Anda di halaman 1dari 2

Moralitas Kota dan Politik Pengemis Kota dan pengemis ibarat pohon dan parasit.

Tanpa kota, pengemis tidak akan menemukan sumber hidup. Pertanyaannya mengapa kota dan bukan desa? Tentu saja desa tidak bersih dari pengemis. Tapi pengemis di desa bisa dihitung dengan jari. Di kota, pengemis seperti menemukan lahan subur untuk berkembang biak. Alasan kota sebagai pusat ekonomi dan lahan kerja yang melimpah mungkin segera mengemuka. Masyarakat desa berbondong-bondong menuju kota untuk mendapatkan pekerjaan. Tingginya tingkat urbanisasi mengakibatkan jumlah tenaga kerja jauh melebihi pekerjaan yang mampu ditawarkan kota. Jumlah pengangguran akhirnya meledak. Sebagian mereka yang tidak memiliki keterampilan untuk mendapatkan pekerjaan akhirnya menjalankan usaha sendiri seperti para pedagang kaki lima, pemulung, atau para calo. Sebagian lagi mengisi layanan jasa-jasa upah rendah seperti tukang parkir, tukang becak, tukang angkut barang, tukang penitipan barang, penjaga toilet, para pengamen, hingga para preman. Sisanya, yang tak tertampung atau tak mau ditampung dalam berbagai pekerjaan pinggiran di atas, menjadi pengemis. Sisanya lagi memilih jalan pintas menjadi penjahat. Di antara kerja demi bertahan hidup (subsisten) lain, mengemis memiliki pola dan logika yang paling menarik. Para pengemis adalah kelompok masyarakat terbuang yang bertahan hidup dari belas kasihan orang. Keberadaan pengemis di kota segera menyodorkan imaji tentang kemiskinan kronis di jantung kemakmuran kota. Mobil-mobil mewah yang dikerubuti banyak pengemis di berbagai perhentian lampu merah memberi pemandangan yang kejam tentang ketimpangan kota. Namun sebagai bagian dari sisi gelap kota, kaum pengemis bisa dikatakan menikmati status yang aman. Di satu sisi pengemis memang dipandang rendah dan sampah kota yang harus dilenyapkan, namun di sisi lain pengemis tanpa disadari telah menjadi sisi lain (the other) yang dibutuhkan masyarakat mapan kota untuk menguhkan keluhuran status sosialnya. Dalam pola kehidupannya sehari-hari, masyarakat kota membentuk kultur yang berjalan terutama berdasarkan aktifitas ekonomi. Dalam kultur ini, setiap individu anggota masyarakat dituntut untuk dapat menjalankan roda ekonomi. Akibatnya seseorang akan dilihat dari sejauh mana ia memiliki sumber daya yang dibutuhkan pasar. Dampak tatanan masyarakat semacam ini, seseorang hanya dipandang dari aspek produktifitasnya. Mereka yang tidak produktif akan dianggap tidak berguna. Dalam kehidupan sehari-hari pandangan ini akan membuat masyarakat dominan yang normal memandang rendah pengemis. Pengemis dianggap memiliki sifat-sifat buruk dan bermoral rendah. Keberadaan pengemis di pusat-pusat kota dan di jalan-jalan oleh karena itu dianggap menodai normalitas penduduk kota. Keberadaan mereka menganggu karena merupakan sisi buruk dari sifat manusia yang selama ini berusaha dihindari mayoritas masyarakat kota. Pemerintah sebagai salah satu institusi yang memposisikan diri sebagai penjaga normalitas masyarakat dominan berusaha menghilangkan pandangan menganggudari para pengemis ini dengan cara melokalisir dan memasukkan mereka ke panti-panti sosial.

Tempat lokalisasi dan panti-panti social untuk pengemis ini berfungsi sebagai suatu penegasan akan batas antara norma masyarakat dominan dan masyarakat marginal. Penginstitusian pengemis ini juga merupakan suatu bentuk pengendalian dan sekaligus pengawasan untuk menundukkan abnormalitas pengemis. Pandangan dan perlakuan masyarakat dominan ini jelas disadari oleh kalangan pengemis sendiri. Resistensi mereka terhadap masyarakat dominan antara lain dengan mengeksploitasi rasa harga diri masyarakat mayoritas. Pengemis mendapatkan uang dari rasa iba. Rasa iba ini terutama bersumber dari pandangan bahwa para pengemis memiliki derajat yang lebih rendah dan manusia yang tak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Semakin tampak tak berdaya dan tergantung (cacat) seorang pengemis, semakin besar pula rasa iba dan kasihan dari anggota masyarakat dominan. Resistensi dari para pengemis adalah dengan berpakaian sejelek mungkin dan menunjukkan kekurangan-kekurangan pada tubuhnya baik karena cacat maupun karena penyakit. Pengemis yang tidak memiliki cacat atau penyakit bahkan kadang berpura-pura cacat atau berpenyakit. Cara pengemis memantik rasa iba tersebut berhasil karena menyentuh harga diri masyarakat kota. Hidup berkelimpahan di hadapan kemelaratan pengemis tentu saja menyeruakkan rasa bersalah masyarakat kota. Memberi sekeping atau selembar uang pada pengemis membuat mereka nyaman karena merasa telah menebus rasa bersalah itu. Muhsasi

Anda mungkin juga menyukai