Anda di halaman 1dari 8

PARLEMEN DALAM PERSPEKTIF ISLAM

DALAM perspektif Islam, parlemen, legislatif, atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan Majelis Syuro atau Majelis Umat, yakni lembaga yang beranggotakan orangorang yang mewakili umat Islam untuk melaksanakan dua tugas utama: syuro dan muhasabah.

Syuro yaitu bermusyawarah mengurusi permasalahan umat sebagai masukan bagi khalifah atau imam (pemerintah). Perintah musyawarah dengan jelas ditegaskan dalam Al-Quran (surat Ali Imran ; 159)


159.

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. Tugas kedua, muhasabah , yaitu melakukan koreksi atau pengawasan (muhasabah) kepada kepala pemerintahan dan aparaturnya, agar tidak menyimpang dari hukum Allah Swt. Wakil umat atau wakil rakyat harus menjaga agar pemerintah tidak korup, jangan justru ramai-ramai terlibat kasus korupsi!
Cara menentukan wakil umat tersebut secara teknis tidak dijelaskan dalam nash Quran ataupun hadits, namun Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin menyiratkan sejumlah syarat
1

yang harus dipenuhi oleh seorang wakil rakyat (wakil umat), seperti penguasaan dan pemahaman agama serta ketokohan atau pemimpin kelompok (jamaah). Keberadaan Majelis Umat ini secara tersirat dicontohkan Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin dalam pemerintahannya. Sebagaimana dikemukakan Taqiyuddin An-Nabhani dalam bukunya, Sistem Pemerintahan Islam (Al-Izzah, 1997:289), Rasulullah sering meminta masukan, rujukan, atau pendapat kepada sejumlah sahabat tokoh-tokoh terkemuka dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Khalifah Abu Bakar juga demikian. Jika ia menghadapi masalah, ia membicarakannya dengan pemikir, ahli fiqih, dan tokoh-tokoh Muhajirin dan Anshar. Menurut An-Nabhani, kalangan non-Muslim pun dibolehkan menjadi anggota Majelis Umat untuk memberi masukan soal perlakuan pejabat dan umat Islam terhadap mereka, serta kesalahan dalam penerapan Islam terhadap mereka. Soal teknis pemilihannya, An-Nabhani menegaskan harus melalui pemilihan umum. Cendekiawan Muslim, Muhammad Assad dalam tulisannya dalam buku Beberapa Pandangan tentang Pemerintahan Islam (Salim Azzam, Mizan, 1983), mengemukakan, seorang anggota Majelis Umat, Majelis Syuoro, atau wakil umat hendaklah memahami nash-nash Al-Quran, memiliki pengertian yang mendalam (Ulil Albab), dan menyadari betul tuntutan sosiologis masyarakat dan urusan keduaniaan pada umumnya. Dengan kata lain, pendidikan dan kematangan adalah syarat mutlak bagi para calon yang patut dipilih menjadi Majelis Syuro, tulis Assad. Untuk konteks Indonesia, tentu saja sistem pemerintahannya tidak atau belum Islami, maka para wakil rakyat yang mayoritas Muslim, pertama, harus mampu menegakkan sistem pemerintahan Islam atau setidaknya berusaha memperjuangkan tegaknya Islam dalam segala bidang kehidupan. Kedua, seiring dengan usaha pertama, terus menyuarakan aspirasi dan kepentingan umat Islam. Oleh karenanya, wakil rakyat atau wakil umat Islam di parlemen (Majelis Syuro), mesti memenuhi kriteria Muslim, paham benar tentang Islam (Quran-Sunnah), dan mengenal betul kepentingan dan permasalahan umat. Masalahnya, apakah para caleg kita saat ini memenuhi kriteria tersebut? Apakah penentuan caleh oleh parpol, utamanya parpol Islam, melalui seleksi berdasarkan kriteria tersebut? Apakah selama ini anggota legislatif dari parpol Islam atau yang beragama Islam sudah memenuhi kriteria tersebut dan memperjuangkan kepentingan agama dan umat Islam? Secara keseluruhan, sistem politik dan sistem pemerintahan kita belum sesuai dengan syariat Islam. Sebabnya, sistem demokrasi yang diterapkan di negeri ini bersumber dari konsep demokrasi Barat yang menempatkan kedaulatan di tangan rakyat. Sedangkan Islam menegaskan, kedaulatan berada di tangan Allah Swt atau hukum syara.

Sayangnya, masih ada dikotomi antara Islam dan politik. Masih banyak umat yang memandang politik bukan urusan agama (Islam). Padahal, para sarjana dan pemikir Barat sekalipun mengakui kesatuan Islam dan politik. Penulisa Barat, G.H. Jansen misalnya, dalam buku Islam Militan, menyatakan, agama (Islam) dan politik bagaikan dua sisi dari satu mata uang. Karena itulah, di negara mana saja kaum Muslimin merupakan mayoritas, politik berarti politik Islam. Bila saja politiknya bersifat sekular, maka negara tersebut tidak dapat dikatakan Muslim sejati, tegasnya. Menurut Abul Ala al-Maududi dalam buku Khilafah dan Kerajaan, teori Al-Quran di bidang politik bertumpu atas konsepnya yang mendasar bagi alam semesta. Pokokpokok konsep tersebut adalah: 1. Allah SWT adalah Pencipta alam semesta, manusia, dan segala sesuatu yang dapat digunakan oleh manusia di alam ini (QS 6:73, 13:16, 4:1, 2:29, 35:3, 56:58-72). 2. Allah SWT adalah pemilik makhluk, pengurusnya, dan yang mengurusi segala urusan (QS 20:6, 30:26, 7:54). 3. Al-Hakimiyah (kekuasaan jurusdiksi dan kedaulatan hukum tertinggi di alam semesta) hanya bagi Allah SWT (QS 2:107, 25:2, 6:57, 18:26, 3:154, 57:5, 16:17, 13:16, 35:40-41). 4. Allah SWT penguasa, yang mengetahui, menundukkan, memelihara, dan mengatur segala-galanya di alam semesta ini (QS 6:18, 13:9, 59:23, 2:225, 67:1, 3:83, 10:65, 10:107, 2:284, 18:26, 72:22, 23:88, 85:13-16, 5:1, 13:41, 21:23, 18:27, 95:8, 3:26, 7:128). Ajaran Islam tentang politik sifatnya umum dan hanya berupa prinsip-prinsip dasar. Operasionalisasinya diserahkan pada umat Islam yang menurut sebuah hadits lebih mengetahui urusan dunia (antum alamu biumuri dunyakum). Quran dan Sunnah misalnya hanya mempostulasikan tujuan dasar negara, yakni tercapainya keadilan universal (Q.S. 22:41, 3:110). Dalam bahasa Fathi Osman, sebagaimana ditulis pada Parameter-Parameter Negara Islam dalam Islam Pilihan Peradaban, dalam bidang politik Islam mengajarkan prinsipprinsip umum dan garis besar. Dalam Quran dan Sunnah diintrodusir nash-nash khusus yang berkaitan dengan musyawarah, keadilan, dan perjuangan militan melawan agresi (jihad). Menurut tokoh Islam Amerika Utara, Dr. Hammudah Abdalati, dalam bukunya Islam in Focus, dalam pandangan politik Islam, setiap perbuatan individu Muslim atau sekelompok individu, harus diilhami dan dibimbing oleh hukum Allah SWT (dalam alQuran). Jika tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka

sesungguhnya mereka termasuk orang-orang fasik, pelaku maksiat, dan pengingkar ayat-ayat-Nya (Q.S. 5:47-50). Kedaulatan dalam negara Islam, masih menurut Abdalati, bukanlah terletak pada rakyat maupun pemerintah yang berkuasa. Kedaulatan berada di tangan Allah SWT Yang Mahakuasa, dan manusia sebagai khalifah atau pelaksana keseluruhan ketentuan hukum-Nya. Pemerintah hanyalah memainkan peranan sebagai lembaga eksekutif yang dipilih oleh rakyat untuk melayani mereka berdasarkan hukum Allah SWT, tegasnya merujuk pada QS. 67:1, 4:58, dan 20:6. Konsep dan nilai-nilai politik Islam itulah yang harus diperjuangkan di parlemen oleh para wakil umat Islam. Di pihak lain, para ulama, ustadz, tokoh Islam, ormas dan parpol Islam, juga terus berjuang melakukan proses penyadaran di kalangan umat tentang kewajiban menjalankan sistem politik Islam. Umat Islam harus terus disadarkan tentang pentingnya memilih dan memiliki wakil umat di parlemen, yakni wakil rakyat yang siap berjuang demi kepentingan agama dan umat Islam, sebagaimana ditunjukkan oleh para wakil rakyat hasil Pemilu 1955 dari Masyumi. Tentu, proses penyadaran itu akan berhasil dan umat akan memilih caleg/parpol Islam, jika para caleg dan wakil rakyat dari partai penerus masyumi (parpol Islam), menunjukkan kinerja yang bersih, amanah, jujur, dan menunjukkan komitmen keislamannya. Wallahu alam. (ASM. Romli, Bin Umat Islam seringkali kebingungan dengan istilah demokrasi. Di saat yang sama, demokrasi bagi sebagian umat Islam sampai dengan hari ini masih belum diterima secara bulat. Sebagian kalangan memang bisa menerima tanpa reserve, sementara yang lain, justeru bersikap ekstrem. Menolak bahkan mengharamkannya sama sekali. Tak sedikit sebenarnya yang tidak bersikap sebagaimana keduanya. Artinya, banyak yang tidak mau bersikap apapun.Kondisi ini dipicu dengan banyak dari kalangan umat Islam sendiri yang kurang memahami bagaimana Islam memandang demokrasi. Di bawah ini, ada tulisan menarik tentang demokrasi dalam perspektif Islam. Tulisan ini sendiri berasal dari http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/7/cn/19725. APAKAH SISTEM DEMOKRASI HARAM? Pertanyaan: Apaka Demokrasi haram? Apakah dizaman rosululloh ada sistem demokrasi? IWAn Jawaban:Assalamu alaikum wr.wb. Saudara Iwan yang dirahmati Allah. Demokrasi adalah sebuah tema yang banyak dibahas oleh para ulama dan intelektual Islam. Untuk menjawab dan memosisikan
4

demokrasi secara tepat kita harus terlebih dahulu mengetahui prinsip demokrasi berikut pandangan para ulama tentangnya. Prinsip Demokrasi Menurut Sadek, J. Sulaymn, dalam demokrasi terdapat sejumlah prinsip yang menjadi standar baku. Di antaranya: Kebebasan berbicara setiap warga negara. Pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa layak didukung kembali atau harus diganti. Kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan kontrol minoritas Peranan partai politik yang sangat penting sebagai wadah aspirasi politik rakyat. Pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Supremasi hukum (semua harus tunduk pada hukum). Semua individu bebas melakukan apa saja tanpa boleh dibelenggu. Pandangan Ulama tentang Demokrasi

Al-Maududi Dalam hal ini al-Maududi secara tegas menolak demokrasi . Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga cenderung sekuler. Karenanya, alMaududi menganggap demokrasi modern (Barat) merupakan sesuatu yang berssifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja bukan teokrasi yang diterapkan di Barat pada abad pertengahan yang telah memberikan kekuasaan tak terbatas pada para pendeta.

Mohammad Iqbal Kritikan terhadap demokrasi yang berkembang juga dikatakan oleh intelektual Pakistan ternama M. Iqbal. Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama, demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika. Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan
5

spiritual. Atas dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi oleh etik dan moral ketuhanan . Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an sich. Melainkan, prakteknya yang berkembang di Barat. Lalu, Iqbal menawarkan sebuah model demokrasi sebagai berikut:

Tauhid sebagai landasan asasi. Kepatuhan pada hukum. Toleransi sesama warga. Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit. Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad.

Muhammad Imarah Menurut beliau Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah. Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syri (legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqh (yang memahami dan menjabarkan) hukum-Nya. Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Diia membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam, Allah-lah pemegang otoritas tersebut. Allah befirman Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. (al-Arf: 54). Inilah batas yang membedakan antara sistem syariah Islam dan Demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya adalah sejalan dengan Islam. Yusuf al-Qardhawi Menurut beliau, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini bisa dilihat dari beberapa hal. Misalnya: Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka. Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai.

Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang tidak disukai oleh makmum di belakangnya. Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga sejalan dengan Islam. Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam. Pemilihan umum termasuk jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan. Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura. Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak. Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari luar mereka. Yaitu Abdullah ibn Umar. Contoh lain adalah penggunaan pendapat jumhur ulama dalam masalah khilafiyah. Tentu saja, suara mayoritas yang diambil ini adalah selama tidak bertentangan dengan nash syariat secara tegas. Juga kebebasan pers dan kebebasan mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam demokrasi yang sejalan dengan Islam.

Salim Ali al-Bahnasawi Menurutnya, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak bertentangan dengan islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan adanya islamisasi demokrasi sebagai berikut: menetapkan tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah. Wakil rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya. Mayoritas bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam Alquran dan Sunnah (al-Nisa 59) dan (al-Ahzab: 36). Komitmen terhadap islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.
7

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep demokrasi tidak sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam. Prinsip dan konsep demokrasi yang sejalan dengan islam adalah keikutsertaan rakyat dalam mengontrol, mengangkat, dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan sejumlah kebijakan lewat wakilnya. Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu ilahi. Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu di antaranya: 1. 2. 3. 4. Demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama. Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah. Suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi pertimbangan utama dalam musyawarah. Contohnya kasus Abu Bakar ketika mengambil suara minoritas yang menghendaki untuk memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagi-bagikan tanah hasil rampasan perang dengan mengambil pendapat minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya dengan cukup mengambil pajaknya. 5. Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi; bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah. 6. Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari nilai-nilai agama. 7. Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga Akhirnya, agar sistem atau konsep demokrasi yang islami di atas terwujud, langkah yang harus dilakukan: Seluruh warga atau sebagian besarnya harus diberi pemahaman yang benar tentang Islam sehingga aspirasi yang mereka sampaikan tidak keluar dari ajarannya. Parlemen atau lembaga perwakilan rakyat harus diisi dan didominasi oleh orangorang Islam yang memahami dan mengamalkan Islam secara baik. Wallahu alam bi al-shawab Wassalamu alaikum wr.wb

Ditulis dalam Dunia Politik | Kaitkata: baca selengkapnya...

Anda mungkin juga menyukai