Hal yang sepadan saat ini tengah terjadi. Ketika MUI –sebagai wadah resmi
ulama di bawah pemerintah- berencana menyampaikan fatwanya sebagai
jawaban atas permohonan ketua Komnas HAM Anak Seto Mulyadi, kontan
segenap tokoh menentang rencana itu. Bahkan para petani tembakau di
Jember, Jawa Timur, Jumat (15/8/2008) siang, berdemonstrasi menentang
fatwa MUI tersebut (http://www.liputan6.com) Pasalnya, fatwa tersebut
berisi pengharaman atas bahan konsumsi beracun yaitu rokok. Mengapa
itu terjadi, beragam alasan mereka kemukakan, baik yang bersifat
.normatif (berdasar pada dalil syar'i) maupun sosiologis
Sementara itu, ulama dahulu yang berpendapat haram antara lain seperti
Zakariya al-Anshari al-Syafi'i, Abu al-Ikhlash Hasan Ibn 'Ammar al-
Syaranbilali al-Hanafi (1069 H), Salim al-Sanhuri al-Maliki, Najm al-Din al-
Ghazi al-Syafi'i, Ahmad Ibn Ahmad Ibn Salamah al-Qalyubi al-Syafi'i (1070
H) dan Shalih Ibn al-Hasan al-Bahuti al-Hanbali (1121 H). Pada saat yang
begitu jauh dari penelitian ilmiah modern, mereka seragam beralasan,
bahwa rokok mengakibatkan terbukanya berbagai saluran dalam tubuh
hingga potensial dimasuki materi yang berbahaya dan nyata pula bahwa
rokok mengakibatkan kepala pusing. (Hasyiyah al-Bujairami 'Ala al-
Khathib: XIII/200, al-Ghurar al-Bahiyyah fi Syarh al-Bahjah al-Wardiyyah:
I/143, Hasiyah al-Qalyubi wa 'Umairah: I/341). Pendapat yang sangat keras
disampaikan al-Bujairami al-Syafi'i (1221 H) sebagaimana dikutip oleh
Syatha al-Bakri (1310 H). Ia berkata :" Adapun rokok yang ada saat ini
yang juga disebut dengan al-tutun –semoga Allah melaknat orang
memprakarsainya-, sesungguhnya itu termasuk hal baru (bid'ah) yang
)buruk " (I'anah al-Thalibin: II/260
Ulama Sejati
Pada era post modern milenium ketiga ini, di mana metode penelitian
medis sangat mapan dan sarananya sangat canggih, bukti bahaya rokok
hampir tak terbilang jumlahnya. Ketua Komnas Pengendalian Tembakau
Prof. F. A. Moeloek menjelaskan pada tahun 2005 ada sebanyak 70.000
artikel ilmiah di dunia yang menegaskan tentang bahaya rokok, baik dari
segi kandungan materialnya maupun dampak riil yang telah terjadi akibat
rokok.( http://www.depkes.go.id. 3 Juni 2008) Sebagian hasil penelitian
membuktikan bahwa rokok mengandung 4.000 jenis bahan kimia dengan
40 jenis di antaranya bersifat karsinogenik (menyebabkan kanker). Bila
demikian masihkah 70.000 hasil penelitian itu tetap akan ditolak demi
melestarikan perbedaan pendapat kuno tersebut? Menolak berarti tak
ubahnya bersikap lebih percaya pada kejahilan diri sendiri dari pada
.pengetahuan orang lain
Bagi ulama sejati, tentu temuan itu disambut gembira, karena dapat
menguak misteri bahaya rokok yang diperdebatkan ahli fikih sejak lima
abad yang lalu. Dengan demikian penerapan dalil " dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan" (QS. Al-Baqarah: 195)
dapat dengan mantap diterapkan. Kaidah fikih "la dharara wala dhirara.”
(tidak boleh menimpakan bahaya pada diri sendiri maupun orang lain) tak
terbantahkan lagi masuk dalam hukum rokok ini, sehingga hasilnya adalah
haram. Kalaupun sebagian perokok merasa bahwa rokok mengandung
manfaat, bukankah firman Allah terkait dengan khamr dapat menjadi
pelajaran. Allah berfirman: "Mereka bertanya kepadamu tentang khamar
dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan
beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya."(QS. Al-Baqarah : 219). Padahal jelas tak satupun penelitian
.membuktikan hal itu
Bahkan Muhammad Ibn Ahmad al-Dasuqi al-Maliki (1230 H), satu diantara
ulama yang menghalakan rokok dua abad yang lalu berkata: "Dalam hal
wakaf harus diarahkan pada sektor kebaikan dan ibadah. Maka dari itu,
wakaf untuk para perokok adalah batal, walaupun kami berpendapat
merokok adalah boleh. " (Hasyiyah al-Dasuqi 'Ala al-Syarh al-Kabir :
XVI/210). Artinya walaupun boleh –sekali lagi saat itu- rokok sama sekali
tidak mengandung manfaat dan kebaikan. Tentu keterangan ini semakin
.mengokohkan hukum haram di atas
Untuk menjawab itu, sekali lagi harus dikembalikan kepada ahli kesehatan.
Dari penelitian yang terungkap –sebagaimana di ulas peneliti Puslit
Bioteknologi-LIPI- bahwa setiap perokok mesti terkena dampak negatifnya.
Masalahnya, dampak tersebut tidak selalu dapat dirasa apalagi dalam
waktu dekat. Walaupun demikian tak dapat ditolak bahwa dampak
tersebut bersifat pasti. Akhirnya hukum haram tersebut tetap berlaku
.secara mutlak
Dalam kaitannya dengan fatwa MUI tinggal satu keberatan yang diajukan
oleh pihak-pihak yang tidak setuju dengan fatwa tersebut, yaitu terkait
dengan problem sosial ekonomi. Salah satunya disampaikan oleh
Pengasuh Ponpes Tebuireng, KH Sholahuddin Wahid. Ia mengungkapkan :"
Bisa dibayangkan, berapa ratus ribu orang akan kehilangan pekerjaan.
Belum lagi pada lapisan masyarakat lainnya, seperti pedagang rokok dan
petani tembakau yang akan kena dampaknya" (NU Online. Jumat, 15
Agustus 2008 ). Lalu apa kaitannya dengan fatwa haram? Apakah diakui
haram tetapi jangan dulu disampaikan kepada umat atau dengan
pertimbangan sosial ekonomis tersebut hukumnya harus dirubah, jangan
?haram dulu
Penulis lebih menaruh hormat ulama asal Rembang, Jawa Tengah, Mustofa
Bisri atau Gus Mus --yang juga perokok-- mengakui: secara gentle
mengatakan, "Merokok itu sudah kesalahan dari awal." Walaupun ia masih
kurang setuju dengan rencana sosialisasi fatwa haram yang rencananya
.akan dirilis MUI akhir tahun ini
Penulis adalah dosen Sekolah Tinggi Ilmu Agama (STAI) Lukmanul Hakim,
PP Hidayatullah Surabaya