilebih-lebihkan menjadi dipertuhankan.

Kaidah ini menjadi pokok dalam menjalankan aspek-aspek pemikiran lainnya. Dalam
berilmu, menjalankan syariah, dalam bermadzhab sampai dalam berpolitik pun.

Seorang yang awam memiliki kewajiban mengikuti para ulama imam madzhab dalam
beragama. Kedudukan awam berbeda dengan kedudukan imam Syafi‟i. Jika awam
menafsir sendiri secara bebas teks wahyu, ia sama saja menyamakan kedudukannya
dengan imam Syafi‟i, maka ia bersikap ekstrim. Karena kapasitas keilmuannya
berbeda.

Dalam berdakwah, Nabi Saw memberi rambu-rambu: “Khaatibunnasa „ala qadri


„uqulihim” (Bicaralah kepada manusia sesuai kemampuan akalnya). Manusia
memiliki kedudukan berbeda-beda. Satu manusia dengan manusia yang lain mungkin
tidak sama kemampuan akalnya. Maka, bahasa tidak bisa disamakan untuk
disampaikan kepada semua jenis manusia.

Dalam ilmu pun ada kadar dan kedudukannya. Ilmu fardhu „ain keduduknnya lebih
tinggi daripada ilmu fardhu kifayah. Tetapi, tidak membuang ilmu fardhu kifayah.
Imam al-Ghazali menerangkan, ilmu yang paling mulya dan posisinya pada top of the
top adalah ilmu mengenal Allah Swt (ma‟rifatullah). Maka, ilmu yang memiliki posisi
penting harus diutamakan terlebih dahulu. Intinya keseimbangan, tidak membuang
salah satu.

Imam al-Ghazali berkata: “Ketahuilah sesungguhnya dalam masalah ini ilmu dibagi
tiga macam. Pertama, tercela. Baik banyak kadar nya atau sedikit kadarnya. Kedua,
terpuji. Baik kadarnya banyak atau sedikit. Semakin banyak kadarnya, maka semakin
baik dan semakin utama. Ketiga, terpuji jika kadarnya cukup dana tercela jika melebihi
batas cukup (Imam al-Ghazali,Ihya‟ Ulumuddin,jilid I, hlm. 51).

Dalam agama ada perkara ushul (pokok) ada perkara furu‟ (cabang). Perkara ushul jelas
harus ditempatkan pada posisi paling utama, paling penting dan nomor satu. Maka,
berlarut-larut dalam isu furu‟ tidak baik. Tidak wasath. Inilah keseimbangan, tidak
membuang semua, atau salah satu. Tapi menggabungkan dengan cara meletakkan
unsur-unsurnya pada posisinya yang wajar dan benar.

Ada aspek tsawabit (tetap) dan ada aspek mutaghayyirat (boleh berubah).
Memposisikan antara yang tsawabit dan mutaghayyirat itulah sikap wasathiyyah.
Pemposisian ini dikaji dalam Fikih yang biasa disebut pada era sekaranng dengan
Fiqih Auwlawiyyat. Fikih ini dipelajari antara lain, untuk memahami bagaimana
menempatkan kasus itu dalam ushuliyyah atau furu‟iyyah.

Pemahaman ini penting agar umat Islam tidak salah dalam memasukkan sebuah kasus
atau memprioritaskan sesuatu yang paling penting dilakukan untuk dikerjakan.

Jadi sifat wasatiyah Islam itu adalah dalam hal ibadah, hubungan sosial, dalam harta,
dalam tata hukum dan masalah keimanan, bidang pendidikan, da‟wah yang tidak
bersikap berlebihan dan ekstrim. Wasatiyah adalah suatu kebaikan (khairiyah) yang
mengandung keadilan. Untuk bersikap seperti ini memerlukan hikmah (kebijaksanaan).

Anda mungkin juga menyukai