Anda di halaman 1dari 6

LINGKARAN

OLEH RIAN HARAHAP

SIGN THING#2 Sesat, Lingkaran itu kematian! oleh Rian Harahap (Tampak seorang pria mabuk dengan gembira meneguk sebuah botol bir) Selamat datang di desa Bukit Batu. Jika ada kesalahan dan lakon yang yang tidak sesuai dengan keadaan saudara-saudara semua saya mohon maklum. Sebab ini semua sudah begini adanya. Jangan pikir apa yang saya katakan tidak benar, sebab kebenaran sudah ada sejak saya begini. Oh ya sampai di desa Bukit Batu. Batu bukit atau Bukit Batu desa, Ya desa ini bernama Bukit Batu dan Tuhan sudah menakdirkan nama desa kami ini Bukit Batu.Takdir itulah yang kami jalani. Banyak yang mengatakan nama desa ini diambil dari kata-kata Bukit Batu yang artinya Bukit yang berisi batu-batu. Kami hidup di atas batu? Dari zaman batu? Atau kepala yang semacam batu? Haha. Entahlah, tapi memang kami sangat suka dengan nama ini, tak terkecuali siapapun. Saudara tahu apa? Tidak tahu apa-apa rupanya. Baiklah sedikit saya akan ceritakan masalah Bukit Batu. Desa kami sangat penuh dengan keakraban. Anda bisa lihat desa kami dari kejauhan pasti rimbun dan hijau. Tak banyak yang bisa anda ragukan lagi. Disana di ujung sana para petani setiap pagi datang dengan semangat yang penuh, semangat yang mengalahkan semangat kumbang yang mencari bunga. Mereka memiliki lahan-lahan yang subur dan selalu mengepulkan asap dapur. Ah, senang sekali jika bercerita tentang mereka pagi-pagi. Belum lagi sekitar dua puluh kilometer dari sana, jika anda terus berjalan maka anda akan melihat kejaiban lain lagi dari desa kami ini. Hamparan lautan lepas yang haus akan keheningan. Siul-siul burung di dermaga dan teriak mereka yang pulang dari perjalanan di tengah laut. Muka pria-pria itu penuh dengan harapan kepada istrinya yang setia menenun kain batik di atas dipan-dipan yang mulai dimakan rayap. Desa kami sangat sempurna. Begitulah kesempurnaannya dengan titik kerusakan sama dengan mustahil. Dan satu lagi, biar saudara tahu! Bukit Batu dahulunya adalah tanah dari peninggalan peternakan kompeni belanda. Tanah itu kemudian ditemukan oleh beberapa keluarga yang mengungsi dari pulau Jawa. Mereka bercocok tanam dan beranak pinak dengan kumpulan asa dan mimpi mereka disini. Sehingga bisa kita lihat sekarang begitu indahnya Bukit Batu. Karena dibangun dengan kesungguhan yang luar biasa dari pendahulunya. Air sungai dan tegalan itu saja bisa diminum. Tidak percaya, sebentar akan saya tunjukkan. Jika anda mengira ini bualan, anda akan garuk-garuk kepala sendiri. Sebentar, sebentar benar kan? Tentu saja benar. Buat apa saya mendustai saudara-saudara sekalian. Sebab kami juga belajar agama dari kecil. Jika berbohong pasti akan masuk neraka, kalau jujur masuk surga. Ustad kami masuk surga. Dan Neraka itu panas dan tempat orang-orang jahat, kata ibu-ibu kami. Bertandanglah ke desa kami sekiranya magrib atau subuh. Wah tentunya anda akan melihat sebuah desa dimana suasananya hampir pasti sama dengan kota-kota di timur tengah sana. Hampir tidak ada yang beribadah di dalam rumah. Semuanya serentak untuk berjamaah. Tepat sekali, terkaan yang cerdas.

Desa ini adalah salah satu desa favorit pemerintah untuk dijadikan standar desa percontohan nasional. Meskipun saudara melihat saya seperti ini, tapi saya adalah Bukit Batu, sekali Bukit Batu tetap Bukit Batu. Baju saya dari batu, tubuh batu, hati batu, kepala batu, batu-batu jadi Bukit Batu. Apa lagi yang saudara tunggu untuk datang kesini? Apa lagi yang kurang dari kampung ini? Ayolah marilah sebelum anda datang kesini dan harus membayar? Membayar? Siapa yang membayar? Ah, dasar pemabuk sialan! Tunggu, tunggu sebentar. Aku mendengar suara dentuman musik gembira. Ah, siapa kiranya yang datang malam-malam seperti ini. Kurang kerjaan bisa-bisanya dia mengganggu percintaanku dengan kau? Ayo sayang mari bercinta lagi, jangan dengarkan mereka. Mungkin ada yang menikah di ujung gang. Tenang sayang, tenang aku tidak selingkuh darimu. Diam, kalian tenang! Diam! Kan, sudah tenang sekarang kau kucium lagi. Hahaha. Keparat, diam kalian. Ah, kalian belum tahu siapa jagoan Bukit Batu ya? Ok, kalau mau main-main saya akan layani. Dia mau main-main dengan saya. Kurang ajar. Oh, siapa lelaki dengan tuksedo itu? Rapi sekali dia. Dia pasti mau melihat desaku ini. Pasti dia orang dari pemerintah pusat, cepat sekali datangnya gelar desa percontohan ini. Ah, dia semakin dekat denganku. Kaki-kakinya pelan menjerjak ke arahku. Wangi sekali dia, sepertinya aku tak asing dengan wajah itu. Satu persatu langkah kakinya naik ke atas pendopo di tengah desa. Selamat malam, Apa kabar Bukit Batu? Semoga selalu dalam keadaan baik selalu. Salam hangat semua, malam ini saya datang kemari untuk sebuah hajat. Hajat yang sangat besar untuk kemajuan desa ini. Terimakasih, cukup, cukup. Pada dasarnya setiap desa yang saya kunjungi adalah desa yang terbaik. Sehingga kedatangan saya kesini tentu saja karena Bukit Batu menjadi tempat yang paling ditunggutunggu oleh semua orang. Hutannya yang masih hijau. Lahan pertaniannya yang tumbuh subur serta lautnya yang bersih menjadi bahan pertimbangan kami yang paling besar untuk menjadikan desa ini sebagai desa percontohan. Apalagi keramahtamahan warga desa ini tak ada yang mampu menandingi. Kita seperti dibawa ke dalam rumah yang sejuk. Penilaian itu tentu saja objektif meski saya juga merupakan salah satu dari anak-anak yang besar dan lahir di Bukit Batu sebelum akhirnya bisa menjadi Bupati di Kabupaten. Maka dengan ini saya nobatkan desa Bukit Batu sebagai desa percontohan nasional, selain itu. Ya, selain itu, kenapa kalian diam. Saya memang suka memberi kejutan tapi tenang kejutan itu akan membuat desa ini semakin populer dan berkembang. Dengan ini saya umumkan Bukit Batu terpilih sebagai penyandang dana hibah pembangunan desa. Kelak desa ini akan dibangun dengan gedung-gedung megah yang berguna untuk ... Keparat! (Setting berubah secepat kilat, tampak pembangunan besar-besaran sedang digesa)

Bangun-bangun, cepatlah bangun. Sudah sepantasnya desa ini dibangun dengan kemewahan. Ratakan dengan gedung-gedung pencakar langit. Tak ada lagi yang bermalas-malasan bangunlah desa ini. Jikalau kalian terus berleha-leha dan hidup seperti ini, kita akan terus miskin. Ayolah bangun gedung-gedung, runtuhkan semua kesunyian. Saatnya membangun! Usir semua penduduk disini. Mereka akan tidak pantas tinggal disini lagi. Ketika bangunan-bangunan itu mulai berdiri, tak ada lagi kemisikinan disini, tanpa terkecuali. (Terdengar nyanyian lirih dari ujung-ujung kampung, tampak seorang makhluk bergerak mengikuti alunan musik; berupa tarian olang-olang Sakai) Oh tidak ada lagi semilir angin itu. Rupa-rupa telah merubah kepala. Saat semua mulai sibuk membuat putaran dunia, semakin lama semakin cepat. Barangkali dunia muali bosan dengan hidupnya yang begiu-begiu saja Sunyi sekali, aku tak mendengar apa-apa disini. Kemana gemericik air itu? Apakah hilang ditelan kegelapan malam dan lalu lalang kendaraan. Aku merindukanmu membasahi bebatuan, menghentak muara-muara dan menari di atas kerongkonganku. Mungkin kau bersembunyi disana. Air datanglah. Kemarilah, cumbuilah kerongkonganku ini. Hanyutkan aku secepatnya ke dalam gelimang kesejukan. Adakah? Tidak ada? Oh bau apa ini? Menyengat sekali. Seperti bau dari api neraka. Membuat hiruk pikuk tanpa meninggalkan jejak. Tapak-tapak kaki ini, ini bukan binatang. Ini adalah tapak manusia yang binatang. Hampir puluhan orang setiap harinya. Dan hari ini lelaki berbadan tegap itu muncul dengan kegilaan mereka. Tak ada ampun bagi penghalang niat ini. Tawanya pun menakuti raja-raja rimba. Mereka dengan ganas menerobos hutan-hutan perawan. Tak perlu pikir panjang gergaji dan kapak itu dibacokkan dengan semangat. Satu, dua, tiga, sudah saatnya pohon-pohon ini dirubah menjadi besi-besi yang dipanacang dan tak mampu roboh. Sekalipun nagin berdesir kencang daun betonnya tak akan jatuh. Beton? Pohon? Oh, Penuh harapan dan uang. Keringat lalu mengucur tanpa henti seiring gergaji mesin itu meronta batang-batang tak berdosa. Lihatlah ribuan batang-batang itu merintih, dedaunan merengek dan akar-akar itu pucat pasi, hentikan! Hentikan! Hentikan! Aku tak ingin rumah-rumah mereka berubah wajah. Tubuhku gemetar, mereka tak mendengar apa yang alam inginkan. Apakah mereka sudah tuli akibat terlalu lama hidup di kota? Ataukah, ataukah aku harus menerima perlakuannya terhadap kami! Apa lagi ini? Belum puas kalian mengambil seluruh harta pusaka kami. Hentikan, mesin itu. Hentikan, hentikan! Apalagi yang mau kalian perbuat. Kami sudah tidak punya apa-apa. Udara untuk hidup sudah kau curi dari rimbunan hijau. Lalu air menunggu kami mati. Biarlah kami mati dengan tenang, sebab tuhan pasti tahu. Jika alam sudah tak mampu berkembang maka kiamatlah yang akan datang. Bersabarlah kau, karena kami juga akan bersama kiamat itu. Tak usah risau dan terburu-buru. Kami juga akan pergi dari rencana surgamu itu. Ya kami akan pergi melanglang buana dalam dekapan malaikat dan ..., Ah kenapa kau hidupkan lagi

mesin itu sudahlah kami sudah menyerah. Matikan mesin itu! Apa? Tanah ini juga mau kalian ambil? Ini harta pusaka nenek moyang kami. Jika kalian ingin mengambil ini maka seluruh alam akan menantang, ini adalah sebuah penjajahan. Sepetak tanah ini lebih berharga daripada nyawa-nyawa lain. Sembilan nyawa kami teriakkan di atas pengorbanan malam ini. Bintang menjadi saksi atas potongan bulan yang senantiasa merobek keheningan malam. Rautan kunang-kunang di atas Siak belum tentu bisa kau ambil dengan seenaknya saja. Jika kau melawan maka, harus kulawan. Sebentar, dasar Keparat? Anjing kurap? Apa lagi ini aku melihat sebagian dari mereka adalah pria-pria yang dibesarkan disini. Teganya membuat kesengsaraan di atas perut ibu sendiri. Menyayat-nyayat kulit hingga luka tak mampu diredam. Meregang nyawa di atas ranjang perkawinan. Keparat? Anjing Kurap? Matilah kau? (Terjadi pertengkaran hebat antara makhluk dengan pria-pria) Jangan ambil mereka, jangan garuk tanah kami. Lihatlah bocah-bocah merah putih itu. Mereka akan kemana bermain, berlari dan belajar. Pipa-pipa minyakmu tak akan mampu mengobat kelumpuhan buta aksara kami. Kami tak butuh itu, kami tak butuh. Serahkan kembali pada kami keperawanan itu. Dahulu aku masih ingat ketika seorang bocah lahir dan diberi pesan oleh seorang tetua adat. Tak ada lagi yang boleh mengambil tanah kita, kau harus jadi orang besar yang mampu mengubah desa ini. Mengubah Bukit Batu maka anak itu pun tersenyum lalu menangis. Mungkin terlalu berat baginya atau memang ia belum paham dengan pesan tersebut. Tetua adat itu berulang kali menolak dengan tegas perusahaanperusahaan yang mau menggali minyak di tanah kami. Baginya bukan masalah untung rugi tapi masalah leluhur dan pesan menjaga alam. Ia mau setiap jiwa-jiwa yang lahir dari tanah ini adalah jiwa-jiwa pemberani, siang dan malam menutup celah merusak alam. Jika bara menjadi api, maka kerajaan itu akan musnah. Jika api menjadi bara maka kerajaan itu akan punah. Api biarlah api, lalu bara tetaplah bara. Tatkala semua mulai mengemas cemas dalam dada kala itu pula darah daging mengoyak janin tua. Tak ada yang lebih pedih dari pada halaman yang digali dan ditanam tanpa ucapan. Kami sudah berteriak tetua adat, namun darah dagingmulah yang memaksa tanah diubah menjadi minyak. Kami juga akan mati. Dia juga akan mati. Tapi kami tak mau mati dalam keadaan kehilangan, sebab kehilangan ialah pedih yang terpendam. Kami akan pergi dengan perlawanan. Keparat! Suara itu semakin lama. Aku terikat dalam lingkaran-lingkaran. Lingkaran kesesatan. Aku dalam lingkaran kematian. Lingkaran itu memutarkanku dalam ranah surga dan neraka. Ah, suara pria-pria yang menjajah, menyerobot kehidupan Bukit Batu. Alam dan semua yang menghidupinya. Tidak jangan biarkan Bukit Batu merana, selamatkan Bukit Batu, enyahkan setan-setan yang mengambil paksa tanah kita, tanah nenek moyang. Katakan pada mereka bahwa Bukit Batu akan terus seperti itu. Aku bersumpah atas nama air. Bahwa tak ada yang bisa mengambil kesunyian

sungai-sungai danmata air kami. Aku bersumpah atas nama Hutan, bahwa udara akan terus berjalan hingga akhir waktu. Dan aku bersumpah atas tanah nenek moyang kami. Bahwa jikalau tanah telah hilang maka kiamat akan datang. Kiamat akan datang. Kiamat akan datang. Kiamat akan datang, kiamat akan datang. Kiamat akan datang. (makhluk masuk dari samping dan berjalan tanpa arah) (pemabuk masuk dengan sempoyongan dan mengumpat) Fade out.

Terinspirasi dari kehidupan suku Sakai di pinggiran pengeboran minyak di Dumai, Riau. 2012

Anda mungkin juga menyukai