Anda di halaman 1dari 3

Kesehatan Reproduksi Keluarga Berencana Perspektif Kesetaraan : Al-Arham Edisi 17 (A)

Senin, 12 Oktober 2009 04:38 Anis Su'adah Bagaimana membangun keluarga berencana yang sehat terkait hak reproduksi? Menurut Badan Kesehatan Dunia, sesungguhnya pengertian hak reproduksi adalah, setiap orang tanpa memandang perbedaan kelas sosial, suku, umur, agama, mempunyai hak sama dengan pasangannya untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab mengenai jumlah anak, jarak kelahiran, memutuskan waktu kelahiran dan di mana akan melahirkan. Lalu bagaimana Islam memandang konsep Keluarga Berencana (KB) ini? KB dalam Islam Islam memberi perhatian besar pada kehidupan manusia termasuk dalam kesehatan reproduksi dan Keluarga Berencana. Memang, sebagian ulama melarang KB, dengan merujuk ayat-ayat yang mengatakan kehidupan adalah fadilah dari Allah swt. Mereka juga merujuk QS. Al-Anam: 151.
Dan janganlah membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kami akan memberikan rejeki kepadamu dan kepada mereka.

Sementara ulama yang mendukung KB, mengambil istinbath (dasar) hukum dari sejumlah ayat seperti QS. An-Nisa: 9.
Dan hendaklah takut (kepada Allah), orang-orang yang sekiranya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.

Lemah tersebut bukan hanya secara ekonomi, tapi juga spiritual (ruhiyah). Karenanya, jangan sampai orangtua meninggalkan generasi yang lemah agama, ilmu, dan pendidikannya, sehingga alih-alih jadi generasi penerus, bisa jadi mereka akan merusak warisan pendahulunya. Di sinilah, KB menjadi salah satu upaya nyata mewujudkan keluarga berencana yang sakinah. Apalagi, di zaman modern ini telah ada alat kontrasepsi hormonal seperti pil, suntik, susuk atau implant, serta IUD; dan non hormonal seperti kondom dan steril (Kontrasepsi mantap/Kontap) dengan tubektomi atau vasektomi. Di sini suami-istri berhak memperoleh informasi, akses, hak pilih, keamanan, hak privasi, kerahasiaan, hak harkat, kenyamanan, berpendapat, dan hak keberlangsungan tentang KB yang ingin digunakan. Selain itu, mereka juga harus saling menghormati hak masingmasing, seperti hak istri untuk tidak ber-KB, melainkan suami saja yang menggunakan kondom, misalnya. Hal ini terkait dengan hak-hak reproduksi perempuan dalam membentuk keluarga berencana. Lalu apa saja hak reproduksi perempuan dalam Islam?

Hak Reproduksi Perempuan dalam Fiqh Hak reproduksi perempuan dalam Islam pertama, khitbah (melihat dan memilih) calon suami. Sebagian muslim masih percaya perempuan harus dipilihkan pasangannya oleh orangtua, karena mereka dianggap hak milik walinya. Tapi sebagian umat telah mengakui, setiap muslim lelaki dan perempuan, berhak memilih pasangannya sendiri. Nikah paksa tidak lagi disetujui kerena, bukankah pernikahan itu akad yang ditegaskan atas landasan ijab-qabul dengan kehendak bebas dan kerelaan kedua pasangan? Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 16 ayat 1, Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai. Sedang ayat 2, Bentuk persetujuan calon mempelai perempuan dapat berupa pernyatan tegas, nyata dengan tulisan dan lisan, atau isyarat, tapi juga dapat berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas. Sedang hak ijbar mestinya tidak ada lagi karena bertentangan dengan prinsip kemerdekaan. Kedua, hak menikmati hubungan seksual. Nikah itu anjuran syariat Nabi saw., untuk mengatur hubungan seksual lelaki dan perempuan secara legal, menuju keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah. Karenanya, keduanya memiliki hak sama, tanpa ada yang tersubordinat untuk sama-sama menikmati hubungan seksual. Dalam fiqh madzhibul arbaah ada salah satu konsep yaitu aqad ibahah, dimana organ reproduksi perempuan menjadi milik suami. Tapi suami memberi peluang istri memilih melakukan atau tidak melakukan hubungan seksual dengan suami. Konsep inilah yang lebih mencerminkan keadilan dan kesetaraan sebagaimana Alquran, Mereka (istri) adalah pakaian bagimu dan kamu sebagai pakaian dari mereka. Ketiga, hak menentukan kehamilan. Mengatur kehamilan dan jumlah anak adalah hak istri untuk turut mengambil keputusan. Ini mestinya menjadi tanggungjawab bersama, yang tidak hanya dibebankan pada perempuan saja segala resikonya. Kempat, hak merawat anak. Perempuan selain memikul beban reproduksi juga dibebani sepenuhnya merawat anak, dan mengurus pekerjaan domestik. Seharusnya, tanggungjawab dan hak merawat anak atau mengurus kerja domestik adalah kewajiban bersama suami-istri, yang bagi masyarakat modern dapat pula didelegasikan pada pekerja rumah tangga. Kelima, hak menceraikan pasangan. Perceraian (talak) selain menjadi hak suami juga menjadi hak istri. Islam telah mengaturnya bagi perempuan melalui khulu atau fasakh. Keenam, hak nafkah dan jaminan kesehatan. Nafkah istri yang jadi tanggung-jawab suami tidaklah sebatas pangan, sandang, dan papan (QS. Al-Baqarah: 233 dan QS. At-Thalaq: 6). Nafkah berupa perawatan kesehatan, utamanya kesehatan reproduksi juga harus dipenuhi suami. Dalam Undang-undang Mesir tahun 1985, telah ada

ketetapan, nafkah istri meliputi pangan, sandang, papan, dan biaya pengobatan yang diwajibkan negara, yaitu biaya kesehatan reproduksi perempuan dalam keluarga berencana. Ketujuh, hak muasyarah bil maruf, yaitu relasi suami-istri dalam masalah sosial sekaligus pribadi, termasuk relasi seksual yang didasari sikap saling menghargai, mengasihi, dan memperhatikan hak dan kewajidan masing-masing dengan setara. Sabda Nabi, Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik kepada istrimu. (HR. Tirmudzi). Sungguh Allah menciptakan lelaki dan perempuan sebagai khalifah fil ardh. Sebab itu, keduanya berkedudukan sama dalam segala hal, termasuk dalam hal kesehatan reproduksi untuk Keluarga Berencana. http://www.rahima.or.id/index.php? option=com_content&view=article&id=471:kesehatan-reproduksi-keluargaberencana-perspektif-kesetaraan--al-arham-edisi-17-a&catid=19:alarham&Itemid=328 (16-9-2010)

Anda mungkin juga menyukai