Anda di halaman 1dari 5

Laporan Praktikum Evaluasi Biologis Komponen Pangan

PENGUKURAN DAYA CERNA PROTEIN IN VITRO


PJP : Dr. Ir. Endang Prangdimurti, MSi Asisten : Desty Gita P., STP Kelompok/Golongan : 6/4 Tri Erza Apriyadi (F24052683), Fransisca (F24051017), Wita Murdiati (F24051513) Fuad Nur Fatrhir (F24052691), Difa Fathona (F24051308) Hari, Tanggal: Rabu, 10 September 2008 I. PENDAHULUAN yang membuat larutan berwarna biru sehingga dapat diukur nilai absorbansinya dengan spektrofotometer, lalu hasilnya dikuantitasi secara relatif dengan suatu kontrol. Adapun dengan metode perubahan pH, secara kualitatif daya cerna protein diukur sebagai penurunan pH sistem selama hirolisis enzimatik. Hal ini karena selama proses hidrolisis, terjadi pelepasan ion-ion hidrogen yang menurunkan pH sistem.

A. Latar Belakang Matriks pangan terdiri atas komponen karbohidrat, protein, lemak, air, dan komponen-komponen mikro yang meliputi vitamin dan mineral. Selain kadar masingmasing komponen tersebut berbeda antar satu matriks pangan dengan pangan lainnya, daya cerna masing-masing komponen tersebut juga berbeda. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengukuran daya cerna dari setiap B. Tujuan komponen pada matriks pangan. Praktikum ini bertujuan untuk Pengukuran daya cerna komponen mengukur dan membandingkan daya cerna pangan memiliki beberapa kegunaan. protein in vitro secara enzimatik dari Kegunaan tersebut antara lain untuk beberapa sampel, yaitu kasein (kontrol), penyusunan pola konsumsi agar tidak kasein oven, ISP (Isolat Soy Protein), ISP berlebih atau kekurangan dari kebutuhan oven, tepung kedelai, dan tepung kedelai tubuh sebenarnya, untuk pengembangan oven secara relatif dengan metode rekaya proses, untuk pengembangan produk spektofotometrik dan secara kualitatif baru, untuk mencari alterlatif sumber pangan dengan metode perubahan pH. Selain itu, baru yang lebih efisien, dan sebagainya. praktikum ini juga bertujuan untuk Pada praktikum ini akan dilakukan mengetahui pengaruh perbedaan kondisi pengukuran daya cerna protein secara in fisik sampel (derajat kemurniannya) dan vitro. Terdapat dua metode yang akan pengovenan (pemasakan) pada daya cerna digunakan dalam praktikum ini, yaitu metode proteinnya. spektrofotometrik dan metode perubahan pH. Kedua metode tersebut memanfaatkan kerja II. BAHAN DAN METODE enzim protease untuk memecah protein pada sampel. Protease adalah golongan enzim A. Alat dan Bahan yang mengkatalis reaksi pemecahan protein Alat-alat yang digunakan adalah menjadi unit-unit penyusunnya yang lebih neraca analitik, gelas piala 100 ml, sudip, kecil. Semua enzim yang telah dikenal pengaduk kaca, inkubator 37C, tabung berupa protein dan disintesis dalam sel, reaksi, pH meter, vortex, pipet mohr 10 ml serupa dengan cara sintesis protein yang lain. berlubang besar, tabung sentrifuse, Fungsinya sebagai katalisator dikarenakan sentrifuse, kuvet, dan spektrofotometer. adanya sisi aktif dari enzim tersebut sehingga Bahan-bahan yang digunakan adalah bisa bereaksi dengan substrat (Gaman dan aquades pH 8, larutan enzim protease (1.6 Sherrington, 1981). mg tripsin + 3.1 mg kimotripsin + 4 mg Pada metode spektrofotometrik, setelah pankreatin), TCA 0.1 M, Na2CO3 0.4 M, protein dipecah menjadi asam-asam amino pereaksi folin 50%, kontrol kasein, sampel pada kondisi dan waktu tertentu, proses (kasein oven, ISP, ISP oven, tepung kedelai, hidrolisis dihentikan. Asam-asam amino dan tepung kedelai oven), dan alumunium yang terbentuk direaksikan dengan folin foil.

B. Metode Ditimbang 1.5 g sampel atau kasein (sebagai kontrol) dalam gelas piala 100 ml
Sampel

III. HASIL PENGAMATAN Tabel 1 Perubahan pH pada sampel dan blanko


pH awa l 6.23 6.26 7.88 6.64 6.61 7.48 pH sampel 6.20 6.15 7.15 6.47 6.56 7.17 pH blanko 6.45 6.39 7.65 6.64 6.66 7.48 pH sampel -0.03 -0.11 -0.73 -0.17 -0.05 -0.31 pH blanko 0.22 0.13 -0.23 0.00 0.05 0.00

Ditambah 30 ml aquades pH 8 Diaduk sampai suspensi merata Diambil 10 ml (duplo) dengan pipet berlubang besar [Ukur pH larutan sisa campuran]
Kasein (kontrol) Kasein oven ISP ISP oven Tepung kedelai Tepung kedelai oven

Sampel + 1ml larutan enzim

Blanko + 1ml aquades

Tabel 2 Perubahan pH proses hidrolisis


Sampel Kasein (kontrol) Kasein oven ISP ISP oven Tepung kedelai Tepung kedelai oven pH sampel -0.03 -0.11 -0.73 -0.17 -0.05 -0.31 pH blanko 0.22 0.13 -0.23 0.00 0.05 0.00 pH hidrolisis -0.25 -0.24 -0.50 -0.17 -0.10 -0.31

Dinkubasi 37C selama 15 menit Diambil 2 ml larutan ke dalam tabung reaksi, +2 ml aquades [Ukur pH larutan masing-masing sisa campuran, hitung selisih pH] + 4 ml TCA 0.1 M Vortex Disentrifus 3800 rpm 10 menit Diambil 1.5 ml supernatan + 5 ml Na2CO3 + 1 ml folin Didiamkan 20 menit 37C Diukur A pada 578 nm

Contoh perhitungan (kasein): pH awal = 6.23 pH sampel setelah inkubasi = 6.20 pH blanko setelah inkubasi = 6.45 pH sampel pH blanko pH hidrolisis = 6.20 6.23 = -0.03 = 6.45 6.23 = 0.22 = pH sampel - pH sampel = -0.03 0.22 = -0.25

Ket: (-) berarti penurunan pH selama proses Tabel 3 Daya cerna protein relatif terhadap kasein
Sampel Kasein (kontrol ) Kasein oven ISP ISP oven Tepung kedelai Tepung kedelai A sampel 2.691 3.490 2.190 2.211 2.218 1.995 A blanko 0.388 0.330 1.090 1.950 1.950 0.960 A 2.303 3.160 1.100 0.261 0.268 1.035 DC relatif (%) 100.00 137.21 47.76 11.33 11.64 44.94

Dihitung daya cerna relatif terhadap kasein Dihitung daya cerna secara kualitatif berdasarkan perubahan pH

oven

Contoh perhitungan (ISP): A sampel = 2.190 A blanko sampel = 1.090 A kontrol = 2.691 A blanko kontrol = 0.388 DC relatif = (A spl A blanko spl) x 100% (A ktrl A blanko ktrl) = (2.190 1.090) x 100% (2.691 0.388) = 47.76 % IV. PEMBAHASAN Protein merupakan suatu zat makanan yang sangat penting bagi tubuh karena zat ini berfungsi sebagai sumber energi dalam tubuh serta sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein adalah polimer dari asam amino yang dihubungkan dengan ikatan peptida. Molekul protein mengandung unsur-umsur C, H, O, N, P, S, dan terkadang mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga (Winarno, 1992). Pada umumnya kadar protein di dalam bahan pangan menentukan mutu bahan pangan itu sendiri. Namun, kadar protein yang tinggi dari suatu bahan pangan tidak selalu berarti bahwa bahan pangan tersebut memiliki nilai gizi yang tinggi. Menurut Muchtadi (1989), nilai gizi dari suatu bahan pangan ditentukan bukan saja oleh kadar nutrien yang dikandungnya, tetapi juga oleh dapat tidaknya nutrien tersebut digunakan oleh tubuh. Salah satu parameter nilai gizi protein adalah daya cernanya yang didefinisikan sebagai efektivitas absorbsi protein oleh tubuh (Del Valle, 1981). Protein yang mudah dicerna menunjukkan tingginya jumlah asam-asam amino yang dapat diserap oleh tubuh dan begitu juga sebaliknya. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi daya cerna protein dalam tubuh adalah kondisi fisik dan kimia bahan. Makin keras bahan, maka akan menurunkan daya cernanya dalam tubuh karena adanya ikatan kompleks yang terdapat di dalam bahan yang sifatnya semakin kuat. Ikatan ini dapat berupa ikatan antar molekul protein, ikatan proteinfitat, dan sebaginya. Sedangkan kondisi kimia yaitu adanya senyawa anti gizi seperti tripsin inhibitor dan fitat (Muchtadi, 1989). Demikian juga derajat kemurnian mempengaruhi daya cerna protein. Semakin murni suatu protein maka semakin mudah interaksi antara protein dan enzimenzim pencernaan sehingga memuahkan kerja enzim. Pada praktikum ini digunakan tiga sampel

dengan deajat kemurnian yang berbeda. Sampel dengan kemurnian tertinggi adalah kasein diikuti oleh ISP lalu tepung kedelai. Selain memiliki kemurnian tertinggi, kasein juga merupakan protein hewani yang secara teori memiliki daya cerna lebih baik daripada protein nabati. Untuk menentukan kualitas protein dalam bahan makanan dapat dilakukan secara in vitro, yaitu metode penentuan kualitas protein secara khemis berdasarkan pada pemecahan protein oleh enzim proteolitik seperti pepsin, tripsin, khimotripsin, dan aminopeptidase (Narasinga, 1978). Analisis ini memberikan gambaran berlangsungnya proses pencernaan protein di lambung dan usus. Protease adalah enzim yang mampu menghidrolisa ikatan peptida protein. Protease memutus ikatan peptida dengan bantuan air, dan menghasilkan produk akhir yang berbeda. Penggunaan jenis protease sangat menentukan jenis produk hidrolisis yang diperoleh. Frazier dan Westhoff (1983) membedakan protease atas dua jenis. Pertama, proteinase yang mengkatalisis hidrolisa molekul protein menjadi fragmen-fragmen besar. Kedua adalah peptidase yang mengkatalisis hidrolisa polipeptida menjadi asam amino. Pemutusan ikatan peptida oleh protease dengan bantuan air menyebabkan pelepasan ion-ion hidrogen selama proses hidrolisis yang menyebabkan turunnya pH sistem. Secara kualitatif prinsip ini dapat digunakan untuk menentukan daya cerna suatu protein. Semakin besar penurunan pH sistem berarti semakin banyak ikatan peptida yang terputus yang berarti semakin tinggi daya cerna protein tersebut. Selain itu, secara relatif daya cerna protein juga dapat dihitung terhadap suatu kontrol berdasarkan prinsip spektofotometri. Prinsip percobaan ini adalah mengukur seberapa banyak asam amino yang dapat didegradasikan dari protein pada kondisi dan waktu tertentu. Metode pengukuran ini merupakan metode pengukuran aktivitas enzim Bergmeyer yang dimodifikasi. Sampel dieaksikan dengan enzim protease lalu diinkubasi pada suhu 37C untuk membantu proses pendegradasian protein oleh enzim. Setelah inkubasi selesai, ditambahkan TCA untuk mengendapkan sisa protein yang tidak terdegradasi, juga mengendapkan enzim yang digunakan. Kemudian larutan disentrifuse untuk mengendapkan protein dan enzim. Supernatan lalu diambil dan ditambahkan Na2CO3 sebagai pembentuk suasana basa untuk reaksi folin dan asam amino. Kemudian

supernatan yang telah berwarna ini dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 578 nm. Secara kasat mata, hasil reaksi folin dan asam amino akan berwarna biru. Semakin biru warna larutan berarti semakin banyak asam amino yang terbentuk dan semakin tinggi daya cerna protein yang diuji. Pada praktikum ini, dilakukan penentuan daya cerna protein in vitro dari beberapa sampel, yaitu kasein (yang juga digunakan sebagai kontrol), kasein oven, ISP kedelai, ISP kedelai oven, tepung kedelai, dan tepung kedelai oven. Perlakuan jenis sampel (kasein, ISP, dan tepung kedelai) digunakan untuk melihat pengaruh kemurnian sampel pada proses pencernaan, sedangkan perlakuan pengovenan digunakan untuk melihat pengaruh pemanasan (pemasakan) bahan pangan terhadap proses pencernaan dan penyerapan komponen pangan. Kasein susu adalah protein utama dari susu yang menyusun kira-kira 85% dari total kandungan protein susu (Harper dan Hall, 1976). Secara lengkap, kasein didefinisikan sebagai beberapa kelompok phospoprotein, yang digumpalkan dari susu skim pada pH sekitar 4.6 sampai 4.7 (Fennema, 1976). Kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang banyak diekstraksi dan diisolasi kandungan proteinnya. Isolat protein kedelai banyak digunakan dalam produk-produk pangan baru seperti daging tiruan, susu kedelai atau sebagai suplemen. Isolat kedelai memiliki kadar protein 95%, sedangkan tepung protein memiliki kadar protein < 65 %. Beradasarkan penjelasan di atas, sampel yang digunakan memiliki derajat kemurnian yang berbeda. Kasein memiliki kemurnian tertinggi diikuti oleh ISP lalu tepung kedelai. Perbedaan kondisi fisik ini secara teoritik akan menyebabkan perbedaan daya cernanya. Semakin murni sampel protein yang digunakan artinya semakin sedikit penghalang untuk bertemuanya enzim dan substrat sehinga diharapkan semakin tinggi daya cernanya. Selain perbedaan kondisi fisik, pada praktikum ini juga dilakukan perlakuan pengovenan untuk melihat pengaruh pemasakan pada daya cerna protein. Pada dasarnya pemasakan (pemanasan) akan menyebabkan denaturasi protein yang akan merubah struktur protein. Denaturasi protein dapat diartikan suatu perubahan atau modifikasi terhadap struktur sekunder, tersier dan kuartener molekul protein tanpa terjadinya pemecahan ikatanikatan kovelen. Karena itu, denaturasi dapat diartikan suatu proses terpecahnya ikatan

hydrogen, interaksi hidrofobik, ikatan garam dan terbukanya lipatan atau wiru molekul protein (Winarno, 1992). Pemanasan akan membuat protein bahan terdenaturasi sehingga kemampuan mengikat airnya menurun. Hal ini terjadi karena energi panas akan mengakibatkan terputusnya interaksi non-kovalen yang ada pada struktur alami protein tapi tidak memutuskan ikatan kovalennya yang berupa ikatan peptida. Proses ini biasanya berlangsung pada kisaran suhu yang sempit (Ophart, 2003). ` Dengan demikian, pemanasan akan menyebabkan protein terdenaturasi sehingga kehilangan struktur sekunder, tersier, dan kuartenernya. Akibatnya protein akan berada dalam struktur prmer berupa rantai protein bebas yang berarti semakin mudah berinteraksi dengan enzim protease. Keadaan ini menunjukkan bahwa secara teoritik, protein yang terdenaturasi akan memiliki daya cerna yang lebih tinggi daripada protein yang tidak terdenaturasi. Berdasarkan data-data yang diperoleh pada praktikum ini, semua sampel menunjukkan penurunan pH selama proses hidrolisis. Penurunan pH bersih dari masingmasing sampel berturut-turut adalah -0.25 (kasein), -0.24 (kasein oven), -0.50 (ISP), -0.17 (ISP oven), -0.10 (tepung kedelai), dan -0.31 (tepung kedelai oven). Namun, sebagian besar hasil ini tidak sesuai dengan teori sebelumnya. Secara kualitatif seharusnya daya cerna tertinggi dimiliki oleh sampel dengan kemurnian tertinggi yaitu kasein diikuti oleh ISP lalu tepung kedelai. Akan tetapi dari data didapatkan bahwa daya cerna tertinggi dimiliki oleh ISP. Demikian juga pengaruh pemanasan seharusnya menaikkan daya cerna, tetapi data menunjukkan hal tersebut hanya terjadi pada tepung kedelai oven. Adapun data daya cerna relatif terhadap kasein menghasilkan kesimpulan yang lebih baik. Urutan daya cerna tertinggi sesuai dengan teori yaitu kasein, ISP, lalu tepung kedelai. Demikian juga pengaruh pemanasan memberikan peningkatan daya cerna sampel kecuali pada sampel ISP. Adanya ketidaksesuaian antara teori dan hasil yang diperoleh menunjukkan adanya kesalahan dalam praktikum ini. Beberapa kesalahan yang mungkin terjadi yaitu tidak meratanya pencampuran sampel dan enzim, inkubasi yang mungkin tidak optimum karena suhu yang berfluktuasi, pengukuran pH yang tidak akurat, pembacaan absorban yang kurang akurat, serta pereaksi-pereaksi yang mungkin

telah mengalami perubahan penyimpanan. DAFTAR PUSTAKA

selama

Del Valle, F.R. 1981. Nutritional Qualities of Soya Protein as Affected by Processing. JAOCS. 58 : 519 Fennema, O. R. 1976. Food Chemistry. Marcel Dekker Inc., New York. Frazier, W. C. dan Westhoff, D. C. 1983. Food Microbiology. Mc.Graw-Hill Publ. Co., Ltd., New Delhi. Gaman, P. M. dan Sherrington, K. B. 1981. Ilmu pangan, Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Muchtadi, 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB, Bogor. Narasinga, Rao. 1978. Analysis In Vitro methode for Predicting the Bioavailability of Iron From Food. The American Journal of Clinical Nutrition. Ophart, C. E. 2003. Virtual Chembook. Elmhurst College. Winarno, F. G., 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai