Anda di halaman 1dari 25

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

1. Hipertensi 1.1 Pengertian Hipertensi Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg. Pada populasi lanjut usia, hipertensi idefinisikan sebagai tekanan sistolik 160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg (Sheps,2005). Hipertensi diartikan sebagai peningkatan tekanan darah secara terus menerus sehingga melebihi batas normal. Tekanan darah normal adalah 110/90 mmHg. Hipertensi merupakan produk dari resistensi pembuluh darah perifer dan kardiak output (Wexler, 2002) 1.2 Klasifikasi Hipertensi 1.2.1 Berdasarkan penyebab dikenal dua jenis hipertensi, yaitu : Hipertensi primer (esensial) Adalah suatu peningkatan persisten tekanan arteri yang dihasilkan oleh ketidakteraturan mekanisme kontrol homeostatik normal, Hipertensi ini tidak diketahui penyebabnya dan mencakup + 90% dari kasus hipertensi (Wibowo, 1999). Hipertensi sekunder Adalah hipertensi persisten akibat kelainan dasar kedua selain hipertensi esensial. Hipertensi ini penyebabnya diketahui dan ini menyangkut + 10% dari kasuskasus hipertensi. (Sheps, 2005). Berdasarkan bentuk hipertensi,yaitu hipertensi diastolic,campuran,dan sistolik. Hipertensi diastolik (diastolic hypertension) yaitu peningkatan tekanan diastolik tanpa diikuti peningkatan tekanan sistolik. Biasanya ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda.Hipertensi campuran (sistol dan diastol yang meninggi) yaitu peningkatan tekanan darah pada sistol dan diastol. Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension) yaitu peningkatan tekanan sistolik tanpa diikuti peningkatan tekanan diastolik. Umumnya ditemukan pada usia lanjut. (Gunawan, 2001) 1.3 Etiologi hipertensi Corwin (2000) menjelaskan bahwa hipertensi tergantung pada kecepatan denyut jantung, volume sekuncup dan Total Peripheral Resistance (TPR). Maka peningkatan salah satu dari

ketiga variabel yang tidak dikompensasi dapat menyebabkan hipertensi. Peningkatan kecepatan denyut jantung dapat terjadi akibat rangsangan abnormal saraf atau hormon pada nodus SA. Peningkatan kecepatan denyut jantung yang berlangsung kronik sering menyertai keadaan hipertiroidisme. Namun, peningkatan kecepatan denyut jantung biasanya dikompensasi oleh penurunan volume sekuncup atau TPR, sehingga tidak meninbulkan hipertensi (Astawan,2002) Peningkatan volume sekuncup yang berlangsung lama dapat terjadi apabila terdapat peningkatan volume plasma yang berkepanjangan, akibat gangguan penanganan garam dan air oleh ginjal atau konsumsi garam yang berlebihan. Peningkatan pelepasan renin atau aldosteron maupun penurunan aliran darah ke ginjal dapat mengubah penanganan air dan garam oleh ginjal. Peningkatan volume plasma akan menyebabkan peningkatan volume diastolik akhir sehingga terjadi peningkatan volume sekuncup dan tekanan darah. Peningkata preload biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan sistolik ( Amir,2002) Peningkatan Total Periperial Resistence yang berlangsung lama dapat terjadi pada peningkatan rangsangan saraf atau hormon pada arteriol, atau responsivitas yang berlebihan dari arteriol terdapat rangsangan normal. Kedua hal tersebut akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Pada peningkatan Total Periperial Resistence, jantung harus memompa secara lebih kuat dan dengan demikian menghasilkan tekanan yang lebih besar, untuk mendorong darah melintas pembuluh darah yang menyempit. Hal ini disebut peningkatan dalam afterload jantung dan biasanya berkaitan dengan peningkatan tekanan diastolik. Apabila peningkatan afterload berlangsung lama, maka ventrikel kiri mungkin mulai mengalami hipertrifi (membesar). Dengan hipertrofi, kebutuhan ventrikel akan oksigen semakin meningkat sehingga ventrikel harus mampu memompa darah secara lebih keras lagi untuk memenuhi kebutuhan tesebut. Pada hipertrofi, serat-serat otot jantung juga mulai tegang melebihi panjang normalnya yang pada akhirnya menyebabkan penurunan kontraktilitas dan volume sekuncup.( Hayens, 2003 ) 1.4 Patofisiologi hipertensi Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls

yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokontriktor. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi (Corwin,2001) Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medula adrenal mengsekresi epinefrin yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal mengsekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapt memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetus keadaan hipertensi ( Dekker, 1996 ) Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada lanjut usia. Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat, dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup), mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan perifer (Corwin,2001). 1.5 Tanda dan Gejala Hipertensi Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang tinggi, tetapi dapat pula ditemukan perubahan pada retina, seperti perdarahan, eksudat (kumpulan cairan), penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat, edema pupil (edema pada diskus optikus).

Individu yang menderita hipertensi kadang tidak menampakan gejala sampai bertahuntahun. Gejala bila ada menunjukan adanya kerusakan vaskuler, dengan manifestasi yang khas sesuai sistem organ yang divaskularisasi oleh pembuluh darah bersangkutan. Perubahan patologis pada ginjal dapat bermanifestasi sebagai nokturia (peningkatan urinasi pada malam hari) dan azetoma [peningkatan nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin]. Keterlibatan pembuluh darah otak dapat menimbulkan stroke atau serangan iskemik transien yang bermanifestasi sebagai paralisis sementara pada satu sisi (hemiplegia) atau gangguan tajam penglihatan (Wijayakusuma,2000 ). Crowin (2001: 359) menyebutkan bahwa sebagian besar gejala klinis timbul setelah mengalami hipertensi bertahun-tahun berupa: Nyeri kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah intrakranial,Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi,Ayunan langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat,Nokturia karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus,Edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler. Gejala lain yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing, muka merah, sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal dan lain-lain (Wiryowidagdo,2002). 1.6 Faktor-faktor Resiko Hipertensi Faktor resiko hipertensi meliputi : Faktor usia sangat berpengaruh terhadap hipertensi karena dengan bertambahnya umur maka semakin tinggi mendapat resiko hipertensi. Insiden hipertensi makin meningkat dengan meningkatnya usia. Ini sering disebabkan oleh perubahan alamiah di dalam tubuh yang mempengaruhi jantung, pembuluh darah dan hormon. Hipertensi pada yang berusia kurang dari 35 tahun akan menaikkan insiden penyakit arteri koroner dan kematian prematur (Julianti, 2005). Jenis kelamin juga sangat erat kaitanya terhadap terjadinya hipertensi dimana pada masa muda dan paruh baya lebih tinggi penyakit hipertensi pada laki-laki dan pada wanita lebih tinggi setelah umur 55 tahun, ketika seorang wanita mengalami menopause. Perbandingan antara pria dan wanita, ternyata wanita lebih banyak menderita hipertensi. Dari laporan sugiri di Jawa Tengah didapatkan angka prevalensi 6% dari pria dan 11% pada wanita. Laporan dari Sumatra Barat menunjukan 18,6% pada pria dan 17,4% wanita. Di daerah

perkotaan Semarang didapatkan 7,5% pada pria dan 10,9% pada wanita. Sedangkan di daerah perkotaan Jakarta didapatkan 14,6 pada pria dan 13,7% pada wanita (Gunawan, 2001). Riwayat keluarga juga merupakan masalah yang memicu masalah terjadinya hipertensi hipertensi cenderung merupakan penyakit keturunan. Jika seorang dari orang tua kita memiliki riwayat hipertensi maka sepanjang hidup kita memiliki kemungkinan 25% terkena hipertensi ( Astawan,2002 ) Garam dapur merupakan faktor yang sangat dalam patogenesis hipertensi. Hipertensi hampir tidak pernah ditemukan pada suku bangsa dengan asupan garam yang minimal. Asupan garam kurang dari 3 gram tiap hari menyebabkan hipertensi yang rendah jika asupan garam antara 5-15 gram perhari, prevalensi hipertensi meningkat menjadi 15-20%. Pengaruh asupan garam terhadap timbulnya hipertensi terjadai melalui peningkatan volume plasma, curah jantung dan tekanan darah (Basha, 2004). Garam mengandung 40% sodium dan 60% klorida. Orang-orang peka sodium lebih mudah meningkat sodium, yang menimbulkan retensi cairan dan peningkatan tekanan darah (Sheps, 2005). Garam berhubungan erat dengan terjadinya tekanan darah tinggi gangguan pembuluh darah ini hampir tidak ditemui pada suku pedalaman yang asupan garamnya rendah. Jika asupan garam kurang dari 3 gram sehari prevalensi hipertensi presentasinya rendah, tetapi jika asupan garam 5-15 gram perhari, akan meningkat prevalensinya 15-20% (Wiryowidagdo, 2002). Garam mempunyai sifat menahan air. Mengkonsumsi garam lebih atau makan makanan yang diasinkan dengan sendirinya akan menaikan tekanan darah. Hindari pemakaian garam yang berkebih atau makanan yang diasinkan. Hal ini tidak berarti menghentikan pemakaian garam sama sekali dalan makanan. Sebaliknya jumlah garam yang dikonsumsi batasi (Wijayakusuma, 2000). Merokok merupaka salah satu faktor yang dapat diubah, adapun hubungan merokok dengan hipertensi adalah nikotin akan menyebabkan peningkatan tekana darah karena nikotin akan diserap pembulu darah kecil dalam paru-paru dan diedarkan oleh pembuluh darah hingga ke otak, otak akan bereaksi terhadap nikotin dengan member sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepas efinefrin (Adrenalin). Hormon yang kuat ini akan menyempitkan pembulu darah dan memaksa jantung untuk bekerja lebih berat karena tekanan yang lebih tinggi.Selain itu, karbon monoksida dalam asap rokok menggantikan oksigen dalam darah. Hal ini akan menagakibatkan

tekana darah karena jantung dipaksa memompa untuk memasukkan oksigen yang cukup kedalam orga dan jaringan tubuh ( Astawan, 2002 ). Aktivitas sangat mempengaruhiterjadinya hipertensi, dimana pada orang yang kuan aktvitas akan cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tingi sehingga otot jantung akan harus bekerja lebih keras pada tiap kontraksi.Makin keras dan sering otot jantung memompa maka makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri ( Amir, 2002 ). Stress juga sangat erat merupakan masalah yang memicu terjadinya hipertensi dimana hubungan antara stress dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis peningkatan saraf dapat menaikan tekanan darah secara intermiten (tidak menentu). Stress yang berkepanjangan dapat mengakibatkan tekanan darah menetap tinggi. Walaupun hal ini belum terbukti akan tetapi angka kejadian di masyarakat perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di pedesaan. Hal ini dapat dihubungkan dengan pengaruh stress yang dialami kelompok masyarakat yang tinggal di kota (Dunitz, 2001). 1.7. Komplikasi Hipertensi Stroke dapat timbul akibat perdarahan tekanan tinggi di otak, atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh non otak yang terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertropi dan menebal, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang diperdarahinya berkurang. Arteri-arteri otak yang mengalami arterosklerosis dapat melemah sehingga meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma (Corwin, 2001). Gejala terkena stroke adalah sakit kepala secara tiba-tiba, seperti, orang bingung, limbung atau bertingkah laku seperti orang mabuk, salah satu bagian tubuh terasa lemah atau sulit digerakan (misalnya wajah, mulut, atau lengan terasa kaku, tidak dapat berbicara secara jelas) serta tidak sadarkan diri secara mendadak (Santoso, 2001). Infark Miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang arterosklerosis tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila terbentuk trombus yang menghambat aliran darah melalui pembuluh darah tersebut. Karena hipertensi kronik dan hipertensi ventrikel, maka kebutuhan oksigen miokardium mungkin tidak dapat terpenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang menyebabkan infark. Demikian juga hipertropi ventrikel dapat menimbulkan

perubahan-perubahan waktu hantaran listrik melintasi ventrikel sehingga terjadi disritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan resiko pembentukan bekuan (Corwin, 2001). Gagal ginjal dapat terjadi karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada kapilerkepiler ginjal, glomerolus. Dengan rusaknya glomerolus, darah akan mengalir keunit-unit fungsional ginjal, nefron akan terganggu dan dapat berlanjut menjadi hipoksia dan kematian. Dengan rusaknya membran glomerolus, protein akan keluar melalui urin sehingga tekanan osmotik koloid plasma berkurang, menyebabkan edema yang sering dijumpai pada hipertensi kronik (Corwin, 2001). Gagal jantung atau ketidakmampuan jantung dalam memompa darah yang kembalinya kejantung dengan cepat mengakibatkan cairan terkumpul di paru,kaki dan jaringan lain sering disebut edma.Cairan didalam paru paru menyebabkan sesak napas, timbunan cairan ditungkai menyebabkan kaki bengkak atau sering dikatakan edema (Amir, 2002) Ensefalopati dapat terjadi terjadi terutama pada hipertensi maligna (hipertensi yang cepat). Tekanan yang tinggi pada kelainan ini menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke dalam ruang intertisium diseluruh susunan saraf pusat. Neuron neuron disekitarnya kolap dan terjadi koma serta kematian (Corwin, 2001). 2. Perawatan Penderita Hipertensi di Rumah Perawatan penderita hipertensi pada umumnya dilakukan oleh keluarga dengan memperhatikan pola hidup dan menjaga psikis dari anggota keluarga yang menderita hipertensi. Pengaturan pola hidup sehat sangat penting pada klien hipertensi guna untuk mengurangai efek buruk dari pada hipertensi. Adapun cakupan pola hidup antara lain berhenti merokok, mengurangi kelebihan berat badan, menghindari alkohol, modifikasi diet. Dan yang mencakup psikis antara lain mengurangi sres, olahraga, dan istirahat (Amir, 2002 ). Merokok sangat besar perananya meningkatkan tekanan darah, hal ini disebabkan oleh nikotin yag terdapat didalam rokok yang memicu hormon adrenalin yang menyebabkan tekana darah meningkat. Nikotin diserap oleh pembuluh-pembuluh darah didalam paru dan diedarkan keseluruh aliran darah lainnya sehingga terjadi penyempitan pembuluh darah. Hal ini menyebabkan kerja jantung semakin meningkat untuk memompa darah keseluruh tubuh melalui pembuluh darah yang sempit. Dengan berhenti merokok tekanan darah akan turun secara

perlahan , disamping itu jika masih merokok maka obat yang dikonsumsi tidak akan bekerja secar optimal dan dengan berhenti merokok efektifitas obat akan meningkat ( Santoso, 2001 ). Mengurangi berat badan juga menurunkan resiko diabetes, penyakit kardiovaskular, dan kanker .Secara umum, semakin berat tubuh semakin tinggi tekanan darah, jika menerapkan pola makan seimbang maka dapat mengurangi berat badan dan menurunkan tekanan darah dengan cara yang terkontrol. Alkohol dalam darah merangsang adrenalin dan hormonhormon lain yang membuat pembuluh darah menyempit atau menyebabkan penumpukan natrium dan air. Minum-minuman yang beralkohol yang berlebih juga dapat menyebabkan kekurangan gizi yaitu penurunan kadar kalsium.Mengurangi alkohol dapat menurunkan tekanan sistolik 10 mmHg dan diastolik 7 mmHg. Modifikasi diet atau pengaturan diet sangat penting pada klien hipertensi, tujuan utama dari pengaturan diet hipertensi adalah mengatur tentang makanan sehat yang dapat mengontrol tekanan darah tinggi dan mengurangi penyakiit kardiovaskuler. Secara garis besar, ada empat macam diet untuk menanggulangi atau minimal mempertahankan keadaan tekana darah , yakni : diet rendah garam , diet rendah kolestrol, lemak terbatas serta tinggi serat, dan rendah kalori bila kelebihan berat baadan ( Astawan,2002 ). Diet rendah garam diberikan kepada pasien dengan edema atau asites serta hipertensi. Tujuan diet rendah garam adalah untuk menurunkan tekanan darah dan untuk mencegah edema dan penyakit jantung ( lemah jantung ). Adapun yang disebut rendah garam bukan hanya membatasi konsumsi garam dapur tetapi mengkonsumsi makanan rendah sodium atau natrium (Na).Oleh karena itu yang sangat penting untuk diperhatikan dalam melakukan diet rendah garam adalah komposisi makanan yang harus mengandung cukup zat zat gizi, baik kalori, protein, mineral maupun vitamin dan rendah sodium dan natrium ( Gunawan, 2001). Sumber sodium antara lain makanan yang mengandung soda kue, baking powder,MSG (Mono Sodium Glutamat), pengawet makanan atau natrium benzoat (Biasanya terdapat didalam saos, kecap, selai, jelly ), makanan yang dibuat dari mentega serta obat yang mengandung natrium ( obat sakit kepala ). Bagi penderita hipertensi, biasakan penggunaan obat dikonsultasikan dengan dokter terlebih dahulu ( Hayens, 2003 ). Diet rendah kolestrol dan lemak terbatas. Di dalam tubuh terdapat tiga bagian lemak yaitu : kolestrol, trigeserida, dan pospolipid.Tubuh memperoleh kolestrol dari makanan sehari hari

dan dari hasil sintesis dalam hati. Kolestrol dapat berbahaya jika dikonsumsi lebih banyak dari pada yang dibutuhkan oleh tubuh, peningkatan kolestrol dapat terjadi karena terlalu banyak mengkonsumsi makanan yang mengandung kolestrol tinggi dan tubuh akan mengkonsumsi sekitar 25 50 % dari setiap makanan ( Amir, 2002 ). Diet tinggi serat sangat penting pada penderita hipertensi, serat terdiri dari dua jenis yaitu serat kasar ( Crude fiber ) dan serat kasar banyak terdapat pada sayuran dan buah buahan, sedangkan serat makanan terdapat pada makanan karbohidrat yaitu : kentang, beras, singkong dan kacang hijau. Serat kasar dapat berfungsi mencegah penyakit tekanan darah tinggi karena serat kasar mampu mengikat kolestrol maupun asam empedu dan selanjutnya kasar yang cukup tinggi ( Mayo, 2005 ). Diet rendah kalori dianjurkan bagi orang yang kelebihan berat badan.Kelebihan berat badan atau obesitas akan berisiko tinggi terkena hipertensi. Demikian juga dengan orang yang berusia 40 tahun mudah terkena hipertensi. Dalam perencanaan diet, perlu diperhatikan hal hal berikut : 1. Asupan kalori dikurangi sekitar 25% dari kebutuhan energi atau 500 kalori untuk penurunan 500 gram atau 0.5 kg berat badan per minggu. 2. Menu makanan harus seimbang dan memenuhi kebutuhan zat gizi. 3. Perlu dilakukan aktifitas olah raga ringan. Stres tidak menyebabkan hipertensi yang menetap, tetapi stress berat dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah yang nersifat sementara yang sangat tinggi. Jika periode stress sering terjadi maka akan mengalami kerusakan pada pembuluh darah, jantung dan ginjal sama halnya seperti yang menetap ( Amir,2002). Manfaat olah raga yang sering di sebut olah raga isotonik seperti jalan kaki, jogging, berenang dan bersepeda sangat mampu meredam hipertensi. Pada olah raga isotonik mampu menyusutkan hormone noradrenalin dan hormone hormone lain penyebab naiknya tekanan darah. Hindari olah raga Isometrik seperti angkat beban, karena justru dapat menaikkan tekanan darah ( Mayer,1980). Istirahat merupakan suatu kesempatan untuk memperoleh energi sel dalam tubuh,istirahat dapat dilakukan dengan meluangkan waktu. Meluangkan waktu tidak berarti minta istirahat lebih banyak dari pada bekerja produktif samapai melebihi kepatuhan.Meluangkan waku istirahat itu membuang bersama kotoran. Keadaan ini dapat dicapai jika makanan yang dikonsumsi mengandung serat

perlu dilakukan secara rutin diantara ketegangan jam sibuk bekerja sehari hari. Bersantai juga bukan berarti melakukan rekreasi yang melelahkan,tetapi yang dimaksudkan dengan istirahat adalah usaha untuk mengembalikan stamina tubuh dan mengembalikan keseimbangan hormon dan dalam tubuh ( Amir,2002). 2. Diabetes Mellitus 2.1 Defenisi Diabetes Mellitus Diabetes Mellitus (DM) yang juga dikenal sebagai penyakit kencing manis adalah golongan penyakit kronis yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah sebagai akibat adanya gangguan sistem metabolisme dalam tubuh, dimana organ pankreas tidak mampu memproduksi hormon insulin sesuai kebutuhan tubuh. Menurut American Diabetes Association (ADA) 2003, DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan adanya hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Sedangkan menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) (2002) DM merupakan kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan sekresi insulin yang dapat dilatarbelakangi oleh kerusakan sel beta pankreas dan resistensi insulin. Apabila hormon insulin yang dihasilkan oleh sel beta pankreas tidak mencukupi untuk mengubah glukosa menjadi sumber energi bagi sel, maka glukosa tersebut akan tetap berada dalam darah dan kadar glukosa dalam darah akan meningkat sehingga timbullah DM. 2.2 Patogenesis Diabetes Mellitus Di dalam saluran pencernaan makanan dipecah menjadi bahan dasar dari makanan itu. Karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi asam amino dan lemak menjadi asam lemak. Agar dapat berfungsi sebagai bahan bakar, zat makanan itu harus masuk terlebih dahulu ke dalam sel agar dapat diolah. Di dalam sel, zat makanan terutama glukosa dibakar melalui proses metabolisme, yang hasil akhirnya adalah timbulnya energi. Dalam proses metabolisme ini insulin memegang peran yang sangat penting yaitu memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar. Hidrat arang dalam makanan diserap oleh usus halus dalam bentuk glukosa. Glukosa darah dalam tubuh manusia diubah menjadi glikogen hati dan otot oleh insulin. Sebaliknya, jika glikogen hati maupun otot akan digunakan, dipecah lagi

menjadi glukosa oleh adrenalin. Jika kadar insulin darah berkurang, kadar glukosa darah akan melebihi normal, menyebabkan terjadinya hiperglikemia. Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta pankreas dapat diibaratkan sebagai anak kunci yang dapat membuka pintu masuknya glukosa ke dalam sel, untuk kemudian di dalam sel glukosa itu dimetabolisasikan menjadi tenaga. Bila insulin tidak ada, maka glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel, akibatnya glukosa akan tetap berada di dalam pembuluh darah yang artinya kadarnya di dalam darah meningkat. Dalam keadaan ini badan akan menjadi lemah karena tidak ada sumber energi di dalam sel. Inilah yang terjadi pada Diabetes Mellitus. 2.3 Gejala-Gejala Diabetes Mellitus Diabetes mellitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh serta menimbulkan berbagai macam keluhan dan gejalanya sangat bervariasi. Diabetes mellitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga penderita tidak menyadari akan adanya perubahan seperti sering merasa haus (polidipsia), sering buang air kecil (poliuria), sering merasa lapar (polifagia) serta berat badan yang menurun. Selain gejala-gejala utama di atas, gejala selanjutnya adalah badan terasa lemah, kurang gairah kerja, mudah mengantuk, timbul kesemutan pada jari tangan dan kaki, gatal-gatal, gairah seks menurun bahkan sampai impotensi, luka yang sulit sembuh, penglihatan kabur, dan keputihan. Terkadang, ada sekelompok orang yang sama sekali tidak mengalami gejala-gejala tersebut, namun penyakit ini baru diketahui secara kebetulan pada waktu check up atau melakukan pemeriksaan darah. 2.4 Tipe Diabetes Mellitus 2.4.1 Diabetes Mellitus Tipe 1 (Insulin Dependent Diabetes Mellitus) Diabetes mellitus Tipe 1 terjadi karena sel-sel beta pada pankreas telah mengalami kerusakan, sehingga pankreas sangat sedikit atau tidak sama sekali memproduksi insulin. Kerusakan sel beta pankreas dapat disebabkan oleh adanya peradangan pada sel beta pankreas (insulitis). Insulitis dapat disebabkan macammacam diantaranya virus, seperti virus cocksakie, rubella, CMV (Cytomegalovirus), herpes dan lain-lain. Hal ini mengakibatkan tubuh sedikit memproduksi atau sama sekali tidak menghasilkan insulin, sehingga penderita DM Tipe 1

bergantung pada insulin dari luar, yaitu melalui suntikan/injeksi insulin secara teratur agar pasien tetap sehat. Secara global DM Tipe 1 tidak begitu umum, hanya kira-kira 10-20 % dari semua penderita DM yang menderita DM Tipe 1. DM Tipe 1 ini biasanya bermula pada saat kanakkanak dan puncaknya pada masa akil baliq atau remaja. Biasanya penderita DM Tipe 1 mempunyai berat badan yang kurus. 2.4.2 Diabetes Mellitus Tipe 2 (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus) DM Tipe 2 atau DM Tidak Tergantung Insulin adalah DM yang paling sering dijumpai. DM Tipe 2 terjadi karena kombinasi dari kecacatan dalam produksi insulin dan resistensi terhadap insulin. Pankreas masih bisa menghasilkan insulin, tetapi kualitasnya buruk, tidak dapat berfungsi dengan baik sebagai kunci untuk memasukkan glukosa ke dalam darah. Akibatnya, glukosa dalam darah meningkat. Pasien biasanya tidak memerlukan tambahan suntikan insulin dalam pengobatannya, tetapi memerlukan obat yang bekerja memperbaiki fungsi insulin dan menurunkan kadar gula dalam darah. DM Tipe 2 biasanya didiagnosa setelah berusia 40 tahun, dan 75 % individu dengan DM Tipe 2 adalah obesitas atau dengan riwayat obesitas. Penyakit DM Tipe 2 biasanya terjadi pada usia dewasa yang berusia menengah atau lanjut. Di Indonesia, sekitar 95 % kasus DM adalah DM Tipe 2, yang cenderung disebabkan oleh faktor gaya hidup yang tidak sehat. 2.5 Epidemiologi Diabetes Mellitus 2.5.1 Distribusi dan Frekuensi a. Menurut Orang Pada negara berkembang, DM cenderung diderita oleh penduduk usia 45-64 tahun, sedangkan pada negara maju penderita DM cenderung diderita oleh penduduk usia di atas 64 tahun. Penderita DM Tipe 1 biasanya berumur < 40 tahun dan penderita DM Tipe 2 biasanya berumur 40 tahun. Hasil penelitian Ditjen Yanmed Depkes RI pada tahun 2002, diperoleh data bahwa DM berada di urutan keenam dengan PMR sebesar 3,6% dari sepuluh penyakit utama yang ada di Rumah Sakit yang menjadi penyebab utama kematian. Dan penelitian Ditjen Yanmed Depkes pada tahun 2005 menyatakan bahwa DM menjadi penyebab kematian tertinggi

pada pasien rawat inap akibat penyakit metabolik, yaitu sebanyak 42.000 kasus dengan 3.316 kematian (CFR 7,9%). Berdasarkan penelitian Junita L.R marpaung di RSU Pematang Siantar tahun 2003-2004 terdapat 143 orang (80,79 %) pasien DM yang berusia 45 tahun dan 34 orang (19,21 %) yang berusia < 45 tahun. Menurut penelitian Renova di RS. Santa Elisabeth tahun 2007 terdapat 239 orang (96 %) pasien DM yang berusia 40 tahun dan 10 orang (4 %) yang berusia < 40 tahun. b. Menurut Tempat Pada Tahun 2000, lima Negara dengan jumlah penderita Diabetes mellitus terbanyak ada kelompok 20-79 tahun adalah India (31,7 juta), Cina (20,8 juta), Amerika (17,7 juta), Indonesia (8,4 juta), dan Jepang (6,8 juta). Berdasarkan survei lokal, prevalensi DM di Pulau Bali pada tahun 2004, mencapai angka 7,2%. Pada tahun 2005, di DKI Jakarta telah dilakukan survei, dan diperoleh prevalensi DM sebesar 12,8%. Menurut laporan PERKENI tahun 2005 dari berbagai penelitian epidemiologi di Indonesia, menunjukkan bahwa angka prevalensi DM terbanyak terdapat di kota-kota besar, antara lain : Jakarta 12,8 %, Surabaya 1,8 %, Makassar 12,5 %,dan Manado 6,7 %. Sedangkan prevalensi DM terendah terdapat di daerah pedesaan antara lain Tasikmalaya sebesar 1,8 % dan Tanah Toraja sebesar 0,9 %. Adanya perbedaan prevalensi DM di perkotaan dengan di pedesaan menunjukkan bahwa gaya hidup mempengaruhi kejadian DM. c. Menurut Waktu Pada tahun 2000, terdapat 2,9 juta kematian akibat DM di dunia, dimana 1,4 juta atau 48,28% kematian terjadi pada pria, dan selebihnya 1,5 juta atau 51,72% pada wanita. Dari jumlah kematian ini, 1 juta atau 34,48% kematian terjadi di negara maju dan 1,9 juta atau 65,52% kematian terjadi di negara berkembang. Pada tahun 2003, WHO menyatakan 194 juta jiwa atau 5,1% dari 3,8 miliar penduduk dunia usia 20-79 tahun menderita Diabetes mellitus dan tahun 2007 mengalami peningkatan menjadi 7,3%.

Peningkatan angka kesakitan DM dari waktu ke waktu lebih banyak disebabkan oleh faktor herediter, tahun 2030. 2.5.2 Determinan Beberapa faktor yang mempengaruhi DM adalah : a. Genetik atau Faktor Keturunan DM cenderung diturunkan atau diwariskan, dan tidak ditularkan. Faktor genetis memberi peluang besar bagi timbulnya penyakit DM. Anggota keluarga penderita DM memiliki kemungkinan lebih besar menderita DM dibandingkan dengan anggota keluarga yang tidak menderita DM. Apabila ada orangtua atau saudara kandung yang menderita DM, maka seseorang tersebut memiliki resiko 40 % menderita DM. DM Tipe 1 lebih banyak dikaitkan dengan faktor keturunan dibandingkan dengan DM Tipe 2. Sekitar 50 % pasien DM Tipe 1 mempunyai orang tua yang juga menderita DM, dan lebih dari sepertiga pasien mempunyai saudara yang juga menderita DM. Pada penderita DM Tipe 2 hanya sekitar 3-5 % yang mempunyai orangtua menderita DM juga. Pada DM tipe 1, seorang anak memiliki kemungkinan 1:7 untuk menderita DM bila salah satu orang tua anak tersebut menderita DM pada usia < 40 tahun dan 1:13 bila salah satu orang tua anak tersebut menderita DM pada usia 40 tahun. Namun bila kedua orang tuanya menderita DM tipe 1, maka kemungkinan menderita DM adalah 1:2. b. Usia DM dapat terjadi pada semua kelompok umur, terutama 40 tahun karena resiko terkena DM akan meningkat dengan bertambahnya usia dan manusia akan mengalami penurunan fisiologis yang akan berakibat menurunnya fungsi endokrin pankreas untuk memproduksi insulin. DM tipe 1 biasanya terjadi pada usia muda yaitu pada usia < 40 tahun, sedangkan DM tipe 2 biasanya terjadi pada usia 40 tahun. Di negara-negara barat ditemukan 1 dari 8 orang penderita DM berusia di atas 65 tahun, dan 1 dari penderita berusia di atas 85 tahun. life style (kebiasaan hidup) dan faktor lingkungannya. WHO menyatakan penderita DM Tipe 2 sebanyak 171 juta pada tahun 2000 akan meningkat menjadi 366 juta pada

Menurut penelitian Handayani di RS Dr. Sardjito Yogyakarta (2005) penderita DM Tipe 1 mengalami peningkatan jumlah kasusnya pada umur < 40 tahun (2,7%), dan jumlah kasus yang paling banyak terjadi pada umur 61-70 tahun (48 %). Menurut hasil penelitian Renova di RS. Santa Elisabeth tahun 2007 terdapat 239 orang (96%) pasien DM berusia 40 tahun dan 10 orang (4%) yang berusia < 40 tahun. c. Jenis Kelamin Perempuan memiliki resiko lebih besar untuk menderita Diabetes Mellitus, berhubungan dengan paritas dan kehamilan, dimana keduanya adalah faktor resiko untuk terjadinya penyakit DM. Dalam penelitian Martono dengan desain cross sectional di Jawa Barat tahun 1999 ditemukan bahwa penderita DM lebih banyak pada perempuan (63%) dibandingkan laki-laki (37%). Demikian pula pada penelitian Media tahun 1998 di seluruh rumah sakit di Kota Bogor, proporsi pasien DM lebih tinggi pada perempuan (61,8%) dibandingkan pasien laki-laki (38,2%). d. Pola Makan dan Kegemukan (Obesitas) Perkembangan pola makan yang salah arah saat ini mempercepat peningkatan jumlah penderita DM di Indonesia. Makin banyak penduduk yang kurang menyediakan makanan yang berserat di rumah. Makanan yang kaya kolesterol, lemak, dan natrium (antara lain dalam garam dan penyedap rasa) muncul sebagai tren menu harian, yang ditambah dengan meningkatnya konsumsi minuman yang kaya gula. Kegemukan adalah faktor resiko yang paling penting untuk diperhatikan, sebab meningkatnya angka kejadian DM Tipe 2 berkaitan dengan obesitas. Delapan dari sepuluh penderita DM Tipe 2 adalah orang-orang yang memiliki kelebihan berat badan. Konsumsi kalori lebih dari yang dibutuhkan tubuh menyebabkan kalori ekstra akan disimpan dalam bentuk lemak. Lemak ini akan memblokir kerja insulin sehingga glukosa tidak dapat diangkut ke dalam sel dan menumpuk dalam peredaran darah. Seseorang dengan IMT (Indeks Massa Tubuh) 30 kg/m2 akan 30 kali lebih mudah terkena DM dari pada seseorang dengan IMT normal (22 Kg/m2). Bila IMT 35 Kg/m2, kemungkinan mengidap DM menjadi 90 kali lipat.

e. Kurang Gerak Badan Melakukan aktivitas fisik seperti olahraga secara teratur dapat membuang kelebihan kalori sehingga dapat mencegah terjadinya kegemukan dan kemungkinan untuk menderita DM. Pada saat tubuh melakukan aktivitas/gerakan, maka sejumlah gula akan dibakar untuk dijadikan tenaga gerak. Sehingga sejumlah gula dalam tubuh akan berkurang dan kebutuhan akan hormon insulin juga akan berkurang. Pada orang yang jarang berolah raga zat makanan yang masuk ke dalam tubuh tidak dibakar, tetapi hanya akan ditimbun dalam tubuh sebagai lemak dan gula. Proses perubahan zat makanan dan lemak menjadi gula memerlukan hormon insulin. Namun jika hormon insulin kurang mencukupi, maka akan timbul gejala DM. f. Infeksi Virus yang dapat memicu DM adalah rubella, mumps, dan human coxsackievirus B4. Melalui mekanisme infeksi sitolitik dalam sel beta pankreas, virus ini menyebabkan kerusakan atau destruksi sel. Virus ini dapat juga menyerang melalui reaksi autoimunitas yang menyebabkan hilangnya autoimun dalam sel beta pankreas. Pada kasus DM Tipe 1 yang sering dijumpai pada anak-anak, seringkali didahului dengan infeksi flu atau batuk pilek yang berulangulang, yang disebabkan oleh virus mumps dan coxsackievirus. DM akibat bakteri masih belum bisa dideteksi. Namun para ahli kesehatan menduga bakteri cukup berperan menyebabkan DM. 2.6 Komplikasi Diabetes Mellitus DM sering disebut dengan the great imitator, yaitu penyakit yang dapat menyerang semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai keluhan. Penyakit ini timbul secara perlahanlahan, sehingga seseorang tidak menyadari adanya berbagai perubahan dalam dirinya. Karena itu, jelas bahwa DM bisa menjadi penyebab terjadinya komplikasi baik yang akut maupun kronis. 2.6.1 Komplikasi Akut Komplikasi yang akut akibat DM terjadi secara mendadak. Keluhan dan gejalanya terjadi dengan cepat dan biasanya berat. Komplikasi akut umumnya timbul akibat glukosa darah yang terlalu rendah (hipoglikemia) atau terlalu tinggi (hiperglikemia).

a. Hipoglikemia Kadar glukosa darah yang terlalu rendah sampai di bawah 60 mg/dl disebut hipoglikemia. Hipoglikemia dapat terjadi pada penderita DM yang diobati dengan suntikan insulin ataupun minum tablet anti-diabetes, tetapi tidak makan dan olah raganya melebihi biasanya. Bisa juga terjadi pada alkoholik, adanya tumor yang mensekresi glukagon, malnutrisi, dan yang jarang terjadi pada sepsis. Hipoglikemia dapat juga terjadi tanpa gejala awal pada sebagian pasien DM yang juga menderita hipertensi, khususnya di malam hari atau saat menggunakan obat bloker beta (obat hipertensi). Keluhan dan gejala hipoglikemia dapat bervariasi, tergantung pada sejauh mana glukosa turun. Keluhan hipoglikemia pada dasarnya dapat dibagi dalam dua kategori besar, yaitu : a.1. Keluhan akibat otak tidak mendapat cukup kalori sehingga menggangu fungsi intelektual, antara lain sakit kepala, kurang konsentrasi, mata kabur, capek, bingung, kejang, dan koma. a.2. Keluhan akibat efek samping hormon lain (adrenalin) yang berusaha menaikkan kadar glukosa darah, yaitu pucat, berkeringat, nadi berdenyut cepat, berdebar, cemas, serta rasa lapar. Pada awalnya ketika glukosa darah berada pada tingkat 40-50 mg/dl, pasien DM mengalami gemetaran, keringat dingin, mata kabur, lemah, lapar, pusing, sakit kepala, tegang, mual, jantung berdebar, dan kulit dingin. Pada saat glukosa darah di bawah 40 mg/dl, pasien akan merasa mengantuk, sukar bicara seperti orang mabuk, dan bingung. Dan pada saat glukosa di bawah 20 mg/dl keluhan atau gejala yang terjadi adalah kejang, tidak sadarkan diri (koma hipoglikemia), dan bisa menyebabkan kematian. b. Ketoasidosis Diabetik Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah gawat darurat akibat hiperglikemia dimana terbentuk banyak asam dalam darah. Hal ini terjadi akibat sel otot tidak mampu lagi membentuk energi sehingga dalam keadaan darurat ini tubuh akan memecah lemak dan terbentuklah asam yang bersifat racun dalam peredaran darah yang disebut keton. Keadaan ini terjadi akibat suntikan insulin berhenti atau kurang, atau mungkin karena lupa menyuntik atau tidak menaikkan dosis padahal ada makanan ekstra yang menyebabkan glukosa darah naik. Biasanya paling sering ditemukan pada penderita DM Tipe 1, namun pada penderita DM Tipe 2 pada keadaan tertentu seperti stress, infeksi, kelainan vaskuler ataupun stress emosional juga beresiko mendapatkan KAD.

Keluhan dan gejala KAD timbul akibat adanya keton yang meningkat dalam darah. Keluhan dan gejala tersebut berupa nafas yang cepat dan dalam, nafas bau keton atau aseton, nafsu makan turun, mual, muntah, demam, nyeri perut, berat badan turun, capek, lemah, bingung, mengantuk, dan kesadaran menurun sampai koma. Hasil pengamatan di bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM tahun 1990, terdapat 152 pasien DM yang dirawat dengan CFR sebesar 24,9 % dari 15 kasus KAD. c. Hiperosmolar Non-Ketotik Hiperosmolar Non-Ketotik adalah suatu keadaan dimana kadar glukosa darah sangat tinggi sehingga darah menjadi sangat kental, kadar glukosa darah DM bisa sampai di atas 600 mg/dl. Glukosa ini akan menarik air keluar sel dan selanjutnya keluar dari tubuh melalui kencing. Maka, timbullah kekurangan cairan tubuh atau dehidrasi. Gejala Hiperosmolar Non-Ketotik mirip dengan ketoasidosis. Perbedaannya, pada Hiperosmolar Non-Ketotik tidak dijumpai nafas yang cepat dan dalam serta berbau keton. Gejala yang ditimbulkan adalah rasa sangat haus, banyak kencing, lemah, kaki dan tungkai kram, bingung, nadi berdenyut cepat, kejang dan koma. 2.6.2 Komplikasi Kronik Kadar gula darah pada penderita DM dapat dikontrol. Jika kadar gula darah tetap tinggi akan timbul komplikasi kronik. Komplikasi kronik diartikan sebagai kelainan pembuluh darah yang akhirnya bisa menyebabkan serangan jantung, gangguan fungsi ginjal, dan gangguan saraf. Komplikasi kronik sering dibedakan berdasarkan bagian tubuh yang mengalami kerusakan, seperti kerusakan pada saraf, ginjal, mata, jantung, dan lainnya. a. Kerusakan Ginjal (Nephropathy) DM dapat mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal. Ginjal menjadi tidak dapat menyaring zat yang terkandung dalam urin. Bila ada kerusakan ginjal, racun tidak dapat dikeluarkan, sedangkan protein yang seharusnya dipertahankan ginjal bocor keluar. Penderita DM memiliki resiko 20 kali lebih besar menderita kerusakan ginjal dibandingkan dengan orang tanpa DM.

Gambaran gagal ginjal pada penderita DM yaitu : lemas, mual, pucat, sesak nafas akibat penimbunan cairan. Adanya gagal ginjal dibuktikan dengan kenaikan kadar kreatinin/ureum serum ditemukan berkisar 2-7 % dari penderita DM. selain itu adanya proteinuria tanpa kelainan ginjal yang lain merupakan salah satu tanda awal nefropati diabetik. b. Kerusakan Saraf (Neuropathy) Kerusakan saraf adalah komplikasi DM yang paling sering terjadi. Baik penderita DM Tipe 1 maupun Tipe 2 bisa terkena neuropati. Hal ini bisa terjadi setelah glukosa darah terus tinggi, tidak terkontrol dengan baik, dan berlangsung sampai 10 tahun atau lebih. Akibatnya saraf tidak bisa mengirim atau menghantar pesan-pesan rangsangan impuls saraf, salah kirim, atau terlambat dikirim. Keluhan dan gejala neuropati tergantung pada berat ringannya kerusakan saraf. Kerusakan saraf yang mengontrol otot akan menyebabkan kelemahan otot sampai membuat penderita tidak bisa jalan. Gangguan saraf otonom dapat mempercepat denyut jantung dan membuat muncul banyak keringat. Kerusakan saraf sensoris (perasa) menyebabkan penderita tidak bisa merasakan nyeri panas, dingin, atau meraba. Kadang-kadang penderita dapat merasakan kram, semutan, rasa tebal, atau nyeri. Keluhan neuropati yang paling berbahaya adalah rasa tebal pada kaki, karena tidak ada rasa nyeri, orang tidak tahu adanya infeksi. c. Kerusakan Mata Penyakit DM dapat merusak mata dan menjadi penyebab utama kebutaan. Setelah mengidap DM selama 15 tahun, rata-rata 2 persen penderita DM menjadi buta dan 10 persen mengalami cacat penglihatan. Kerusakan mata akibat DM yang paling sering adalah Retinopati (Kerusakan Retina). Glukosa darah yang tinggi menyebabkan rusaknya pembuluh darah retina bahkan dapat menyebabkan kebocoran pembuluh darah kapiler. Darah yang keluar dari pembuluh darah inilah yang menutup sinar yang menuju ke retina sehingga penglihatan penderita DM menjadi kabur. Kerusakan yang lebih berat akan menimbulkan keluhan seperti tampak bayangan jaringan atau sarang laba-laba pada penglihatan mata, mata kabur, nyeri mata, dan buta. Selain menyebabkan retinopati, DM juga dapat menyebabkan lensa mata menjadi keruh (tampak putih) yang disebut katarak serta dapat menyebabkan glaucoma (menyebabkan tekanan bola mata).

d. Penyakit jantung DM merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan penumpukan lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah. Jika pembuluh darah koroner menyempit, otot jantung akan kekurangan oksigen dan makanan akibat suplai darah yang kurang. Selain menyebabkan suplai darah ke otot jantung, penyempitan pembuluh darah juga mengakibatkan tekanan darah meningkat, sehingga dapat mengakibatkan kematian mendadak. e. Hipertensi Penderita DM cenderung terkena hipertensi dua kali lipat dibanding orang yang tidak menderita DM. Hipertensi bisa merusak pembuluh darah. Hipertensi dapat memicu terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan ginjal, atau stroke. Antara 35-75% komplikasi DM disebabkan oleh hipertensi. Faktor-faktor yang dapat mengakibatkan hipertensi pada penderita DM adalah nefropati, obesitas, dan pengapuran atau pengapuran atau penebalan dinding pembuluh darah. f. Gangguan Saluran Pencernaan Mengidap DM terlalu lama dapat mengakibatkan urat saraf yang memelihara lambung akan rusak sehingga fungsi lambung untuk menghancurkan makanan menjadi lemah. Hal ini mengakibatkan proses pengosongan lambung terganggu dan makanan lebih lama tinggal di dalam lambung. Gangguan pada usus yang sering diutarakan oleh penderita DM adalah sukar buang air besar, perut gembung, dan kotoran keras. Keadaan sebaliknya adalah kadang-kadang menunjukkan keluhan diare, kotoran banyak mengandung air tanpa rasa sakit perut. 2.7 Upaya Pencegahan Diabetes Mellitus Jumlah penderita DM tiap tahun semakin meningkat (prevalensinya menunjukkan peningkatan per tahun) dan besarnya biaya pengobatan serta perawatan penderita DM, terutama akibat-akibat yang ditimbulkannya. Jika telah terjadi komplikasi, usaha untuk menyembuhkan keadaan tersebut ke arah normal sangat sulit, kerusakan yang terjadi umumnya akan menetap, maka upaya pencegahan sangat bermanfaat baik dari segi ekonomi maupun terhadap kesehatan masyarakat.

Usaha pencegahan pada penyakit DM terdiri dari : Pencegahan primordial yaitu pencegahan kepada orang-orang yang masih sehat agar tidak memilki faktor resiko untuk terjadinya DM, pencegahan primer yaitu pencegahan kepada mereka yang belum terkena DM namun memiliki faktor resiko yang tinggi dan berpotensi untuk terjadinya DM agar tidak timbul penyakit DM, pencegahan sekunder yaitu mencegah agar tidak terjadi komplikasi walaupun sudah terjadi penyakit, dan pencegahan tersier yaitu usaha mencegah agar tidak terjadi kecacatan lebih lanjut walaupun sudah terjadi komplikasi. 2.7.1 Pencegahan Primordial Pencegahan primordial dilakukan dalam mencegah munculnya faktor predisposisi/resiko terhadap penyakit DM. Sasaran dari pencegahan primordial adalah orang-orang yang masih sehat dan belum memiliki resiko yang tinggi agar tidak memiliki faktor resiko yang tinggi untuk penyakit DM. Edukasi sangat penting peranannya dalam upaya pencegahan primordial. Tindakan yang perlu dilakukan seperti penyuluhan mengenai pengaturan gaya hidup, pentingnya kegiatan jasmani teratur, pola makan sehat, menjaga badan agar tidak terlalu gemuk dan menghindari obat yang bersifat diabetagenik. 2.7.2 Pencegahan Primer Sasaran dari pencegahan primer adalah orang-orang yang termasuk kelompok resiko tinggi, yakni mereka yang belum terkena DM, tetapi berpotensi untuk mendapatkan penyakit DM. pada pencegahan primer ini harus mengenal faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya DM dan upaya untuk mengeliminasi faktorfaktor tersebut. Pada pengelolaan DM, penyuluhan menjadi sangat penting fungsinya untuk mencapai tujuan tersebut. Materi penyuluhan dapat berupa : apa itu DM, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya DM, usaha untuk mengurangi faktor-faktor tersebut, penatalaksanaan DM, obat-obat untuk mengontrol gula darah, perencanaan makan, mengurangi kegemukan, dan meningkatkan kegiatan jasmani. a. Penyuluhan Edukasi DM adalah pendidikan dan latihan mengenai pengetahuan mengenai DM. Disamping kepada pasien DM, edukasi juga diberikan kepada anggota keluarganya, kelompok

masyarakat beresiko tinggi dan pihak-pihak perencana kebijakan kesehatan. Berbagai materi yang perlu diberikan kepada pasien DM adalah definisi penyakit DM, faktor-faktor yang berpengaruh pada timbulnya DM dan upaya-upaya menekan DM, pengelolaan DM secara umum, pencegahan dan pengenalan komplikasi DM, serta pemeliharaan kaki. b. Latihan Jasmani Latihan jasmani yang teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit) memegang peran penting dalam pencegahan primer terutama pada DM Tipe 2. Orang yang tidak berolah raga memerlukan insulin 2 kali lebih banyak untuk menurunkan kadar glukosa dalam darahnya dibandingkan orang yang berolah raga. Manfaat latihan jasmani yang teratur pada penderita DM antara lain : b.1. Memperbaiki metabolisme yaitu menormalkan kadar glukosa darah dan lipid darah b.2. Meningkatkan kerja insulin dan meningkatkan jumlah pengangkut glukosa b.3. Membantu menurunkan berat badan b.4. Meningkatkan kesegaran jasmani dan rasa percaya diri b.5. Mengurangi resiko penyakit kardiovaskular Laihan jasmani yang dimaksud dapat berupa jalan, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. c. Perencanaan Pola Makan Perencanaan pola makan yang baik dan sehat merupakan kunci sukses manajemen DM. Seluruh penderita harus melakukan diet dengan pembatasan kalori, terlebih untuk penderita dengan kondisi kegemukan. Menu dan jumlah kalori yang tepat umumnya dihitung berdasarkan kondisi individu pasien. Perencanaan makan merupakan salah satu pilar pengelolaan DM, meski sampai saat ini tidak ada satupun perencanaan makan yang sesuai untuk semua pasien, namun ada standar yang dianjurkan yaitu makanan dengan komposisi yang seimbang dalam karbohidrat, protein, dan lemak sesuai dengan kecukupan gizi baik sebagai berikut: Karbohidrat = 60-70 %, Protein = 1015 %, dan Lemak = 20-25 %. Jumlah asupan kolesterol perhari disarankan < 300 mg/hari dan diusahakan lemak berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh dan membatasi PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid) dan

asam lemak jenuh. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, ada tidaknya stress akut dan kegiatan jasmani. 2.7.3 Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder adalah upaya untuk mencegah atau menghambat timbulnya komplikasi dengan tindakan-tindakan seperti tes penyaringan yang ditujukan untuk pendeteksian dini DM serta penanganan segera dan efektif. Tujuan utama kegiatan-kegiatan pencegahan sekunder adalah untuk mengidentifikasi orangorang tanpa gejala yang telah sakit atau penderita yang beresiko tinggi untuk mengembangkan atau memperparah penyakit. Memberikan pengobatan penyakit sejak awal sedapat mungkin dilakukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya komplikasi menahun. Edukasi dan pengelolaan DM memegang peran penting untuk meningkatkan kepatuhan pasien berobat. a. Diagnosis Dini Diabetes Mellitus Dalam menetapkan diagnosis DM bagi pasien biasanya dilakukan dengan pemeriksaan kadar glukosa darahnya. Pemeriksaan kadar glukosa dalam darah pasien yang umum dilakukan adalah : a.1. Pemeriksaan kadar glukosa darah setelah puasa. Kadar glukosa darah normal setelah puasa berkisar antara 70-110 mg/dl. Seseorang didiagnosa DM bila kadar glukosa darah pada pemeriksaan darah arteri lebih dari 126 mg/dl dan lebih dari 140 mg/dl jika darah yang diperiksa diambil dari pembuluh vena. a.2. Pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu. Jika kadar glukosa darah berkisar antara 110-199 mg/dl, maka harus dilakukan test lanjut. Pasien didiagnosis DM bila kadar glukosa darah pada pemeriksaan darah arteri ataupun vena lebih dari 200 mg/dl. a.3. Test Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Test ini merupakan test yang lebih lanjut dalam pendiagnosaan DM. Pemeriksaan dilakukan berturut-turut dengan nilai normalnya : 0,5 jam < 115 mg/dl, 1 jam < 200 mg/dl, dan 2 jam < 140 mg/dl.

Selain pemeriksaan kadar gula darah, dapat juga dilakukan pemeriksaan HbA1C atau glycosylated haemoglobin. Glycosylated haemoglobin adalah protein yang terbentuk dari perpaduan antara gula dan haemoglobin dalam sel darah merah. Nilai yang dianjurkan oleh PERKENI untuk HbA1C normal (terkontrol) 4 % - 5,9 %. Semakin tinggi kadar HbA1C maka semakin tinggi pula resiko timbulnya komplikasi. Oleh karena itu pada penderita DM kadar HbA1C ditargetkan kurang dari 7 %. Ketika kadar glukosa dalam darah tidak terkontrol (kadar gula darah tinggi) maka gula darah akan berikatan dengan hemoglobin (terglikasi). Oleh karena itu, rata-rata kadar gula darah dapat ditentukan dengan cara mengukur kadar HbA1C. bila kadar gula darah tinggi dalam beberapa minggu maka kadar HbA1C akan tinggi juga. Ikatan HbA1C yang terbentuk bersifat stabil dan dapat bertahan hingga 2-3 bulan (sesuai dengan umur eritrosit). Kadar HbA1C akan menggambarkan rata-rata kadar gula darah dalam jangka waktu 2-3 bulan sebelum pemeriksaan. Jadi walaupun pada saat pemeriksaan kadar gula darah pada saat puasa dan 2 jam sesudah makan baik, namun kadar HbA1C tinggi, berarti kadar glukosa darah tetap tidak terkontrol dengan baik. b. Pengobatan Segera Intervensi fakmakologik ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan pengaturan makanan dan latihan jasmani. Dalam pengobatan ada 2 macam obat yang diberikan yaitu pemberian secara oral atau disebut juga Obat Hipoglikemik Oral (OHO) dan pemberian secara injeksi yaitu insulin. OHO dibagi menjadi 3 golongan yaitu : pemicu sekresi insulin (Sulfonilurea dan Glinid), penambah sensitivitas terhadap insulin (Metformin dan Tiazolidindion), penambah absobsi glukosa (penghambat glukosidase alfa). Selain 2 macam pengobatan tersebut, dapat juga dilakukan dengan terapi kombinasi yaitu dengan memberikan kombinasi dua atau tiga kelompok OHO jika dengan OHO tunggal sasaran kadar glukosa darah belum tercapai. Dapat juga menggunakan kombinasi kombinasi OHO dengan insulin apabila ada kegagalan pemakaian OHO baik tunggal maupun kombinasi. 2.7.4 Pencegahan Tersier Pencegahan tersier adalah semua upaya untuk mencegah kecacatan akibat komplikasi. Kegiatan yang dilakukan antara lain mencegah perubahan dari komplikasi menjadi kecatatan

tubuh dan melakukan rehabilitasi sedini mungkin bagi penderita yang mengalami kecacatan. Sebagai contoh, acetosal dosis rendah (80-325 mg) dapat dianjurkan untuk diberikan secara rutin bagi pasien DM yang sudah mempunyai penyakit makroangiopati. Dalam upaya ini diperlukan kerjasama yang baik antara pasien pasien dengan dokter mapupun antara dokter ahli diabetes dengan dokter-dokter yang terkait dengan komplikasinya. Penyuluhan juga sangat dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi pasien untuk mengendalikan penyakit DM. Dalam penyuluhan ini yang perlu disuluhkan mengenai : a. Maksud, tujuan, dan cara pengobatan komplikasi kronik diabetes b. Upaya rehabilitasi yang dapat dilakukan c. Kesabaran dan ketakwaan untuk dapat menerima dan memanfaatkan keadaan hidup dengan komplikasi kronik. Pelayanan kesehatan yang holistik dan terintegrasi antar disiplin terkait juga sangat diperlukan, terutama di rumah sakit rujukan, baik dengan para ahli sesama disiplin ilmu seperti konsultan penyakit jantung dan ginjal, maupun para ahli disiplin lain seperti dari bagian mata, bedah ortopedi, bedah vaskuler, radiologi, rehabilitasi, medis, gizi, pediatri dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai