Anda di halaman 1dari 10

BAB I 1.

Definisi, obyek dan sejarah ilmu Ushul Fiqh Definisi ilmu Ushul Fiqh Ushul Fiqh adalah tarjib idhofi (kalimat majemuk) yang telah menjadi nama bagi suatu disiplin ilmu tertentu. Ditinjau dari segi ethimologi Ushul Fiqh terdiri dari mudhof dan mudhof ilaih, dan masing-masing mempunyai pengertian sendir-sendiri.Unbtuk itu sebelum memberikan definisi Ushul Fiqh kita harus mengetahui pengertian lafadh Ushul (yang menjadi mudhof) dan lafadh Fiqh (yang menjadi mudhof ilaih). Fiqih secara etimologi berarti pemehaman yang mendalam tentang tujuan suatu ucapan dan perbuatan. Seperti firman Allah Qs.an-Nisa : 78 yang artinya: Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hamper-hampit tidak memahami pembicaraan sedikitpun. Sedangkan Fiqh menurut terminology adalah pengetahuan tentang hukum-hukum syara mengenai perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil yang terinci. Adapun pengertian Ashl menurut ethimologi adalah dasar yang diatasnya dibangun sesuatu. Dan menurut terminology sama pengertiannya dengan ethimologi, karena Ushul Fiqh menurut terminology adalah dasar yang dijadikan pijakan oleh ilmu Fiqh. Oleh karena itu Syeikh Kamaluddin ibn Himam didalam tahrir memberikan definisi Ushul Fiqh : Ushul Fiqh adalah pengertian tentang kaidah-kaidah yang dijadikan sarana untuk menggali hukum-hukum Fiqh. 2. Obyek Pembahasan Ushul Fiqh Adapun obyek ushul Fiqh adalah mengenai metodologi penetapan hukumhukum.Dalam hal ini Ushul Fiqh menjelaskan tentang kehujjahan al-Quran, bahwa al-quran harus didahulikan dari pada Hadits, dan al-Quran merupakan sumber hukum yang pertama. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa obyek pembahasan Ushul Fiqh adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan metodologi yang dipergunakan oleh ahli Fiqh didalam menggali hukum syara, sehingga ia tidak keluar dari jalur yang benar.

a) Pertumbuhan Ilmu Ushul Fiqh Ilmu Ushul Fiqh tumbuh bersama-sama dengan ilmu Fiqh, meskipun ilmu Fiqh dibukukan lebih dahulu dari pada ilmu Ushul Fiqh.Karena dengan tumbuhnya ilmu Fiqh, tentu ada metode yang dipakai untuenggali ilmu tersebut.Dan metode itu adalah ilmu Ushul Fiqh. Jika penggalian hukum Fiqh setelah wafatnya Rasulallah SAW.adalah pada masa sahabat, maka para fuqoha pada maa itu tidak mungkin menetapkan hukum tanpa adanya dasar dan batasan. Seperti ketika ibnu Masud memberikan fatwa, bahwa iddahnya perempuan yang ditinggal mati oleh suami, sementara ia sedang hamil, adalah sampai melahirkan, berdasarkan firman Allah Qs.at-Thalaq yang artinya: Dan perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu adalah sampai ia melahirkan kandungannya. Dia memberikan fatwa demikian karena menurut asumsinya bahwa surat at-Thalaq tersebut turun setelah surat al-Baqarah. Cara ini mengisyaratkan pada satu kaidah ushul Fiqh bahwa ayat yang turun akhir itu menasakh ayat yang lebih dahulu, atau mentakhsisnya. Dengan demikian jelaslah bahwa cara penetapan hukum tersebut menunjukan adanya metode Ushul Fiqh. Pada masa tabiin, penggalian hukum syara semakin meluas, lantaran banyak permasalahan yang terjadi pada saat itu, dan banyaknya para ulama tabiin yang memberikan fatwa.Pada periode tabiin ini kita menjumpai metode penetapan hukum syara yang lebih banyak di banding periode sebelumnya, karena setiap mahdzab Fiqh mempunyai metode penetapan hukum yang berbeda. Setelah periode tabiin, tepatnya pada masa imam- imam mujtahid, metode menggunakan hukum syara bertambah banyakk corak dan ragamnya.Dengan semakin banyaknya metode penetapan hukum, maka semakin banyak kaidah- kaidah Istimbath dan petunjuk- petunjuknya. Imam Abu Hanifah membatasi dasar-dasar Ijtihatnya dengan menggunakan AlQuran, Hadits dan fatwa-fatwa sahabat yang telah di sepakati.Sedang fatwa-fatwa yang masih di perselisihkan dia bebas untuk memilih salah satunya, dan tidak dari fatwa-fatwa
2

tersebut. Dia sama sekali tidak mau mengambil pendapat para tabiin karena dia berpendapat bahwa mereka sama dengan dirinya. Dalam berIjtihaad dia menyamakan antara Qiyas dan Istihsan. Imam Maliki mempunyai metode Ijtihad yang jelas berdasarkan pada tradisi penduduk Madinah. Hal itu di jelaskan dalam kitab-kitabnya, risalah-risalahnya, sejarah Periwayatan hadits serta kritikanya terhadap Hadits yang dilakukan oleh Imam Shairafi alMahir.

Imam SyafiI Penyusun Ilmu Ushul Fiqh Imam SyafiI adalah orang yang paling berhak disebut sebagai orang yang pertama kali membukukan Ilmu Ushul fiqh.Dia mempunyai pengetahuan yang dalam tentang Bahasa Arab, sehingga termasuk kedalam tokoh-tokoh ahli bahasa.Dia juga mendalami ilmu Hadits yang ternama.Di samping itu dia juga menguasais setiap permasalahan Fiqh pada masa itu dan sangat alim tentang perbedaan pendapat para ulama.Dia juga berniat ingin tahu sebabsebab terjadinya perselisihan dan perbedaan persepsi para ulama yang berselisih. Dengan ilmu bahasa Imam SyafiI mampu menggali kaidah-kaidah untuk mengeluarkan hukum-hukum Fiqh dari nash-nash Al-Quran dan Hadits.Pengausaan beliau terhadap Fiqh ahli RaI serta pendapat para sahabat yang di jadikan landasan dalam menetapkan kaidah-kaidah Qiyas dan juga sebagai dasar untuk menetapkan Imam SyafiI sebagai pemula dalam membukukan Ilmu Ushul Fiqh adalah pendapat Jumhur (mayoritas) Fuqaha, dan tidak ada yang mengingkarinya.

BAB II HUKUM SYARA

Sebagaimana dikatakana oleh Imam al-Ghahzali bahwa mengetahui hukum syara merupakan inti dari ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh.Sasaran kedua di siplin ini memangmengetahui hukum syara yang berhubungan dengan perbuatan orang mukalaf.Meskipun dengan tinjauan yang berbeda Ushul Fiqh meninjau hukum syara dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu Fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa Iqhtida (tuntutan perintah atau larangan), Takhyir (pilihan), maupun berupa WadhI (sebab akibat). HUKUM TAKLIFI Hukum Taklifi adalahhukum yang menjelaskantentang perintah larangan dan pilihan untuk menjalankan sesuatu atau meninggalkannya. PEMBAGIAN HUKUM TAKLIFI Perintah dan larangan itu ada yang pasti dan ada juga yang tidak pasti, jika perintah itu berbentuk pasti maka disebut Wajib, jika tidak pasti disebut Mandhub.Demikian pula dengan larangan bila berbentuk pasti maka disebut Haram, dan bila tidak pasti maka disebut Makruh.Sedangkan yang dimaksud Takhyir (pilihan) adalah hukum Mubah. Dengan demikian hukum Taklifi itu terbagi menjadi lima, yaitu: Wajib, Mandhub, Haram, Makruh, Mubah. a. WAJIB Adalah suatu perintah yang harus dikerjakan, dimana orang yang meninggalkannya berdosa. b. MANDHUB

Adalah perbuatan yang dianjurkan oleh syarI untuk dikerjakan. Atau suatu perintah, yang apabila dilaksanakan maka akan diberi pahala, sedang jika ditinggalkan tidak disiksa. c. HARAM Adalah larangan Allah yang pasti terhadap suatu perbuatan, baik ditetetapkan dengan dalil yang QathI maupun Zhanni. d. MAKRUH Adalah suatu larangan syara terhadap suatu perbuatan, tetapi larangan tersebut tidak bersifat pasti, lantaran tidak ada dalil yang menunjukan atas haramnya perbuatan tersebut. Sebagai mana sabda Rosulallah SAW yang artinya Sesungguhnya Allah SWT, benci terhadap berita- berita yang tidak jelas, banyak bertanya, dan menyia-nyiakan harta benda. e. MUBAH Adalah suatu perbuatan yang apabila di kerjakan, atau ditinggalkan sama-sama tidak memperoleh pujian. Dalam artian bahwa seorang itu tidak akan terkena bahaya kalau melaksanakan perbuatan tersebut atau meninggalkanya.

HUKUM WADHI Hukum WadhI menjadi tiga macam, yaitu : sebab, syarat dan mani. a. Sebab Menurut Jumhur Ulama adalah suatu yang lahir dan jelas batasan-batasanya yang oleh Allah di jadikan sebagai tanda bagi wujudnya Hukum.Berdasarkan definisi ini ada dua esensi yang terkandung di dalamnya. Pertama : suatu tidak sah dijadikan sebab kecuali Allah sendiri yang menjadikanya sebab. Kedua : bahwa sebab-sebab itu bukanlah yang mempengaruhi terhadap wujudnya hukum-hukum Taklifi, akan tetapi merupakan tanda bagi lahirnya hukum-hukum itu.

b. Syarat Adalah sesuatu yang menjadi tempat bergantung wujudnya hukum tidak adanya syarat berarti pasti tidak adanya hukum, tetapi wujudnya syarat tidak pasti wujudnya hukum.Adapun perbedaan antara syarat dengan sebab adalah bahwa ditemukan shyarat itu tidak memastikan adanya hukum. c. Mani Adalah perkara syara yang keberadaanya menafikan tujuan yang dikehendaki oleh sebab dan hukum.Oleh karena itu, Asy-Syatibi menganggapnya sebagai sebab yang merintangi terhadap sebab yang merupakan tanda wujudnya hukum, atau sebagai sebab yang merintangi sebabnya hukum. Karenanya Asy-Syatibi mendifinisikan Manisebagai : sebab yang menetepakan Hukum lain karena adanya Illat yang menafikan makna hikmahnya hukum.

BAB III PEMBUAT HUKUM (Al-hakim) Pengertina tentang hukum yang telah disebutkan terdahulu mengisyaratkan pada Al-hakim(pembuat hukum), karna terminology hukum menurut ulama ushul adalah firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, baik itu berupa tuntutan, pilihan, ataupun berupa hukum Wadhi.Definisi ini secara pasti menunjukan bahwa al-Hakim dalam Fiqh Islam adalah Allah SWT., sebab pada dsarnya syariat itu merupakan undang-undang keagamaan yang bertolak dari wahyu Samawi.Dengan demikian jelas bahwa al-Hakim disini adalah Allah SWT. Sedang semua system tarif tentang hukum-hukum yang di dalamnya tidak lain merupakan metode untuk mengenal hukum Allah dan peraturan-peraturan agamaNya yang bersifat Samawi. Atas dasar inilah Jumhur Ulama, bahkan umat Islam semuanya bersepakat menetapkan bahwa al-Hakim dalam Islam adalah Allah SWT.Dan bahwa tidak ada syariat yang sah melainkan dari Allah. Al-Quran telah mensinyalir hal ini dengan jelas, Hak menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah (Qs. al-Anam 57).

BAIK DAN BURUK MENURUT AKAL (TAHSIN AQLI WA TAQBIH AQLI) Dalam masalah ini para Ulama berbeda pendapat menjadi tiga golongan. Pertama ,golongan Muktazilah berpendapat bahwa sesuatu itu terbagi menjadi tiga bagian : 1) Sesuatu yang baik menurut dzatnya, dan Allah berhak memerintahkanya. 2) Sesuatu yang buruk menurut dzatnya dan Allah tidak berhak memerintahkanya, dan 3) Sesuatu yang ada di antara baik dan buruk, bagaian ini boleh diperintahkan dan boleh dilarang .maka jika diperintahkan maka nilai kebaikanya adalah karena perintah, dan jika dilarang maka nilai keburukanya adalah karena laranganya.

Kedua, pendapat golongan Mathuridyah yang dinukil dari Abu Hanifah dan di anut oleh ulama Hanafiah. Mereka ini mengatakan bahwa sesuatu itu secara esensial (menurut dzatnya) ada yang baik da nada yang buruk. Dan sesungguhnya Allah tidak akan melarang sesuatu yang baik menurut dzatnya. Dengan demikian mereka ini membagi sesuatu kepada : 1) Hasan Lidzatihi (baik menurut dzatnya) 2) Qabih li dzatihi (baik menurut dzat), dan 3) Sesuatu yang ada di antaranya ke duanya dan ini tergantung pada perintah dan larangan Allah SWT

Ketiga,pendapat golongan Asyariah yang di pegang oleh jumhur ulama ulama ushul, yang berpendapat bahwa segala sesuatu ini menurut dzatnya ( secara esennsial) tidak ada yang baik maupun yang buruk. Semua mutlak terhadap tergantung dan ditentukan oleh kehendak Allah dalam aturan syara.Tidak ada sesuatupun yang membatasi kehendaknya. Dya adalah pencipta sesuatu dan dia pula yang menciptakan baik dan buruknya .oleh segala sesuatu yang dilarang itulah yang buruk. Tiada Taklif (pembebanan) karena keputusan akal tetapi taklif hanya berdasar pada perintah larangan syarI (Allah) semata.Tiada pahala dan siksa melainkan dikaitkan dengan kepatuhan atau pelanggaran aturan syarI, dan tidak ada perhitungan karena perintah akal, tetapi semua yang di perhitungkan hanyalah berupa perintah dan larangan syarI yang maha bijaksana.

FUNGSI AKAL DALAM PENETAPAN HUKUM Sebelum pada uaraian yang rinci tentang masing-masing sumber hukum dan tingkatanya itu, ada dua hal yang harus di perhatikan, yaitu : Pertama, bila telah di tetapkan bahwaakal menurut para jumhur foqoha tidak punya wewenang mensyariatkan hukum dan menjatuhkan pembenan-pembenan hukum (atTaklifat), tidaklah berarti bahwa akal ada tidak ada funggsinya, bahkan akal sangat berfungsi.Para Imam (ulama) terdahulu dengan mendayagunakan kemampuan akal itu,
8

telah berhasil menyusun kaidah-kaidah yang dapat mereka gunaka untuk menggali hukum mereka pun telah mewariskan khasanah fiqh sebagai hasil kesungguhan intelektual mereka yang kaya, lengkap serta tidak menyimpang dari relnya.Kekayaan fiqh itu senantiasa menjadi saksi atas kerja keras mereka. Kedua, hal ini yang perlu di inget adalah bahwa sumber hukum-hukum itu mahzab Assshahabi, al-Ihtishan, al-mashalah was dzharaI, dan seterusnya. Kesemuanya merujuk terhadap satu sumber hukum yaitu Al-Quran dan sunah. Oleh kareana itu Imam SyafiI dengan tegas menyatakan Hukum tidak di gali melainkan dari nash atau yang terkandung dalam nash. Betapapun terjadi perbedaan pendapat tentang cara-cara mengacu kepada nash, namun satu hal yang telah disepakati di anatara jumhur ulama, adalah bahwa semua sumber hukum itu berasal dari nash dan dijiwai olehnya.

DAFTAR PUSTAKA

Toha Muhamad. Ushul fiqih. Jakarta. 1992. www. Ushul fiqih@ yahoo.com

10

Anda mungkin juga menyukai