Anda di halaman 1dari 37

CASE REPORT

ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) Anteroseptal

Oleh : Defi Nurlia Erdian Ellys Shinta Safitri

Pembimbing : dr. Ronald David Martua Nababan, Sp. PD

SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD JENDERAL AHMAD YANI METRO SEPTEMBER 2012

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNILA RSUD JENDERAL AHMAD YANI KOTA METRO
PRESENTASI KASUS ST Elevasi Miokard Infark September 2012 Oleh : Defi Nurlia Erdian, S. Ked Ellys Shinta Safitri, S. Ked Pembimbing : dr. Ronald David Martua Nababan, Sp.PD

A. Pendahuluan Laporan kasus ini mengenai seorang laki-laki usia 63 tahun yang datang ke RSUD Jenderal Ahmad Yani dengan keluhan nyeri dada sebelah kiri. Nyeri dada dirasakan seperti ditusuk benda tajam, kemudian mengeluh sesak napas dengan diagnosa ST Elevasi Miokard Infark (STEMI). Kasus ini membahas kemungkinan suatu ST Elevasi Miokard Infark dan penatalaksanaan yang seharusnya.

B. Laporan Kasus 1. Anamnesis Seorang laki-laki, 63 tahun sudah menikah datang ke unit gawat darurat (UGD) RSUD Jenderal Ahmad Yani dengan keluhan nyeri dada sebelah kiri. Nyeri dada tidak menjalar ke pundak ataupun lengan. Menurut pasien nyeri

dada dirasakan saat beraktivitas, nyeri dada baru pertama kali, seperti ditusuk benda tajam dan nyeri dada berlangsung kurang lebih selama 30 menit. Pasien mengatakan nyeri dada berkurang setelah diberikan isosorrbid dinitrat. Selain itu pasien mengeluh sesak napas yang berlangsung sepanjang hari, pasien juga mengatakan sering terbangun malam hari karena sesak napas. Sesak napas dirasakan sudah lama, kurang sebih selama 1 tahun terakhir. Pasien mengatakan saat tidur lebih suka menggunakan bantal yang tinggi karena terasa lebih nyaman. Beberapa minggu ini pasien mengatakan dirinya menjadi cepat capek, terutama saat naik tangga dan berjalan jauh. Sebelumnya pasien pernah dirawat dirumah sakit karena sesak napas dan batuk-batuk kurang lebih 3 tahun lalu. Riwayat pengobatan OAT disangkal pasien. Selain itu pasien pernah dioperasi karena apendisitis pada tahun 1996. Pasien tergolong perokok berat, pasien memilki riwayat merokok sejak tahun 1962 hingga sekarang, setiap harinya pasien dapat menghabiskan 3 bungkus rokok. Pasien memiliki alergi obat antibiotik amoxcicilin dan antalgin. Riwayat asma, hipertensi, dan diabetes melitus disangkal pasien. Pasien juga menyangkal dikeluarganya terdapat yang memiliki penyakit seperti pasien, hipertensi dan diabetes melitus.

2.

Pemeriksaan Fisilk Status Present Keadaan Umum : tampak sakit berat Status Gizi : baik

Tanda Vital Takanan darah Frekuensi Nadi : 120/90 mmHg : 132 x/mnt

Frekuensi Napas : 24 x/mnt Suhu Status Generalis Kepala Rambut Mata Hidung Telinga Mulut Leher Trakea KGB JPV Thoraks Paru-paru Inspeksi : gerakan simetris kanan dan kiri, retraksi intercostal (+), pelebaran sela iga (+), dan penggunaan otot bantu pernapasan Palpasi Perkusi : hemithoraks (-) flail chest (-) : sonor : letak ditengah : tidak ditemukan pembesaran KGB : tidak ditemukan peningkatan JPV : kotor dan berminyak : konjungtiva ananemis, sklera anikterik : napas cuping hidung (-) : serumen (+) : sianosis bibir (+) dan lidah kotor : 37 0 C

Auskultasi

: ronki +/+ +/+ +/+

Jantung Inspeksi Palpasi Perkusi : ictus cordis terlihat : ictus cordis teaba di ICS V midclavikula : redup, tidak didapatkan pembesaran jantung Batas jantung kanan terdapat di linea midsternalis Batas Jantung kiri 2 jari medial linea midclavikularis Batas Jantung atas terdapat di ICS 2 linea sternalis sinistra Auskultasi : BJ I dan II murni reguler, bunyi jantung terdengar menjauh, mur-mur (+) Abdomen Inspeksi : cembung (+), terdapat luka bekas jahitan operasi di inguinal kanan Palpasi : nyeri tekan (+) di epigastrium, hipokondrium dektra dan sinistra serta suprapubik, hepatosplenomegali (-) Perkusi Auskultasi Genitalia Ekstremitas Superior Inferior Kulit : edema -/: edema -/: sianosis (-) : timpani : BU (+) normal : laki-laki

3. Pemeriksaan Penunjang Saat di unit gawat darurat dilakukan pemeriksaaan : Hematologi WBC RBC HB HT PLT GDS : 11.900/mm3 : 6.810.000/ mm3 : 18,9 g/dl : 62,7 % : 114.000/mm3 : 76 mg/dl

Rontgent Thorax Bronkopneumonia dan emfisematous paru, besar jantung dalam batas normal.

EKG STEMI anteroseptal

Gambar 1. Lead I II II AVR AVF AVL

Gambar 2. Lead V1 V2 V3 V4 V5 V6

Gambar 3. Lead I II III AVF AVL AVR

Gambar 4. Lead V1 V2 V3 V4 V5 V6

4. Diagnosis Kerja dan Diagnosis Banding STEMI anteroseptal Killip II dengan faktor risiko merokok dan usia dengan dd/ angina pectoris, ppok dan gagal jantung kiri

5. Penatalaksanaan Saat di unit gawat darurat mendapatkan terapi O2 2-4 L/mnt, infus RL 20 tetes per menit, ceftriaxon 2x1 1 gram (IV), Ranitidin 2x1 ampul (IV), B19 3x1 (PO), OBH 3x1C (PO), Ketorolac 3x30 (IV), Aspilet 1x80 mg (PO), ISDN 3x5 mg, CPG 1x1.

6. Follow up Hari rawat ke-2, tanggal 30 Agustus 2012 Pada perawatan hari ke-2 keadaan umum sakit sedang, kesadaran kompos mentis, tekanan darah 110/70 mmHg, Frekuensi nadi 100 x/mnt, frekuensi napas 24 x/mnt, suhu 37,3 0 C. Pasien mengeluh nyeri dada berkurang, sesak napas, lemas, sulit tidur. Dari pemeriksaan fisik ditemukan rambut berminyak, JPV tidak meningkat, bibir sianosis, lidah kotor, ronki pada kedua lapang paru-paru, retraksi interkostal, penggunaan otot bantu napas, pelebaran sela iga. Diagnosis CAD STEMI anteroseptal Killip III fr. Merokok dan usia. Penatalaksanaan O2 3L/mnt, Infus D5 % 20 tetes/mnt, ceftriaxon 2x1 gr (IV), aspilet 1x2 tab (PO) selanjutnya 1x1 tab (PO), ISDN 3x10 gr (PO), ISDN 5 gr (SL) kalau nyeri, bisoprolol, alprazolam 2x0,3, laxadin 1x15 cc (PO), Rontgent thorax PA, Pemeriksaan profil lipid.

Hari rawat ke-3, tanggal 31 Agustus 2012 Pada perawatan hari ke-3 sulit tidur, pinggang sakit, sesak (+), nyeri dada (+) menjalar (-). Kesadaran kompos mentis, tekanan darah 100/60 mmHg, frekuensi nadi 112 x/mnt, frekuensi napas 32 x/mnt, suhu 37,1 0C, JPV tidak meningkat, bibir pucat, napas vesikuler +/+ ronki -/-, retraksi interkostal, penggunaan otot bantu napas, pelebaran sela iga. Terapi lanutkan dan konsul dokter spesialis paru. Hasil konsul dr. Andreas I, Sp.P Diagnosa : Kronik Bronkitis Early PPOK Saran Terapi : Pemeriksaan SPS dan kultur sputum : O2 2 L/mnt, chest fisiotheraphy, D5 % + aminofushcin 15 tetes/mnt, Nebulizer Farbivex /8 jam, ceftriaxon 2x1 gr (IV), terapi lain teruskan.

Hari rawat ke-4, tanggal 1 September 2012 Pada perawatan hari ke-4 sulit tidur karena pinggang sakit dan sesak napas, nyeri dada berkurang. Kesadaran kompos mentis, tekanan darah 130/80 mmHg, frekuensi nadi 100x/mnt, frekuensi napas 32x/mnt, suhu 36,5
0

C,

lidah kotor, bibir sianosis, retraksi interkostal, penggunaan otot bantu napas, pelebaran sela iga. Penatalaksanaan : lanjutkan terapi seperti kemarin. Penatalaksanaan dari paru-paru :nebulisasi, D 5% : NaCl 0,9 % 15 tetes/mnt, ceftriaxon 2x1 gr (IV), gentamisin 1x150 mg (IV), Nebulizer Farbivex /8 jam, mucogard 3x1C lain-lain teruskan.

C. Resume Laki-laki, 63 tahun datang dengan keluhan nyeri dada tidak menjalar ke pundak ataupun lengan, nyeri dada dirasakan saat beraktivitas, nyeri dada baru pertama kali, seperti ditusuk benda tajam dan nyeri dada berlangsung kurang lebih selama 30 menit. Keluhan disertai sesak napas yang berlangsung sepanjang hari. Diagnosa awal : STEMI anteroseptal Killip III dengan DD angina pectoris, PPOK dan gagal jantung kiri. Dalam perjalanan penyakitnya penderita Pada hari ke-2 sesak napas (+), nyeri dada(-), lemas, sulit tidur, sianosis, lidah kotor, ronki pada kedua lapang paru-paru, retraksi interkostal, penggunaan otot bantu napas, pelebaran sela iga. Pada hari ke-3 sulit tidur, pinggang sakit, sesak (+), nyeri dada (+) menjalar (),, bibir pucat, napas vesikuler +/+ ronki -/-, retraksi interkostal, penggunaan otot bantu napas, pelebaran sela iga. Pada hari ke-4 sulit tidur karena pinggang sakit dan sesak napas, nyeri dada berkurang, , lidah kotor, bibir sianosis, retraksi interkostal, penggunaan otot bantu napas, pelebaran sela iga.

Diagnosa Akhir : STEMI anteroseptal

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi STEMI (ST elevation myocardial infarction) adalah bagian dari spectrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris tidak stabil, IMA tanpa elevasi ST dan IMA dengan elevasi ST.1

B. Etiologi dan Faktor Resiko Menurut Alpert (2010), infark miokard terjadi oleh penyebab yang heterogen, antara lain : 1. Infark miokard tipe 1 Infark miokard secara spontan terjadi karena ruptur plak, fisura, atau diseksi plak aterosklerosis. Selain itu, peningkatan kebutuhan dan ketersediaan oksigen dan nutrien yang inadekuat memicu munculnya infark miokard. Halhal tersebut merupakan akibat dari anemia, aritmia dan hiper atau hipotensi. 2. Infark miokard tipe 2 Infark miokard jenis ini disebabkan oleh vaskonstriksi dan spasme arteri menurunkan aliran darah miokard. 3. Infark miokard tipe 3 Pada keadaan ini, peningkatan pertanda biokimiawi tidak ditemukan. Hal ini disebabkan sampel darah penderita tidak didapatkan atau penderita meninggal sebelum kadar pertanda biokimiawi sempat meningkat.

4. Infark miokard tipe 4 Infark miokard tipe 4a Peningkatan kadar pertanda biokimiawi infark miokard (contohnya troponin) 3 kali lebih besar dari nilai normal akibat pemasangan percutaneous coronary intervention (PCI) yang memicu terjadinya infark miokard. Infark miokard tipe 4b Infark miokard yang muncul akibat pemasangan stent trombosis. 5. Infark miokard tipe 5 Peningkatan kadar troponin 5 kali lebih besar dari nilai normal. Kejadian infark miokard jenis ini berhubungan dengan operasi bypass koroner. Ada empat faktor resiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah, yaitu usia, jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Resiko aterosklerosis koroner meningkat seiring bertambahnya usia. Penyakit yang serius jarang terjadi sebelum usia 40 tahun. Faktor resiko lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik.3

Faktor- faktor tersebut adalah abnormalitas kadar serum lipid, hipertensi, merokok, diabetes, obesitas, faktor psikososial, konsumsi buah-buahan, diet dan alkohol, dan aktivitas fisik. Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung kororner sebesar 50%. Seorang perokok pasif mempunyai resiko terkena infark miokard. Di Inggris, sekitar 300.000 kematian karena penyakit kardiovaskuler berhubungan dengan rokok. Obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner. Sekitar 25-49% penyakit jantung koroner di negara berkembang dengan peningkatan indeks masa tubuh (IMT). Overweight

didefinisikan sebagai IMT >25-30 kg/m2 dan obesitas dengan IMT > 30 kg/m2. Obesitas sentral adalah obesitas dengan kelebihan lemak berada di abdomen. Biasanya keadaan ini juga berhubungan kelainan metabolik seperti peninggian trigliserida, penurunan HDL, peningkatan tekanan darah, inflamasi sistemik, resistensi insulin dan diabetes melitus tipe II. Faktor psikososial seperti peningkatan stres kerja, rendahnya dukungan sosial, personalitas yang tidak ansietas dan depresi secara konsisten meningkatkan resiko terkena aterosklerosis.4

C. Patofisiologi Infark adalah area nekrosis koagulasi pada jaringan akibat iskemia lokal, disebabkan oleh obstruksi sirkulasi ke daerah itu, paling sering karena thrombus atau embolus.5 Infark miokard biasanya terjadi dengan penurunan dengan penurunan mendadak pada aliran darah koroner yang mengikuti oklusi trombotik dari arteri koronaria yang sebelumnya menyempit oleh aterosklerosis.6 Cedera ini dihasilkan atau dipercepat oleh factor seperti merokok sigaret, hipertensi, dan akumulasi lipid. Dalam sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis menjadi fisur, rupture, atau mengalami ulserasi dan dengan kondisi yang baik bagi trombogenesis; trombus mural yang terbentuk menyebabkan oklusi arteri koroner. Pada kasus yang jarang, infark dapat terjadi karena oklusi koroner sekunder terhadap emboli koroner, abnormalitas congenital, spasme koroner, dan variasi yang luas dari penyakit sistemik, terutama yang bersifat radang.6

Leukosit yang bersirkulasi menempel pada sel endotel teraktivasi. Kemudian leukosit bermigrasi ke sub endotel dan berubah menjadi makrofag. Disini makrofag berperan sebagai pembersih dan bekerja mengeliminasi kolesterol LDL. Sel makrofag yang terpajan dengan kolesterol LDL teroksidasi disebut sel busa (foam cell). Faktor pertumbuhan dan trombosit menyebabkan migrasi otot polos dari tunika media ke dalam tunika intima dan proliferasi matriks. Proses ini mengubah bercak lemak menjadi ateroma matur. Lapisan fibrosa menutupi ateroma matur, membatasi lesi dari lumen pembuluh darah. Perlekatan trombosit ke tepian ateroma yang kasar menyebabkan terbentuknya trombosis. Ulserasi atau ruptur mendadak lapisan fibrosa atau perdarahan yang terjadi dalam ateroma menyebabkan oklusi arteri.7 Penyempitan arteri koroner segmental banyak oleh formasi plak. Kejadian tersebut secara temporer dapat memperburuk keadaan obstruksi, menurunkan aliran darah dan menyebabkan manifestasi klinis infark miokard. Lokasi obstruksi berpengaruh terhadap kuantitas iskemia miokard dan keparahan manifestasi klinis penyakit. Oleh sebab itu, obstruksi kritis pada arteri koroner kiri atau arteri koroner desendens kiri berbahaya Pada saat episode perfusi yang inadekuat, kadar oksigen ke jaringan miokard menurun dan dapat menyebabkan gangguan dalam fungsi mekanis, biokimia dan miokard. Perfusi yang buruk subendokard jantung menyebabkan iskemia yang lebih berbahaya. Perkembangan cepat iskemia yang disebabkan oklusi total atau subtotal arteri koroner berhubungan dengan kegagalan otot jantung berkontraksi dan berelaksasi. Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas metabolisme, fungsi dan struktur sel (Selwyn, 2005).

Gambar 5. Patofisiologi IMA Diambil dari Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia tahun 2007

Pada akhirnya, besarnya kerusakan miokard yang disebabkan oleh oklusi koroner tergantung dari daerah yang disuplai oleh pembuluh yang terkena, baik pembuluh itu tertutup seluruhnya ataupun tidak, faktor asli yang dapat menghasilkan lisis spontan dini dari trombus oklusif, jumlah darah yang disuplai oleh pembuluh kolateral ke jaringan yang terkena, dan besarnya kebutuhan oksigen miokard yang suplai darah nya menjadi terbatas. Pasien dengan resiko meningkat untuk menderita infark miokard akut termasuk pasien dengan angina tidak stabil, faktor resiko koroner multiple.7

D. Diagnosis Diagnosis IMA dengan elevasi ST ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST 2mm, minimal pada 2 sandapan prekordial yang berdampingan atau 1mm pada 2 sandapan ekstremitas. Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan terapi revaskularisasi tak perlu menunggu hasil pemeriksaan enzim, mengingat dalam tatalaksana IMA, prinsip utama penatalaksanaan adalah time is muscle.1 1. Anamnesis Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau dari luar jantung. Jika dicurigai nyeri dada yang berasal dari jantung perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta faktor-faktor resiko antara lain hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, merokok, stress serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga. Pada sebagian kasus, terdapat factor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stress emosi, penyakit medis atau bedah. Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun tidur.1 Nyeri Dada tipikal (angina) merupakan gejala cardinal pasien IMA. Sifat nyeri dada seperti berikut : Lokasi : substernal, retrosternal, dan prekordial. Sifat nyeri : rasa sakit seperti ditekan, rasa terbakar, tertindih benda berat

Penjalaran : biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi, punggung, perut, dan dapat juga lengan kanan. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat. Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan. Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan lemas.

Diagnosis banding nyeri dada STEMI adalah : perikarditis akut, emboli paru, diseksi aorta akut, kostokondritis, dan gangguan gastrointestinal. Nyeri dada tidak selalu dijumpai pada STEMI, bila pada diabetes mellitus dan lanjut usia tidak menimbulkan STEMI.1

2.

Pemeriksaan Fisik Sebagian besar pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah). Seringkali ekstremitas pucat dan dingin. Kombinasi nyeri dada substernal > 30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Sekitar seperempat pasien infark aanterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan atau hipotensi) sedangkan pada pasien infark inferior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia dan atau hipotensi).1 Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikuler adalah S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena disfungsi apparatus katup mitral dan

pericardial friction rub. Penigkatan suhu sampai 380C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI.1

3.

Elektrokardiogram Pemeriksaan EKG 12 sandapan harus dilakukan pada semua pasien dengan nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI. Pemeriksaan ini harus dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan di IGD. Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan dalam menentukan keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat mengidentifikasikan pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostic untuk STEMI tetapi pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.-1 Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis infark miokard gelombang Q. Sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST. Pasien tersebut biasanya mengalami angina pectoris tidak stabil atau non STEMI. Pada sebagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q disebut infark non Q.

Sebelumnya istilah infark miokard transmural digunakan jika EKG menunjukkan gelombang Q atau hilangnya gelombang R dan infark miokard transmural digunakan jika EKG hanya menunjukkan perubahan sementara segmen ST dan gelombang T, namun ternyata tidak selalu ada korelasi gambaran patologis EKG dengan lokasi infark sehingga terminology IMA gelombang Q dan non Q menggantikan IMA mural/nontransmural.1 Diagnosis STEMI ditegakkan jika ditemukan angina akut disertai elevasi segmen ST. Nilai elevasi segmen ST bervariasi, tergantung kepada usia, jenis kelamin, dan lokasi miokard yang terkena. Bagi pria usia 0 tahun, STEMI ditegakkan jika diperoleh elevasi segmen ST di V1-V3 2 mm dan 2,5 mm bagi pasien berusia < 40 tahun (Tedjasukmana, 2010). ST elevasi terjadi dalam beberapa menit dan dapat berlangsung hingga lebih 2 minggu (Antman, 2005).

4.

Laboratorium Pertanda (Biomarker) pertanda jantung Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinin kinase (CK) MB dan cardiac specific troponin (cTn) atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker.1

Peningkatan nilai enzim diatas 2 kali nilai batas atas normal menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard).1 CKMB : meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis, dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB. cTn : ada 2 jenis yaitu : cTn I dan cTn T. enzim ini meningkat setelah 2 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 510 hari.1 Pemeriksaan enzim jantung yang lain : Mioglobin dapat dideteksi 1 jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 4-8 jam. Creatinin Kinase (CK) Meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari. Lactic dehydrogenase (LDH) Meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard, mencapai puncak 36 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari.

Reaksi

non

spesifik

terhadap

injuri

miokard

adalah

leukositosis

polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000 15.000 /ul.1

E. Tatalaksana Tatalaksana IMA dengan elevasi ST ini bertujuan untuk diagnosis cepat, menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet, pemberian obat penunjan dan tatalaksana komplikasi IMA.1 Prognosis STEMI sebagian besar tergantung adanya 2 kelompok komplikasi umum yaitu : komplikasi elektrikal (aritmia), dan komplikasi mekanik (pump failure). Sebagian besar kematian di luar Rumah Sakit pada STEMI disebabkan adanya fibrilasi ventrikel mendadak, yang sebagian besar terjadi dalam 24 jam pertama onset gejala. Sehingga elemen utama tatalaksana pra hospital pada pasien yang dicurigai STEMI antara lain : Pengenalan gejala oleh pasien dan segera mencari pertolongan medis, Segera memanggil tim medis emergensi yang dapat melakukan tindakan resusitasi, Transportasi pasien ke Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas ICU, Melakukan terapi reperfusi. Pemberian fibrinolitik pra hospital hanya bisa dikerjakan jika ada paramedis di ambulans yang sudah terlatih untuk menginterpretasi EKG dan tatalaksana STEMI dan kendali komando medis yang bertanggung jawab dalam pemberian terapi.1 1. Tatalaksana Umum Oksigen

Suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.1

Nitrogliserin (NTG) Nitrogliserin sublingual dapat diberikan dengan aman dengan dosis 0,4 mg dan dapat diberikan sampai 3 dosis dengan interval 5 menit. Selain

mengurangi nyeri, NTG juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokard dengan cara dilatasi pembuluh koroner yang terkena infark atau pembuluh kolateral. Jika nyeri dada terus berlangsung, dapat diberikan NTG intravena. NTG intravena juga dapat mengendalikan hipertensi atau edema paru.1 Terapi nitrat harus dihindari pada pasien dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau pasien yang dicurigai menderita infark ventrikel kanan. Nitrat juga harus dihindari pada pasien yang menggunakan phospodiesterase-5 inhibitor sildenafil dalam 24 jam sebelumnya karena dapat memicu efek hipotensi nitrat.1

Morfin Morfin sangat efektif menggurangi nyeri dada dan merupakan analgesic pilihan dalam tatalaksana nyeri dada pada STEMI. Morfin diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15 menit sampai dosis total 20 mg. Efek samping yang perlu diwaspadai pada pemberian morfin adalah konstriksi vena dan arteriolar melalui penurunan simpatis

sehingga terjadi pooling vena yang akan mengurangi curah jantung dan tekanan arteri. Efek hemodinamik ini dapat diatasi dengan elevasi tungkai dan pada kondisi tertentu diperlukan penambahan cairan IV dan NaCl 0,9%. Morfin juga dapat menyebabkan efek vagotonik yang menyebabkan bradikardia atau blok jantung derajat tinggi, terutama pasien dengan infark posterior. Efek samping ini biasanya dapat diatasi dengan pemberian atropine 0,5 mg IV.1

PCI primer PCI primer adalah memasukkan kateter (melalui arteri femoral) ke dalam arteri koroner. Visualisasi dilakukan dengan sinarX dengan bantuan injeksi medium kontras radioopaque melalui kateter. Ketika pembuluh darah koroner sudah dapat dilihat, identifikasi definitif arteri yang trombosis dapat dilakukan dan arteri dapat dibuka menggunakan balon pada ujung kateter sehingga terjadi reperfusi miokard yang mengalami infark. Stent kemudian disisipkan untuk menjaga patensi pembuluh darah.1 Teknik ini memungkinkan pembukaan arteri yang dikehendaki dengan lebih tepat, tidak seperti jika digunakan obat trombolisis sistemik. Sebelum dilakukan PCI primer platelet harus dihambat sepenuhnya, dimaksudkan untuk mengurangi resiko trombosis periprosedur yang disebabkan oleh lepasnya plak atau trombosis pada stent. Hal ini dapat dicapai dengan pemberian clopidogrel(300600 mg) bersama dengan terapi standard aspirin. Pemberian harus dilakukan secepatnya, sebelum

PCI. Penghambatan platelet periprosedural tambahan dapat dilakukan dengan abciximab (inhibitor glikoprotein Iib/Iia) atau bivalirudin. (inhibitor lansung trombin). PCI primer merupakan pilihan yang lebih baik untuk pasien MI akut yang dapat dilakukan dalam waktu 90 menit sejak kontak medik pertama (doortoballoon time kurang dari 90menit).1 Jika lebih dari 90 menit , PCI primer masih merupakan terapi pilihan apabila terapi trombolisis dikontraindikasikan atau jika pasien beresiko tinggi mengalami perdarahan, syok kardiogenik atau dengan faktor resiko tinggi lainnya. Lebih dari 90% pasien yang mendapat PCI kembali normal secara angiografi, dibanding dengan 60% pasien yang mendapat trombolisis (dimana arteri yang tersumbat berhasil dialiri kembali).1 Keuntungan lain PCI: Tidak ada efek samping serius (misalnya hemoragik intrakranial) Waktu tinggal rawat inap lebih pendek Resiko reinfark berkurang. Jika pasien alergi terhadap medium kontras yang digunakan untuk angiografi, maka trombolisis merupakan pilahan terapi satusatunya.1

Aspirin Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang dicurigai stemi dan efektif pada spectrum sindrom koroner akut. Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan

absorpsi aspirin bukkal dengan dosis 160-325 mg di ruang emergency. Selanjutnya aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg.1 Penyekat Beta Jika morfin tidak berhasil mengurangi nyeri dada, pemberian penyekat beta IV, selain nitrat mungkin efektif. Regimen yang biasa digunakan addalah metoprolol 5 mg setiap 2-5 menit sampai total3 dosis, dengan syarat frekuensi jantung > 60 menit, tekanan darah sistolik > 100 mmHg, interval PR < 0,24 detik dan ronki tidak lebih dari 10 cm dari diafragma. Lima belas menit setelah dosis IV terakhir dilanjutkan dengan metoprolol oral dengan dosis 50 mg tiap 6 jam selama 48 jam dan dilanjutkan 100mg tiap 12 jam.1

Terapi Reperfusi Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi ventrikel dan mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventricular yang maligna.1 Sasaran terapi reperfusi pada pasien STEMI adalah door to needle (atau medical contact to balloon) time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.1 Reperfusi, dengan trombolisis atau PCI primer, diindikasikan dalam waktu kurang dari 12 jam sejak onset nyeri dada untuk semua pasien MI yang juga memenuhi salah satu kriteria berikut :

ST elevasi > 0,1mV pada >2 ujung sensor ECG di dada yang berturutan,

ST elevasi >0,2mV pada >2 ujung sensor di tungkai berturutan, Left bundle branch block baru.

Terdapat beberapa metode reperfusi dengan keuntungan dan kerugian masingmasing. PCI primer merupakan terapi pilihan jika pasien dapat segera dibawa ke pusat kesehatan yang menyediakan prosedur PCI.1

Terapi Farmakologik Antitrombotik Penggunaan antiplatelet dan antitrombin selama fase awal STEMI berdasarkan bukti klinis dan laboratories bahwa thrombosis mempunyai peran penting dalam pathogenesis.1 Tujuan primer pengobatan adalah untuk memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner yang terkait infark. Tujuan sekunder adalah menurunkan tendensi pasien menjadi thrombosis. Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI. Manfaat antiplatelet terutama aspirin pada STEMI dapat dilihat pada antiplatelets trialists collaboration. Inhibitor glikoprotein menunjukkan manfaat untuk mencegah komplikasi thrombosis pada pasien STEMI yang menjalani PCI (Percutaneous Coronary Intervention). Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah unfractional heparin. Pemberian UFH IV segera sebagai tambahan terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik

fibrin

relative,

membantu

trombolisis

dan

memantapkan

dan yang

mempertahankan patensi arteri

yang terkait infark. Dosis

direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg dilanjutkan infuse inisial 12 U/kg/jam. Activated partial thromboplastin time selama terapi

pemeliharaan harus mencapai 1,5-2 kali.1 Antikoagulan alternatif pada pasien STEMI adalah low molecular weight heparin (LMWH). Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat. Gagal jantung kongestif, riwayat emobil, thrombus mural pada ekokardiografi 2 sistemik. Pada keadaan ini harus mendapat terapi antitrombin kadar terapeutik penuh selama di rawat, dilanjutkan terapi warfarin sekurang-kurangnya 3 bulan.1 Manfaat trombolisis dini ditunjukkan pada studi GISSI1.

Trombolisis dipilih jika pasien segera dirawat dalam 3 jam pertama setelah onset (idealnya dalam 1 jam). Trombolisis dalam 1 jam pertama sejak gejala muncul menghasilkan penrunan mortalitas 50%, jika lebih lambat (dalam 12 jam setelah onset gejala) maka angka penurunan resiko mortalitas turun (<50%). Jika lebih dari 12 jam, tidak ada perbedaan antara terapi trombolosis dan terapi konvensional walaupun masih cenderung menurunkan kematian.1 Oleh karena itu pengenalan dini gejala dan pemberian terapi trombolisis sangat penting, sehingga kebijakan National Service Framework for Coronary Heart Disease menyatakan agar sedapat mungkin call to needle time 60 menit (semua pasien harus menerima trombolisis dalam waktu 1 jam sejak kontak pertama dengan petugas kesehatan). Data

dari laporan Proyek Nasional Audit Infark Miokard UK pada tahun 2006/07 64% pasien menerima trombolisis dalam waktu 1 jam dihitung dari pertamakali kontak engan petugas kesehatan untuk pertolongan medik, 84% bahkan dalam 30 menit pertama (data Indonesia belum ada).1 Streptokinase merupakan terapi pertama untuk mengembalikan aliran darah ke arteri koroner yang mengalami trombosis. Merupakan protein yang diperoleh dari streptococci yang mengubah plasminogen menjadi plasmin, juga merupakan protein antigenik dan sering dikaitkan dengan kejadian hipotensi dan reaksi alergi. Sekali diberikan, pemberian berikutnya mungkin tidak efektif karena telah terbentuk antibodi yang menetralkan dalam tubuh. Trombolitik lainnya adalah tissue Plaminogen Activator (tPA, misalnya alteplase dan yang lebih baru tenecteplase). tPA yang lebih baru memiliki waktu paruh yang lebih lama sehingga memudahkan untuk pemberian sebagai injeksi bolus, dibanding infus yang harus dilakukan untuk streptokinase dan alteplase. Trombolisis tidak diberikan jika : Perdarahan aktif (misalnya ulkus peptic, perdarahan gastrointestinal, varises esofagus), Resiko tinggi perdarahan (misalnya pasien usia >75 tahun), Gangguan koagulasi, Hipertensi berat, Riwayat stroke/transient ischemic attacks, Bedah atau trauma dalam 3 bulan terakhir, Kehamilan,

Sebelumnya

mendapat

trombolisis

streptokinase

(dimana

streptokinase dikontraindikasikan) Dari semua pasien infark miokard akut yang dapat diberi trombolisis, hanya 60% yang akhirnya benarbenar mendapat trombolisis. Komplikasi obat trombolisis antara lain reaksi alergi yang bisa bersifat minor sampai mayor anafilaksis (anafilaksis terjadi pada 0,1% pasien). Hemoragik yang memerlukan transfuse jarang terjadi, tetapi perdarahan pada lokasi suntikan merupakan komplikasi yang sering dijumpai. Juga terdapat peningkatan resiko stroke hemoragik, terutama pada pasien lanjut usia. Hipotensi juga sering dijumpai, terutama jika digunakan streptokinase.1

Antagonis Aldosteron Pedoman NICE menyatakan untuk pasien dengan gejala gagal jantung dan LVSD antagonis aldosteron (eplerenone) dilisensikan sebagai terapi pascaMI yang dimulai dalam 314 hari MI, lebih disukai setelah terapi ACEi. Studi EPHESUS menunjukkan penurunan 43% resiko 30hari untuk semua mortalitas. Setelah maksimum terapi eplerenone 12 bulan, pasien LVSD dapat diterapi dengan spironolakton sesuai dengan pedoman NICE untuk gagal jantung. Kadar potasium/kalium dan fungsi ginjal harus dimonitor.1

Penyekat beta Manfaat penyekat beta pada pasien STEMI dapat dibagi menjadi : yang terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark. Pemberian penyekat beta akut IV memperbaiki keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark dan menurunkan resiko kejadian aritmia ventrikel yang serius. Betablocker mulai diberikan segera setelah keadaan pasien stabil. Studi ISIS1 menunjukkan pemberian dini betablocker bermanfaat

menurunkan 15% mortalitas dalam 36 jam setelah MI, dengan cara menurunkan kebutuhan oksigen, membatasi ukuran infark.1 Juga mengurangi resiko pecahnya pembuluh darah jantung dengan menurunkan tekanan darah, juga mengurangi resiko ventrikular dan aritmia supraventrikular yang disebabkan aktivasi simpatetik. Jika tidak ada kontraindikasi, pasien diberi betablocker kardioselektif misalnya metoprolol atau atenolol. Heart rate dan tekanan darah harus terus rutin di.monitor setelah keluar dari rumah sakit. Kontraindikasi terapi betablocker adalah: Hipotensi dengan tekanan darah sistolik <100 mmHg, Bradikardi <50 denyut/menit, Adanya heart block, Riwayat penyakit saluran nafas yang reversibel.

Betablocker harus dititrasi sampai dosis maksimum yang dapat ditoleransi. Jika terdapat left ventricular systolic dysfunction (LVSD, disfungsi sistolik ventrikel kiri), beta blocker yang dilisensikan untuk gagal jantung harus diberikan (misalnya bisoprolol atau carvedilol).

Pemberian dimulai dengan dosis terkecil dan dititrasi naik sesuai dengan interval yang disarankan sampai tercapai dosis maksimum yang dapat ditoleransi.1 Terapi penyekat beta pasca STEMI bermanfaat untuk sebagian besar pasien termasuk yang mendapat terapi inhibitor ACE. Kecuali pada pasien dengan kontraindikasi ( pasien dengan gagal jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri sangat menurun, blok jantung, hipotensi ortostatik, atau riwayat asma).1

Terapi Penurun Lipid Manfaat HMG CoA reductase inhibitor (statin) jelas ditunjukkan pada beberapa studi termasuk Heart Protection Study, yaitu dengan simvastatin 40 mg/hari, terjadi perbaikan outcome dan penurunan angka kematian untuk semua pasien kardiovaskuler. Manfaat ini tidak tergantung pada kadar awal kolesterol/LDL.1

Inhibitor ACE Inhibitor ACE menurunkan mortalitas pasca STEMI dan manfaat terhadap mortalitas bertambah dengan penambahan aspirin dan penyekat beta. Manfaat maksimal tampak pada pasien dengan resiko tinggi ( pasien usia

lanjut atau infark anterior, riwayat infark sebelumnya, dan/ atau fungsi ventrikel kiri menurun global), namun bukti menunjukkan manfaat jangka pendek terjadi jika inhibitor ACE diberikan pada semua pasien dengan hemodinamik stabil pada STEMI pasien dengan tekanan darah sistolik >100mmHg). Mekanisme yang melibatkan penurunan remodeling ventrikel pasca infark dengan penurunan resiko gagal jantung. Kejadian infark berulang juga lebih rendah pada pasien yang mendapat inhibitor ACE menahun pasca infark.1 Inhibitor ACE harus diberikan dalam 24 jam pertama pasien STEMI. Pemberian inhibitor ACE harus dilanjutkan tanpa batas pada pasien dengan bukti klinis gagal jantung, pada pasien dengan pemeriksaan imaging menunjukkan penurunan fungsi ventrikel kiri secara global atau terdapat abnormalitas gerakan dinding global, atau pasien hipertensif.1

F. PROGNOSIS Klasifikasi kilip pada Imfark Miokard Akut

Tabel 1. Klasifikasi Killip Pada Infark Miokard

Klas I II III IV

Definisi Tak ada gagal jantung kongestif + S3 dan/ atau ronkhi basah Edema paru Syok kardiogenik

Mortalitas (%) 6 17 30-40 60-80

Diambil dari Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia

ANALISIS KASUS

1. Bagaimana pendekatan diagnosis pada kasus? Berdasarkan hasil dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pendekatan diagnosis sebagai berikut : Anamnesis Nyeri dada sebelah kiri, Nyeri seperti di tusuk-tusuk benda tajam, Cetusan nyeri terjadi saat beraktivitas, Nyeri berlangsung + 30 menit, Nyeri dada berkurang setelah diberikan isosorbid dinitrat, Sesak napas yang menganggu aktivitas, Pasien merupakan perokok berat, hal ini sesuai dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap per hari dikalikan dengan lamanya merokok dalam tahun. Pada pasien ini lama merokok sudah 50 tahun dan banyaknya rokok sekitar 36 batang. IB = 50 x 36 = 1800 Perokok ringan IB < 200

Perokok sedang IB 200 600 Perokok berat IB >600

Pemeriksaan Fisik Sianosis bibir Berkeringat banyak Takikardi Gallop (-) Mur-mur (+) Ronki Basah (-)

Pemeriksaan penunjang ST elevasi anteroseptal

Untuk menegakan diagnosis infark miokard dapat dilakukan dengan anamnesis dan EKG. Dari anamnesis seperti telah diketahui diatas ditemukan adanya nyeri dada sebelah kiri yang berlangsung selama + 30 menit. Sedangkan dari hasil EKG ditemukan adanya ST elevasi > 2mm minimal di 2 sadapan prekordial yang berdampingan atau > 1 mm pada 2 sadapan ekstremitas. Adanya riwaya merokok dan usia yang lanjut merupakan faktor risiko yang memungkinkan terjadinya STEMI pada penderita. Maka dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan dapat disimpulkan Tn. S menderita CAD STEMI anteroseptal Killip II dengan faktor risiko merokok dan usia.

2. Apakah penatalaksanaan pada kasus sudah tepat? Penatalaksanaan pada kasus ini kurang tepat karena : O2 , suplemen oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi Oksigen < 90%. Namum pada semua pasien STEMI baik dengan komplikasi ataupun tidak dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama. Infus Ringer Laktat, untuk memenuhi kebutuhan cairan harian yaitu dengan memberikan cairan isotonik, Ceftriaxon, tingginya tingkat infeksi nosokomial yang dapat terjadi di rumah sakit menyebabkan pemberian antibiotik profilaksis diperlukan untuk mencegah terjadinya infeksi pada pasien yang dapat memperberat penyakit pasien. Namun pola dari jenis mikroorganisme patogen yang ada di setiap rumah sakit berbeda-beda sehingga setiap rumah sakit seharusnya memiliki protab antibiotik yang dapat digunakan sebagai antibiotik profilksis, Ranitidin, berfungsi untuk mengurangi produksi asam lambung yang dirangsang oleh pemberian CPG, bila produksi asam lambung terlalu banyak dapat menyebabkan kerusakat pada dinding lambung, B19, pemberian B 19 dirasakan kurang bermanfaat pada kasus ini. Namun, pemberian B 1 dapat dipertimbangkan karena dapat membantu metabolisme karbohidrat sehingga tidak terjadi penumpukan asam piruvat pada metabolisme yang tidak sempurna yang dapat menganggu kontraksi dari otot jantung, OBH, dirasakan kurang tepat karena pasien tidak mengeluh batuk,

Ketorolac, selain dengan memberikan nitogliserin, dengan pemberian ketorolac diharapkan dapat membantu mengurangi nyeri yang akut sedang ataupun berat,

Aspilet, apabila embolus yang beredar di sirkulasi sistemik mencapai otak, dikhawatirkan dapat terjadinya iskemik pada otak yang selanjutnya dapat meyebabkan stoke. Hal ini semakin memperberat keadaan pasien, sehingga dengan pemberian aspilet difungsikan untuk menurunkan agregasi trombosit sehingga pembentukan trombis berkurang dan efek antikoagulasi.

ISDN, menyebabkan relaksasi otot polos dan vasodilatasi vaskular sehingga mengurangi tekanan pengisian dan meningkatkan curah jantung pada arteriol kecil serta menurunkan bendungan paru-paru,

Clopidogrel, dapat mengurangi progresivitas terjadinya aterosklerosis dan infark pada pembuluh darah koroner.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, Aru W. 2007., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi, Marcellus Simadibrata K, & Seiti Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid III. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2. Alpert. Effect of Exercise Training On Health Status In Patients With Chronic Heart Failure. Journal American Medical Association 2010. 3. Santoso. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta : EGC. 4. Ramrakha, Punit dan Jonathan Hill. 2006. Oxford Handbook of Cardiology : Coronary Artery Disease 1st. USA : Oxford University Press. 5. Dorland, W A Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi ke-29. Jakrta : EGC. 6. Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, & Kasper. 2008. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 3. Jakarta : EGC. 7. Price, Sylvia A dan Lorraine M Wilson. 2006. Patoisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta : EGC 8. Royal College of Physicians, the Healthcare Commision, Univesity College London. 2007. Myocardial Infarction National Audit Project (MINAP) 6th public report. How the NHS manages Heart attacks. London Royal College of Physicians. 9. Keeley EC Hilis LD. 2007. Primary PCI for myocardial infarction with STsegment elevation. New England Journal of Medicine;356:4754. 10. COMMIT collaborative group. 2005. Addition of clopidogrel to aspirin in 45,852 patients with acute myocardial infarction: a placebocontrolled trial. Lancet ;366: 160721. 11. Heart Protection Study Collaborative Group. Heart protection study of cholesterol lowering with simvastatinin 20,536 individuals: a randomized placebocontrolled trial. Lancet 2002 : 360;722.

Anda mungkin juga menyukai