Anda di halaman 1dari 2

Garis Batas antara Jihad dan Terorisme

Judul buku Penulis Penerbit Edisi Tebal : : : : : Inside the Jihad: Teroris atau Tentara Tuhan? Omar Nashiri Zahra, Jakarta 2007 568 hlm.

Omar Nashiri adalah sebuah ambivalensi. Ia hidup dalam apa yang disebut para intelektual pascakolonial sebagai ruang hibrida. Sebuah ruang baru hasil pertemuan dua dunia yang berbeda bahkan cenderung bertolak belakang: Islam dan Barat. Perjalanan hidup yang ia paparkan dalam buku ini lebih merupakan kisah tentang perjalanan bolakbalik antara dua dunia tersebut. Dalam dunia seperti ini persoalannya bukan lagi tentang baik-buruk, kebajikan-kejahatan, kawan-lawan. Titik simpulnya terletak pada perjuangan terus-menerus untuk mencapai identitas yang dikutuk untuk tidak pernah bisa utuh dan mustahil menjadi final. Sebab jika final, maka kehidupannya telah selesai. Ia memilih mengungsi menuju sebuah akar identitas yang tentu saja ilusif. Sepanjang hidupnya, Omar Nashiri selalu terombang-ambing, bolak-balik, di antara apa yang ia anggap sebagai akar identitasnya. Namun seketika itu pula ia menuai kekecewaan. Ia berkata, aku kembali ke Maroko seolah pulang ke rumah, namun ketika tiba di sana aku merasa asing dan masyarakat yang semula kuanggap keluargaku juga menggapku asing. Maka ia memanfaatkan identitasnya yang ambivalen, menjadi Arab Muslim yang mengabdi pada Perancis dan Inggris sebagai agen rahasia. Omar Nashiri menyusun buku ini dari hasil pengalamannya sebagai mata-mata Perancis dan Inggris yang ia jalani dalam periode antara tahun 1994-2000. Selama itu ia telah berhasil menyusup ke sel-sel fundamentalis di Belgia, Perancis, Inggris, sampai ke kampkamp pelatihan militer Al-Qaeda di Pakistan dan Afghanistan. Buku ini memberi tawaran penjelasan yang orisinil dan intim dari orang yang terlibat langsung dalam jaringan kelompok-kelompok yang dicurigai sebagai teroris. Omar Nashiri ini memberi kita informasi berharga tentang pikiran-pikiran, emosi, dan keyakinan teologis para mujahid yang berpeluang besar menjadi teroris. Mereka telah bertekad menyerahkan nyawa demi memperjuangkan apa yang mereka yakini sebagai perintah Tuhan. Dalam buku ini Omar mampu menggambarkan kegelisahan dan kekecewaan yang dirasakan para mujahidin disebabkan masyarakat muslim di berbagai wilayah masih dijajah dan ditindas. Masyarakat Chechnya dijajah Rusia, Palestina dijajah Israel, Kashmir dijajah India, terakhir Irak dan Afghanistan diduduki tentara Amerika dan sekutunya. Ia mampu melukiskan semangat jihad yang membara yang membuat para mujahidin itu sanggup melewati berbagai jenis latihan perang dari tingkat sederhana

seperti menggunakan senjata sampai yang paling canggih seperti merakit bom dan menggunakan strategi kamuflase dan kontra-intelejen. Namun Omar juga mampu memperlihatkan bagaimana para mujahidin ini memahami realitas secara hitam putih dan cenderung memposisikan setiap manusia sebagai kawanlawan. Para mujahidin tidak pernah mengenal istilah kompromi atau perdamaian. Mereka hanya mengenal menang-kalah. Tapi dalam kamus mujahidin, yang ada hanya kemenangan. Karena jika mereka tidak mendapat kemenangan di dunia, mereka telah mendapat kemenangan di akhirat. Hasrat para mujahidin adalah mati di jalan Tuhan. Mereka akan di sambut para bidadari surga yang dijanjikan Tuhan. Pola pikir demikian ini cenderung mendorong para mujahidin mencari hukum-hukum agama yang sederhana dan tafsiran-tafsiran kaku yang dapat dijadikan legitimasi untuk melancarkan perang terhadap musuh. Masalahnya seringkali para mujahidin menggeneralisasi musuhnya sampai pada tingkat yang tidak masuk akal. Misalnya, mereka menganggap seluruh rakyat Amerika turut bertanggungjawab atas kebijakan pemerintahnya yang menyerang Irak dan Afghanistan hingga mereka semua halal untuk dibunuh. Pola pikir demikian inilah yang juga dianut Imam Samudra dkk., para pelaku Bom Bali. Sejauh penghayatan Nashiri, keterlibatannya sebagai mata-mata Perancis dan Inggris bukanlah suatu bentuk pengkhianatan terhadap Islam. Ia justru menganggapnya sebagai kewajibannya sebagai seorang muslim. Ia memandang para mujahidin, sejauh hasil penyelidikannya, sangat berpotensi menjadi teroris. Jika mereka berhasil melakukan tindak terorisme dengan mengatasnamakan Islam, maka citra Islam di dunia internasional akan sangat buruk. Konsekuensinya, masyarakat Islam minoritas di Eropa dan Amerika akan mendapatkan perlakuan yang sangat buruk. Dengan membantu pembasmian kelompok-kelompok mujahidin yang berpotensi menjadi teroris ini, ia meyakini dirinya telah melakukan kewajiban luhur menjaga martabat dan kemuliaan Islam. Bagi Omar, inilah jihadnya. Hanya, karena buku ini ditulis dari sudut pandang subjektif, Omar lupa menegaskan fakta bahwa para teroris tidak sepenuhnya lahir dari keyakinan teologis. Para teroris juga merupakan buah dari ketidakadilan global yang melahirkan banyak korban. *

Anda mungkin juga menyukai