Anda di halaman 1dari 15

Jaman Kerajaaan-Kerajaan Islam

Kerajaan-kerajaan di Jawa (Banten, Cirebon, Sumenep) Mata-uang dari KESULTANAN BANTEN pertama kali dibuat sekitar tahun 1550-1596 Masehi. Bentuk koin Banten mengambil pola dari koin cash Cina yaitu dengan lubang di tengah, dengan ciri khasnya 6 segi pada lubang tengahnya (heksagonal). Inskripsi pada bagian muka pada mulanya dalam bahasa Jawa: Pangeran Ratu. Namun setelah mengakarnya agama Islam di Banten, inskripsi diganti dalam bahasa Arab, Pangeran Ratu Ing Banten. Terdapat beberapa jenis mata-uang lainnya yang dicetak oleh Sultan-sultan Banten, baik dari tembaga ataupun dari timah, seperti yang ditemukan pada akhir-akhir ini . Mata-uang dari KESULTANAN Cirebon dibuat sekitar tahun 1710/1760, saat berkuasa Sultan Sepuh. Koin dengan bahan dari timah dengan lubang ditengah itu, pada bagian muka tertulis inskripsi : Cheribon. Berbeda dengan koin-koin Banten dan Cirebon, KESULTANAN SUMENEP di Pulau Madura tidak mencetak mata-uangnya sendiri. Mata uangnya diambil dari koin-koin asing (diluar Sumenep), dengan di beri Countermarked (cetak tindih). Koin-koin yang digunakan adalah koin-koin Austria, Belanda, Java Rupee, Mexico (Real Bundar) dan (Real Batu/Cob), dll. Sedangkan cetak tindih yang dipakai, ada beberapa jenis seperti Bintang Madura, dengan tulisan Arab Sumenep, atau cap dengan lima kelopak daun. Koin-koin dengan cetak tindih ini dibuat pada saat bertahtanya Sultan Paku Nata Ningrat (1811-1854) di Kesultanan Sumenep. Kerajaan-kerajaan di Sumatra (Samudra Pasai, Aceh, Palembang, Jambi) Mata uang emas dari KERAJAAN PASAI untuk pertama kalinya dicetak oleh Sultan Muhammad yang berkuasa sekitar tahun 1297-1326. Mata uangnya disebut Dirham atau Mas, dan mempunyai standar berat 0.60 gram (berat standard Kupang). Namun ada juga koin-koin Dirham Pasai yang sangat kecil dengan berat hanya 0.30 gram (1/2 Kupang atau 3 Saga). Uang Mas Pasai mempunyai diameter 10 11 mm, sedangkan yang setengah Mas berdiameter 6 mm. Pada hampir semua koinnya ditulis nama Sultan dengan gelar Malik az-Zahir atau Malik at-Tahir. Setelah Pasai berhasil ditaklukkan oleh KERAJAAN ACEH pada tahun 1524, sultan-sultan Aceh tetap mengikuti tradisi dari kerajaan Pasai dalam pembuatan mata-uangnya. Namun uang Dirham Aceh berdiameter lebih besar, antara 12 14 mm. Pada bagian belakangnya terdapat tulisan Arab as-Sultan al-adil, yang artinya Sultan yang adil. Aceh juga membuat mata-uang dari timah/timbal, yang disebut Keueh, dengan nilai satu Mas sama dengan 400 Keueh. Kerajaan Aceh pernah memiliki empat Ratu yang memerintah secara berturut selama 60 tahun, dari 1641-1699. Yang pertama adalah Sultanah Safiat ad-Din, anak dari Sultan Iskandar Thani yang meninggal pada tahun 1641. Karena tidak mempunyai anak laki-laki, maka diangkatlah anak perempuannya yang berkuasa sampai dengan tahun 1675. Sultanah Nur al-Alam Naqiat ad-Din Syah Ratu Aceh yang kedua, yang memerintah pada tahun 1675-1678. Penggantinya adalah Sultanah Inayat Syah Zakiat ad-Din Syah yang memerintah tahun 1678-1688. Dan terakhir adalah Sultanah Kamalat Syah. Beliau memegang kekuasaan atas wilayah Aceh dari tahun 1688-1699. Masing-masing ratu tersebut juga mencetak mata-uangnya. Mata-uang dari KERAJAAN PALEMBANG dapat dibedakan antara yang mempunyai lubang ditengah, yang disebut dengan pitis Picis Tebok (Tebok dalam dialek Palembang berarti Lubang). Ada juga yang tidak mempunyai lubang yang disebut dengan Picis Buntu. Picis Palembang dapat dibedakan juga antara yang bertahun dan yang tidak bertahun. Semua mata uangnya terbuat dari timah, kecuali koin yang bertahun AH 1198 (tahun 1774/75 Masehi), ada terbuat dari tembaga merah dan dari timah (berdasarkan temuan yang terbaru). KERAJAAN JAMBI di Sumatra juga membuat mata-uang picis dari timah. Salah satu koinnya ada yang berbentuk Oktagonal (segi 8), dengan tulisan Sultan Anom Sri Ingalaga. Ia mulai memerintah pada tanggal 21 Februari 1743. Kerajaan-kerajaan di Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin, dan Maluka)

KESULTANAN PONTIANAK mulai didirikan pada tahun 1770, oleh seorang pedagang keturunan Arab yang bernama Abdul Rahman Alkadrie. Periode pencetakan koin-koin dari kesultanan di Kalimantan Barat ini berkisar tahun 1790-1817. Koin-koin dari KESULTANAN BANJARMASIN pada umumnya merupakan imitasi dari koin-koin Duit VOC, yang dicetak sewaktu bertahtanya Sultan Tamjid Illah III (17851808). Koin-koinnya mempunyai lambang VOC, dan bertahun AH 1221. Sebenarnya di Kalimantan masih ada satu kerajaan lagi yang jarang diketahui umum, yaitu KERAJAAN MALUKA. Kerajaan ini dipimpin oleh seorang Raja Putih yang bernama Alexander Hare, seorang petualang berbangsa Inggris. Pada mulanya, Hare pada tahun 1812 diberi suatu wilayah kekuasaan oleh Sultan Banjarmasin, dengan kedudukan sebagai Residen. Namun tak lama memerintah, ia segera memperluas wilayah kekuasaannya, dengan membentuk Koloni sendiri, yang bernama Maluka. Hare mencetak mata-uangnya sendiri sebagai mata uang yang sah untuk peredaran di wilayah Maluka, dan juga mendatangkan banyak tenaga kerja dari Jawa yang bekerja sebagai kuli-kuli di pertambangan batu bara. Namun masa pemerintahan Hare di Banjarmasin terhitung tidak terlalu lama, hanya dua tahun saja. Setelah kejatuhan VOC pada tahun 1799, Belanda mulai mengambil alih daerah-daerah kekuasaan VOC di Indonesia. Dan pada tahun 1816, pemerintahan Hindia Belanda berhasil menghancurkan koloni Maluka, serta mengusir Hare dari wilayah kekuasaannya. Kerajaan-kerajaan di Sulawesi (Gowa & Buton) Mata uang dari KERAJAAN GOWA di Sulawesi Selatan, disebut dengan Dinara, yang terbuat dari emas. Sultan Alauddin Awwalul Islam yang memerintah Kerajaan Gowa pada tahun 1593-1639, adalah sultan Gowa pertama yang beralih ke agama Islam. Sultan Hasanuddin, yang memerintah pada tahun 1653-1669, dengan gelarnya I Mallombasi Muhammad Bakir Dg Mattawang Krg. Bontomangape. Dengan kekalahannya melawan Belanda, Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani Perjanjian Bungaya tanggal 18 November 1667. Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa wilayah Minahasa, Butung dan Sumbawa yang tadinya termasuk dalam wilayah Kesultanan Gowa harus diserahkan kepada VOC. Dan semua pedagang-pedagang Eropa selain daripada VOC, dilarang untuk melakukan perdagangan diwilayah bagian timur tersebut. KERAJAAN BUTON di Sulawesi Tenggara, mempunyai bentuk mata-uang unik yang terbuat dari kain. Mata uang ini dinamakan Kampua. Menurut legendanya, Kampua diciptakan pertama kali oleh Ratu Buton yang kedua, Bulawambona, yang memerintah sekitar abad XIV. Proses pembuatan dan peredaran Kampua, mandat sepenuhnya diserahkan kepada Menteri Besar atau yang disebut Bonto Ogena. Dialah yang akan melakukan pengawasan serta pencatatan atas setiap lembar kain Kampua, baik yang telah selesai ditenun maupun yang sudah dipotong-potong. Pengawasan oleh Bonto Ogena juga diperlukan agar tidak timbul pemalsuan-pemalsuan, sehingga hampir setiap tahunnya motif dan corak Kampua akan selalu dirubah-rubah. Adapun standard pemotongan kain Kampua adalah dengan mengukur panjang dan lebar Kampua, dengan cara : ukuran empat jari untuk lebarnya, dan sepanjang telapak tangan mulai dari tulang pergelangan tangan sampai ke-ujung jari tangan, untuk panjangnya. Sedangkan tangan yang dipakai sebagai alat ukur adalah tangan sang Menteri Besar atau Bonto Ogena itu sendiri! Pada awal pembuatannya, standar yang dipakai sebagai nilai tukar untuk satu bida (lembar) Kampua adalah sama dengan nilai satu butir telur ayam. Setelah Belanda mulai memasuki wilayah Buton kira-kira tahun 1851, fungsi Kampua sebagai alat tukar lambat laun mulai digantikan dengan uang-uang buatan Kompeni. Nantinya nilai tukar untuk 40 lembar Kampua sama dengan 10 sen duit tembaga, atau setiap 4 lembar Kampua hanya mempunyai nilai sebesar 1 sen saja! Walaupun demikian, Kampua tetap digunakan pada desa-desa tertentu di Kepulauan Buton sampai dengan tahun 1940.

JAMAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL


Dalam penggolongan jaman perdagangan internasional ini sebenarnya bukan hanya orangorang Cina dan VOC (Belanda) saja yang berdagang di Jawa, tapi kedua bangsa itulah yang paling dominan dalam melakukan perdagangan di Jawa. Dan dari mata-uang Cash Cina dan

mata-uang kompeni inilah yang telah memberikan pengaruh yang sangat besar bagi sejarah dan perkembangan numismatik di Indonesia. Perdagangan dengan Cina (850-1900) Pada awalnya, pedagang-pedagang Cina mulai banyak masuk ke tanah Jawa kira-kira pada jaman dinasti Tang di Cina (618-907 Masehi). Mereka dengan jung-jung nya (kapal Cina), mendarat di pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur, seperti di Tuban, Gresik dan Surabaya. Pada waktu itu di Jawa Timur terkenal dengan produksi ladanya. Dalam melakukan perdagangannya, orang-orang Cina memperkenalkan dan menggunakan koin-koin tembaga yang disebut dengan Chien atau Cash, yang akhirnya diterima oleh penduduk sebagai alat pembayaran. Jaman Dinasti Sung di Cina (960-1279) adalah puncak-puncaknya dimana banyak sekali orang-orang Cina yang datang ke Jawa untuk berdagang, sambil membawa uang-uang kepengnya dalam jumlah besar. Ma Huan, seorang Islam sebagai juru tulis Laksamana Cheng Ho, mencatat keadaan pada tahun 1405. Dalam bukunya Ying Yai Sheng Lan yang terbit tahun 1416, dikatakan bahwa : Koin-koin Cina dari berbagai dinasti umum digunakan disini.. Dalam melakukan transaksi, pembayarannya memakai koin-koin cash tembaga Cina dari berbagai dinasti. Orang-orang disini (Jawa Timur) sangat senang dengan porselin-porselin Cina dengan motif hijau bunga, kain sutera, manik-manik dll. Mereka membelinya dengan uang-uang cash. Karena uang Chien banyak diekspor ke Jawa, maka pada jaman Dinasti Ming di Cina (1368-1644), terjadi keguncangan moneter akibat langkanya uang kecil. Akhirnya pemerintah Ming melakukan larangan ekspor uang Chien ke luar negeri, termasuk ke Jawa. Sebagai gantinya VOC mengimport koin-koin kepeng dari negara-negara lain, seperti Jepang, Korea dan Vietnam. Tahun 1723 Jepang akhirnya menghentikan export uang cash. Sebagai pengganti uang Chien yang dilarang di export oleh Kaisar Ming, pada sekitar tahun 1590 mulai beredar koin-koin picis dari timah atau timbal (lead). Uang picis ini dibuat di Cina, diangkut bersamaan dengan kedatangan kapal-kapal Jung dengan berat ratarata 200-300 ton. Kapal-kapal tersebut sebanyak 15-20 kapal setahunnya, datang pada bulan November atau Desember, dan akan kembali ke Cina pada bulan Juni tahun berikutnya, dengan membawa rempah-rempah yang dibelinya dari Banten. Sebanyak 12-13 ribu picis seharga satu dollar Spanyol, yang dapat membeli merica sebanyak 8 kantong. Di Indonesia, hanya Bali yang tetap menggunakan koin cash Cina dalam bertransaksi, bahkan masih dipakai sampai dengan pada tahun 1950! Perdagangan dengan VOC (1602-1799) Tahun 1595 untuk pertama kalinya kapal-kapal Belanda menginjak daratan Indonesia. Ekspedisi ini dikepalai oleh dua bersaudara, Cornelis dan Frederick de Houtman, dan mendarat di pelabuhan Banten. Mereka membawa koin-koin perak untuk dipakai membeli rempah-rempah, baik yang dinamakan Real Batu ataupun Real Bundar. Namun mereka kecewa karena uang yang dipakai di Banten adalah picis-picis dari timbal. Dari ekspedisi awal ini akhirnya dua Perusahaan Belanda, yaitu United Amsterdam Company (1594-1602), dan United Zeeland Company (1597-1602), ikut meramaikan pencarian rempah-rempah ke wilayah Nusantara. Mereka juga mencetak mata uangnya sendiri guna dipakai sebagai alat pembayaran, dengan tahun 1601/1602. Perlombaan mencari rempah-rempah ini akhirnya menimbulkan persaingan usaha, yang pada akhirnya malah merugikan bisnis mereka sendiri. Pada bulan Maret 1602, kedua perusahaan tersebut dilebur, dan didirikan sebuah perusahaan dagang baru yang dinamakan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie). Karena seringnya terjadi kekosongan mata uang kecil, maka tahun 1726 VOC meminta kepada induknya di Belanda untuk dibuatkan koin-koin bernilai kecil, yang disebut Dute, Doit atau Duit. Duit VOC ini dinyatakan tidak berlaku dinegeri induknya Belanda, dan hanya diedarkan untuk daerah-daerah dimana VOC berada. Namun peredaran duit tembaga ini cukup luas karena diedarkan juga di wilayah-wilayah Coromandel, Cochin, Malaka dan Ceylon.

Pada tahun 1743, VOC melakukan perjanjian dengan kerajaan Mataram di Jawa Tengah. Salah satu isi dari perjanjian tersebut adalah pemberian hak kepada VOC untuk mencetak mata-uangnya sendiri. Uang yang dicetak ini dikenal dengan nama Derham Djawi atau Java Ducat atau Gold Rupee (untuk koin emas), dan Silver Java Rupee (untuk koin peraknya). Koin yang pertama kali dibuat VOC dipercetakan uang di Batavia adalah Dirham Jawi dengan tahun 1744. Pada bagian muka terdapat tulisan dalam bahasa Arab : Ila djazirat Djawa al-kabir, sedang di bagian belakangnya : Derham min Kompani Welandawi. Yang artinya : Uang milik perusahaan Belanda untuk Pulau Jawa Besar. Pada tahun 1799 VOC akhirnya dinyatakan bangkrut. Semua harta dan kekuasaannya diambil alih oleh pemerintahan Belanda, yang dimulailah Babak baru masa penjajahan Belanda yang sesungguhnya. Emergency coins atau mata-uang darurat Mata-uang Darurat dibuat bila tidak tersedianya uang pecahan kecil dalam jumlah yang mencukupi. Hal ini terjadi jika tidak adanya kiriman koin-koin Duit dari Belanda, atau belum datangnya jung-jung Cina yang biasa menyuplai koin-koin picis. Salah satu bentuk uang darurat adalah yang dinamakan Bonk, yang dibuat dengan cara memotong batangan-batangan tembaga Jepang. Potongan tembaga itu dicap pada kedua sisinya dengan berat yang standard, dan dicetak dalam beberapa pecahan, seperti , 1 atau 2 Stuiver Pada tahun 1796 dan 1797 dicetak juga doit-doit darurat yang terbuat dari timah, dan beredar bersamaan dengan Bonk. Pada bagian sebelah muka terdapat lambang VOC dan huruf N diatasnya (singkatan dari Nederlansche). Dibagian belakangnya tertulis : 1 Duit 1796 atau 1797. Karena doit-doit palsu dari timbal (lead) banyak beredar, maka duit timah itu ditarik dari peredarannya untuk dilebur kembali, yang mengakibatkan duit-duit timah itu menjadi sangat langka sekali. Koin-koin darurat dalam pecahan Stuiver juga dicetak pada tahun 1799 dan 1800. Koin-koin ini terbuat dari campuran dua bahan, yaitu perunggu dari leburan meriam-meriam yang telah rusak, yang dicampur dengan timbal. Pada sisi muka dicetak : JAVA 1799/1800, dan dibaliknya dicetak : 1 Stuiver.

Jaman Pemerintahan Hindia Belanda, Perancis, Inggris (18001942)


Pemerintahan Hindia Belanda (1800-1942) Setelah VOC dinyatakan Bangkrut pada tahun 1799, maka pemerintahan Belanda mengambil oper seluruh harta dan kekuasaan VOC. Mulailah jaman pendudukan Belanda di Indonesia dalam arti yang sebenarnya, dimana Belanda mulai menginvasi daerah-daerah yang dulunya tidak terjangkau oleh VOC. Tahun 1825-1830 di Jawa (bagian Tengah dan Timur) timbul perang besar yang dikenal dengan nama Perang Jawa atau Perang Diponegoro. Akibat perang yang berkepanjangan ini, kas Belanda menjadi kosong! Untuk memenuhi pundi-pundi nya, maka van den Bosch memperkenalkan apa yang disebut dengan Cultuur Stelsel atau Tanam Paksa. Dalam periode ini, dicetak berjuta-juta keping mata-uang dengan pecahan Satu dan Dua Sen. Koin perak 2.5 Gulden baru dibuat pada tahun 1840 setelah dilakukan standarisasi pada mata-uang pada pemerintahan Raja Willem I. Berbagai macam mata-uang baik emas, perak, dan tembaga juga dibuat pada masa-masa pemerintahan Raja Willem II, Willem III, atau Wilhelmina. Pada masa pemerintahan Raja Willem II (1840-1849), percetakan uang di Batavia dan di Surabaya ditutup untuk selama-lamanya. Batavia ditutup pada bulan Januari 1843, sedangkan Surabaya pada akhir tahun 1843. Dengan ditutupnya percetakan uang di Jawa, maka sejak saat itu semua mata-uang dikirim langsung dari negeri Belanda. Pada jaman Raja Willem III (1849-1890), pernah dicetak koin perak dengan nilai 1/20 Gulden (Kelip). Koin ini bentuknya sangat kecil sekali, sehingga tidak diproduksi kembali setelah cetakan kedua tahun 1855. Koin-koin Sen dari tembaga juga dicetak, dengan pecahan 1 dan 2 Sen. Pada masa-masa inilah koin cash Cina mulai ditinggalkan

pemakaiannya. Koin tembaga 2 sen disebut sebagai uang Gobang atau Benggol, dan mempunyai fungsinya yang lain, yaitu sebagai alat Kerokan. Pada waktu bertahtanya Ratu Wilhelmina (1890-1948), timbul perang dunia kedua, dimana tahun 1940 Jerman menginvasi serta menduduki Belanda. Keluarga kerajaan termasuk Ratu Wilhelmina lari ke Inggris dengan memakai kapal kargo. Dan ditempat pelariannya itu, Ratu membentuk pemerintahan dalam pengasingan. Pada masa perang itu, koin-koin tahun 1941-45 dicetak di Amerika, dengan tambahan huruf kecil pada bagian belakang bawah. Huruf D adalah singkatan dari Denver (1943-1945); P adalah Philadelphia (1941-1945); dan S untuk San Francisco (1944-1945). Pada tahun 1945, setelah kekalahan Jerman, Ratu kembali ke negerinya Belanda. Namun pada tanggal 17 Agustus 1945 negara jajahannya di bagian timur telah memproklamasikan kemerdekaannya menjadi Republik Indonesia. Pendudukan Perancis (1806-1811) Pada tahun 1806, Perancis menduduki Belanda, yang menyebabkan transfer kekuasaan atas seluruh. wilayah yang diduduki Belanda. Karena pendudukan Perancis dilakukan dinegeri Belanda, maka pengaruh secara langsung terhadap pendudukan Indonesia sangat kecil sekali. Seluruh kontrol pemerintahan di Indonesia tetap dipegang oleh orang-orang Belanda. Tahun 1806 Napoleon mengangkat saudaranya Louis sebagai raja di Belanda. Pada masa itu koin-koin Perancis 2 Stuivers (Sols) dan 1 Stuiver (12 Deniers) ditetapkan berlaku di wilayah Hindia Belanda. Pada tahun 1808 H.W. Daendels datang untuk menempati posnya sebagai Gubernur Jendral yang baru di Hindia Belanda. Daendels memerintahkan agar koin-koin dicetak dengan nama raja L.N. (Louis Napoleon), baik dengan huruf Blok maupun dengan Hiasan (Ornate). Tahun 1809 Daendels memerintahkan untuk membongkar seluruh temboktembok yang mengelilingi Batavia, termasuk puri-purinya, serta menimbun parit-parit yang ada disekeliling kota. Daendels juga membuka percetakan mata-uang yang baru di Surabaya, yang mengakibatkan percetakan uang Batavia menjadi mandeg. Adapun koin pertama yang dicetak di Surabaya adalah duit tembaga dengan tulisan JAVA 1806 serta lambang VOC dibalik-nya. Walaupun tertera tahun 1806, namun koin itu sendiri baru dicetak pada bulan Februari 1807. Pada tahun 1811 Inggris menginvasi Jawa, dan berhasil mengalahkan Belanda. Dan mulailah Babak baru pendudukan Inggris terhadap Indonesia selama lima tahun kedepan. Pendudukan Inggris (1811-1816) Pada tanggal 4 Agustus 1811, kapal-kapal Inggris mendarat di teluk Batavia, yang akhirnya dapat merebut Jawa, sehingga Belanda harus menyerahkan koloninya kepada Inggris. Berbeda dengan pendudukan Perancis terhadap Belanda, pendudukan Inggris dilakukan secara langsung, dimana wilayah Nusantara berada dalam kekuasaan Inggris. Untuk pertama kalinya diangkat Sir Thomas Stamford Raffles sebagai Gubernur Jenderal. Satu seri koin menarik yang dicetak pada masa pendudukan Inggris adalah koin Java Rupee yang terbuat dari emas dan perak. Pada bagian depannya ditulis dalam bahasa Jawa kuno, Kempni Hingglis, jasa hing Sura-pringga. Tahun Ajisaka AS 1741. Sedangkan dibaliknya tertulis dalam bahasa Arab Melayu : Hinglish, sikkah kompani, sannah AH 1229 dhuriba, dar djazirat Djawa. Semua koin-koin pada masa pendudukan Inggris dicetak di Surabaya, kecuali koin-koin Darurat Doit Java dari timah murni Bangka dengan tahun 1813 dan 1814, yang dicetak di Batavia. Setelah kekalahan Napoleon di Eropa, maka berdasarkan perjanjian Wina tahun 1814 Inggris harus mengembalikan Jawa dan daerah lainnya kepada Belanda. Penyerahan Koloni itu sendiri baru dilaksanakan Inggris pada tanggal 16 Agustus 1816. British East India Company di Sumatra Inggris mempunyai pusat perdagangannya di Bencoolen (Bengkulu), dengan membangun Benteng dengan nama FORT YORK. Karena benteng dibakar oleh penduduk pada sekitar tahun 1700, maka tahun 1719 Inggris pindah ke benteng barunya yang bernama FORT MARLBRO (atau Fort Marlborough). Pada tahun 1797 Inggris mencetak mata-uangnya dengan nilai Dollar, dengan tulisan

FORT MARLBRO disisi baliknya. Lalu pada bulan Maret 1818 ditunjuk Sir Stamford Raffles untuk menduduki posnya yang baru di Bengkulu. Berdasarkan perjanjian tanggal 17 Maret 1824, maka Inggris harus menyerahkan Bengkulu dan semua pendudukannya di pantai Barat Sumatra kepada Belanda. Sedangkan Belanda menyerahkan Malaka ke tangan Inggris, dan membolehkan Inggris mendirikan koloni di Singapura. Para pedagang Inggris di Singapura juga membuat mata-uangnya sendiri untuk diedarkan di wilayah Sumatra dan Sulawesi, seperti Keping-keping Minangkabau, Aceh, Tanah Melayu, Uang Ayam, dan sebagainya. Token-token perkebunan dan pertambangan Pada jaman pemerintahan Belanda, banyak token-token yang dibuat oleh perusahaanperusahaan perkebunan dan pertambangan, tidak hanya di Jawa, Sumatra, Bangka, Kalimantan, bahkan juga dipulau Batjan Ternate. Yang disebut Token adalah mata-uang yang biasanya dibuat oleh pihak swasta, dan hanya mempunyai area peredaran yang sangat terbatas. Token hanya berlaku pada area dimana token tersebut diedarkan; diluar area tersebut token sama sekali tidak mempunyai nilai. Mata-uang lainnya Selain beraneka-ragamnya mata uang yang telah diceritakan diatas, masih banyak mata uang lainnya yang dulu pernah beredar di bumi Indonesia ini. Sejak jaman VOC, Belanda dan Inggris, digunakan juga mata uang asing, seperti uang Spanyol dan dari negara-negara jajahannya seperti Meksiko, Bolivia, Peru, Brazil, dll, juga dari negara-negara India, Persia, Austria, Amerika, Cina dan Jepang (mata uang perak modern), Hong Kong, Sarawak, Straits Settlements, dll. Dan kesemua mata-uang diatas sampai sekarang masih dapat ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia.

JAMAN PENDUDUKAN JEPANG (1942-1945)


Pendudukan Jepang di Indonesia hanya berlangsung selama tiga setengah tahun. Jepang banyak mencetak mata-uang kertas, dan hanya satu seri koin saja yang dicetak, yaitu pecahan 1, 5 dan 10 Sen. Semuanya dicetak dengan tahun Jepang 2603 dan 2604 (1943 dan 1944 Masehi), yang dituangkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Militer Jepang No. 2 tertanggal 8 Maret 2602 (1942). Koin pecahan 1 dan 5 Sen terbuat dari Aluminium, sedangkan koin nominal 10 Sen terbuat dari timah. Pada koin-koin nominal 5 dan 10 Sen, dibagian muka terdapat gambar Wayang, sedangkan nominal 1 Sen terdapat gambar kepala wayang. Dibagian belakangnya terdapat tulisan Jepang, JAVA, Nominal (Sen), dan tahun Jepang 2603/04. Jaman Pemerintahan Republik Indonesia (1945-sekarang) Pada tahun-tahun awal setelah proklamasi kemerdekaan, banyak dicetak uang Kertas seri ORI (Oeang Republik Indonesa), dan uang-uang Darurat yang dicetak oleh daerah-daerah (URIDA), tanpa satupun dicetak koin-koin sebagai mata uang. Koin Indonesia dicetak untuk pertama kalinya pada tahun 1951. Koin ini terbuat dari Aluminium dengan pecahan 5 Sen, dengan lubang pada bagian tengahnya. Koin aluminium pecahan 10 Sen (tanpa lubang) dengan gambar Garuda dicetak pada tahun 1951 juga. Berikutnya pada tahun 1952 dicetak koin-koin dengan pecahan 1 Sen (yang mempunyai desain sama dengan pecahan 5 Sen bolong) dan pecahan 25 Sen. Pada tahun yang sama juga dicetak koin dengan pecahan 50 Sen dengan gambar Dipanegara. Seri koin-koin dengan gambar Sukarno juga dicetak untuk peredaran khusus di Kepulauan Riau. Koin-koin dengan tahun 1962 (dicetak tahun 1963) ini terbuat dari aluminium, dan terdiri dari pecahan 1, 5, 10, 25, dan 50 Sen. Koin-koin ini ditarik dari peredaran dan dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 30 September 1964. Pada pinggiran semua koin seri Kepulauan Riau ini, tertera inskripsi KEPULAUAN RIAU. Pada masa pembebasan IRIAN BARAT, juga dicetak koin-koin seri Sukarno yang dicetak khusus untuk peredaran di Irian Barat, dan semuanya bertahun 1962 (dicetak tahun 1964).

Namun akhirnya dinyatakan tidak berlaku lagi sejak tanggal 31 Desember 1971. Pada masa pemerintahan Suharto (1967-1998), banyak sekali koin-koin menarik yang dicetaknya, seperti koin-koin peringatan 25 tahun kemerdekaan, seri-seri binatang, koinkoin emas, dll. Uang Pada Masa Awal Kemerdekaan Keadaan ekonomi di Indonesia pada awal kemerdekaan ditandai dengan hiperinflasi akibat peredaran beberapa mata uang yang tidak terkendali, sementara Pemerintah RI belum memiliki mata uang. Ada tiga mata uang yang dinyatakan berlaku oleh pemerintah RI pada tanggal 1 Oktober 1945, yaitu mata uang Jepang, mata uang Hindia Belanda, dan mata uang De Javasche Bank.

Mata uang Hindia Belanda dan mata uang De Javasche bank

Diantara ketiga mata uang tersebut yang nilai tukarnya mengalami penurunan tajam adalah mata uang Jepang. Peredarannya mencapai empat milyar sehingga mata uang Jepang tersebut menjadi sumber hiperinflasi. Lapisan masyarakat yang paling menderita adalah petani, karena merekalah yang paling banyak menyimpan mata uang Jepang. Kekacauan ekonomi akibat hiperinflasi diperparah oleh kebijakan Panglima AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) Letjen Sir Montagu Stopford yang pada 6 Maret 1946 mengumumkan pemberlakuan mata uang NICA di seluruh wilayah Indonesia yang telah diduduki oleh pasukan AFNEI. Kebijakan ini diprotes keras oleh pemerintah RI, karena melanggar persetujuan bahwa masing-masing pihak tidak boleh mengeluarkan mata uang baru selama belum adanya penyelesaian politik. Namun protes keras ini diabaikan oleh AFNEI. Mata uang NICA digunakan AFNEI untuk membiayai operasi-operasi militernya di Indonesia dan sekaligus mengacaukan perekonomian nasional, sehingga akan muncul krisis kepercayaan rakyat terhadap kemampuan pemerintah RI dalam mengatasi persoalan ekonomi nasional. Karena protesnya tidak ditanggapi, maka pemerintah RI mengeluarkan kebijakan yang melarang seluruh rakyat Indonesia menggunakan mata uang NICA sebagai alat tukar. Langkah ini sangat penting karena peredaran mata uang NICA berada di luar kendali pemerintah RI, sehingga menyulitkan perbaikan ekonomi nasional. Oleh karena AFNEI tidak mencabut pemberlakuan mata uang NICA, maka pada tanggal 26 Oktober 1946 pemerintah RI memberlakukan mata uang baru ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai alat tukar yang sah di seluruh wilayah RI. Sejak saat itu mata uang Jepang, mata uang Hindia Belanda dan mata uang De Javasche Bank dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian hanya ada dua mata uang yang berlaku yaitu ORI dan NICA. Masing-masing mata uang hanya diakui oleh yang mengeluarkannya. Jadi ORI hanya diakui oleh pemerintah RI dan mata uang NICA hanya diakui oleh AFNEI. Rakyat ternyata lebih banyak memberikan dukungan kepada ORI. Hal ini mempunyai dampak politik bahwa rakyat lebih berpihak kepada pemerintah RI dari pada pemerintah sementara NICA yang hanya didukung AFNEI. Untuk mengatur nilai tukar ORI dengan valuta asing yang ada di Indonesia, pemerintah RI pada tanggal 1 November 1946 mengubah Yayasan Pusat Bank pimpinan Margono Djojohadikusumo menjadi Bank Negara Indonesia (BNI). Beberapa bulan sebelumnya

pemerintah juga telah mengubah bank pemerintah pendudukan Jepang Shomin Ginko menjadi Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Tyokin Kyoku menjadi Kantor Tabungan Pos (KTP) yang berubah nama pada Juni 1949 menjadi Bank tabungan Pos dan akhirnya di tahun 1950 menjadi Bank Tabungan Negara (BTN). Semua bank ini berfungsi sebagai bank umum yang dijalankan oleh pemerintah RI. Fungsi utamanya adalah menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat serta pemberi jasa di dalam lalu lintas pembayaran. Terbentuknya Bank Indonesia Jauh sebelum kedatangan bangsa barat, nusantara telah menjadi pusat perdagangan internasional. Sementara di daratan Eropa muncul lembaga perbankan sederhana, seperti Bank van Leening di negeri Belanda. Sistem perbankan ini kemudian dibawa oleh bangsa Barat yang mengekspansi nusantara pada waktu yang sama. VOC di Jawa pada 1746 mendirikan De Bank van Leening yang kemudian menjadi De Bank Courant en Bank van Leening pada 1752. Bank itu adalah bank pertama yang lahir di nusantara, cikal bakal dari dunia perbankan pada masa selanjutnya. Pada 24 Januari 1828, pemerintah Hindia Belanda mendirikan bank sirkulasi dengan nama De Javasche Bank (DJB). Selama berpuluh-puluh tahun bank tersebut beroperasi dan berkembang berdasarkan suatu oktroi dari penguasa Kerajaan Belanda, hingga akhirnya diundangkan DJB Wet 1922. Masa pendudukan Jepang telah menghentikan kegiatan DJB dan perbankan Hindia Belanda untuk sementara waktu. Kemudian masa revolusi tiba, Hindia Belanda mengalami dualisme kekuasaan, antara Republik Indonesia (RI) dan Nederlandsche Indische Civil Administrative (NICA). Perbankan pun terbagi dua, DJB dan bank-bank Belanda di wilayah NICA sedangkan "Jajasan Poesat Bank Indonesia" dan Bank Negara Indonesia di wilayah RI. Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 mengakhiri konflik Indonesia dan Belanda, ditetapkan kemudian DJB sebagai bank sentral bagi Republik Indonesia Serikat (RIS). Status ini terus bertahan hingga masa kembalinya RI dalam negara kesatuan. Berikutnya sebagai bangsa dan negara yang berdaulat, RI menasionalisasi bank sentralnya. Maka sejak 1 Juli 1953 berubahlah DJB menjadi Bank Indonesia, bank sentral bagi Republik Indonesia. Uang di Indonesia. INDONESIA 1957 Rp1000 yang dijual seharga US$222 oleh Ebay Menurut keterangan dulu BI (Bank Indonesia) lebih dikenal dengan nama Bank java karena kebanyakan uang dicetak dipulau terpadat di seluruh nusantara ini. Ini adalah Netherlands Indies 1930 100 Gulden P# 73c Gem Unc 66 PMG yang dilepas oleh EBay seharga US$416 pada December 2009

INDONESIA 1957, VERY SCARCE SOLD for US$255

50 Rupiah JAVAN TIGER, XF+ (Ebay December 2009)

Mata

Uang

Indonesia

keluaran

tahun

1964

Bergambar

Bung

Karno

uang kertas senilai 2.5 sen uang kertas senilai 25 Rupiah

uang

kertas

indonesia

senilai

100

rupiah

contoh

uang

logam

Rp500

Dan lebih hevbatnya, di pelelangan uang kuno megha menemukan uang logam Indonesia keluaran tahun 1974 senilai SERATUS RIBU RUPIAH Menurut kabar yang beredar, ini adalah uang kuno yang beredar di Demak

Berbagai uang dalam nominal SEN yang nampak dari dean dan belakang uang kertas

kalau

gak

salah

ini

nominal

dan

10

sen

Nominal

uang

5,

50

dan

100

rupiah

Nominal

25

Rupiah

Nah

yang

ini

nominal

rupiah

Dan

ini

versi

lengkapnya

Anda mungkin juga menyukai