Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

"Kritik Imam Ghazali


terhadap para filusuf dan Pemikirannya terhadap Ekonomi dan Politik"

Disusun untuk memenuhi mata kuliah Keghozalian

Dosen Pengampu:M.Ali Ridho S.Ag D.E.S.A

Disusun Oleh:
1.Yusuf Ilham Haqiqi
(23AA10020)
2.Nur Hidayat
(23AA1….)
3.Zaimul Mahmud Al-Fauzi
(23AA10004)
4.Azhar Luqmanul Hakim
(23AA10009)

PROGRAM STUDI AKHWAL SYAKHSYIYAH


FAKULTAS KEAGAMAAN ISLAM
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA AL-GHOZALI
TAHUN 2023
BAB I

PEMBAHASAN

A. Kritik Imam Ghazali Terhadap Para Filusuf.


Pada awal abad 12 masehi, dunia filsafat sudah menemukan titik terangnya.
Para filsuf benar-benar terbebas dari belenggu dan ikatan dalam berpikir, tidak
terikat oleh siapapun dan lembaga manapun. Kebebasan ini sejatinya tidak hanya
dimiliki oleh para filsuf Barat saja, melainkan juga filsuf Timur yang diwakili
oleh Baghdad. Pada periode ini juga, hasil peradaban terdahulu pada masa Yunani
kuno seperti buah karya Aristoteles dan Plato secara bertahap mulai menjadi
bahan kajian dan rujukan. Karena itulah, kajian-kajian filsafat di abad ini,
khususnya bidang filsafat agama sangat berkembang dan memunculkan tanggapan
beragam dari berbagai pihak termasuk Imam al-Ghazali sebagai filsuf yang kental
dengan manhaj Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah.Buah karya para filsuf Yunani
tersebut sedikit banyaknya mempengaruhi pemikiran filsuf Muslim di abad ini,
atau bahkan sebelumnya, seperti al-Kindi (w. 870 M), al-Farabi (w. 950 M), al-
Razi (w. 925 M) dan Ibnu Sina (w. 1037 M), Ibnu Rusyd (w.1198 M) dan
Suhrawardi (w. 1193 M) dan Imam al-Ghazali merupakan di antara yang
menentang beberapa teori yang digagas oleh pendahulunya tersebut.Sebagai salah
seorang yang sangat vokal dalam mengkritisi para filsuf, Imam al-Ghazali
memberikan determinasi terhadap mereka sebagai filsuf yang memiliki kerancuan
berpikir dalam beberapa masalah.Rancangan berpikir Imam al-Ghazali dalam
beberapa lontaran kritiknya tersebut kerap menjadi pemicu tuduhan para filsuf
bahkan sarjana modern terhadapnya sebagai “biang” kemunduran Islam. Padahal,
jika dilihat dari metodologi yang digunakan Imam al-Ghazali , hasil pemikirannya
jelas memberikan kontribusi nyata bagi khazanah keilmuan filsafat Islam. Di
lingkungan para filsuf, Imam al-Ghazali kerapkali mendapat tudingan anti-filsafat
Barat dengan berlandaskan pada cara kerja rasional. Mereka mendakwa Imam al-
Ghazali sebagai filsuf yang membebankan solusi pada tasawuf sebagai pondasi
utama. Tudingan ini sejatinya mengkerdilkan cara kerja rasional Imam al-Ghazali
sebagai pemikir. Kenyataanya, tuduhan tersebut tidak seutuhnya benar, sebab jika
ditilik lebih jauh, Imam al-Ghazali adalah sosok yang logis nan rasional.
Bangunan argumen dalam setiap bantahannya terhadap para filsuf sejatinya dapat
diterima sebagai cara berpikir yang konstruktif. Porsi ideal yang ditakar Imam al-
Ghazali terhadap penggunaan akal dan wahyu patut dijadikan patron berpikir
berkualitas. Penggunaan keduanya dalam proses berpikir terbukti menjadi syarat
mutlak yang harus menjadi pijakan semua orang. Demikian pula dengan cara
berpikir Imam al-Ghazali terhadap ragam argumentasi yang dilontarkan para filsuf
terkait dengan kadimnya alam, keilmuan Tuhan dan kebangkitan jasmani
seluruhnya telah disampaikan dengan argumentatif, rasional dan dalam.Persoalan
mengenai kritik Imam al-Ghazali terhadap para filsuf ini sejatinya sudah banyak
yang meneliti, baik kritiknya dalam tiga persoalan atau membuatnya lebih
spesifik. Di antaranya adalah artikel jurnal yang ditulis oleh Muliati dengan judul
Imam al-Ghazali dan Kritiknya Terhadap Para Filosof 4.Artikel tersebut
mengungkapkan bahwa Imam al-Ghazali sebagai kritikus para filsuf dalam 20
persoalan, kerap kali dijadikan legitimasi akan reinkarnasi pemikiran dalam dunia
Islam. Para sarjana juga kerap mengidentikkan kritikan Imam al-Ghazali tersebut
sebagai kritikan ia terhadap filsafat secara umum. Mulyati mencoba untuk
meluruskan pandangan keliru tersebut dengan mengembalikannya pada kesadaran
membangun filsafat dalam lingkup pemikiran Islam. Berikutnya artikel jurnal
yang ditulis oleh Isa Abdullah Ali dengan judul al-Falsafah wa al-Taṣawwuf fī
Fikr Abī Ḥāmid al-Ghazālī .Ali menjelaskan bahwa Imam al-Ghazali adalah
seorang filsuf yang hijrah ke dunia tasawuf. Selain itu,Imam al-Ghazali juga
menjadi patron filsuf dalam aliran Asy’ariyah.

Imam al-Ghazali sebagai filsuf Muslim menurut Ali mulai menggemari dunia
filsafat sejak dari usianya masih sangat muda.

B. Pemikiran Ekonomi Al-Ghazali

Al-Ghazali dikenal memiliki pemikiran yang sangat luas dalam berbagai


bidang keilmuan. Bahasannya tentang ekonomi dapat ditemukan dalam karya
monumentalnya Ihya Ulumuddin, al-Mustashfa Mizan, al-Amal dan At-Tibr al-
Masbuk fi al-Nasihah al-Muluk. Bahasan ekonomi Al-Ghazali mencakup aspek
luas meliputi pertukaran dan evolusi pasar, produksi, barter dan evolusi uang,
serta peranan negara dan keuangan publik. Secara umum sosio ekonomi, Al-
Ghazali berakar dari sebuah konsep fungsi kesejahteraan sosial Islam. Tema yang
menjadi pangkal tolak seluruh karyanya adalah konsep maslahah, yakni sebuah
konsep yang mencakup semua aktivitas manusia dan membuat kaitan erat antara
individu dan masyarakat. Al-Ghazali telah menemukan sebuah konsep fungsi
kesejahteraan sosial yang sulit diruntuhkan dan telah dirindukan oleh para
ekonom kontemporer. Menurut Al-Ghazali, konsep kesejahteraan masyarakat
tergantung kepada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan dasar yakni, agama
(al-din), hidup(nafs),keturunan (nasl), harta (mal), dan akal (aql). Selain itu, Al-
Ghazali mendefenisikan aspek ekonomi dari fungsi kesejahteraan sosial dalam
kerangka sebuah hirarki utilitas individu dan sosial yang tripartite, yakni
kebutuhan (daruri), kesenangan (hajat), dan kemewahan (tahsinaat). Al-Ghazali
memandang bahwa perkembangan ekonomi sebagai bagian dari tugas-tugas
kewajiban sosial yang sudah ditetapkan Allah. Jika tidak dipenuhi kehidupan
dunia akan runtuh dan kemanusiaan akan binasa, aktivitas ekonomi harus
dilakukan secara efisien karena merupakan bagian dari pemenuhan tugas
keagamaan seseorang. Tiga alasan mengapa seseorang harus melakukan aktivitas
ekonomi; Pertama,untuk mencukupi kebutuhan hidup yang bersangkutan. Kedua,
untuk mensejahterakan keluarga. Ketiga, untuk membantu orang lain yang
membutuhkan. Menurutnya tidak terpenuhinya ketiga alasan ini dapat
dipersalahkan oleh agama. Lebih dari itu, kegiatan ekonomi juga merupakan amal
kebajikan yang dianjurkan oleh Islam. Kegiatan ekonomi harus ditujukan agar
dapat mencapai maslahah untuk memperkuat sifat kebijaksanaan, kesederhanaan,
dan keteguhan hati manusia. Maslahah merupakan lawan Mafsadat. Maslahah
menjadi tujuan syariat Allah SWT. Maslahah adalah segala bentuk keadaan, baik
material maupun non material, yang mampu meningkatkan kedudukan manusia
sebagai makhluk yang paling sempurna.Untuk itu, maka manusia itu terbagi
menjadi tiga kategori, yaitu : pertama,orang yang kegiatan hidupnya sedemikian
rupa sehingga melupakan tujuan-tujuan akhirat, golongan ini akan celaka. Kedua,
orang yang sangat mementingkan tujuan-tujuan akhirat daripada tujuan duniawi,
golongan ini akan beruntung, dan ketiga, golongan pertengahan/kebanyakan
orang, yaitu mereka yang kegiatan duniawinya sejalan dengan tujuan-tujuan
akhirat. Oleh karenanya, Al-Ghazali sangat mengkritik mereka yang usahanya
terbatas hanya untuk memenuhi sekedar penyambung hidup. Ia menyatakan
bahwa: ”Jika orang-orang yang tinggal pada tingkat sub sistem (sadd al-ramag)
dan menjadi sangat lemah, angka kematian akan meningkat, semua pekerjaan dan
kerajinan akan berhenti, dan masyarakat akan hancur, karena kehidupan dunia
adalah persiapan kehidupan akhirat.”
Di dalam kitab Ihya Ulumuddin ada beberapa konsep ekonomi yang ditawarkan
oleh Al-Ghazali antara lain;
1. Pertukaran suka rela dan evolusi pasar

Al-Ghazali menyatakan bahwa timbulnya pasar didasarkan pada kekuatan


permintaan dan penawaran untuk menentukan harga dan laba. Selain itu, pasar
berevolusi sebagai bagian dari ”hukum alam” segala sesuatu, yakni sebuah
eksperesi berbagai hasrat yang timbul dari diri sendiri untuk saling memuaskan
kebutuhan ekonomi. Menurut Al-Ghazali secara alami manusia selalu
membutuhkan orang lain; petani membutuhkan ikan yang ada pada nelayan,
sebaliknya nelayan membutuhkan beras yang ada pada petani, dan lain
sebagainya. Dalam memenuhi kebutuhan itu, manusia pun memerlukan tempat
penyimpanan dan pendistribusian semua kebutuhan mereka. Tempat inilah yang
kemudian didatangi manusia dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Dari sinilah
munculnya pasar. Petani ataupun nelayan yang tidak dapat secara langsung
melakukan barter atau pertukaran barang milik mereka dengan barang yang
mereka butuhkan. Hal ini menjadi faktor yang mendorong mereka untuk
melakukan transaksi di pasar. Para pedagang melakukan jual beli dengan tingkat
keuntungan tertentu. Jika petani tidak mendapatkan pembeli dan barang yang
dibutuhkannya, ia akan menjual barangnya dengan harga yang lebih murah.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa harga ditentukan oleh permintaan dan
penawaran.
2. Aktivitas Produksi

Al-Ghazali menggambarkan aktivitas produksi menurut kepentingan sosial dan


menitikberatkan perlunya kerja sama dan koordinasi serta fokus utamanya adalah
tentang jenis aktivitas yang sesuai dengan dasar-dasar etos Islam. Karenanya,
Islam mengajarkan umatnya untuk mendahulukan kepentingan ekonomi dan
akhlak, berkaitan dengan aktivitas produksi, pemeliharaan nilai dan keutamaan
yang diajarkan agama. Kesatuan antara ekonomi dan akhlak, akan semakin jelas
pada langkah-langkah ekonomi, baik yang berkaiatan dengan produksi, konsumsi
dan distribusi.

3. Produksi Barang-Barang Kebutuhan Dasar sebagai Kewajiban Sosial

Al-Ghazali menganggap bahwa kerja sebagai bagian dari ibadah seseorang.


Bahkan, produksi barang-barang kebutuhan dasar sebagai kewajiban sosial (fard
al-kifayah). Hal ini berarti, jika telah ada sekelompok orang yang berkecimpung
di dunia usaha yang memproduksi barang-barang tersebut dalam jumlah yang
mencukupi kebutuhan masyarakat, maka kewajiban seluruhmmasyarakat telah
terpenuhi. Namun, jika tidak ada seorang pun yang melibatkan diri dalam kegiatan
tersebut atau jika jumlah yang diproduksi tidak mencukupi kebutuhan
masyarakat,semua orang akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat. Dalam
hal ini, pada prinsipnya, negara harus bertanggungjawab dalam menjamin
kebutuhan masyarakat terhadap barang-barang kebutuhan pokok. Di samping itu,
ketidakseimbangan antara jumlah barang kebutuhan pokok yang tersedia dengan
yang dibutuhkan masyarakat cenderung akan merusak kehidupan masyarakat.

4. Barter dan Evolusi Uang

Menurut Al-Ghazali salah satu penemuan terpenting dalam perekonomian


adalah uang. Uang mengatasi permasalahan yang timbul dari suatu pertukaran
barter. Bahkan Al-Ghazali menyatakan tentang signifikansi uang; ”Penciptaan
dirham dan dinar (koin emas dan perak) adalah salah satu karunia Allah. Semua
transaksi ekonomi didasarkan dua jenis uang ini. Dinar dan Dirham adalah logam
yang tidak memberikan manfaat langsung. Namun orang membutuhkannya untuk
mempertukarkannya dengan bermacam-macam barang lainnya, seperti makanan,
pakaian, dan lain-lain.”

5. Peranan Negara dan Keuangan Publik

Menurut Al-Ghazali negara adalah lembaga yang penting, tidak hanya bagi
berjalannya aktivitas ekonomi dari suatu masyarakat dengan baik, tetapi juga
untuk memenuhi kewajiban sosial sebagaimana yang diatur oleh wahyu. Al-
Ghazali menyatakan bahwa: ”negara dan agama adalah tiang-tiang yang tidak
dapat dipisahkan dari sebuah masyarakat yang teratur. Agama adalah fondasinya,
dan penguasa yang mewakili negara adalah penyebar dan pelindungnya; bila salah
satu dari tiang ini lemah, masyarakat akan ambruk.”Al-Ghazali menambahkan
bahwa ketidakmampuan manusia untuk memenuhi sendiri semua kebutuhannya
mendorongnya untuk hidup dalam masyarakat yang beradab dan kerja sama.
Namun, kecenderungan seperti ini, persaingan dan egoisme dapat menciptakan
konflik. Oleh karena itu, diperlukan suatu aturan bersama untuk mengurangi
kecenderungan itu. Untuk itu, maka peran negara sangat esensial adalah untuk
menjaga orang-orang agar hidup bersama secara harmonis dan dalam kerja sama
lain dalam mencari penghidupan. Negara harus berjuang untuk kebaikan
masyarakat melalui kerjasama dan rekonsiliasi.

6. Kemajuan Ekonomi Melalui Keadilan, Kedamaian, dan Stabilitas

Menurut Al-Ghazali untuk meningkatkan kemakmuran eknomi, negara harus


menegakkan keadilan, kedamaian, dan keamanan, serta stabilitas. Bahkan, Al-
Ghazali menekankan perlunya keadilan serta aturan yang adil dan seimbang. ”Bila
terjadi ketidakadilan dan penindasan, orang tidak memiliki pijakan, kota-kota dan
daerah-daerah menjadi kacau, penduduknya mengungsi dan pindah ke daerah
lain,sawah dan ladang ditinggalkan, kerajaan menuju kehancuran, pendapatan
publik menurun, kas negara kosong, dan kebahagiaan srta kemakmuran dalam
masyarakat menghilang. Orang-orang tidak mencintai penguasa yang tidak adil,
alih-alih mereka selalu berdoa semoga kemalangan menimpanya.” Bahkan negara
harus mengambil semua tindakan yang perlu untuk menegakkan kondisi
keamanan internal dan eksternal dimana ”Tentara diperlukan untuk
mempertahankan dan melindungi orang dari perampok. Harus ada pengadilan
untuk menyelesaikan sengketa, hukum dan peraturan diperlukan untuk mengawasi
perilaku orang-orang dan untuk stabilitas sosial. Hal-hal ini merupakan fungsi-
fungsi penting pemerintah yang hanya dapat dijalankan oleh ahlinya, dan bila
mereka mengerjkan aktivitas-aktivitas ini, mereka tidak dapat meluangkan waktu
untuk terlibat dalam industri lainnya dan mereka memerlukan dukungan bagi
penghidupannya. Di lain pihak, orang membutuhkan mereka karena jika semua
bekerja di bidang pertahanan, industri lainnya akan terbengkalai dan jika tentara
terlibat dalam industri-industri untuk mencari penghidupan mereka, maka negara
tersebut akan kekuarangan pembela-pembelanya dan orang akan menjadi
korban”.Singkatnya, menurut Al-Ghazali negara harus bertanggungjawab dalam
menciptakan kondisi yang layak untuk meningkatkan kemakmuran dan
pembangunan ekonomi. Di samping itu, lembaga al-hisbah yang berfungsi untuk
mengawasi praktik-praktik pasar yang merugikan seperti pengakuan palsu tentang
laba, iklan palsu, timbangan, dan ukuran yang tidak benar, transaksi yang
keterlaluan, kontrak yang cacat, transaksi barang-barang haram, dan semua
kesepakatan lainnya yang mengandung penipuan, dan lain-lain harus diperkuat
lagi. Di dalam kitab nasihat al-muluk (Nasihat untuk para raja) Al-Ghazali
memperingatkan penguasa untuk tidak menyalahgunakan kekuasaan, sombong,
terbuai oleh sanjungan, serta bersikap waspada terhadap ulama-ulama palsu. Di
sisi lain, Al-Ghazali juga mengutuk penyuapan dan korupsi yang terjadi di sektor
publik, khususnya dalam lembaga penegak keadilan. Dengan nada yang sama, ia
memperingatkan penguasa agar tidak larut dalam memperturutkan hasrat-hasrat
duniawi – sesuatu yang tidak hanya bertentangan dengan nilai-nilai Islam, tetapi
juga mengganggu penyelenggara negara.

7. Keuangan Publik

Dalam konteks keuangan publik, Al-Ghazali melihat dari dua sisi anggaran,
dari sisi pendapatan dan pengeluaran. Menurut Al-Ghazali pendapatan negara
seharusnya dikumpulkan dari seluruh penduduk, baik Muslim maupun non-
Muslim, berdasarkan hukum Islam. Namun, terdapat perbedaan dalam berbagai
jenis pendapatan yang dikumpulkan dari setiap kelompok. Menurut Al-Ghazali
hampir seluruh pendapatan yang ditarik para penguasa di zamannya melanggar
hukum. Oleh karena itu, para pembayar pajak seharusnya menolak untuk
membayar pajak serta menghindari hubungan dengan mereka. Lebih jauh, sistem
pajak yang sedang berlaku didasarkan atas adat kebiasaan yang sudah lama
berlaku, bukan berdasarkan hukum ilahi.

8. Utang Publik

Menurut Al-Ghazali seseorang tidak dapat menafikan bolehnya penguasa untuk


meminjam dari rakyat bila kebutuhan negara menuntutnya. Namun demikian,
pertanyaannya adalah; jika penguasa tidak mengantisipasi pendapatan dalam
baitul mal yang dapat melebihi apa yang dibutuhkan bagi tentara dan pejabat
publik lainnya, maka atas dasar apa dana-dana itu dipinjam. Artinya, disini Al-
Ghazali mengizinkan utang publik jika memungkinkan untuk menjamin
pembayaran kembali dari pendapatan di masa yang akan dating.
9. Pengeluaran Publik

Menurut Al-Ghazali pengeluaran publik harus sesuai dengan penegakan


keadilan sosio ekonomi, keamanan dan stabilitas negara, serta pengembangan
suatu masyarakat yang makmur. Di samping itu, negara boleh mengintervensi
dengan tujuan untuk mengeleminasi kemiskinan dan kesukaran yang meluas.

C. Pemikiran Politik Al Ghazali.

Keadilan selalu menjadi sesuatu yang dibicarakan sekaligus diperjuangkan


oleh masyarakat dalam suatu Negara. Masyarakat selalu menuntut keadilan
terhadap para pejabat yang mengatur roda pemerintahan. Para warga berharap
pemimpin yang dipilihnya bisa memberikan kehidupan yang layak dan
mendapatkan perhatikan, hingga akhirnya kehidupan mereka menjadi sejahtera.
Kerap kali dijumpai dalam kehidupan bernegara/bermasyarakat terdapat
perbedaan perlakuan yang dilakukan oleh para pejabat pemerintahan terhadap
masyarakat dengan melakukan tindakan yang tidak sebagaimana mestinya. Status
sosial salah satu hal yang memicu perlakuan tidak adil tersebut. Maka dari situlah
muncul keresahan masyarakat sehingga menuntut keadilan terhadap
pemerintah.Konsep tentang keadilan tidak hanya lahir dari pemikiran barat, dalam
Islampun demikian, terdapat beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang menganjurkan
untuk berperilaku adil. Dalam Al-Qur’an keadilan disebut dengan (al adalah),
yang secara sederhana diartikan sebagai sebuah bentuk upaya untuk menempatkan
sesuatu pada tempatnya. Islam mengajarkan agar keadilan dapat diwujudkan
dalam setiap waktu dan kesempatan. Dengan tegaknya keadilan akan melahirkan
dampak yang nyata berupa terwujudnya sebuah tatanan masyarakat yang saling
menghargai dan terciptanya kehidupan yang harmonis. Dalam perspektif hukum,
pemerintahan yang adil adalah pemerintahan yang bisa menjalankan roda
pemerintahan dengan memenuhi kewajibannya yang tertuang dalam kontribusi
dengan sebaik-baiknya. Artinya, pemerintah merupakan pelayan masyarakat
bukan pemerintah yang meminta dilayani oleh masyarakat. Seorang penguasa
yang adil ialah ia yang berlaku adil terhadap sesama manusia, menghindari
bertindak zalim dan tidak membuat kerusakan. Kekuasaan seorang penguasa yang
zalim tidak akan bertahan seperti yang disabdakan Nabi Muhammad SAW:
‫انمھك یبقى مع انكفز وال یبقى مع انظھم‬
“Kekuasaan bisa bertahan meski bersama kekufuran dan tidak bisa bertahan
dengan kezaliman”.
Dalam memimpin sebuah Negara seorang pemimpin haruslah berbuat adil
terhadap rakyatnya baik yang memiliki jabatan dalam pemerintahan ataupun
terhadap rakyat biasa, sudah sepatutnya para pemimpin mengetahui jikalau
kejayaan dan keruntuhan dunia bersumber dari penguasa. Jika penguasa adil
niscaya dunia akan berjaya dan rakyat akan merasa aman. Untuk menjadi seorang
pemimpin yang ideal, Al-Ghazali menuturkan dasar-dasar keadilan yang harus
dimiliki oleh seorang pemimpin:

1. Mengenal nilai kekuasaan beserta resiko dan bahayanya

Kekuasaan adalah salah satu nikmat Allah SWT yang Maha Mulia lagi Maha
Agung. Siapa yang menjalankan kekuasaan dengan benar ia akan mendapatkan
kebahagiaan yang tiada batasnya, dan tidak ada kebahagiaan sama sekali
selainnya. Sebaliknya, siapa yang lalai menjalankan kekuasaanya dengan tidak
benar ia akan terjerumus dalam celaka yang tiada taranya kecuali kufur kepada
Allah SWT (Shiddiq, 2020) yang diungkapkan Nabi Muhammad SAW dalam
sebuah hadis yang berisi tentang besarnya nilai dan serta bahayanya dari
kekuasaan adalah seperti berikut:

‫احب انىاس إنى ھلال تعانى واقزبھم إنیھ انسھطان انعادل وأبغضھم إنیھىأبعدھم مىھ انسھطان‬
‫انجائز‬
“Manusia yang paling dicintai Allah dan paling dekat dengan-Nya adalah seorang
penguasa yang adil. Sementara manusia yang paling dibenci oleh Allah dan paling
jauh dari-Nya adalah seorang penguasa yang zalim”.

2. Penguasa harus senang dan gemar meminta nasihat ulama

Seorang penguasa disamping harus gemar meminta nasihat kepada para


Ulama ia juga harus waspada terhadap para Ulama yang culas dan serakah
terhadap dunia. Soalnya mereka pasti suka memuji penguasa dan berusaha
membuat penguasa senang karena rakus ingin mendapatkan harta yang dimiliki
penguasa secara curang ataupun menipu. Seorang ulama sejati tidak akan serakah
terhadap harta yang dimiliki penguasa dan gemar mengingatkan para penguasa
agar berlaku bijaksana.Salah seorang pemimpin/Khalifah dalam Islam yang gemar
meminta nasihat kepada Ulama yaitu Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik.
Dikisahkan bahwa ia suatu hari pernah merenung dan berkata: “sudah cukup lama
aku hidup di dunia ini, tetapi bagaimana nasibku di akhirat nanti?”. Ia kemudian
menemui Abu Hazim seorang Ulama besar yang terkenal zuhud pada zaman itu,
Ia berkata: “Suguhi aku makanan yang yang biasa anda santap saat berbuka.” Abu
Hazim kemudian menyuguhkan dedak panggang seraya berkata, “ini makanan
bukaku”. Melihat itu Khalifah Sulaiman spontan menangis tersedu-sedu disertai
rasa takut yang luar biasa di hatinya. Setelah berpuasa tiga hari berturut-turut,
pada hari yang ketiga ia berbuka dengan lauk tersebut. Konon, pada malam ia
menggauli istrinya yang kemudian melahirkan putranya bernama Abdul Aziz,
yaitu ayah dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang mana pada saat itu ia menjadi
satu-satunya Khalifah yang terkenal adil, suka melayani rakyat, zuhud dan
dermawan. Dari kisah ini bisa diambil hikmah sebagai seorang pemimpin betapa
pentingnya meminta nasihat kepada ulama, yang bisa jadi karena nasihatnya akan
muncul generasi pemimpinpemimpin yang hebat seperti Umar bin Abdul Aziz.
3. Tergerak untuk membasmi kezaliman

Seorang penguasa janganlah merasa puas dengan dan berdiam diri melihat
suatu bentuk kezaliman, tetapi berikanlah edukasi terhadap para anak muda
temanteman, para pekerja serta para wakil penguasa. Jangan pernah anda rela
mereka berbuat zalim, karena anda pasti akan dimintai pertanggungjawaban atas
kezaliman yang dilakukan terhadap mereka sebagaimana anda juga akan dimintai
pertanggungjawaban atas kezaliman anda.

4. Rendah hati/tidak sombong

Pada umumnya seorang penguasa itu bersikap sombong dan angkuh, dan dari
kesombongan inilah muncul kemarahan rakyat yang mendorong mereka menaruh
dendam. Marah adalah hantu, musuh, dan bahayanya akal. Jika marah
mendominasi seseorang sebaiknya mengarahkan segala sesuatu pada sifat
mengampuni, dan membiasakan berlaku murah serta memaafkan. Jika hal itu
sudah menjadi kebiasaan maka anda menyamai perilaku para wali dan Nabi Allah
SWT, akan tetapi jika anda suka melampiaskan kemarahan sebagai kebiasaan
maka anda menyamai serigala dan binatang.

5. Sadar bahwa penguasa/pemimpin pada dasarnya juga rakyat

Sesungguhnya dalam setiap peristiwa yang menimpa anda dan yang


diperlihatkan kepada anda itu sudah ditakdirkan bahwa anda adalah satu dari
seluruh rakyat dan bahwa penguasa adalah selain anda. Setiap yang tidak anda
sukai untuk diri anda juga tidak disukai oleh seorang dari kaum muslimin lainnya.
Jika anda menyenangkan mereka dengan sesuatu yang tidak disenangi oleh diri
anda, berarti anda telah berkhianat kepada rakyat anda, dan anda telah menipu
orang-orang yang ada dalam kekuasaan anda.

6. Gemar membantu/peduli dengan rakyat

Anda jangan meremehkan soal kejenuhan menunggunya orang-orang yang


sedang berdiri di depan pintu anda karena memerlukan bantuan anda. Waspadalah
terhadap bahaya soal ini. Ketika ada seorang muslim sedang ada perlu dengan
anda, jangan tunda untuk segera membantunya, karena anda memilih sibuk
melakukan ibadah-ibadah sunnah. Karena sesungguhnya membantu memenuhi
kebutuhan keperluan kaum muslim itu lebih utama daripada melakukan
ibadahibadah sunnah.

7. Qonaah/tidak bermewah-mewahan

Jangan sekali-kali anda membiasakan diri asik dengan kesenangankesenangan


nafsu, seperti mengenakan pakaian mewah dan makan makanan lezat.Dalam
segala hal, anda harus memiliki sifat qanaah, tidak ada keadilan sama sekali tanpa
sifat ini. Salah satu figur pemimpin Ummat Muslim yang memiliki sifat qanaah
yaitu Khalifah Umar bin Khattab, dikisahkan suatu hari ia bertanya kepada salah
seorang yang sholih: “Apakah pada diriku kau melihat sesuatu yang tidak kau
sukai?” Ia menjawab: aku mendengar bahwa anda suka meletakkan dua potong
roti di meja makan dan anda juga memiliki dua baju gamis yang satu khusus
untuk waktu malam dan yang satunya lagi khusus untuk waktu siang. Kemudian
Umar bertanya lagi, Apakah ada hal lain lagi selain itu? Ia menjawab: tidak. Demi
Allah SWT kedua hal itu mulai sekarang tidak akan ada lagi padaku untuk
selamanya jawab Umar.

8. Lemah lembut

Dalam berperilaku bermasyarakat sepanjang anda bisa melakukan beberapa


hal dengan lemah lembut anda jangan melakukannya dengan kasar dan keras.
Nabi bersabda:

‫انھھم انطف بكم وال یھطف بزعیتھ وأعىق عھى كموال یعىق عھى رعیتھ‬
“Ya Allah, tolong perlakukan lembut setiap penguasa yang berlaku lembut kepada
rakyatnya, Sebaliknya, perlakukan kasar setiap penguasa yang berlaku kasar
kepada rakyatnya”.

9. Mencintai rakyat
Sedapat-dapatnya anda harus bersungguh-sungguh membuat rakyat anda
senang kepada anda karena anda menjalankan ajaran Syari’at. Nabi Muhammad
SAW bersabda terhadap para sahabatnya:
‫خیز أمتي انذیھ یحبىوكم وتحبىوھم وشز أمتي انذیھ یبغضىوكمىتبغضىوھم ویھعىىوكموتھعىىوھم‬
“Sebaik-baik ummatku ialah orang-orang yang mencintai kalian dan kalian juga
mencintai mereka. Dan seburuk-buruk ummatku ialah orang-orang yang
membenci kalian, dan kamu juga membenci mereka yang melaknati kalian dan
kalian jangan melaknati mereka”.

10. Tidak melanggar syari’at

Seorang penguasa dilarang menyenangkan orang lain dengan cara melanggar


syari’at. Orang yang marah karena syari’at dilanggar, kemarahannya bukan suatu
mudarat. Umar bin Khattab r.a. mengatakan, “Sungguh aku terbiasa menghadapi
separuh manusia marah kepadaku”, bagi setiap orang yang membela kebenaran
harus marah. Tidak mungkin membuat puas dua orang yang berseteru. Manusia
paling bodoh ialah orang yang mengabaikan kerelaan Allah demi mengutamakan
kerelaan makhluk.
DAFTAR PUSTAKA

.‘Isā ‘Abdillāh ‘Alī, al-Falsafah wa al-Taṣawuf fī Fikr Abī Ḥāmid al-Ghazālī,


DINIKA, Volume 2, Number 2, May - August 2017, h. 252.
Imām al-Ghazālī, Tahāfut al-Falāsifah (Kairo: Dār al-Ma’ārif, 1966), h. 75
Badlatul Muniroh, Akal dan Wahyu Studi Komparatif antara Pemikiran Imam Al-
Ghazali dan Harun Nasution, Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam Vol. 9 No.
1 Thn. 2018, h. 60.
Muliati, al-Ghazali dan Kritiknya terhadap Filosof, Jurnal Aqidah-Ta Vol. II No. 2
Thn. 2016, h. 77.
‘Isā ‘Abdillāh ‘Alī, al-Falsafah wa al-Taṣawuf fī Fikr Abī Ḥāmid al-Ghazālī, h.
275.
Karim, Adiwarman A., 2004, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Listiwati, 2013, Prinsip Dasar Ekonomi Islam, Palembang: Rafah Press.
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi, Ekonomi Islam, 2013,Yogyakarta:
Badan Penerbit Fakultas Ekomomi UGM.
Rozalinda, 2014, Ekonomi Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Rangkuti, A. (2017). Konsep Keadilan Dalam Perspektif Islam. Tazkiya Jurnal
Pendidikan Islam, 6(1).
Shiddiq, R. A. (2020). Adab Berpolitik. Qaf Media Kreativa.
Amin, S. (2019). Keadilan Dalam Perspektif Filsafat Hukum Terhadap
Masyarakat. Jurnal El Afkal, 8(1).
Ma’arif, S. A. (2004). Mencari Autentisitas di Tengah Kegalauan. PSAP.

Anda mungkin juga menyukai