Anda di halaman 1dari 6

?

Rokok, Walau Beracun Tapi Jangan Haramkan Dulu


Thursday, 04 December 2008 10:39
Apa pendapat Anda jika persatuan ulama menfatwakan halal susu
bermelamin atau biskuit beracun, selama tak terasa sakit? Diyakini,
semua orang akan mengecam

*Oleh: Abdul Kholiq, Lc

Hal yang sepadan saat ini tengah terjadi. Ketika MUI –sebagai wadah resmi
ulama di bawah pemerintah- berencana menyampaikan fatwanya sebagai
jawaban atas permohonan ketua Komnas HAM Anak Seto Mulyadi, kontan
segenap tokoh menentang rencana itu. Bahkan para petani tembakau di
Jember, Jawa Timur, Jumat (15/8/2008) siang, berdemonstrasi menentang
fatwa MUI tersebut (http://www.liputan6.com) Pasalnya, fatwa tersebut
berisi pengharaman atas bahan konsumsi beracun yaitu rokok. Mengapa
itu terjadi, beragam alasan mereka kemukakan, baik yang bersifat
.normatif (berdasar pada dalil syar'i) maupun sosiologis

Walaupun belum dikenal pada masa Nabi, sahabat maupun tabiin,


masalah rokok tak dapat dikatakan baru dalam kehidupan kaum muslimin.
Awal abad ke 10 H adalah era awal kaum muslimin bersentuhan dengan
menghisap rokok (syurb al-dukhan). Melalui karya ulama dapat kita
saksikan bagaimana respon mereka sejak saat itu terhadap fenomena
kegandrungan baru yang populer tersebut. Sepanjang penelusuran penulis
respon pertama adalah fatwa haram dari para ulama besar yang dikutip
dan disetujui oleh sang murid yang juga ulama besar Abu Yahya Zakariya
al-Anshari al-Syafi'i yang wafat pada 926 H (baca al-Ghurar al-Bahiyyah fi
Syarh al-Bahjah al-Wardiyyah: I/143). Kemudian berikutnya muncul
beberapa fatwa baik yang mendukung maupun yang berbeda. Pendapat
mereka terbagi dalam tiga kubu, mengharamkan, memakruhka dan
)memubahkan. (al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah: I/3522

Kelompok yang membolehkan, beralasan dengan kaidah fikih, bahwa asal


segala sesuatu adalah boleh kecuali ada bukti yang mengharamkannya.
Faktor yang mengharamkan barang konsumsi ada dua hal yaitu
memabukkan dan membahayakan kesehatan. Sayyid Sabiq
menambahkan tiga hal lagi yaitu najis, terkena najis dan masih berstatus
milik orang lain. ( Fiqh al-Sunah: III/267). Menurut mereka semua hal itu
tak terbukti pada rokok, sehingga hukumnya tetap halal. Andaipun ada
yang terkena dampak negatif sebabnya, maka yang demikian bersifat
relatif. Jangankan rokok, madupun yang secara nash dikatakan mengobati,
dapat pula berdampak negatif kepada sebagian orang. Pendapat ini
didukung oleh beberapa ulama lintas madzhab diantaranya yaitu Abd al-
Ghani al-Nabulisi al-Hanafi (1062 H) yang terkenal dengan karangannya
"al-Shulh Bain al-Ikhwan Fi Ibahat Syurb al-Dukhan". Ungkapan paling
pedas disampaikan oleh al-Syaikh Ali Ibn Muhamad Ibn Abd al-Rahman al-
Ajhuri (1066 H) dari madzhab maliki. Sebagaimana di kutip oleh Ahmad
Ibn al-Shawi (1241 H) ia mengatakan : "Tidak mungkin orang yang berakal
mengatakan bahwa rokok itu haram secara material, kecuali orang yang
bodoh terhadap pendapat imam madzhab, congkak atau penentang"
(Hasyiyah al-Shawi 'Ala al-Syarh al-Shaghir: I/74) Begitu pula Ibn 'Abidin
(1252 H) dan al-Hamawi.. Untuk mengabadikan pendapatnya al-Ajhuri
mengarang kitab "Ghayat al-Bayan li Hilli Syurb Ma La Yughayyib al-'Aql
Min al-Dukhan". Sedangkan dari madzhab syafi'i ada al-Hifni, al-Halabi dan
al-Syubramilisi. Ditambah lagi dari kalangan ulama hanbali yaitu al-
.Syaukani dan al-Karami

Adapun kelompok ulama yang memakruhkan adalah Ibn 'Abidin (yunior)


al-Hanafi yang wafat pada tahun 1306 H, Yusuf al-Shaftiy al-Maliki (abad
XII), al-Syarwani al-Syafi'i dan al-Bahuti al-Hanbali (1121 H). Dasar
pendapat mereka adalah pertama, yang jelas asap rokok itu menimbulkan
bau busuk. Dan kedua, dalil ulama yang mengharamkan itu belum valid,
alias belum dapat dipercaya secara penuh, hingga hanya sebatas
.)menimbulkan keraguan (syakk

Sementara itu, ulama dahulu yang berpendapat haram antara lain seperti
Zakariya al-Anshari al-Syafi'i, Abu al-Ikhlash Hasan Ibn 'Ammar al-
Syaranbilali al-Hanafi (1069 H), Salim al-Sanhuri al-Maliki, Najm al-Din al-
Ghazi al-Syafi'i, Ahmad Ibn Ahmad Ibn Salamah al-Qalyubi al-Syafi'i (1070
H) dan Shalih Ibn al-Hasan al-Bahuti al-Hanbali (1121 H). Pada saat yang
begitu jauh dari penelitian ilmiah modern, mereka seragam beralasan,
bahwa rokok mengakibatkan terbukanya berbagai saluran dalam tubuh
hingga potensial dimasuki materi yang berbahaya dan nyata pula bahwa
rokok mengakibatkan kepala pusing. (Hasyiyah al-Bujairami 'Ala al-
Khathib: XIII/200, al-Ghurar al-Bahiyyah fi Syarh al-Bahjah al-Wardiyyah:
I/143, Hasiyah al-Qalyubi wa 'Umairah: I/341). Pendapat yang sangat keras
disampaikan al-Bujairami al-Syafi'i (1221 H) sebagaimana dikutip oleh
Syatha al-Bakri (1310 H). Ia berkata :" Adapun rokok yang ada saat ini
yang juga disebut dengan al-tutun –semoga Allah melaknat orang
memprakarsainya-, sesungguhnya itu termasuk hal baru (bid'ah) yang
)buruk " (I'anah al-Thalibin: II/260

Sebagaimana disingung di atas, bahwa semua ulama sepakat dan tak


satupun menolak bahwa keharaman barang konsumsi tergantung kepada
keberadaan salah satu atau lebih dari kelima faktor yaitu memabukkan
(muskir), membahayakan kesehatan (mudhirr), najis, terkena najis
(mutanajjis) dan masih berstatus milik orang lain (milk al-ghair). Dan
terbukti alasan kedua itulah (mudhirr, mengakibatkan madhrrat) yang
menjadi stressing argumentasi ulama yang mengharamkan. Maka, bila
dikaji dengan seksama tentang alasan kedua pendapat pertama di atas –
yang membolehkan dan memakruhkan-, dapat dikatakan wajar bila
keduanya menolak atau kurang percaya terhadap validitas argumen
pendapat ke tiga. Hal itu dapat dipahami, sebab kendala utamanya
terletak pada metode pembuktian dampak tersebut. Maklum, saat itu
belum ada standar penelitian ilmiah serta metodenya yang disepakati,
apalagi yang bersifat medis. Akhirnya, argumentasi bahwa rokok
mengandung madharat dapat dengan ringan ditepis oleh orang yang tidak
mempercayai, baik berdasar pengalamn pribadi maupun orang lain yang
.tidak tampak terkena dampak negatif rokok

Untuk mengurai masalah ini, hendaknya dikembalikan kepada petunjuk


Allah. Sebagaimana diketahui Allah memerintahkan kita untuk bertanya
setiap hal kepada orang yang berkompeten (ahl al-dzikr) dengan
firmannya: "Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai
pengetahuan bila kalian tidak mengetahui" (QS. Al-Nahl : 43). Dalam
masalah rokok, ada dua masalah yang memerlukan dua ahli yang
berbeda. Terkait dengan materi dan zat yang terkandung di dalamnya
serta dampaknya terhadap kesehatan manusia, maka itu adalah wilayah
ahli kesehatan, dokter maupun paramedis lain. Pada sisi lain, secara
hukum syar'i adalah bidangnya ahli fikih. Dan seperti diketahui hukum
syar'i dalam masalah rokok ini tergantung pada hasil studi para ahli
.kesehatan tersebut

Ulama Sejati

Pada era post modern milenium ketiga ini, di mana metode penelitian
medis sangat mapan dan sarananya sangat canggih, bukti bahaya rokok
hampir tak terbilang jumlahnya. Ketua Komnas Pengendalian Tembakau
Prof. F. A. Moeloek menjelaskan pada tahun 2005 ada sebanyak 70.000
artikel ilmiah di dunia yang menegaskan tentang bahaya rokok, baik dari
segi kandungan materialnya maupun dampak riil yang telah terjadi akibat
rokok.( http://www.depkes.go.id. 3 Juni 2008) Sebagian hasil penelitian
membuktikan bahwa rokok mengandung 4.000 jenis bahan kimia dengan
40 jenis di antaranya bersifat karsinogenik (menyebabkan kanker). Bila
demikian masihkah 70.000 hasil penelitian itu tetap akan ditolak demi
melestarikan perbedaan pendapat kuno tersebut? Menolak berarti tak
ubahnya bersikap lebih percaya pada kejahilan diri sendiri dari pada
.pengetahuan orang lain

Bagi ulama sejati, tentu temuan itu disambut gembira, karena dapat
menguak misteri bahaya rokok yang diperdebatkan ahli fikih sejak lima
abad yang lalu. Dengan demikian penerapan dalil " dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan" (QS. Al-Baqarah: 195)
dapat dengan mantap diterapkan. Kaidah fikih "la dharara wala dhirara.”
(tidak boleh menimpakan bahaya pada diri sendiri maupun orang lain) tak
terbantahkan lagi masuk dalam hukum rokok ini, sehingga hasilnya adalah
haram. Kalaupun sebagian perokok merasa bahwa rokok mengandung
manfaat, bukankah firman Allah terkait dengan khamr dapat menjadi
pelajaran. Allah berfirman: "Mereka bertanya kepadamu tentang khamar
dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan
beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya."(QS. Al-Baqarah : 219). Padahal jelas tak satupun penelitian
.membuktikan hal itu

Bahkan Muhammad Ibn Ahmad al-Dasuqi al-Maliki (1230 H), satu diantara
ulama yang menghalakan rokok dua abad yang lalu berkata: "Dalam hal
wakaf harus diarahkan pada sektor kebaikan dan ibadah. Maka dari itu,
wakaf untuk para perokok adalah batal, walaupun kami berpendapat
merokok adalah boleh. " (Hasyiyah al-Dasuqi 'Ala al-Syarh al-Kabir :
XVI/210). Artinya walaupun boleh –sekali lagi saat itu- rokok sama sekali
tidak mengandung manfaat dan kebaikan. Tentu keterangan ini semakin
.mengokohkan hukum haram di atas

Namun kesimpulan hukum itu masih harus berhadapan dengan bantahan


lain yang penting untuk dijawab yaitu bahwa dampak negatif tersebut tak
dapat digeneralisir atau relatif. Sebagian orang terkena, tapi sebagian lain
tidak. Konsekwensinya hukum haram itupun tak dapat berlaku mutlak
sebagaimana dikatakan al-Ajhuri. Hal senada juga dikatakan Kiyai
kharismatik Syekh Ihsan bin Syekh Muhammad Dahlan penerus Ponpes
Jampes di Desa Putih Kecamatan Gampengrejo Kabupaten Kediri dalam
kitabnya " Irsyadul Ihsan" menurut penuturan Kiyai Idris Marzuki pengasuh
.)Pondok Pesantren Lirboyo (Surya, Jum'at, 15 Agustus 2008

Untuk menjawab itu, sekali lagi harus dikembalikan kepada ahli kesehatan.
Dari penelitian yang terungkap –sebagaimana di ulas peneliti Puslit
Bioteknologi-LIPI- bahwa setiap perokok mesti terkena dampak negatifnya.
Masalahnya, dampak tersebut tidak selalu dapat dirasa apalagi dalam
waktu dekat. Walaupun demikian tak dapat ditolak bahwa dampak
tersebut bersifat pasti. Akhirnya hukum haram tersebut tetap berlaku
.secara mutlak

Dalam kaitannya dengan fatwa MUI tinggal satu keberatan yang diajukan
oleh pihak-pihak yang tidak setuju dengan fatwa tersebut, yaitu terkait
dengan problem sosial ekonomi. Salah satunya disampaikan oleh
Pengasuh Ponpes Tebuireng, KH Sholahuddin Wahid. Ia mengungkapkan :"
Bisa dibayangkan, berapa ratus ribu orang akan kehilangan pekerjaan.
Belum lagi pada lapisan masyarakat lainnya, seperti pedagang rokok dan
petani tembakau yang akan kena dampaknya" (NU Online. Jumat, 15
Agustus 2008 ). Lalu apa kaitannya dengan fatwa haram? Apakah diakui
haram tetapi jangan dulu disampaikan kepada umat atau dengan
pertimbangan sosial ekonomis tersebut hukumnya harus dirubah, jangan
?haram dulu

Untuk yang pertama, sekalipun tampak logis, tetapi realitasnya belum


pernah terjadi ada fatwa MUI yang langsung direspon positif dan
dilaksanakan secara serentak oleh semua umat Islam Indonesia. Dalam
sekup sempit, fatwa organisasi keagamaan untuk anggotanya sendiri saja
tak bernasib sebaik itu. Lagi pula kapan masyarakat mengetahui hukum
yang sebenarnya mengenai rokok, hingga mereka meninggalkannya atas
dorongan iman, bukan karena paksaan undang-undang, padahal halal
atau haram adalah urusan agama? Hukum tetap dapat disosialisasikan,
masalah meninggalkan –utamanya bagi pekerja- dan pemilik pabrik bisa
berproses, sesuai dengan tingkat kedaruratan dan keimanan masing-
masing. Pentahapan pemberitahuan hukum pada masa Nabi –untuk khamr
misalnya- tidak dapat disamakan dengan kasus rokok saat ini. Waktu itu
pemberitahuan secara langsung akan keharaman khamr kepada
masyarakat yang mayoritas suka khamr, akan berhadapan dengan
ancaman yang lebih besar, berupa meninggalkan agama dan akidah baru
mereka yaitu Islam. Jauh berbeda dengan kaum muslimin di negara Islam
seperti Indonesia saat ini, ancaman itu jauh dari mungkin. Sebab Islam
bukan lagi agama baru bagi masyarakat muslim di negara Islam saat ini.
Sudah berabad-abad dan turun temurun Islam menjadi agama bangsa
.Indonesia dan negara Islam lainnya

Adapun yang kedua, hukum mengenai keharaman barang konsumsi


adalah mutlak tergantung ada atau tidaknya salah satu atau lebih dari
lima faktor pengharam di atas, tak ada sangkut pautnya dengan
fenomena sosial. Bila tidak, benarkah bila dikatakan :" Walaupun rokok itu
beracun menurut ahli kesehatan sedunia, tapi jangan dulu dihukumi
" ! haram

Penulis lebih menaruh hormat ulama asal Rembang, Jawa Tengah, Mustofa
Bisri atau Gus Mus --yang juga perokok-- mengakui: secara gentle
mengatakan, "Merokok itu sudah kesalahan dari awal." Walaupun ia masih
kurang setuju dengan rencana sosialisasi fatwa haram yang rencananya
.akan dirilis MUI akhir tahun ini

Akhirnya, semoga dengan kebeningan hati para ulama, obyektifitas dalam


menilai kebenaran dan keberanian untuk menyampaikannya, umat ini
dapat terbimbing memahami sekaligus melaksankan agamanya dengan
!'baik. Selamat tinggal rokok, marhaban ya waratsat al-anbiya

Penulis adalah dosen Sekolah Tinggi Ilmu Agama (STAI) Lukmanul Hakim,
PP Hidayatullah Surabaya

Terbaru Pada Kategori IniIslam, Homoseksual dan Hikmah Kota Pompeei


Pesan Rasulullah dalam Khotbah Arafah
?Rokok, Walau Beracun Tapi Jangan Haramkan Dulu
Antara Haji Akbar, Haji Asghar dan Umroh
Kilas Balik Fakta Bom Bali I
?UIN Logo Baru: Ke Mana Arahnya
?”Mengapa Islandia Kini Menjadi “Tanah Ambles
Ramai-Ramai “Menyambut” Eksekusi
Nikah Muda dalam Pandangan Fiqih
Pesan Khusus Harun Yahya Untuk Indonesia
Yang BerkaitanRokok Beresiko Kurangi Peluang Miliki Anak

Anda mungkin juga menyukai