Anda di halaman 1dari 3

IMAN dan TOLERANSI BERAGAMA

Oleh: Kholili Hasib

Suatu hari jenazah orang Yahudi melintas di depan nabi Muhammad


SAW dan para Sahabat. Nabi Muhammad SAW pun berhenti dan berdiri.
Para Sahabat terkejut, kemudian bertanya: “Kenapa engkau berhenti Ya
Rasulullah?, sedangkan itu adalah jenazah orang Yahudi”. Nabi pun
menjawab :”Bukankah dia juga manusia?” (HR. Bukhari).

Dalam kesempatan yang lain, Rasulullah SAW tegas mengatakan, siapa


saja orang Yahudi dan Nasrani yang tidak mengakui kenabiannya,
adalah kafir. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak seorangpun di kalangan
umat ini yang mendengar tentangku dari kalangan Yahudi maupun
Nasrani kemudian ia meninggal dan tidak beriman dengan risalah yang
aku bawa kecuali ia tergolong penghuni neraka” (HR. Muslim).

Inilah toleransi, menghormati tanpa mengakui keimanan non-Muslim.


Iman tidak perlu digerus untuk menjadi toleran. Iman Nabi SAW dan
Sahabat sempurna, tapi juga mereka toleran.

Ketika Rasulullah SAW tiba-tiba berdiri, tentu saja para Sahabat kaget.
Namun, para Sahabat akhirnya paham ternyata Rasulullah SAW tidak
mengikuti ritual pemakaman orang Yahudi tersebut. Beliau cuma berdiri,
tidak sampai ikut menghantarkan ke liang lahat dengan berbagai
ritualnya.

Jadi, toleransi Islam antar umat beragama itu hanya menyentuh ranah
sosial. Coba perhatikan, beliau berkata alasannya menghormati;
“Bukankah dia manusia”.

Sehingga, toleransi yang melampaui wilayah sosial adalah tidak tepat.


Karena itu, Nabi SAW tidak mengatakan; “Bukankah dia Yahudi”. Sebab,
toleransi bukan dengan membenarkan ke-yahudian-nya.

Membenarkan keyakinan agama lain bukanlah disebut toleransi, tapi


pluralisasi. Sedangkan term pluralisme tidak ada dalam kamus Islam.

Setiap Muslim yang beriman, harus komitmen dengan keyakinannya.


Para ulama mendefinisikan iman dengan tiga pilar; pembenaran dalam
hati (al-tashdiq bi al-qalb), pernyataan dengan lidah (al-iqrar bi al-lisan)
dan perbuatan anggota tubuh (al-‘amal bi al-arkan).

Orang yang telah percaya (tashdiq) dianggap benar kepercayaannya


jika kepercayaan itu diikuti dengan qabul (penerimaan), muwalah
(kesetiaan), dan idh’an (ketundukan). Karena itu, seseorang yang
mengaku beriman tetapi tidak setia dengan ajaran Nabi bahwa Yahudi
dan Nasrani kafir, maka pengakuannya otomatis batal. Berarti ia tidak
tunduk dan setia dengan Nabi Muhammad SAW.

Terkait dengan ini, Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari pernah berfatwa,


barangsiapa mengakui ketuhanan Allah akan tetapi ia juga meyakini Dia
memiliki anak dan sekutu, maka ia keluar dari agama, berdasarkan
kesepakatan ulama’ (Hasyim Asyari,Risalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah,
hal. 13). Artinya, pengakuannya batal karena tidak setia kepada Allah.

Selain ‘toleransi’ yang melampaui batas, toleransi juga kadang dimaknai


dengan kebebasan ala liberal. Kaum liberal, menjustifikasi ‘toleransi’
versinya dengan menyodorkan al-Qur’an surat al-Baqarah: 256 yang
berbunyi: “Laa Ikraha fi al-Dien” (tidak ada paksaan dalam beragama).
Atas dasar ayat ini, maka tidak ada hukum memvonis non-Islam. Bahwa,
dalam versi liberal, Islam memberikan kebebasan yang mutlak untuk
beragama, atau pun tidak beragama. Bebas untuk beragama Islam,
atau beragama non-Islam.

Untuk memahami ayat, tidak semestinya kita memakai metode


“mutilasi ayat” (memotong-motong ayat tanpa dikaitkan dengan ayat
berikutnya). “Mutilasi ayat” sama saja akan ‘membunuh’ kesucian ayat
itu.

Ayat di atas harus dibaca utuh. Bunyi ayat lengkapnya adalah; “Tidak
ada paksaan untuk (memasuki ) agama (Islam). Sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar dan jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa
yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang amat kuat yang
tidak akan putus dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
(QS. Al-Baqarah: 256).

Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan maksud ayat tersebut.


Bahwasannya seseorang dilarang untuk dipaksa masuk agama Islam.
Sebab kebenaran Islam itu sangat jelas, terang dan bukti-buktinya
gamblang. Menurut Ibn Katsir, sebagaimana cukup jelas dalam ayat di
atas bahwa percaya kepada Islam merupakan kebenaran. Sedangkan
ingkar terhadap Islam adalah kesesatan. Orang yang masuk Islam
adalah orang-orang yang mendapatkan petunjuk Allah, sedangkan
orang non-Islam adalah orang-orang yang buta hatinya (Ibnu Katsir,
Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim).

Jadi, ayat di atas bukanlah justifikasi kebebasan tanpa batas. Sama


sekali ayat itu bukan menjelaskan konsep kebebasan. Justru inti ayat di
atas ada di kalimat akhir, yaitu, perbedaan orang yang mendapatkan
petunjuk dan orang yang tertutup kesesatan (kafir).

Ketika Islam menegaskan kebenaran risalah Tauhid yang dibawa oleh


Nabi Muhammad SAW, ia tidak bermakna bahwa umat Islam harus
memusuhi dan membunuhi umat agama lain. Sejarah mencatat, bahwa
Islam agama yang cukup toleran dan hormat kepada agama lain. Justru,
liberalisme lahir di Barat pada masa orang Barat gagal mendamaikan
agama. Karena tidak memiliki konsep toleransi, maka mereka
kebingungan mendefinisikan toleransi.

Sedangka Islam, menguatkan konsep toleransi tersebut dengan


mengikatnya dengan konsep al-Tauhid. Dengan kata lain, ketika umat
Islam bertoleransi, hendaknya membuat dia lebih meyakini bahwa Allah
SWT sajalah Tuhan Yang Maha Benar bukan Tuhan yang lain.[]

Anda mungkin juga menyukai