Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN KASUS KEDOKTERAN KELUARGA

KARAKTERISTIK DEMOGRAFI KELUARGA

Nama kepala keluarga : Tn. M Alamat lengkap : Jl. Akordion, Lowok Waru

Daftar Anggota Keluarga yang Tinggal Dalam Satu Rumah


NO Nama Kedudukan L/ Umur P 1 2 3 Tn. M Ny. I An. D Kepala keluarga Istri Tn. M Anak L P P 31 th 30 th 2 th S1 S1 Wiraswasta IRT Pendidikan Pekerjaan Pasien klinik Tidak Tidak Iya Kejang demam (febris convultion) Ket

Kesimpulan: Tn. M adalah suatu keluarga kecil yang terdiri atas 3 orang. Terdapat 1 anak sakit yaitu An. D umur 2 tahun yang tinggal di jalan. Akordion, Lowokwaru. Diagnosa klinis pada penderita adalah kejang demam.

BAB I STATUS PENDERITA Pendahuluan Laporan ini dibuat berdasarkan kasus yang diambil dari seorang pasien Febris Convultion (kejang demam) yang berusia 2 tahun dan berjenis kelamin perempuan. Penderita merupakan salah satu dari penderita kejang demam yang berada di Malang, dengan berbagai permasalahan yang dihadapi, tidak hanya dari segi biomedis melainkan juga mempengaruhi faktor psikologis penderita dan keluarga, serta faktor sosioekonomi.

Identitas Penderita Nama Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Pendidikan Status Perkawinan Agama Alamat Suku Tanggal Periksa : An. D : 2 tahun : Perempuan ::: Belum Menikah : Islam : Jl. Akordion, Lowok waru : Jawa : 13 September 2011

Identitas Orang Tua Nama Ayah Umur Jenis Kelamin Pekerjaan Pendidikan Agama : Tn. M : 31 tahun : Laki- laki : Wiraswasta : S1 : Islam
2

Nama Ibu Umur Pekerjaan Pendidikan Agama

: Ny. I : 30 tahun : Ibu Rumah Tangga : S1 : Islam

Anamnesis 1. 2. Keluhan Utama : kejang Riwayat Penyakit Sekarang : a. Onset : demam dirasakan mulai 1 hari yang lalu b. Lokasi : demam yang dirasakan di seluruh tubuh c. Kronologis : An. D mengalami demam sejak 1 hari yang lalu. Satu

minggu sebelumnya pasien menderita batuk (+), pilek (+/+) dan gelisah (susah tidur/ rewel). Malam hari sebelum kejang pasien mengalami panas tinggi kemudian malam harinya (04.30 WIB) pasien mengalami kejang- kejang. Pasien mengalami kejang tonik- klonik. Kejang terjadi sekitar 10 menit, dan hanya terjadi sekali saja. Setelah kejang pasien sadar terlihat lemah dan hampir tertidur dan beberapa menit kemudian tersadar dan seperti biasa lagi (tetapi tidak seaktif pada waktu sehat), pasien mencret ketika kejang. d. Kualitas e. Kuantitas : panas yang dirasakan seluruh tubuh : ini merupakan kejang yang pertama kalinya. : demam yang dirasakan seluruh tubuh

f. Keluhan penyerta

g. Faktor yang memperingan & memperberat : sehari sebelumnya (malam harinya) pasien mengalami demam tinggi yang kemudian pasien mengalami kejang. Seminggu sebelumnya pasien menderita penyakit batuk pilek. Paska kejang pasien diberikan teh manis oleh ibu korban.

h.

1 minggu yang lalu (pada saat pasien mengalami batuk, pilek) pasien dibawa ke bidan, keluhannya belum membaik tetapi sudah berkurang. Diberikan obat sirup oleh bidan.

3.

Riwayat Penyakit Dahulu yang pernah diderita: a. Riwayat Hipertensi b. Riwayat Sakit Gula c. Riwayat Mondok d. Riwayat Gout e. Riwayat Penyakit Jantung f. Riwayat Sakit Kejang g. Riwayat Alergi Obat/makanan h. Riwayat Gatal- Gatal : Tidak ada : Tidak ada : Tidak ada : Tidak ada : Tidak ada : Tidak ada : Tidak ada : Tidak ada

4. Riwayat Kehamilan

Menurut Ibu pasien, pada waktu mengandung pernah terjatuh setelah keluar dari kamar mandi, jatuh tidak keras karena pasien masih pegangan ke pintu, perut terasa sakit dan terdapat perdarahan dan langsung dibawa ke bidan dan dinyatakan baik- baik saja. Secara rutin tiap 1 bulan sekali ibu pasien memeriksakan kehamilannya ini ke bidan di sekitar rumahnya. Ini merupakan kehamilan pertama dan sebelumnya Ny. I belum pernah keguguran. 5. Riwayat Kelahiran: Pasien lahir melalui pervaginam pada kehamilan 37 minggu. Bayi berat badan lahir 2900 gram. Menurut pasien tidak ditemukan adanya gangguan selama kelahiran. APGAR score pada waktu pasien lahir cukup bagus. 6. Riwayat Tumbuh Kembang:
4

Pasien tumbuh kembang secara normal, mulai tengkurap, merangkak, berjalan, bicara dan mengenali orang lain bagus sesuai dengan umur. Pada umur kurang dari dua tahun pasien sudah tidak mendapatkan ASI dari ibunya dan di ganti susu biasa. 7. Riwayat Imunisasi BCG Hepatitits B Polio Campak DPT Catatan: BCG: Diberikan sedini mungkin sebelum usia 2 bulan Disuntikkan intra kutan di daerah insertion m. deltoid dengan dosis 0,05 ml, sebelah kanan Hepatitis B : Suntikan secara Intra Muskular di daerah deltoid, dosis 0,5 ml. Diberikan sedini mungkin setelah lahir, Dosis kedua 1 bulan berikutnya, Dosis ketiga 5 bulan berikutnya (usia 6 bulan), Imunisasi ulangan 5 tahun kemudian. Polio: Imunisasi dasar polio diberikan 4 kali (polio I,II, III, dan IV) dengan interval tidak kurang dari 4 minggu. Imunisasi polio ulangan diberikan 1 tahun setelah imunisasi polio IV, kemudian pada saat masuk SD (5-6 tahun) dan pada saat meninggalkan SD (12 tahun) Vaksin ini diberikan sebanyak 2 tetes (0,1 mL) langsung ke mulut anak Campak : Imunisasi campak diberikan sebanyak 1 dosis pada saat anak berumur 9 bulan atau lebih. Pemberian vaksin kedua pada umur 6 tahun.
5

: sudah : sudah : sudah : sudah : sudah

Vaksin disuntikkan secara subkutan dalam sebanyak 0,5 mL DPT : Dosis 0,5 ml secara intra muskular di bagian luar paha (fascus lateralis) Imunisasi DPT diberikan sebanyak 3 kali, yaitu pada saat anak berumur 2 bulan (DPT I), 3 bulan (DPT II) dan 4 bulan (DPT III); selang waktu tidak kurang dari 4 minggu. Imunisasi DPT ulang diberikan 1 tahun setelah DPT III dan pada usia prasekolah (5-6 tahun). Jika anak mengalami reaksi alergi terhadap vaksin pertusis, maka sebaiknya diberikan DT, bukan DPT.

8.

Riwayat Penyakit Keluarga : a. Riwayat Keluarga dengan Sakit Serupa b. Riwayat Hipertensi c. Riwayat Jantung d. Riwayat Ginjal e. Riwayat Diabetes Melitus f. Riwayat Gastritis : Tidak ada : Tidak ada : Tidak ada : Tidak ada : Tidak ada : Tidak ada

9.

Riwayat Kebiasaan Pasien merupakan anak yang aktif. Sering memasukkan benda- benda ke mulutnya. Makan minum normal, pasien makan 3 kali perhari, menggunakan nasi lunak dengan sayur. Susu (+) sejak 2 bulan yang lalu. Pasien jarang menangis dan sedang aktif berbicara (berinteraksi dengan orang lain). Pasien biasanya tidur pada siang atau sore hari dengan susu dot atau di gendong ibunya. Tidur malam pukul 19.00 WIB akan tetapi sering terbangun pada pukul 23.00 dan pukul 04.00 pagi.

10. Riwayat Sosial Ekonomi :


6

Pasien adalah anak pertama dari pasangan

ini.

Ayah pasien bekerja

Wiraswasta yaitu bisnis counter HP, sedangkan ibunya sebagai ibu rumah tangga. Dari hasil usahanya pasien mengaku tidak mendapatkan penghasilan tetap perbulan, kira- kira 2-3 juta rupiah dan cukup untuk memenuhi kebutuhan pasien beserta keluarga. 11. Riwayat Gizi : Kesan gizi cukup, Makan minum normal, pasien makan 3 kali perhari, menggunakan nasi lunak dengan sayur. Susu (+) sejak 2 bulan yang lalu. Anamnesis Sistem 1. Kulit : Warna kulit kuning, demam/panas (+), gatal (-), kering maupun mengelupas (-). 2. Kepala : Pusing (-), sakit kepala (-) rambut kepala rontok (-), luka (-), benjolan (-). 3. Mata : pandangan mata berkunang-kunang (-), penglihatan kabur (-), ketajaman penglihatan berkurang (-), penglihatan ganda(-), sklera ikterik (-). 4. Hidung 5. Telinga 6. Mulut : Cairan mengental (+), mimisan (-), tersumbat (-), : pendengaran berkurang (-), berdengung (-), cairan (-), nyeri(-) : sariawan (-), mulut kering (-), lidah terasa pahit (-), lidah kotor (-)

7. Tenggorokan : nyeri menelan (-), suara serak (-) 8. Pernafasan : sesak nafas (-), batuk (+), mengi (-) : nyeri dada (-), berdebar-debar (-), ampeg (-). : mual (-), muntah(-), mencret (+), nyeri perut (-).

9. Kardiovaskuler 10. Gastrointestinal

11. Genitourinaria

: BAK tidak ada keluhan, warna kuning jumlah dalam batas normal.

12. Neurologik 13. 14. Psikiatrik Muskolokeletal

: lumpuh (-), kaki kesemutan(-), kejang (+) : normal : kaku sendi (-), nyeri sendi pinggul (-), nyeri tangan dan kaki (-), nyeri otot (-).

15.

Ekstremitas atas : bengkak (-), sakit (-), telapak tangan pucat (-), kebiruan (-), luka (-), telapak tangan pucat (-)

16.

Ekstremitas bawah : sakit (-), telapak tangan pucat (-), kebiruan (-), luka (-), telapak tangan pucat (-)

Pemeriksaan Fisik 1. Keadaan umum : tampak lemah, kesan gizi cukup, compos mentis GCS E4 V5 M6 2. Tanda vital : Tanggal 13 September 2011 Tensi : - mmHg Nadi RR : 118 x/menit : 24 x/menit

Suhu : 39,3 C :

Antroprometri BB : 10 kg TB : 87 cm 3. Kulit

: warna kuning (sawo muda), demam (+), turgor baik, ikterik (-), sianosis (-), pucat (-), spider nevi (-), petechie (-), eritem (-), venektasi (-)
8

4.

Kepala

: Bentuk mesocephal, luka (-), rambut mudah dicabut (-), keriput (-), kelainan mimik wajah/bells palsy (-), nodul-.

5.

Mata

: conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), warna kelopak putih, refleks cahaya (+/+), radang (-/-), eksoftalmus (-), strabismus (-)

6.

Hidung

: pilek (+/+), nafas cuping hidung (-), epistaksis (-), deformitas hidung (-), hiperpigmentasi (-), saddle nose (-)

7.

Mulut

: mukosa bibir pucat (-), sianosis bibir (-), bibir kering (-), gusi berdarah (-), tepi lidah hiperemis (-), papil lidah atrofi(-)

8.

Telinga

: membrane timpani intak, otorrhea (-), pendengaran berkurang (-), nyeri tekan mastoid (-), cuping telinga normal, serumen (-)

9. 10.

Tenggorokan Leher

: Tonsil membesar (-), pharing hiperemis (-), : lesi kulit (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar limfe (-), deviasi trakea (-), tortikolis (-)

11.

Thorax

: bentuk normal, simetris, pernafasan thoracoabdominal, retraksi suprasternal (-), retraksi sela iga (-), spidernevi (), sela iga melebar (-), massa (-), krepitasi (-), kelainan kulit (-), nyeri (-)

Cor: Inspeksi Palpasi Perkusi Batas kiri atas Batas kanan atas Batas kiri bawah Batas kanan bawah : ictus cordis tidak tampak : ictus cordis tidak tampak : : ICS II Linea para sternalis sinistra : ICS II Linea para sternalis dekstra : ICS V mediallineoclavicularis sinistra : ICS IV linea para sternalis dekstra

Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bising (-) Suara tambahan jantung : (-)
9

Pulmo : Statis (depan dan belakang) Inspeksi : bentuk normal, pengembangan dada kanan/kiri sama Palpasi : fremitus raba kiri sama dengan kanan Perkusi : sonor/sonor Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/.+), suara tambahan : wheezing (-/-),

ronkhi (-/-), stridor (-) Dinamis (depan dan belakang) Inspeksi : pergerakan dada kanan sama dengan dada kiri,irama regular, otot bantu nafas (-), pola nafas abnormal (-), usaha bernafas normal. Palpasi Perkusi : fremitus raba kiri sama dengan kanan : sonor/sonor

Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) Rohkhi

Wheezing

12. Abdomen : Inspeksi : venektasi (-), massa TFU 2 jari bawah prosesus xyphoideus, bekas jahitan (-). Palpasi : supel, defense muskuler (-), hepar dan lien tidak teraba, turgor baik, asites (-) Perkusi : timpani Auskultasi: peristaltik (+) normal

13. System Collumna Vertebralis: Inspeksi Palpasi : deformitas (-), skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-) : nyeri tekan (-)
10

14. Ekstremitas : palmar eritem (-) Oedema

Akral dingin

14. Sistem genitalia : dBN

15. Pemeriksaan neurologik: kesadaran : composmentis fungsi luhur : dalam batas normal fungsi vegetatif : dalam batas normal fungsi sensorik: N N N N N N N N

fungsi motorik : 5 5 5 5
Kekuatan

N N
tonus

N N

Ref.Fisiologis

Ref.Patologis

16. Pemeriksaan psikiatri Penampilan : baik, sesuai dengan umur, perawatan diri baik Kesadaran : kualitatif tidak berubah, kuantitatif composmentis Afek : appopriate Psikomotor : normoaktif Proses pikir : bentuk Isi Arus : realistik : waham (-), halusinasi (-), ilusi (-) : koheren
11

Pemeriksaan Penunjang Tanggal 13 September 2011 Pemeriksaan Darah lengkap Hb Leukosit LED Trombosit PCV Eritrosit : 11,9 g/dL : 12.000 L : - mm/jam : 263.000 L : 39.1 % : 5.71 juta/mm
3

(12- 16 mg/dL) (4-10 ribu mg/dL) (2-20 mm/jam) (150- 400 ribu ) (37- 48 %) (4.0- 5.5 juta/mm3)

Hitung jenis : -/2/-/55/31/12 lapang pandang

Resume An. D datang ke IGD dengan keluhan kejang. Malam sebelumnya pasien terlihat panas tinggi dan satu minggu sebelumnya pasien menderita batuk, pilek. Pasien sudah dibawa ke bidan dan di beri obat, keluhan menurun tapi belum sembuh. Kejang selama 10 menit, jenis kejang tonik- klonik, saat kejang pasien mencret, kejang hanya satu kali selama 24 jam. Pemeriksaan fisik di dapatkan pasien tampak lemah, composmentis, GCS 4-5-6, nadi : 118 x/menit, RR : 24 x/menit, dan suhu: 39.3 oC, demam, pernafasan cepat dan reguler. Pemeriksaan laboratorium di dapatkan hasil leukosit 12.000 l. Diagnosis Holistik 1. Diagnosis dari segi biologis : Kejang demam 2. Diagnosis dari segi psikologis : Hubungan An. D dengan keluarga harmonis, saling menyayangi, karena pasien merupakan anak pertama. 3. Diagnosis dari segi sosial, ekonomi, dan budaya :
12

Penderita hanya sebagai anggota masyarakat biasa di lingkungannya. Penatalaksanaan Non Medikamentosa Pemberian edukasi terhadap keluarga pasien tentang kejang demam. Dan apabila terdapat kejang kembali maka segera dibawa ke rumah sakit (di follow up 2 minggu). Pasien diberikan kompres air dingin untuk mengurangi demam. Pasien di sarankan untuk istirahat/ tirah baring. Mempertahankan asupan cairan dan kalori yang adekuat: Diit nasi tinggi protein dan tinggi kalori. Perbanyak konsumsi buah dan sayuran. Medikamentosa: Infus Kaen 3B Komposisi 12 tts/menit : perliter mengandung Na+ 50 mEq, K+ 20 mEq, laktate 20

mEq, glukosa 27 gram. Indikasi : menyalurkan/ memelihara keseimbangan air dan elektrolit

pada keadaan dimana asupan makanan peroral tidak mencukupi atau tidak mungkin. Dosis KI ES O2 1 L Stesolid Rectal Komposisi Indikasi 5 mg : diazepam : kondisi psikoneurotik (ansietas, tegang, tidak bisa istirahat). : dewasa dan anak >3 th/ BB>15 kg 500-1000 ml. : hiperkalemi, oliguria, aritmia : alkalosis, edema otak, paru dan perifer

Relaksasi otot pada kejang (kejang demam, dan epilepsi). Dosis < 10 kg 5 mg. KI : miestinea gravis
13

: oral 2-5 mg 3x/hari. Tube rektal anak BB> 10 kg 10 mg, BB

ES Dumin rectal Komposisi Indikasi Dosis KI ES

: mengantuk, lemah otot, ataksia, reaksi paradoksikal.

: parasetamol : demam, nyeri, sakit kepala, sakit gigi, nyeri otot. : umur 1-6 th 125 mg, maxs 750 mg. Di berikan 3-4 x/hr. : Gang. Fungsi hati, hipersensitif terhadap paraaminofenol. : reaksi hipersensitivitas, gang. Hematologi, pankreastitis akut.

Dosis tinggi dapat menyebabkan kerusakan hati. Picyn 3x100 mg IV Komposisi Indikasi : Sultamicilin (ampicilin dan sulbactam) : infeksi saluran nafas bawah dan atas, infeksi saluran kemih,

pneumoni bakterial, meningitis, infeksi intraabdomen, infeksi kulit dan jaringan lunak. Dosis jam. KI ES : hipersensitif terhadap penisilin : Gangguan GI, reaksi anafilaksik, flebitis, ruam kulit, gatal, : anak 150 mg/kg BB/hr dalam dosis terbagi diberikan tiap 6-8

kelainan hematologi, superinfeksi. Norages Komposisi Indikasi 3x KP : metamizole Na : meredakan nyeri akut dan kronis berat, sakit kepala, penyakit

reumayik, sakit gigi, nyeri otot, nyeri setelah trauma. Dosis IM/IV 1x/hari. KI : hipersensitif terhadap analgesik, antireumatik, laktasi, hamil, : sir Dws 10 ml 3-4x/ hari, Amp ank-dewasa >15 tahun 2-5 ml

tekanan darah <100 mmhg. ES : diskrasia darah, reaksi anafilaktik, serangan asma, reaksi

hipersensitif pada kulit. Medikamentosa Follow Up Pyricef Syr 3x1 cth


14

Komposisi Indikasi Dosis KI ES

: cefadroxil monohidrate : infeksi saluran nafas, bronkitis. : syrup kering 125 mg/5 ml : hipersensitif terhadap sephalosporin : gangguan GI, sakit kepala, kolitis pseudomembran, reaksi

hipersensitivitas. Fuzide syr 2x 1 cth Komposisi Indikasi : Nifuroxazide : diare karena kuman E-coli dan Staphillococcus, kolopati

spesifik dan non spesifik pada dewasa dan anak. Dosis : Dws1- 2 cth (10 ml) 3x/hr, anak dan bayi > 6 bulan 1 cth

3x/hr,, < 6 bulan 1 cth 2x/ hr. KI ES : gangguan fungsi hati dan ginjal. : neurotoksisitas, nyeri abdomen, diare, pigmen hija pada lidah,

urine dan feses, penurunan mikroflora dalam GI.

Follow up Tanggal 14 September 2011 S O : batuk (-), kejang (-), panas menurun : KU baik, compos mentis, kesan gizi cukup. Tanda vital: T: - mmHg N: 89 x/menit A P : Kejang Demam : hentikan Picyn, berikan Pyricef syr 3x 1 cth, Flutamin syr 3x 1 cth, Fuzide RR: 22 x/menit S: 36.4oC

syr 2x1 cth.

Tanggal 15 September 2011 S O : keluhan (-) : KU baik, compos mentis, kesan gizi cukup Tanda vital: T: - mmHg RR: 20 x/menit
15

N: 80 x/menit A P : Kejang Demam

S: 36.2 oC

: infus Up, pengobatan oral dilanjutkan (Dumin 125 mg 3x/hr, Stesolid 5 mg.

ACC pulang. (Istiantoro dan Gan, 2008)

Prognosa Secara umum prognosa dari penyakit ini akan berhubungan dengan kondisi pasien, pada pasien harus di tunggu untuk cek up selama 2 minggu apakah terdapat kejang kembali. Apabila kejang (-) maka prognosanya bagus. Akan tetapi apabila kejang (+) kemungkinan dapat jatuh dalam kondisi epilepsi.

16

BAB II IDENTIFIKASI FUNGSI-FUNGSI DALAM KELUARGA

Fungsi Holistik 1. Fungsi Biologis Keluarga An. D terdiri dari suami Tn. M dan istri Ny. I. An. D adalah penderita kejang demam. Pasien di bawa ke IGD rumah sakit dan melakukan rawat inap. 2. Fungsi Psikologis Hubungan An. D dan keluarga saling memperhatikan dan menyayangi. 3. Fungsi Sosial Dalam kehidupan sehari-hari, An. D dan keluarga hanya sebagai anggota masyarakat biasa, tidak mempunyai kedudukan sosial tertentu dalam masyarakat. 4. Fungsi Ekonomi dan Pemenuhan Kebutuhan Dalam keluarga Tn. M bekerja sebagai wiraswasta mempunyai toko HP, dengan penghasilan cukup untuk kebutuhan sehari- hari keluarga. Kesimpulan : fungsi holistik keluarga An. D cukup baik.

FUNGSI FISIOLOGIS DENGAN ALAT APGAR SCORE APGAR score Tn. M = 9


APGAR Tn. M Terhadap Keluarga Sering/ selalu Kadangkadang Tidak Jarang/

A Saya puas bahwa saya dapat kembali ke keluarga


saya bila saya menghadapi masalah

Saya puas dengan cara keluarga saya membahas dan membagi masalah dengan saya

17

G Saya puas dengan cara keluarga saya menerima


dan mendukung keinginan saya untuk melakukan kegiatan baru atau arah hidup yang baru

A Saya

puas

dengan

cara

keluarga

saya

mengekspresikan kasih sayangnya dan merespon emosi saya seperti kemarahan, perhatian dll

R Saya puas dengan cara keluarga saya dan saya


membagi waktu bersama-sama

Untuk Tn. M APGAR score dapat dijelaskan sebagai berikut :

Adaptation : Dalam menghadapi masalah hidup, Tn. M memecahkan masalah bersama keluarganya, dan menerima saran dari anggota keluarganya. Score : 2 Partnership : Komunikasi antara An. D dengan anggota keluarganya terjalin sangat akrab, saling mengisi antara anggota keluarga. Mereka saling memberi perhatian, masukan, dan bantuan jika ada yang terkena masalah. Score : 2

Growth : Tn. M selalu mendapat dukungan dari keluarganya perihal kegiatankegiatan yang akan di lakukan. Score : 2

Affection : Kasih sayang yang terjalin antara pasien dan anggota keluarganya baik. Score : 2

Resolve : Tn. M jarang berkumpul, makan, dan mengobrol bersama anggota keluarganya. Score : 1

18

APGAR score Ny. I

=10
Sering/ selalu Kadangkadang /tidak Jarang

APGAR Ny. I Terhadap keluarga

A Saya puas bahwa saya dapat kembali ke keluarga


saya bila saya menghadapi masalah.

Saya puas dengan cara keluarga saya membahas dan membagi masalah dengan saya.

G Saya puas dengan cara keluarga saya menerima


dan mendukung keinginan saya untuk melakukan kegiatan baru atau arah hidup yang baru.

A Saya

puas

dengan

cara

keluarga

saya

mengekspresikan kasih sayangnya dan merespon emosi saya seperti kemarahan, perhatian dll

R Saya puas dengan cara keluarga saya dan saya


membagi waktu bersama-sama

Untuk Ny. I APGAR score dapat dijelaskan sebagai berikut :

Adaptation : Dalam menghadapi masalah hidup, Ny. I memecahkan masalah bersama keluarganya, dan menerima saran anggota keluarganya. Score :2 Partnership : Komunikasi antara Ny. I dengan anggota keluarganya terjalin sangat akrab, saling mengisi antara anggota keluarga. Mereka saling memberi perhatian, masukan, dan bantuan jika ada yang terkena masalah. Score : 2 Growth : Ny. I selalu mendapat dukungan dari keluarganya tentang kegiatankegiatan yang akan di lakukan. Score : 2 Affection : Kasih sayang yang terjalin antara Ny. I dan anggota keluarganya cukup baik. Score : 2
19

Resolve : Ny. I sering berkumpul, makan, dan mengobrol bersama anggota keluarganya. Score : 2

APGAR score keluarga terhadap An. D = 9: 10=9.5 Kesimpulan : Fungsi fisiologis keluarga An. D baik. FUNGSI PATOLOGIS KELUARGA DENGAN ALAT SCREEM Fungsi patologis dari keluarga Ny. S dinilai dengan menggunakan alat S.C.R.E.E.M sebagai berikut. Tabel 5. SCREEM keluarga pasien Sumber Ikut berpartisipasi dalam kegiatan di lingkungannya Social Culture Menggunakan adat istiadat daerah asal dalam kehidupan sehari- hari Pemahaman terhadap ajaran agama cukup, demikian juga ketaatannya dalam beribadah. Penghasilan keluarga cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari. Tingkat pendidikan dan pengetahuan keluarga tentang kesehatan cukup akan tetapi kesadaran akan kesehatan masih kurang Dalam mencari pelayanan kesehatan, keluarga An. D pergi ke Medical bidan. + Patologis -

Religious

Economic

Educational

Kesimpulan Keluarga An. A kurang mengerti tentang penyakit kejang demam.

20

Pola Interaksi Keluarga Diagram Pola interaksi Ny. D


An. A (2 tahun) D

Tn. M (31 tahun)

Ny. I (30 tahun)

Keterangan : Hubungan baik

Hubungan tidak baik Kesimpulan Hubungan antara Ny. S dengan semua anggota keluarga baik.

Genogram Keluarga An.D (2 tahun)


X x X
Ny. I (30 th)

Tn. M (31 th)

An. D (2 tahun)

Keterangan: pasien perempuan laki- laki

X
meninggal

21

BAB III IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESEHATAN

1. Identifikasi Faktor Perilaku dan Non Perilaku Keluarga Faktor Perilaku Keluarga a. Pengetahuan Tn. M dan Ny. I belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang kesehatan. Keluarga ini belum mengetahui tentang penyakit kejang demam. Dimana apabila terjadi demam tinggi pada anak- anak usia 6 bulan sampai 5 tahun dapat menyebabkan kejang demam. b. Sikap Keluarga An. D peduli dengan anggota keluarga yang sedang sakit, memperhatikan dan merawatnya. c. Tindakan Keluarga An. D memperhatikan kesehatan keluarganya, apabila ada anggota keluarga yang sakit mereka akan membawanya ke pelayanan kesehatan terdekat. Faktor Non Perilaku Faktor non perilaku yang mempengaruhi kesehatan masyarakat adalah lingkungan hidup. Lingkungan rumah yang bersih dan sehat juga dapat mempengaruhi tingkat kesehatan seseorang atau keluarga. Keluarga ini tinggal di lingkungan yang cukup padat penduduk. Dalam segi perekonomian keluarga pasien termasuk baik. 2. Identifikasi Lingkungan Rumah Gambaran Lingkungan Keluarga ini tinggal di sebuah rumah yang berdempetan dengan rumah tetangganya. Rumah ini memiliki taman kecil di depan rumahnya dan mempunyai pagar pembatas. Terdiri dari ruang tamu, 2 kamar tidur, 1 ruang
22

keluarga, satu dapur, dan 1 kamar mandi. Lantai rumah An. D dari keramik. Ventilasi dan penerangan rumah cukup, terdapat cendela,di ruang tamu dan di dapur serta tiap kamar. Kondisi dapur dan kamar mandi cukup bersih. Sarana air keluarga ini menggunakan jasa PDAM. Secara keseluruhan kebersihan rumah sudah cukup. Pelayanan kesehatan Pelayanan kesehatan termasuk praktek dokter, dan bidan dekat dengan rumah An. D. Jika salah satu anggota keluarga ada yang sakit biasanya pergi berobat ke bidan/ dokter praktek. Dan bila dirasa sakitnya parah mereka membawa ke RS untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik. Keturunan Tidak terdapat faktor keturunan dalam keluarga ini. Kesimpulan : Lingkungan rumah pasien sudah memenuhi syarat kesehatan. Denah Rumah

KM

R. dapur

R. keluarga R. Tidur 8 meter

Garasi R. Tidur R. Tamu

Taman

7 meter

23

Diagram Faktor Perilaku dan Non Perilaku


Pengetahuan Keluarga kurang memahami penyakit penderita. Sikap Keluarga perduli terhadap sakit penderita Rumah cukup memenuhi syarat kesehatan

An. D

Tidak ada riwayat penyakit yang sama dialam keluarga

Tindakan Keluarga selalu mengantarkan periksa atau kontrol apabila terdapat anggota keluarga yang sakit.

Bila sakit berobat ke bidan kalau sudah parah baru ke RS

Ket::

Factor perilaku Factor non-perilaku

DAFTAR MASALAH Masalah medis : Kejang Demam Masalah non medis : Pengetahuan keluarga An. D tentang penyakitnya kurang Diagram Permasalahan Pasien (Menggambarkan hubungan antara timbulnya masalah kesehatan yang ada dengan faktor-faktor resiko yang ada dalam kehidupan pasien)

Pengetahuan keluarga An. D terhadap penyakitnya kurang.

An. D (2 tahun) Kejang demam

24

Matrikulasi Masalah Prioritas masalah ini ditentukan melalui teknik kriteria matriks.
No. Daftar Masalah I P 1.
Pengetahuan keluarga An. D kurang terhadap penyakitnya.

T S 5 SB 5 3

R Mn 4 Mo 4 Ma 5

Jumlah IxTxR 30.000 (1)

Keterangan : I P S SB T R Mn Mo Ma : Importancy (pentingnya masalah) : Prevalence (besarnya masalah) : Severity (akibat yang ditimbulkan oleh masalah) : Social Benefit (keuntungan sosial karena selesainya masalah) : Technology (teknologi yang tersedia) : Resources (sumber daya yang tersedia) : Man (tenaga yang tersedia) : Money (sarana yang tersedia) : Material (pentingnya masalah)

Kriteria penilaian : 1 2 3 4 5 : tidak penting : agak penting : cukup penting : penting : sangat penting

Berdasarkan kriteria matriks diatas, maka urutan prioritas masalah keluarga Ny. S adalah sebagai berikut : 1. Pengetahuan keluarga An. D terhadap penyakit yang diderita pasien kurang.

25

Kesimpulan : Kurangnya pengetahuan tentang penyakit pasien, menyebabkan pencegahan kurang bisa di terapkan.

26

BAB IV HUBUNGAN PENGETAHUAN KELUARGA DENGAN PENYAKIT KEJANG DEMAM

IV. 1 Definisi Kejang Demam Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada suhu tubuh (suhu rektal lebih dari 38 oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranial.

IV. 2 Epidemiologi Kejang Demam Kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak, biasanya terjadi pada umur 6 bulan sampai 5 tahun. Kejang demam merupakan salah satu kelainan saraf tersering pada anak. Antara 2-2.5 % anak- anak di bawah 5 tahun pernah mengalami kejang demam. Sedangkan insiden tertinggi anak kejang demam terjadi pada usia 18 bulan (Price et al., 2005). Prevalensi kejang demam antar tiap negara berbeda. Di Amerika serikat dan Eropa angka kejadiannya berkisar antara 2- 5%, sedangkan di Asia angka tersebut bertambah menjadi dua kali lipatnya.

IV. 3 Faktor Resiko Bangkitan Kejang Demam Beberapa faktor resiko yang dapat mempengaruhi terjadinya kejang demam, yaitu: demam itu sendiri, faktor usia, faktor prenatal (usia ibu waktu hamil, riwayat preeklamsia- eklamsia pada ibu, hipertensi pada ibu hamil, hamil primi/ multipara, dan pemakain bahan toksik), riwayat keluarga, faktor perinatal (asfiksia, berat bayi lahir rendah, partus lama, cara lahir dan usia kehamilan) dan faktor pasca natal (kejang akibat toksik, trauma kepala). Demam Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi pada anak tersering adalah infeksi. Demam merupakan faktor utama timbulnya kejang. Perubahan temperatur
27

tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang dan eksitabilitas neural karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh terhadap kanal ion dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh 1 oC akan meningkatkan metabolisme karbohidrat 10- 15% sehingga dengan adanya peningkatan suhu akan meningkatkan kebutuhan glukosa dan oksigen (Sibernagl and Lang, 2006). Faktor usia Tahap perkembangan otak dibagi menjadi 6 fase, yaitu; 1) neurulasi 2) perkembangan prosensefali 3) proliferasi neuron, 4) migrasi neural 5) organisasi dan 6) mielinisasi. Tahap perkembangan intrauterin dimulai dari fase neurulasi sampai migrasi neural, sedangkan post natal yaitu organisasi dan mielinisasi. Pada fase perkembangan organisasi dan mielinisasi akan terus bertahap sampai waktuwaktu post natal hingga kurang lebih 2 tahun. Pada tahapan organisasi terjadi differensiasi dan dan pemantapan neuron di subplate, yang akan terbentuk differensiasi neurotransmiter eksitator dan inhibitor. Pada perkembangan tersebut neurotransmiter eksitator lebih dulu terbentuk. Adanya ketidak seimbangan antara keduanya berhubungan dengan kejadian awitan kejang. Faktor Riwayat keluarga Belum dapat dipastikan sifat genetik terkait dengan kejadian kejang demam. Tetapi tampaknya pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak ditemukan. Apabila salah satu orang tua penderita pernah mengalami kejadian kejang demam, maka anaknya mempunyai resiko untuk bangkitan kejang demam sebesar 20-25%. Dan apabila kedua orang tuanya pernah menderita kejang demam, maka anaknya mempunyai faktor resiko untuk kejang demam sebesar 59-64%, tetapi sebaliknya jika kedua orang tuanya tidak ada yang mempunyai riwayat kejang demam maka faktor resiko yang didapat adalah sebesar 9%. Pewarisan kejang demam lebih banyak pada ibu dari pada ayah, dengan perbandingan 27% : 7%. Faktor prenatal Usia ibu saat hamil sangat menentukan status kesehatan bayi yang akan dilahirkan. Usia ibu kurang dari 20 atau lebih dari 35 tahun dapat mengakibatkan
28

berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan. Komplikasi kehamilan di antaranya adalah preeklamsia dan eklamsia, sedangkan gangguan pada persalinan diantaranya adalah trauma persalinan. Kehamilan primipara atau multipara juga mampu menyebabkan awitan kejang. insiden kejang ditemukan lebih tinggi pada anak pertama. Hal ini kemungkinan disebabkan karena pada primipara lebih sering terjadi penyulit persalinan. Penyulit persalinan juga lebih sering ditemukan pada pasien multipara (kehamilan dan melahirkan bayi hidup lebih dari 4 kali). Pemakaian Bahan Toksik Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/ kehamilan ibu, seperti ibu menelan oabat- obat tertentu yang dapat merusak otak janin, mengalami infeksi, minum alkohol atau mengalami cedera atau mendapat penyinaran dapat menyebabkan kejang. Merokok dapat mempengaruhi kehamilan dan

perkembangan janin serta mampu meningkatkan resiko kerusakan janin. Dampak lain dari merokok pada saat hamil adalah terjadinya plasenta previa. Plasenta previa dapat menyebabkan perdarahan berat pada kehamilan atau persalinan dan bayi sungsang sehingga diperlukan seksio caesare. Keadaan ini dapat menyebabkan trauma lahir yang berakibat terjadinya kejang. Faktor Perinatal Asfiksia Pada asfiksia perinatal akan terjadi hipoksia dan iskemia di jaringan otak. Keadaan ini dapat menimbulkan bangkitan kejang baik pada stadium akut dengan frekuensi tergantung pada derajad beratnya asfiksia. Hipoksia dapat menyebabkan rusaknya faktor inhibisi dan atau meningaktnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai. Bayi berat lahir rendah Bayi berat lahir rendah adalah bayi yang lahir dengan berat kurang dari 2500 gram. BBLR dapat menyebabkan asfiksia atau iskemia otak dan perdarahan intraventrikuler. Bayi dengan BBLR dapat mengalami gangguan metabolisme yaitu hipoglikemia dan hipokalsemia. Keadaan ini dapat menyebabkan
29

kerusakan otak pada periode perinatal. Adanya kerusakan otak dapat menyebabkan kejang pada perkembangan selanjutnya. Kelahiran prematur dan postmatur Bayi prematur adalah bayi lahir hidup yang dilahirkan sebelum 37 minggu dari hari pertama menstruasi terakhir. Pada bayi prematur perkembangan alatalat tubuh kurang sempurna sehingga belum berfungsi dengan baik. Bayi postmatur adalah bayi lahir hidup yang dilahirkan lewat waktu yaitu lebih dari 42 minggu. Pada keadaan ini terjadi proses penuaan plasenta, sehingga pemasukan makanan dan oksigen akan menurun. Komplikasi yang dapat dialami oleh bayi lahir postmatur ialah suhu yang tidak stabil, hipoglikemia, dan kelainan neurologik. Partus lama Partus lama yaitu persalinan kala I lebih dari 12 jam dan kala II lebih dari 1 jam. Pada primigravida biasanya kala I sekitar 13 jam dan kala II1.5 jam. Sedangkan pada multigravida, kala I antara 7 jam dan kala II 1-5 jam. Persalinan yang sukar dan lama meningkatkan resiko terjadinya cedera mekanik dan hipoksia janin. Manifestasi klinis dari cedera mekanik dan hipoksia dapat berupa kejang. Persalinan dengan alat (Forcep, Vakum, Seksio Cesaria) Persalinan yang sulit termasuk persalinan dengan bantuan alat dan kelainan letak dapat menyebabkan trauma lahir atau cedera mekanik pada kepala bayi. Trauma lahir dapat menyebabkan perdarahan subdural, subarakhnoid, dan perdarahan intraventrikuler. Perdarahan subarachnoid dapat menyebabkan manifestasi neurologis berupa iritabel dan kejang. Faktor post natal Infeksi susunan saraf pusat Resiko akibat serangan kejang bervariasi sesuai dengan tipe infeksi yang terjadi pada sistem saraf pusat. Resiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila serangan berlangsung bersamaan dengan
30

terjadinyainfeksi sistem saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis, dan terjadinya abses serta infeksi lainnya. Trauma kepala/ cedera kepala Trauma memberikan dampak pada jaringan otak yang dapat bersifat akut atau kronis. Pada trauma yang ringan dapat menimbulkan dampak yang muncul dikemudian hari dengan gejala sisa neurologik parese nervus cranialis, serta cerebral palsy dan retardasi mental. Gangguan metabolik Serangan kejang terjadi dengan adanya gangguan pada konsentrasi serum glukose, kalsium, magnesium, pottasium, dan sodium.

IV. 4 Kriteria Diagnosa Kejang Demam Kejang demam akan hilang setelah pasien berumur lebih dari 5 tahun. Pasien dinyatakan menderitak kejang demam apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut: Pasien harus berumur antara 6 bulan sampai 5 tahun Adanya demam sebelum kejang umum timbul, (suhu rektal >38 oC) harus dapat ditentukan secara tepat. Konvulsi umum harus bebas dari tanda- tanda fokalitas apapun. Lamanya konvulsi umum harus kurang dari 10 menit. Setelah konvulsi umum berhenti tidak boleh didapati paralisis. Dua minggu setelah kejang demam , pola EEG harus normal. Cairan serebospinal harus normal Hasil pemeriksaan laboratorium mengenai elektrolit, calsium, phosphat, magnesium dan BUN semuanya harus normal (Tosca pedriatica). IV. 5 Klasifikasi Kejang Demam Perbedaan antara kejang demam dengan kejang yang disertai demam.

31

Kejang Demam Besar 1- 3 menit, jarang kejang lama Manifestasi klinis pada saat Pada saat demam, kejang sebagian besar karena ISPA Kelainan patologi yang Tidak ada
Faktor predisposisi genetik Lama kejang mendasari Post neurologi Post iktal (paralisis Todds)

Kejang disertai demam Kecil/ tidak bermanfaat Lebih 10 menit Infeksi SSP (meningitis, ensephalitis). Perubahan vaskular dan edema Sering

Jarang

Tipe- tipe Kejang Demam Kejang Demam Kompleks Kejang berlangsung lebih dari 2 kali dalam 24 jam Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial. Kejang berlangsung lama, lebih dari 15 menit.

Kejang Demam Sederhana Berlangsung singkat Umumnya serangan berhenti sendiri dalam waktu kurang dari 10 menit Bangkitan kejang tonik atau klonik, tanpa gerakan fokal. Tidak berulang- berulang dalam waktu 24 jam. Dan sebanyak 80- 90% kejang demam merupakan kejang demam sederhana. IV. 6 Patofisiologi Kejang Demam Kejang merupakan manifestasi klinis akibat terjadinya pelepasan muatan listrik yang berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron tersebut baik berupa fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi. Sel saraf, seperti juga sel hidup mempunyai potensial membran. Potensial membran yaitu selisih potensial antara intrasel dan ekstrasel. Potensial intrasel lebih negatif dibandingkan ekstrasel. Dalam keadaan istirahat potensial membran berkisar
32

antara 30-100 mV, selisih potensial membran akan tetap sama selama sel tidak mendapat rangsangan. Potensial membran ini terjadi akibat dari perbedaan letak jumlah ion- ion tertentu, terutama Na+, K+, dan Ca++. Bila sel saraf mengalami stimulasi, akan menyebabkan potensial membran menurun. Penurunan potensial membran ini akan menyebabkan permeabilitas membran terhadap ion Na+ akan meningkat, sehingga Na+ akan masuk ke dalam sel. Selama serangan ini lemah, perubahan potensial membran masih dapat dikompensasi oleh transport aktif ion Na+ dan ion K+, sehingga selisih potensial akankembali pada keadaan istirahat. Bila rangsangan cukup kuat maka perubahan potensial dapat mencapai ambang tetap (firing level), maka permeabilitas membran terhadap Na+ akan meningkat secara besar- besaran pula, sehingga timbul potensial aksi. Potensial aksi ini akan dihantarkan ke sel saraf berikutnya melalui sinaps dengan perantara neurotransmiter. Dan bila perangsangan telah selesei, permeabilitas akan kembali dalam keadaan istirahat dengan cara Na+ akan kembali ke luar sel dan K+ akan masuk ke dalam sel melalui mekanisme pompa Na-K yang membutuhkan ATP dari sintesa glukosa dan oksigen. Mekanisme terjadinya kejang terdapat beberapa teori : o Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K, misalnya pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangakan kejang sendiri dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia. o Perubahan permeabilitas membran sel saraf, misalnya hipokalsemia dan hipomagnesemia. o Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau Glutamat akan menimbulkan kejang. Mekanisme kejang demam sebenarnya masih belum jelas diteliti, tetapi terdapat mekanisme yang mampu menjelaskan mekanisme demam hingga menyebabkan kejadian kejang:
33

Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel- sel yang belum matang atau immatur. Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang menyebabkan gangguan permeabilitas membran sel. Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan Co2 yang akan merusak neuron.

Demam tinggi menyebabkan hipoksia jaringan termasuk jaringan otak. Dalam keadaan metabolisme normal akan menghasilkan 38 ATP pada siklus Kreb, sedangkan pada keadaan hipoksia jaringan metabolisme berjalan anaerob, dimana satu molekul glukosa akan menghasilkan 2 ATP, sehingga dala keadaan hipoksia akan kekurangan energi yang dapat mengganggu fungsi pompa Na+ dan reuptake asam glutamat oleh sel glia (Guyton and Hall, 2006). IV. 7 Penatalaksanaan Saat kejang Dalam keadaan kejang obat yang paling cepat dalam menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosisnya adalah 0,3 0,5 mg/kg perlahan lahan dengan kecepatan 1 2 mg/menit atau dalam waktu 3 5 menit dengan dosis maksimal 20 mg. diazepam dalam bentuk rektal dapat diberikan di rumah saat kejang. Dosis diazepam rektal adalah 0,5 0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak di bawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun. Kejang yang belum berhenti dengan diazepam rektal dapat diulangi dengan cara dan dosis yang sama dalam interval waktu 5 menit. Bila 2 kali dengan diazepam rektal masih kejang dianjurkan ke rumah sakit dan dapat diberikan diazepam intravena dosis 0,3 0,5 mg/kg. Bila kejang masih belum berhenti diberikan fenitoin intravena dengan dosis awal 10 20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4 8 mg/kg/hari, yaitu 12 jam setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang
34

rawat intensif. Bila kejang telah berhenti pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demamnya dan faktor risikonya.
Kejang
Diazepam rektal , tunggu 5 menit

Diazepam rektal

Tunggu 5 menit, oksigennasi, infus Fenitoin IV 20 menit

ICU, fenobarbital 50 mg IV, ventilator jika perlu

Saat demam Pemberian obat saat demam dapat digunakan antipiretik dan anti konvulsan. Antipiretik sangat dianjurkan walaupun tidak ada bukti bahwa penggunaannya dapat mengurangi risiko terjadinya kejang demam. Dapat diberikan asetaminofen berkisar 10 15 mg / kg / kali diberikan 3 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis ibuprofen 5 10 mg / kg / kali, 3 4 kali sehari. Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg / kgbb setiap 8 jam pada saat demam menurunkan risiko berulangnya kejang, dapat juga diberikan diazepam rektal 0,5 mg / kgbb setiap 8 jam pada suhu > 38,5 C. Fenobarbital, karbamazepin, fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam. Pengobatan rumatan Pengobatan rumatan hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri sebagai berikut : - Kejang lama > 15 menit - Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya hemiparesis, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus. - Kejang fokal
35

- apabila ada keluarga sekandung atau orang tua mengalami epilepsi Pengobatan rumatan dipertimbangkan bila : - kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam - kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan - kejang demam 4 kali per tahun Obat pilihan untuk rumatan adalah fenobarbital atau asam valproat dengan dosis 15 40 mg / kgbb / hari 2 3 dosis, sedangkan fenobarbital 3-5 mg/kgBB/hari dibagi 2 dosis. Lama pengobatan rumatan adalah 1 tahun bebas kejang lalu dihentikan bertahap selama 1 2 bulan.

36

BAB V PENUTUP

A.

Kesimpulan Holistik An. D adalah seorang pasien kejang demam, perempuan yang berumur 2

tahun. Tinggal dalam keluarga kecil yang harmonis dengan keluarga yang memperhatikannya. Segi Biologis Pasien An. D adalah seorang penderita kejang demam Segi Psikologis Keluarga An. D mempunyai APGAR score baik, sehingga hubungan antara anggota keluarga trjalin sangat akrab, harmonis, menyayangi dan saling memperhatikan. Segi Sosioekonomi Keluarga ini memiliki status ekonomi yang cukup untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Keluarga ini merupakan anggota masyarakat biasa dalam kemasyarakatannya yang mengikuti beberapa kegiatan di lingkungannya.

B.

Saran Komprehensif Promotif Perlu diberikan edukasi keluarga mengenai penyakit pasien. Memberikan

pengetahuan tentang pengaruh ataupun tanda- tanda kejang demam selanjutnya sehingga apabila terjadi keadaan yang berulang langsung dapat dibawa ke pelayanan kesehatan. Preventif Memperbanyak waktu istirahat. Menyiapkan obat penurun panas di rumah agar bila pasien kembali demam, dapat pertolongan pertama dari keluarga. Memberikan asupan nutrisi yang adekuat agar tidak rentan sakit status gizinya tercukupi.
37

Kurativ Obat penurun panas Pencegahan kejang demam (fenobarbital atau asam valproat). Suplemen daya tahan tubuh Rehabilitatif Motovasi kepada keluarga pasien bahwa penderita kejang demam dengan pengobatan yang baik akan mempunyai hasil yang bagus, biasanya tidak terdapat gejala sisa.

38

DAFTAR PUSTAKA

Guyton, A. C., and Hall, J. E. 2006. Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.EGC Penerbit Buku Kedokteran: Jakarta. Istiantoro, Y. H. dan Gan, V.H.S. 2008. Penisilin, sephalosporin, dan antibiotic beta laktam lainnya. Dalam Farmakologi dan Terapi. Edisi V. Editor: Sulistia, dkk. Departemen Farmakologi dan Terapeutik. Fakultas Kedoketran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal 664-693. Price S. A., Wilson L. M. 2005. Gangguan kejang dalam Patofisiologi Konsep Klinis proses Proses penyakit. Edisi 6. Volume 2. Penerbit Buku kdokteran. Halaman 1155- 1166. Santoso, A., dkk. MIMS edisi bahasa Indonesia. Volume 11. 2010. Silbernagl, S., Lang, F. 2006. Demam, Hipertermia dan Trauma Panas. Dalam text dan Atlas berwarna Patofisiologi. Penerbit Buku kedokteran, EGC. Halaman 20-21. WHO, buku saku. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit.

www.MIMS.com

39

Anda mungkin juga menyukai