satunet.com Belakangan ini sering kali kita mendengar istilah krisis kepemimpinan yang dapat diterjemahkan, bangsa Indonesia tidak memiliki orang yang memiliki kwalitas sebagai pemimpin nasional. Ada orang yang memiliki kemampuan memimpin namun tidak dapat ditunjukkan karena terhalang oleh beberapa hal atau situasi memang membuat keadaan, di mana seorang pimpinan tidak bisa lahir. Apapun representasi kita dalam menerjemahkan kata tersebut, adalah hal yang wajib dalam sebuah kelompok dipilih seorang pimpinan. Namun begitu seperti kata pepatah semakin tinggi pohon cemara, maka semakin tinggi angin yang menerjang, begitu juga perjalanan seorang pimpinan. Kwalitas seorang pimpinan tidak dapat kita nilai pada saat dia dilantik dengan menggunakan pakaian kebesaran yang membuatnya tampat berwibawa atau hiruk-pikuk massa pendukung. Kualitas pimpinan akan terlihat bagaimana pada saat dia menghadapi angin-angin tersebut. Dalam sebuah diskusi yang bertema mencari kepemimpinan bangsa, pembicara menanyakan pada floor mengenai apa yang membuat seseorang dapat menjadi pemimpin, dijawab oleh salah seorang peserta sebagai Kemampuan orang itu dalam mempengaruhi orang lain dalam mencapai tujuan bersama, dan itu bukan jawaban yang salah. Namun apa yang membuat orang tadi dapat mempengaruhi orang lain sehingga orang mau mengikuti apa yang dikatakannya.
Jenis pemimpin
Dalam kenyataannya pun memang pemimpin dari asalnya dapat kita katagorikan dalam 2 (dua) macam, yaitu pemimpin yang dilahirkan dan pemimpin yang dibentuk oleh situasi. Pemimpin yang dilahirkan, kita bisa ambil contoh dari negara yang menganut sistem kerajaan, dimana seorang putra mahkota dilahirkan untuk menjadi seorang pimpinan. Sedangkan bagi para penganut kelompok situasional, mereka menganggap bahwa tidak ada istilah dilahirkan sebagai pimpinan, semuanya tergantung dari situasi. Mereka mengatakan bahwa tempatkanlah seseorang dalam suatu kondisi maka mungkin dia akan menjadi seorang pimpinan. Tempatkanlah dia dalam situasi lain dan mungkin dia tidak akan menjadi pimpinan. Churchill tak diragukan adalah pemimpin besar pada masa perang, namun apakah demikian juga dalam masa damai? Pada awal pemerintahan Churcill tahun 1940, W.O. Jenkins, profesor dari Amerika memuat studi tentang kepemimpinan dan dia mengatakan Kepemimpinan bersifat spesifik menurut situasi tertenu yang diamati. Satu satunya faktor paling umum tampaknya bahwa pemimpin dalam bidang khusus perlu cenderung memiliki kemampuan di atas rata-rata atau kompentensi atau kemampuan teknis dalam bidangnya. Dalam perkataan profesor tadi kemampuan diatas rata-rata atau kompentensi atau kemampuan teknis dalam bidangnya, maka mungkin dapat kita bayangkan ada tiga macam otoritas dalam kepemimpinan, yaitu otoritas berdasarkan kedudukan atau pangkat, otoritas berdasarkan pengetahuan dan otoritas berdasarkan kepribadian. Nampaknya memang pendekatan situasional menekankan pada otoritas yang kedua. Dan memang pengalaman menunjukkan bahwa kecuali berada dalam lingkungan kerajaan, pemimpin yang baik adalah orang yang lahir dari kelompok dan diakui eksistensinya oleh kelompok tersebut. Kondisi tersebutlah yang membuat dia memiliki otoritas.
Mengendalikan Tim
Adalah suatu hal yang pasti seorang pemimpin bekerja dalam sebuah tim dimana tim memiliki tujuan bersama. Untuk menyelesaikan tugas dan mempertahankan kebersamaan kelompok secara bersama, fungsi-fungsi pokok tertentu harus dijalankan. Beberapa fungsi pokok tersebut adalah: 1. Menentukan Tujuan, menentukan batasan atau mengidentifikasikan maksud, tujuan dan sasaran organisasi atau kelompok. 2. Merencanakan, memastikan bahwa ada rencana yang disetujui semua pihak, bila mungkin untuk mencapai sasaran. Pemimpin tahu apa yang akan dicapainya, bagaimana memulainya dan bagaimana berhentinya. 3. Memberi brifing, menjelaskan tujuan dan rencana dengan gamblang. Pepmimpin harus mampu menjawab bertanyaan yangkerap diucapkan yaitu: Mengapa kita melaksanakan dengan cara ini bukan dengan cara itu. 4. Mengontrol, mengontrol, mengawasi dan memantau semua hal yang mengacu pada pekerjaan yang sedang berlangsung. 5. Mengevaluasi, evaluasi ini digunakan sebagai bahan yang bermamfaat untuk memberikan feedback bagi kelompok dengan harapan memperbaiki kekurangan dan menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Mungkin pernah juga ada pertanyaan apa perbedaan dari bos dengan pemimpin. Satu pertanyaan yang mendasar, ada sebuah analogi mengatakan bos adalah orang yang memiliki kedudukan, berhak mengatur sumber daya baik alam maupun orang, namun belum tentu dapat diterima oleh tim yang dipimpinya, sedangkan pimpinan adalah orang yang diakui keberadaannya, memiliki otoritas karena orang secara suka rela memberikan padanya dan dia diberi tempat spesial karena kemampuannya itu. Anda bisa saja ditunjuk untuk menjadi seorang bos, tetapi anda bukan seorang pemimpin sampai kepribadian dan karakter anda, pengetahuan dan kecakapan anda dalam melaksanakan fungsifungsi kepemimpinan diakui dan diterima oleh semua oranglain yang bekerja bersama anda. Inilah perbedaan yang sangat fundamental.
Hal- 2
Hal- 3
GOLONGAN PEMIMPIN
Saya ingin bertanya tentang pemimpin menurut pandangan Aa. Sebetulnya, ada berapa macam pemimpin yang ada di dunia ini? (Umarawangi, Jakarta) Qolbu atau hati itu ada tiga macam, yaitu qolbun maridh (hati yang sakit), qolbun mayyit (hati yang mati), dan qolbun saliim (hati yang selamat). Mengacu pada kategori tersebut, maka macam pemimpin pun ada tiga, yaitu pemimpin yang 'sakit' hatinya, pemimpin yang 'mati' hatinya, dan pemimpin yang selamat hatinya. Pemimpin yang berpenyakit hatinya selalu ingin mendapat perlakuan istimewa dari orang lain. Dia lebih mengutamakan dan mengikuti nafsunya. Salah satu penyakit yang ada pada pemimpin seperti itu adalah sombong. Dengan sombongnya dia sudah berani petantang-petenteng di hadapan orang banyak dan merajalela memberikan perintah. Sedangkan pemimpin yang mati hatinya sudah tidak bisa lagi membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dia hanya tahu bagaimana cara memuaskan nafsunya, maka segala cara akan dia lakukan. Dia akan memanfaatkan segala kesempatan dan kemudahan fasilitas yang ada demi kepuasan nafsunya. Dia tidak disukai orang-orang di sekitarnya. Seharusnya, orang semacam itu tidak boleh dijadikan pemimpin karena akan merusak negara dan bangsa dengan akhlak buruknya. Pemimpin seperti itu sungguh sangat jauh berbeda dengan pemimpin yang lebih mengutamakan akhlaknya karena hatinya selamat dari segala macam penyakit egois, merasa paling hebat, ujub, sombong, dengki, iri, serakah, suka pamer kekayaan, suka berfoya-foya, dan berbuat sia-sia. Pemimpin yang selamat hatinya akan selalu menjaga amanah dan selalu melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan baik. Sebetulnya pembahasan tentang masalah ini sangatlah luas. Mudah-mudahan jawaban ini dapat bermanfaat. Aa, mengapa manusia lebih cenderung punya ambisi untuk memimpin orang lain dibanding dirinya sendiri? (Adam, Jakarta) Begitulah manusia! Kita sebagai manusia lebih suka menuntut untuk disayangi, diperhatikan, dihormati, dan selalu minta diberi. Kita senang menuntut orang lain untuk berbuat sesuatu untuk kita, dan sebaliknya kita sendiri enggan memberikan kontribusi untuk orang lain. Sama halnya dengan seorang pemimpin yang lebih senang mencari kesalahan setiap orang tapi sayangnya dia tidak memiliki keberanian untuk melihat kekurangan dan kesalahan sendiri. Dari sinilah akan terlihat sukses atau tidaknya seseorang. Orang sukses itu adalah orang yang memiliki keterampilan untuk melihat kekurangan diri sendiri sebelum melihat kekurangan orang lain. Seringkali terjadi perbedaan pendapat sehingga pemimpin dan orang-orang yang dipimpinnya tidak sejalan. Bagaimanakah sikap kita terhadap pemimpin yang
Hal- 4
apakah
harus
mengikutinya
atau
Memiliki pemimpin ideal itu memang tidak mudah dan tidak bisa begitu saja atau istilah sekarang adalah instan. Kepemimpinan itu adalah sebuah keterampilan yang bisa dimiliki oleh setiap orang sejak kecil. Tapi tidak cukup begitu saja, karena sebuah keterampilan itu harus diasah oleh ilmu agar tidak dimanfaatkan untuk hal-hal negatif atau menjadi salah kaprah. Masalah menaati atau mengabaikan itu tergantung dari ajakannya. Jika ajakannya betul, maka kita anggap itu sebagai karunia Allah SWT. Dan jika ajakannya salah, berarti itu adalah ladang amal bagi kita untuk membantu memperbaikinya. Tidak perlu kita mengadakan kudeta! Kita sebaiknya bijaksana memandang persoalan ini sebagai proses perjalanan sejarah menjadi pelajaran. Kita sebaiknya mempelajari hal yang ada, baik hal yang negatif maupun positif sebagai bekal sebuah pembinaan. Kita harus siap melahirkan generasi mendatang yang siap menjadi pemimpin bagi bangsa ini. Kita harus mulai berpikir bahwa siapapun yang ingin memimpin orang lain dengan sukses harus mampu memimpin dirinya sendiri. Jatuhnya kita sebagai suami, istri, anak, atau pemimpin dari sisi manapun adalah akibat dari tidak adanya kesanggupan serius dari kita untuk memimpin diri sendiri.
Hal- 5
Kriteria kepemimpinan
Oleh EMHA Ainun Nadjib Dalam terminologi yang sederhana, wacana utama kriteria kepemimpinan sekurang-kurangnya harus melingkupi tiga dimensi: kebersihan hati, kecerdasan pikiran, serta keberanian mental. Jika pemimpin hanya memiliki kebersihan hati saja, misalnya, tanpa didukung kecerdasan intelektual dan keberanian, maka kepemimpinannya bisa gampang stagnan. Begitu pula sebaliknya. Jika pemimpin hanya memiliki kecerdasan belaka tanpa didukung kebersihan hati dan keberanian, maka jadinya seperti di 'menara gading' alias monumen yang bukan hanya tanpa makna, tapi juga nggangguin kehidupan rakyatnya. Apalagi, jika pemimpin hanya memiliki keberanian saja tanpa kebersihan hati dan kecerdasan, maka akan menjadikan keadaan semakin kacau dan buruk. Sebenarnya, kriteria kepemimpinan sama persis dengan kriteria manusia biasa atau orang kebanyakan, Kalau omong tentang pemimpin, sebaiknya jangan muluk-muluk. Berpikir sederhana saja. Misalnya. syarat menjadi suami. Pertama, harus manusia. Kedua, harus laki-laki. Baru yang ketiga, keempat, dan seterusnya. Syarat suami harus manusia itu banyak tak diperhatikan orang, padahal jelas banyak suami berlaku seperti ia bukan manusia. Bertindak hewaniah kepada istrinya, juga kepada orang lain. Bukankah menjadi manusia itu sendiri saja sudah sedemikian sukarnya? Kenapa kita punya spontanitas untuk mentertawakan dan meremehkan bahwa syarat menjadi suami itu harus manusia? Jadi, syarat menjadi Presiden atau Lurah itu ya sedehana saja: harus manusia. Sebab ratusan juta rakyat di muka bumi sengsara dalam berbagai era sejarahnya, gara-gara pemimpin negaranya berlaku tidak sebagaimana manusia, padahal semua orang sudah menyepakati bahwa ia manusia. Bukankah perilaku kebinatangan itu sebenarnya peristiwa jamak dan 'rutin' dalam konstelasi perpolitikan dan kekuasaan? Juga persaingan ekonomi? Dulu saya bangga hanya ada istilah political animal dan economic animal, tidak ada cultural animal. Saya bersombong yang punya kecenderungan kebinatangan hanya pelaku politik dan ekonomi, kebudayaan tidak. Tapi ternyata itu salah. Cultural animal juga bukan main banyaknya. Termasuk di bidang kesenian, hiburan, informatika dll. Mungkin sekali termasuk saya sendiri. Kemudian syarat menjadi suami yang kedua adalah harus laki-laki. Ternyata banyak suami berlaku tidak laki-laki. Ia jantan ketika di ranjang, tapi tidak dalam mekanisme politik rumah tangga, tidak di dalam pergaulan. Betapa banyaknya lelaki yang ternyata betina, yang berlaku tidak fair, curang, culas, suka mengincar, menyuruh bikin kerusuhan supaya nanti dia yang jadi pahlawan, merancang membakar gedung parlemen supaya bisa bikin dekrit, dan lain sebagainya. Meskipun, dari sudut ideologi pembelaan kaum perempuan, saya tidak mantap dengan etimologi dan filosofi kebahasaan kita. Kenapa orang yang jujur kita sebut jantan, yang pengecut kita sebut betina atau perempuan. Bukankah kejantanan yang dimaksud di situ bisa juga dilakukan oleh wanita? Bisa saja ada lelaki betina dan perempuan jantan. Jadi yang dimaksud pemimpin harus laki-laki bukan dalam pengertian fisik, melainkan dalam pengertian kepribadian. Tolonglah ada gugatan kepada Pusat Bahasa.
Hal- 6