Anda di halaman 1dari 9

KAJIAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI (HTI) DIPANDANG DARI SEGI KELANGKAAN SPESIES, PENTINGNYA

PLASMA NUTFAH SERTA ISSUE LINGKUNGAN YANG DITIMBULKAN

OLEH: Nami Listyawati

PENDAHULUAN 1. Latar belakang Sejak jamandahulu , hutan telah dijadikan sebagai lahan untuk mencari nafkah hidup. Sejak itu pula telah ada kearifan lokal manusia untuk melindungi dan melestarikan hutan dan lingkungannya sehingga hutan tetap menjadi primadona penopang kehidupan mereka. Hutan diketahui memiliki manfaat yang langsung maupun tidak langsung bagi kehidupan manusia, adapun manfaat hutan adalah sebagai berikut yaitu: Manfaat langsung: 1. Sumber bahan/konstruksi bangunan (rumah, jembatan, kapal, perahu, bantalan kereta api, tiang listrik, plywood, particle board, panel-panel dll). 2. Sumber bahan pembuatan perabot rumah (meubel, ukiran, piring, senduk, mangkok dll). 3. Sumber bahan pangan (sagu, umbian, sayuran, dll). 4. Sumber protein (madu, daging, sarang burung, dll). 5. Sumber pendukung fasilitas pendidikan (pinsil dan kertas). 6. Sumber bahan bakar (kayu api, arang dll). 7. Sumber oksigen (pernapasan manusia, respirasi hewan) 8. Sumber pendapatan (penjualan hasil hutan kayu dan non kayu) \ 9. Sumber obat-abatan (daun, kulit, getah, buah/biji) 10. Habitat satwa (makan, minum, main, tidur)

2. Manfaat tidak langsung: 1.Pengatur sistem tata air (debit air, erosi, banjir, kekeringan) 2.Kontrol pola iklim (suhu, kelembaban, penguapan) 3. Kontrol pemanasan bumi 4. Ekowisata (rekreasi, berburu, camping dll) 5. Laboratorium plasma nutfah (taman nasional, kebun raya dll) 6. Pusat pendidikan dan penelitian 7. Sumber bahan pendukung industri-industri kimia (pewarna, terpen, kosmetik, obat-obatan, tekstil dll).

Hutan Tanaman Industri yang selanjutnya disingkat HTI adalah hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun oleh kelompok industri kehutanan untuk meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan. Perkembangan pembangunan HTI dan perkebunan secara besar-besaran mempunyai latar belakang yang berbeda. Pembangunan HTI lebih dilatarbelakangi oleh timbulnya hutan produksi yang tidak produktif dalam jumlah yang luas dan insentif yang menarik swasta. Sedangkan pembangunan perkebunan, terutama kelapa sawit, lebih dirangsang oleh tingginya permintaan pasar ekspor. Kebijakan pemerintah yang menyangkut konversi hutan dan peruntukan lahan serta berbagai paket kemudahan investasi mendorong pertumbuhan pembangunan sektor ini. Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan alam sebagai penopang pembangunan ekonomi nasional, dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menjadi sistem yang dominan dalam memanfaatkan hasil hutan dari hutan alam. Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP)1 digunakan untuk merancang dan mengendalikan pembangunan HPH, HTI dan perkebunan, terutama perkebunan besar, agar dapat meminimumkan dampak negatif terhadap lingkungan dengan cara sesedikit mungkin mengkonversi hutan alam.

2. Permasalahan Dari latar belakang diatas maka timbul suatu permasalahan : Bagaimana dampak kebijakan pemerintah dalam pengembangan hutan tanaman industri (HTI) dipandang dari segi kelangkaan spesies, pentingnya plasma nutfah serta issue lingkungan yang ditimbulkan.

PEMBAHASAN 2.1 Dampak HTI terhadap kelangkaan spesies dan pentingnya plasma nutfah
Hutan Tanaman Industri

Pembangunan HTI dilaksanakan secara mandiri dan dengan hak pengusahaan hutan (HPH) yang sudah ada. Pembangunan HTI yang dilaksanakan secara mandiri dapat berupa HTI Pulp dan HTI Perkakas/ Pertukangan. Sedangkan pembangunan HTI yang dikaitkan dengan HPH dilaksanakan dengan menyertakan transmigran sebagai tenaga kerjanya. Pembangunan HTI ini disebut sebagai HTI-Transmigrasi yang biasanya menanam kayu perkakas/pertukangan Pembangunan HTI sampai Januari 1996 menunjukkan bahwa realisasi penanaman dibandingkan dengan rencana yang telah ditetapkan sebesar 46% untuk HTI Pulp dan 13% untuk HTI Kayu Perkakas (Dephut 1996). HTI yang dalam kurun waktu 8 tahun diharapkan oleh pemerintah mampu memasok kebutuhan bahan baku kayu bagi industri pulp menggantikan pasokan kayu dari hutan alam, ternyata sejak dikembangkan mulai awal Pelita V sampai Juli 1997 secara keseluruhan realisasi penanamannya baru mencapai 23,1% dari rencana. Hal ini menyebabkan industri pulp dan perkayuan pada umumnya masih selalu mengandalkan hutan alam sebagai sumber bahan bakunya. Akibatnya pencurian kayu dari hutan alam terus meningkat HTI yang sudah ditanami sampai dengan Oktober 1998 seluas 2 juta ha atau 45% dari luas HTI yang telah disetujui pemerintah (Lihat Tabel 1). Berdasarkan jumlah luas, pembangunan HTI Pulp menempati urutan teratas (68%), disusul HTI Pertukangan (18%), dan HTI Transmigrasi (14%). Pertumbuhan pembangunan HTI Transmigrasi dibatasi oleh ketersediaan lahan transmigrasi baru. Namun demikian, permintaan lahan bagi pembangunan HTI Transmigrasi ini akan meningkat seiring dengan meningkatnya target program transmigrasi (resettlement), terutama di Kawasan Indonesia Timur. Dari sisi penggunaan dana reboisasi, HTI Pulp menyerap hampir 40% dalam pembiayaan pembangunan HTI, sedangkan HTI Pertukangan hanya menyerap 8%. Dari 98 unit HTI yang pembangunannya telah disetujui, 24 unit di antaranya dimiliki oleh 17 pemilik yang mencakup HTI seluas 3,4 juta ha atau 73% dari seluruh luas HTI yang sudah disetujui (Dephutbun 1998). Perkembangan HTI yang sangat pesat disebabkan oleh adanya insentif bantuan biaya pembangunan HTI yang berasal dari dana reboisasi.

DASAR HUKUM HTI 1. PP No. 7 TH. 1990 Areal hutan yang dapat diusahakan sebagai areal HTI adalah kawasan hutan produksi yang tidak produktif (Psl 5 ayat (1). SK Menhut No. 200/Kpts-II/1994; kriteria HP tidak produktif ditandai dengan : Pohon inti yang berdiameter > 20 cm, kurang dari 25 batang/ha. Pohon induk < 10 batang/ha. Permudaan alamnya kurang, yaitu : semai < 1000 batang/ha, dan atau pancang < 240 batang/ha, dan atau tiang < 75 batang/ha. 2. PP No. 6 TH. 1999 TGL. 27 JANUARI 1999 Hak penguasaan hutan tidak dapat diberikan dalam areal hutan yang telah dibebani hak yang telah ada sebelumnya (Pasal 13). 3. UU No. 41/1999 tgl 30 Sept. 1999 & peraturan pelaksanaannya pembangunan HTI Usaha pemanfaatan hutan tanaman diutamakan dilaksanakan pada HP yang tidak produktif dalam rangka mempertahankan hutan alam (penjelasan Pasal 28 ayat (1) 4. PP. 34/2002 tanggal 8 Juni 2002 Usaha pemanfaatan hasil hutan pada hutan tanaman, dilaksanakan pada lahan kosong, padang alang-alang, dan atau semak belukar di hutan produksi. (Pasal 30 ayat (3) Terhadap HPH yang diberikan berdasarkan ketentuan ini dan HPHH yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan Per-UU-an sebelum ditetapkannya PP. ini tetap berlaku sampai haknya/izinnya berakhir. (Bab X Pasal 99 huruf a) 5. PP. 6/2007 tanggal 8 Januari 2007 Jo PP.3 /2008 PP 34/ 2002 dicabut. Pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI dilakukan pada hutan produksi yang tidak produktif (Pasal 38 ayat (3). Lebih lanjut bahwa pengertian produksi yang tidak produktif adalah hutan produksi yang dicadangkan oleh Menteri sebagai areal pembangunan hutan tanaman. Dengan demikian areal untuk IUPHHK-HTI dikembalikan sesuai dengan penjelasan Pasal 28 ayat (1) UU 41/1999 Berdasarkan Permenhut No. P.11/Menhut-II/2009 bahwa sistem silvikultur HTI harus sesuai dengan tapaknya (Tebang pilih, Tebang Habis, atau Tebang Jalur)

Plasma nutfah dapat diartikan sebagai sumber genetik dalam satu spesies tanaman yang memiliki keragaman genetis yang luas. Koleksi plasma nutfah adalah kumpuIan varietas, populasi strain, galur, klon, dan mutan dari spesies yang sama, yang berasal dari lokasi agroklimat atau asal-usul yang berlainan (Widyastuti, 2000). Masing-masing anggota koleksi plasma nutfah harus memiliki perbedaan susunan genetik, baik yang terlihat secara fenotipik maupun yang tidak terlihat. Frankel dan Soule (1981) mendefinisikan koleksi plasma nutfah sebagai kompulan genotipe atau popuIasi yang mewakili kultivar, genetic stocks, spesies liar, dan lain-lain yang dapat disimpan dalam bentuk tanaman, benih, dan kultur jaringan. Indonesia sebagai salah satu negara tropis yang kaya akan plasma nutfah meru-pakan pusat keanekaragaman genetik bagi banyak tanaman seperti obat obatan buah-buahan, umbiumbian, palem-paleman, padi-padian, sayur-sayuran dan berbagai jenis anggrek.

Keanekaragaman plasma nutfah yang sangat diperlukan dalam pemuliaan tanaman ini terus menerus terkikis habis karena beberapa faktor, diantaranya adalah : perusakan lingkungan hutan termasuk pembangunan HTI yang mengedepankan pola tanam monokutur, introduksi varietas unggul, tidak dipopulerkannya jenis tanaman tersebut sehingga lama kelamaan akan punah, banyaknya hama penyakit dan sebagainya. Dari uraian di atas, jelaslah bahwa keragaman hayati sekarang ini semakin berkurang. Hal itu juga dampak dari ulah manusia sendiri yang secara sengaja mengabaikan sumber genetik suatu tanaman. Padahal sumber genetik ini sangatlah penting untuk menjaga kelestarian suatu tanaman. Apabila kelestarian tersebut tidak dijaga dengan baik, maka kepunahan dari suatu jenis tanaman tertentu akan terjadi. Plasma nutfah yang terdapat di habitat asli terutama adalah spesies asli Indonesia, seperti tanaman obat obatan,durian, salak, tebu, palem, rambutan, umbi-umbian (yam/ Dioscorea), pisang, anggrek, dan kemungkinan masih banyak spesies tanaman lain yang plasma nutfahnya cukup banyak yang belum teridentifikasi. Pelestarian plasma nutfah secara in situ ini sangat rawan kerusakan, karena eksploitasi dan konversi hutan yang kurang bersifat konservatif. Kebijakan pelestarian plasma nutfah secara in situ kita masih lemah. Dari keberadaan seluruh perangkat pengelolaan plasma nutfah tersebut nampak bahwa integrasi keseluruhan kegiatan dan kebijakan belum nampak. Kegiatan pengelolaan plasma nutfah pada masing-masing instansi (Pusat, Balai, Fakultas Pertanian) merupakan bagian kecil dari kegiatan pokok instansi, sehingga pendanaannya jarang memperoleh prioritas.

Dari akibat eksploitasi yang tidak bertanggung jawab ini dan dilakukan secara terusmenerus tanpa memperhatikan pelestariannya maka dapat berdampak buruk dimasa

mendatang yaitu tanaman dapat mengalami kepunahan dan dapat murusak lingkungan sekitarnya serta berdampak buruk pada kehidupan mahluk hidup disekitarnya. Karena habitat untuk mereka bertahan hidup telah mengalami kerusakan. Untuk mencegah hal ini dapat dilakukan dengan pelestarian pada plasma nutfah tersebut, agar kelangsungan hidup mahluk hidup yang menghuni areal tersebut dapat berjalan stabil dan baik. Mengingat pentingnya peran plasma nutfah bagi kelangsungan hidup maka konservasi perlu lebih ditingkatkan untuk melindungi keanekaragaman jenis species dan ekosistemnya. Tujuan dari pengelolaan plasma nutfah adalah melestarikan dan mengelolanya secara berkelanjutan serta memanfaatkan untuk kesejahteraan bangsa. Usaha konservasi plasma nutfah sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan program pembangunan pada masa mendatang terutama pada sektor kehutanan dan pertanian. Salah satu langkah yang penting dalam melestarikan plasma nutfah adalah dokumentasi. Informasi yang didapatkan dari hasil karakterisasi dan evaluasi

didokumentasikan dan disimpan didatabase. Dokumentasi ini sangat penting untuk tujuan pertukaran informasi. Untuk melindungi plasma nutfah agar tetap lestari dan berkembang secara konsisten, harus ditunjang dengan pengelolaan plasma nutfah yang berkelanjutan. Pengelolaan plasma nutfah yang berkelanjutan memerlukan dukungan bersama dari pemerintah, masyarakat, LSM dan pengusaha kehutanan dengan kerjasama atau kemitraan. Dengan dukungan dari segala komponen ini diharapkan pelestarian plasma nutfah dapat dilakukan secara mudah dan efisien karena semuanya saling mendukung.

2.2 Dampak HTI terhadap issue lingkungan Sebagaimana yang sudah kita ketahui bahwa di negara kita peraturan dan perundangan sudah sangat bagus dan telah mencakup banyak hal. Jika peraturan dan perundangan yang ada ditaati oleh para pengusaha hutan maka pembangunan HTI tidaklah terlalu berdampak pada kerusakan lingkungan serta berimbas pada beberapa hal seperti beberapa issue yang sedang hangat dibicarakan. Hal ini disebabkan karena tata ruang dan tata wilayah pada kawasan HTI sudah ditetapkan oleh regulasi yang ada.

Akan tetapi kalau peraturan dan perundangan yang ada tidak ditaati serta rendahnya monitoring dan penegakan hukum, maka perubahan bentang alam pasti akan berdampak seperti: KESIMPULAN : 1. Dampak yang paling dominan pada kebijakan HTI adalah semakin berkurangnya plasma nutfah yang berakibat menurunnya keaneka ragaman hayati pada suatu wilayah. 2. Salah satu langkah yang penting dalam melestarikan plasma nutfah adalah dokumentasi. Informasi yang didapatkan dari hasil karakterisasi dan evaluasi didokumentasikan dan disimpan didatabase Perubahan iklim global Efek Rumah Kaca (Greenhouseeffect) Kerusakan Lapisa Ozon Kepunahan Species Merugikan keuangan negara Banjir.

SARAN : 1. Diharapkan pengelolaan hutan, baik hutan produksi, hutan lindung maupun hutan konservasi agar benar benar memperhatikan tata ruang sesuai dengan peraturan dan regulasi yang ada, sehingga semua manfaat hutan tidak merosot ataupun hilang sama sekali 2. Perlu adanya monitoring yang ketat terhadap pengelolaan hutan agar tidak terjadi degradasi hutan primer yang masih ada.

DAFTAR PUSTAKA

http://agusetia28.blogspot.com/2012/05/plasma-nutfah.html
http://agusetia28.blogspot.com/2012/05/plasma-nutfah.html http://www.cifor.org/publications/pdf_files/OccPapers/OP-26i.pdf http://www.scribd.com/doc/87974380/10-Dampak-Negatif-Dan-Positif-Ulah-Manusia-TerhadapKeanekaragaman-Hayati

Anda mungkin juga menyukai