Anda di halaman 1dari 6

Artikel Penelitian

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Keluaran dan Komplikasi Sirkumsisi

Doddy Hami Seno, Dimas Nugroho, IrfanWahyudi, Arry Rodjani


Divisi Urologi, Departemen Bedah, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Departemen Urologi, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Abstrak Pendahuluan: Sirkumsisi merupakan tindakan pembedahan yang paling sering dilakukan pada anak laki-laki dan dapat mengakibatkan komplikasi ringan hingga berat. Tujuan survei ini adalah untuk mengetahui komplikasi sirkumsisi pada anak dan faktor-faktor yang berhubungan. Metode: Survei ini dilakukan dengan cara meminta orang tua siswa kelas 5 dan 6 sekolah dasar di Jakarta untuk mengisi kuesioner. Data yang dikumpulkan terdiri dari usia anak saat sirkumsisi, orang yang melakukan sirkumsisi, teknik, tempat, dan jenis komplikasi. Orang yang melakukan sirkumsisi dibagi menjadi dokter dan non dokter. Teknik sirkumsisi dikelompokkan ke dalam teknik konvensional (dorsumsisi dan sirkumsisi menggunakan set bedah minor dan benang jahitan standar) dan non konvensional (sirkumsisi tradisional, klem/cincin, elektrokauter, dan laser). Tingkat kepuasan dibagi menjadi rendah-sedang (1-7) dan tinggi (810). Hasil: Terdapat hubungan antara teknik sirkumsisi dan komplikasi ( p=0,004, RO 11,75, IK 95% 1,50-92,31) dan antara operator dan komplikasi (p=0,035, RO 3,67, IK 95% 1,20-13,16), tetapi tidak ditemukan hubungan antara usia saat sirkumsisi dan komplikasi (p=0,094). Terdapat hubungan antara teknik sirkumsisi dengan kepuasan (p=0,001), namun tidak terdapat hubungan antara operator dengan tingkat kepuasan (p=0,407), dan antara usia dengan tingkat kepuasan (p=0,318). Kesimpulan: Teknik konvensional lebih aman dibandingkan dengan nonkonvensional. Sirkumsisi sebaiknya dilakukan oleh tenaga medis yang terlatih yang dapat mengevaluasi pasien sebelum operasi dan mengenali adanya kontraindikasi, melakukan tata laksana terhadap komplikasi yang terjadi, dan mengevaluasi pasien pascaoperasi. J Indon Med Assoc. 2012;62:227. Kata kunci: sirkumsisi, laki-laki, anak, komplikasi, teknik.
Korespondensi: Dr. Doddy W. Hami Seno Departemen Urologi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Jl. Diponegoro 71, Jakarta Pusat. Email: doddy.uro@gmail.com

22

J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 1, Januari 2012

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Keluaran dan Komplikasi Sirkumsisi

Factors Associated with the Results and Complications of Circumcision Doddy Hami Seno, Dimas Nugroho, Irfan Wahyudi, Arry Rodjani
Division of Urology, Department of Surgery, Faculty of Medicine Universitas Indonesia Department of Urology, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta

Abstracs Introduction: Circumcision is the most common surgical procedure in boys. Although not difficult technically, it can result in complications ranging from mild to severe. We aimed to evaluate the complications of circumcision in children and some associated factors. Methods: This survey was done by asking the parents of 5th and 6th grade elementary school students in Jakarta to fill a questionnaire. The data collected from the questionnaire consisted of childs age of circumcision, person who did circumcision, technique, place where circumcision was performed, and type of complications. Person who did circumcision was categorized to doctor and nondoctor. Technique of circumcision was grouped into conventional technique (dorsumcision and circumcision using minor surgery set and standard suturing thread) and nonconventional technique (consisted of traditional circumcision, circumcision using clamp/ring, electrocauter, and laser device). Satisfaction scale was grouped into low-intermediate (1-7) and high (8-10). Results: There was no relationship between specialty of doctor and complication (p=0.589). There was relationship between technique (conventional vs nonconventional) and satisfaction (p=0.001), but no relationship found between operator and satisfaction (p=0.407) and between age at circumcision (<6 years vs >6 years) and satisfaction (p=0.318). Conclusion: Technique of circumcision is related to complication and satisfaction outcome. Conventional technique is safer than nonconventional technique. Circumcision should be performed by skilled operators who can evaluate the patient preoperatively and identify contraindications, manage possible complications, and evaluate patient postoperatively. J Indon Med Assoc. 2012;62:22-7. Keywords: circumcision, male, children, complication, technique.

Pendahuluan Sirkumsisi merupakan salah satu prosedur pembedahan pada anak laki-laki yang paling sering dilakukan di seluruh dunia. Di Australia, diperkirakan 70% anak laki-laki dan pria dewasa telah menjalani sirkumsisi.1 Sedangkan di Turki yang merupakan negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam seperti di Indonesia, prevalensi sirkumsisi mencapai 99%. 2 Sirkumsisi dilakukan dengan alasan medis dan nonmedis. Alasan nonmedis meliputi agama dan ritual. Sirkumsisi ritual seringkali dilakukan oleh pemeluk agama Islam dan Yahudi, serta di daerah Afrika sub-Sahara.1 Alasan medis untuk sirkumsisi yaitu adanya fimosis dan balanitis. Terdapat berbagai kontroversi mengenai manfaat dan risiko tindakan sirkumsisi. Sirkumsisi dikatakan dapat mengurangi risiko terjadinya karsinoma penis, karsinoma serviks, infeksi saluran kemih, dan penyakit menular seksual.3 Walaupun sirkumsisi secara teknis tidak sulit dilakukan, tindakan ini dapat mengakibatkan berbagai komplikasi ringan hingga berat.1 Berbagai komplikasi yang telah dilaporkan antara lain perdarahan, infeksi dan sepsis, laserasi penis,
J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 1, Januari 2012

stenosis meatal, fistula uretra, dan limfedema.3 Sebagian besar sirkumsisi dilakukan tanpa mengakibatkan komplikasi. Prevalensi komplikasi keseluruhan masih belum diketahui secara pasti dan berkisar antara 0,1-35% atau 1-15%.4-6 Saat ini belum terdapat penelitian mengenai komplikasi sirkumsisi pada anak laki-laki di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komplikasi apa saja yang terjadi akibat sirkumsisi pada anak dan faktor yang mempengaruhinya. Metode Penelitian ini merupakan suatu studi potong lintang yang dilakukan dengan cara meminta seluruh orangtua murid kelas 5 dan 6 sekolah dasar di Jakarta yang memiliki anak laki-laki, untuk mengisi kuesioner selanjutnya orang tua yang anaknya telah di sirkumsisi diberi kuesioner lanjutan. Survei dilakukan pada bulan Januari-Juni 2011 di sekolah dasar negeri, swasta Islam, dan swasta Kristen. Kriteria eksklusi yaitu orangtua tidak bersedia mengisi kuesioner. Data yang dikumpulkan dari kuesioner terdiri dari data dasar dan karakteristik orangtua
23

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Keluaran dan Komplikasi Sirkumsisi dan anak yang disirkumsisi, usia anak atau saudara kandung laki-laki saat menjalani sirkumsisi, orang yang melakukan sirkumsisi, teknik, tempat, jenis komplikasi, dan tingkat kepuasan. Orang yang melakukan sirkumsisi dibagi menjadi dokter (dokter umum dan dokter bedah) dan nondokter (perawat, mantri, dan dukun). Teknik sirkumsisi dikelompokkan ke dalam teknik konvensional (dorsumsisi dan sirkumsisi menggunakan alat operasi minor dan benang jahitan standar) dan teknik nonkonvensional (tradisional, klem/cincin, elektrokauter, dan laser). Tingkat kepuasan dikelompokkan menjadi rendah (1-5), menengah (6-7) dan tinggi (8-10). Penelitian ini juga menilai hubungan antara teknik sirkumsisi, orang yang melakukan sirkumsisi, dan usia anak saat sirkumsisi dengan terjadinya komplikasi dan tingkat kepuasan. Chi-Square digunakan untuk menilai hubungan antara faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan keluaran dan komplikasi sirkumsisi. Hasil Sebanyak 210 responden berpartisipasi dalam survei ini. Median usia anak laki-laki dari responden adalah 11 tahun (kisaran 7-17 tahun). Dari 210 anak, 159 (75,7%) orang telah disirkumsisi. Karakteristik anak yang telah menjalani sirkumsisi dapat dilihat pada Tabel 1. Median usia anak saat menjalani sirkumsisi adalah 9 tahun (rentang 1 bulan-15 tahun). Mayoritas sirkumsisi dilakukan oleh dokter (89,3%), dan 10,7% sirkumsisi dilakukan oleh nondokter. Komplikasi sirkumsisi terdapat pada 15/159
Tabel 1. Karakteristik Anak yang Telah Menjalani Sirkumsisi (n=159) Karakteristik Usia <6 tahun >6 tahun Teknik sirkumsisi Operasi konvensional Elektrokauter Klem/cincin Perangkat laser Tradisional Tidak tahu Tempat sirkumsisi Poliklinik/tempat praktek dokter Sunatan masal Ruang operasi Rumah Tempat sunat tradisional/dukun Orang yang melakukan sirkumsisi Dokter umum Dokter spesialis bedah Mantro Dukun Perawat Tingkat kepuasan pascasirkumsisi (skor 1-10) Rendah (1-5) Sedang (6-7) Tinggi (8-10) n (%) Tabel 2. Jenis Komplikasi yang Terjadi Pascasirkumsisi (n=15/159) Jenis komplikasi Teknik sirkumsisi KonvenNon sional konvensional 6 (3,8%) 2 (1,2%) 2 (1,2%) 1 (0,6%) 1 (0,6%) 1 (0,6%)

Perdarahan Eksisi prepusium tidak adekuat Penyembuhan luka lama Hasil kosmetik yang tidak memuaskan 2 (1,2%) Infeksi Kesulitan buang air kecil Nyeri buang air kecil

23 (14,5) 136 (85,5) 67 (42,1) 63 (39,6) 17 (10,7) 3 (1,9) 3 (1,9) 6 (3,8) 90 25 22 14 8 88 54 13 3 1 (56,6) (15,7) (13,8) (8,8) (5,0) (55,3) (34,0) (8,2) (1,9) (0,6)

anak (9,4%) (Tabel 2). Perdarahan merupakan komplikasi yang paling sering terjadi. Komplikasi terjadi pada 11/63 (17,5%) sirkumsisi dengan teknik elektrokauter, 2/17 (11,8%) dengan teknik klem/cincin, dan 1/67 (1,5%) dengan teknik operasi konvensional. Pada Tabel 3, dapat dilihat bahwa terdapat hubungan antara teknik dan orang yang melakukan sirkumsisi dengan terjadinya komplikasi. Pada survei ini, tidak ditemukan hubungan antara usia saat sirkumsisi (<6 tahun dengan >6 tahun) dan komplikasi (p=0,094). Komplikasi terjadi pada 11/ 142 (7,7%) sirkumsisi yang dilakukan oleh dokter dan 4/17 (23,5%) sirkumsisi yang dilakukan oleh nondokter. Selain itu, tidak ditemukan adanya hubungan antara dokter umum dengan dokter spesialis bedah terhadap komplikasi (p=0,589). Nilai median kepuasan responden terhadap hasil sirkumsisi sebesar 8 (kisaran 1-10). Terdapat hubungan antara teknik (konvensional dengan nonkonvensional) dan tingkat kepuasan (p=0,001), namun tidak ada hubungan antara orang yang melakukan sirkumsisi (dokter dengan non-dokter) dan tingkat kepuasan (p=0,407) serta antara usia saat sunat (<6 tahun dengan >6 tahun) dan tingkat kepuasan (p=0,318). Sirkumsisi masal dilakukan pada 25/159 anak (15,7%). Penelitian ini tidak menemukan hubungan antara tempat sirkumsisi (masal dengan tunggal) dan terjadinya komplikasi (p=0,570), namun terdapat hubungan antara tempat sirkumsisi (tunggal dengan masal) dan tingkat kepuasan (p=0,014). Diskusi Sirkumsisi merupakan tindakan pembedahan yang paling sering dilakukan pada anak laki-laki dengan berbagai
Tabel 3. Hubungan antara Teknik Sirkumsisi dan Orang yang Melakukan Sirkumsisi dengan Terjadinya Komplikasi Faktor Teknik sirkumsisi (nonkonvensional dengan konvensional) Orang yang melakukan sirkumsisi (nondokter dengan dokter) p 0,004 0,035 RO (IK 95%) 11,75 (1,50-92,31) 3,67 (1,20-13,16)

13 (8,2) 26 (16,4) 120 (75,5)

24

J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 1, Januari 2012

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Keluaran dan Komplikasi Sirkumsisi alasan seperti agama, kultur, maupun medis. Di Indonesia, sebagian besar sirkumsisi dilakukan dengan alasan agama yaitu agama Islam. Seperti halnya tindakan bedah lainnya, sirkumsisi dapat berakibat terjadinya komplikasi ringan hingga berat. Secara umum komplikasi sirkumsisi bersifat ringan dan dapat diterapi.7,8 Tingkat komplikasi pasca sirkumsisi belum diketahui secara pasti dan diperkirakan sebesar 0,1-35%, namun Williams dan Kapila menyatakan tingkat komplikasi yang lebih realistis yaitu 2-10%.8,9 Komplikasi ringan meliputi nyeri, infeksi, perdarahan, penyembuhan luka tidak sempurna, kesulitan buang air kecil, eksisi prepusium tidak adekuat, dan bentuk kosmetik yang tidak memuaskan.10,11 Komplikasi berat yang dapat dijumpai berupa amputasi glans penis dan kematian.12-14 Weiss et al. melaporkan median frekuensi terjadinya komplikasi pascasirkumsisi sebesar 1,5% (kisaran 0-16%), dan median frekuensi komplikasi berat sebesar 0% (kisaran 0-2%). Hasil survei ini menunjukkan komplikasi tersering pasca sirkumsisi adalah perdarahan (6/159, 3,8%) dan tidak didapatkan komplikasi berat. Kepustakaan melaporkan bahwa perdarahan pada sirkumsisi diperkirakan sebesar 1,6%.12 Perdarahan ringan dapat diatasi dengan penekanan, sedangkan perdarahan berat seringkali memerlukan hemostasis dengan penjahitan. Pada penelitian ini, median usia anak saat menjalani sirkumsisi adalah 9 tahun (rentang 1 bulan-15 tahun). Usia anak saat sirkumsisi dibagi menjadi <6 tahun sebanyak 23/ 159 orang (14,5%) dan >6 tahun 136/159 orang (85,5%). Usia tersering saat sirkumsisi berbeda pada berbagai negara. Anak laki-laki di negara Islam biasanya menjalani sirkumsisi pada usia di atas 1 tahun, misalnya 3-13 tahun di Turki, 5-7 tahun di Maroko, dan 2-12 tahun di suku Bedouin.16,17 Penelitian di Korea Selatan pada 1306 laki-laki yang telah menjalani sirkumsisi menunjukkan bahwa 55,2% dilakukan pada usia 10-15 tahun, 15% pada usia >15 tahun, 7,8% pada usia 1-10 tahun, dan hanya 1% pada usia bayi.18 Hal ini berbeda dengan penelitian di Israel yaitu umumnya sirkumsisi dilakukan pada usia 8 hari sesuai dengan kepercayaan Yahudi.10 Terjadinya komplikasi tidak dipengaruhi oleh usia saat sirkumsisi. Hal itu serupa dengan suatu studi oleh Akyol et al.19 pada 415 anak. Namun studi oleh Weiss et al. 15 menunjukkan bahwa sirkumsisi oleh tenaga medis yang dilakukan pada usia anak yang lebih besar mempunyai komplikasi yang lebih besar (median 6%, kisaran 2-14%) dibandingkan pada usia neonatus dan bayi. Frekuensi komplikasi yang lebih rendah pada usia neonatus disebabkan oleh prosedur yang lebih mudah dan kemampuan penyembuhan yang lebih cepat pada usia ini.16 Faktor yang mempengaruhi terjadinya komplikasi antara lain orang yang melakukan sirkumsisi. Sirkumsisi pada bayi dan anak dilakukan oleh tenaga medis maupun nonmedis pada berbagai kondisi. Pemilihan hal itu bergantung pada budaya, biaya, lokasi, dan status sosioekonomi orangtua. Di beberapa negara termasuk Indonesia dan daerah pedesaan
J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 1, Januari 2012

di Turki dan Mesir, sirkumsisi pada anak seringkali dilakukan oleh tenaga nonmedis yang tidak mendapatkan pelatihan dan hanya belajar dari observasi dan pengalaman.20-22 Pada umat Muslim di Nigeria bagian utara, sekitar 70% orangtua lebih memilih untuk membawa anaknya ke tempat sirkumsisi tradisional karena orangtua lebih mempercayai tenaga nonmedis dan lokasinya lebih mudah diakses dibandingkan dengan rumah sakit.16 Hasil survei ini berbeda dengan studi tersebut yaitu sebagian besar sirkumsisi dilakukan oleh dokter (89,3%), dan 10,7% sirkumsisi dilakukan oleh nondokter. Hal itu disebabkan karena survei dilakukan di Jakarta yang merupakan kota besar di Indonesia. Saat ini terdapat kecenderungan pada populasi di daerah urban dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan status sosioekonomi yang lebih baik untuk memilih sirkumsisi secara medis dengan anestesi lokal bagi anak mereka.10,16,23 Pada penelitian ini, komplikasi terjadi pada 11/142 (7,7%) sirkumsisi yang dilakukan oleh dokter dan 4/17 (23,5%) sirkumsisi yang dilakukan oleh nondokter. Pada penelitian ini terlihat bahwa proporsi komplikasi pada sirkumsisi yang dilakukan oleh tenaga nonmedis lebih besar dibandingkan dengan medis. Hal tersebut serupa dengan berbagai studi, antara lain studi di Turki yang menunjukkan bahwa sirkumsisi yang dilakukan oleh tenaga nonmedis mempunyai komplikasi sebesar 92,5%.3 Studi di Nigeria melaporkan bahwa dari 24% anak laki-laki yang mengalami komplikasi, hanya 1,6% yang dilakukan di rumah sakit oleh dokter.24 The American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan bahwa klinisi yang melakukan sirkumsisi harus memiliki keterampilan yang baik untuk meminimalkan komplikasi.25 Teknik sirkumsisi yang dilakukan pada penelitian ini yaitu operasi konvensional 42,1%, elektrokauter 39,6%, klem/cincin 10,7%, laser 1,9%, dan tradisional 1,9%. Metode sirkumsisi yang paling sering digunakan di Amerika Serikat dan Inggris yaitu Gomco clamp, Plastibell, dan Mogen clamp. 1 Komplikasi terjadi pada 14/86 (16,3%) sirkumsisi dengan teknik non-konvensional dan 1/67 (1,5%) dengan teknik operasi konvensional. Komplikasi terjadi pada 11/63 (17,5%) sirkumsisi dengan teknik elektrokauter, 2/17 (11,8%) dengan teknik klem/cincin, dan 1/67 (1,5%) dengan teknik operasi konvensional. Sirkumsisi dengan teknik operasi konvensional memberikan hasil kosmetik yang lebih baik dan tingkat komplikasi yang lebih sedikit karena glans dapat dilihat dengan jelas selama prosedur, namun membutuhkan waktu pengerjaan yang lebih lama.21 Teknik elektrokauter dapat mengakibatkan komplikasi berat seperti nekrosis korpus kavernosum sehingga perlu digunakan dengan hati-hati. 3,10 Metode Plastibell dilaporkan menimbulkan komplikasi sebesar 0,83%, di antaranya yaitu terbentuknya fistula.15,26 Studi di Bahrain melaporkan bahwa dari 61/600 komplikasi yang terjadi pascasirkumsisi, terdapat 5 kasus komplikasi berat pada sirkumsisi dengan teknik klem yaitu 3 kasus trauma glans
25

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Keluaran dan Komplikasi Sirkumsisi dan 2 kasus webbed penis.27 Sirkumsisi tradisional berkaitan dengan waktu penyembuhan luka yang lebih lama, pembengkakan yang lebih berat, laserasi, dan pembentukan keloid.28,29 Beberapa negara dengan tingkat sosioekonomi kurang sering menyelenggarakan sirkumsisi masal bagi anak dari keluarga yang kurang mampu yang dilakukan oleh mahasiswa kedokteran, perawat, dan dokter umum.20 Pada survei ini, sirkumsisi masal dilakukan pada 15,7% anak. Penelitian ini tidak menemukan hubungan antara tempat sirkumsisi (masal dengan tunggal) dan terjadinya komplikasi, namun terdapat hubungan antara tempat sirkumsisi dan tingkat kepuasan. Sirkumsisi masal secara umum memiliki risiko terjadinya komplikasi yang lebih besar, bahkan bila dilakukan di rumah sakit.15 Suatu studi di Turki pada 700 anak yang mengikuti sirkumsisi masal yang diadakan selama 5 hari mencatat frekuensi terjadinya komplikasi sebesar 8%. Hal itu mungkin disebabkan oleh keterbatasan sterilitas alat dan tempat.21 Penelitian ini juga menemukan adanya hubungan antara orang yang melakukan sirkumsisi (nondokter dengan dokter) dengan terjadinya komplikasi yaitu RO 3,67 (IK 95% 1,2013,16), namun tidak didapatkan hubungan antara orang yang melakukan sirkumsisi (dokter dengan nondokter) dengan tingkat kepuasan. Selain itu, tidak terdapat hubungan antara spesialisasi dokter (dokter umum dengan dokter bedah) dengan terjadinya komplikasi (p=0,589). Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa dokter umum di Indonesia kompeten dalam melakukan sirkumsisi. Selain itu, juga ditemukan adanya hubungan antara teknik sirkumsisi (non-konvensional dengan konvensional) dengan terjadinya komplikasi yaitu RO 11,75 (1,50-92,31), serta adanya hubungan antara teknik sirkumsisi (konvensional dengan nonkonvensional) dengan tingkat kepuasan. Keterbatasan penelitian ini antara lain kuesioner diisi berdasarkan ingatan orangtua sehingga memungkinkan terjadinya recall bias. Uji prospektif dan retrospektif lebih lanjut dengan pemantauan pascasirkumsisi diperlukan untuk mengevaluasi komplikasi dengan membandingkan berbagai teknik, usia saat sirkumsisi, dan pelatihan terhadap orang yang melakukan sirkumsisi. Kesimpulan Teknik sirkumsisi berhubungan dengan komplikasi dan tingkat kepuasan. Teknik konvensional lebih aman dibandingkan dengan non-konvensional. Sirkumsisi sebaiknya dilakukan oleh tenaga medis yang terlatih yang dapat mengevaluasi pasien sebelum operasi dan mengenali adanya kontraindikasi, melakukan tata laksana terhadap komplikasi yang terjadi, dan mengevaluasi pasien pascaoperasi. Uji prospektif dan retrospektif lebih lanjut dengan pemantauan pascasirkumsisi diperlukan untuk mengevaluasi komplikasi dengan membandingkan berbagai teknik, usia saat sirkumsisi, dan pelatihan terhadap orang yang melakukan sirkumsisi. Daftar Pustaka
1. 2. 3. 4. Hirji H, Charlton R, Sarmah S. Male circumcision: a review of the evidence. J Mens Health Gend. 2005;2:21-30. Ozdemir E. Significantly increased complication risks with mass circumcisions. Br J Urol. 1997;80:136-9. Latifoglu O, Yavuzer R, Unal S, Sari A, Cenetoglu S, Baran NK. Complications of circumcision. Eur J Plast Surg. 1999;22:85-8. Bocquet N, Chappuy H, Lortat-Jacob S, Cheron G. Bleeding complications after ritual circumcision: about six children. Eur J Pediatr. 2010;169:359-62. Ceylan K, Burhan K, Yilmaz Y, Can S, Kus A, Mustafa G. Severe complications of circumcision: an analysis of 48 cases. J Pediatr Urol. 2007;3:32-5. Christakis DA, Harvey E, Zerr DM, Feudtner C, Wright JA, Connell FA. A trade-off analysis of routine newborn circumcision. Pediatrics. 2000;105:246-9. Lerman SE, Liao JC. Neonatal circumcision. Pediatr Clin North Am. 2001;48:1539-57. Williams N, Kapila L. Complications of circumcision. Br J Surg. 1993;80:1231-6. Fetus and Newborn Committee, Canadian Paediatric Society. Neonatal circumcision revisited. Can Med Assoc J. 1996;154:76980. Ben Chaim J, Livne PM, Binyamini J, Hardak B, Ben-Meir D, Mor Y. Complications of circumcision in Israel. Isr Med Assoc J. 2005;7:368-70. Okeke LI, Asinobi AA, Ikuerowo OS. Epidemiology of complications of male circumcision in Ibadan, Nigeria. BMC Urol. 2006;6:21-9. Ahmed A, Mbibi NH, Dawam D, Kalayi GD. Complications of traditional male circumcision. Ann Trop Paediatr. 1999;19:1137. Gluckman GR, Stoller ML, Jacobs MM, Kogan BA. Newborn penile glans amputation during circumcision and successful reattachment. J Urol. 1995;153:778-9. Strimling BS. Partial amputation of glans penis during Mogen clamp circumcision. Pediatrics. 1996;97:906-7. Weiss HA, Larke N, Halperin D, Schenker I. Complications of circumcision in male neonates, infants and children: a systematic review. BMC Urol. 2010;10:2. Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS). Neonatal and child male circumcision: a global review. 2010. Switzerland, UNAIDS. Yegane RA, Kheirollahi AR, Salehi NA, Bashashati M, Khoshdel JA, Ahmadi M. Late complications of circumcision in Iran. Pediatr Surg Int. 2006;22:442-5. Ku JH, Kim ME, Lee NK, Park YH. Circumcision practice patterns in South Korea: community based survey. Sex Transm Infect. 2003;79:65-7. Akyol I, Soydan H, Ates F, Kocoglu H, Karademir K, Baykal K. An evaluation of circumcision status, complications and the value of concealment index in predicting circumcision complications. Eur Urol Suppl. 2010;9:569. Hull TH, Budiharsana M. Male circumcision and penis enhancement in Southeast Asia: matters of pain and pleasure. Reprod Health Matters. 2001;9:60-7. Ozdemir E. Significantly increased complication risks with mass circumcisions. Br J Urol. 1997;80:136-9. Rizvi SA, Naqvi SA, Hussain M, Hasan AS. Religious circumcision: a Muslim view. BJU Int. 1999;83 Suppl 1:13-6. Sahin F, Beyazova U, Akturk A. Attitudes and practices regarding circumcision in Turkey. Child Care Health Dev. 2003;29:27580. Osuigwe A, Ikechebelu J, Okafor P. Circumcision-related complications in the male: experience amongst the Igbos of Southeast Nigeria. African J Urol. 2004;10:246-51.

5.

6.

7. 8. 9.

10.

11.

12.

13.

14. 15.

16.

17.

18.

19.

20.

21. 22. 23.

24.

26

J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 1, Januari 2012

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Keluaran dan Komplikasi Sirkumsisi


25. Task Force on Circumcision, American Academy of Pediatrics. Circumcision policy statement. Pediatrics. 1999;103:686-93. 26. Bode CO, Ikhisemojie S, Ademuyiwa AO. Penile injuries from proximal migration of the Plastibell circumcision ring. J Pediatr Urol. 2010;6:27. 27. Abbas M, Mohamed H, Rabea N, Abrar E, Al-Hindi S, Hasan AA. Complications of circumcision in male children: report of sixtyone cases. Bahrain Med Bull. 2010;32:1-5. 28. Atikeler MK, Gecit I, Yuzgec V, Yalcin O. Complications of circumcision performed within and outside the hospital. Int Urol Nephrol. 2005;37:97-9. 29. Bailey RC, Egesah O, Rosenberg S. Male circumcision for HIV prevention: a prospective study of complications in clinical and traditional settings in Bungoma, Kenya. Bull World Health Organ. 2008;86:669-77. FAS

J Indon Med Assoc, Volum: 62, Nomor: 1, Januari 2012

27

Anda mungkin juga menyukai

  • Emergency
    Emergency
    Dokumen12 halaman
    Emergency
    mutmainahayu
    Belum ada peringkat
  • ASKEP Sindrom Koroner Akut
    ASKEP Sindrom Koroner Akut
    Dokumen10 halaman
    ASKEP Sindrom Koroner Akut
    Artya Sari
    83% (6)
  • Emergency
    Emergency
    Dokumen12 halaman
    Emergency
    mutmainahayu
    Belum ada peringkat
  • Makalah CHF
    Makalah CHF
    Dokumen23 halaman
    Makalah CHF
    Anugrah Novianti
    100% (2)
  • Acs
    Acs
    Dokumen4 halaman
    Acs
    mutmainahayu
    Belum ada peringkat
  • Acs
    Acs
    Dokumen4 halaman
    Acs
    mutmainahayu
    Belum ada peringkat
  • Table 1 Tabel 1
    Table 1 Tabel 1
    Dokumen48 halaman
    Table 1 Tabel 1
    mutmainahayu
    Belum ada peringkat
  • Managment
    Managment
    Dokumen3 halaman
    Managment
    mutmainahayu
    Belum ada peringkat
  • LP CHF
    LP CHF
    Dokumen10 halaman
    LP CHF
    Friskilla Elvita Handayani
    Belum ada peringkat
  • CHF LP
    CHF LP
    Dokumen11 halaman
    CHF LP
    septi_alif
    Belum ada peringkat
  • Preskas Letargi
    Preskas Letargi
    Dokumen26 halaman
    Preskas Letargi
    As Syarif
    Belum ada peringkat
  • Doc
    Doc
    Dokumen2 halaman
    Doc
    mutmainahayu
    Belum ada peringkat
  • Kegawatdaruratan Anak
    Kegawatdaruratan Anak
    Dokumen49 halaman
    Kegawatdaruratan Anak
    mutmainahayu
    Belum ada peringkat
  • Sop Ekg
    Sop Ekg
    Dokumen3 halaman
    Sop Ekg
    mutmainahayu
    Belum ada peringkat