Anda di halaman 1dari 21

Referat

GANGGUAN KOAGULASI PADA SINDROM METABOLIK

Gunawan Ali 17120080002 Pembimbing: dr. Maria Rini, Sp.PD

Sub Dep. Ilmu Penyakit Dalam Rumkital Marinir Cilandak Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan 27 Agustus 2012 3 November 2012

A. Pendahuluan Sindrom metabolik didefinisikan sebagai kumpulan faktor resiko metabolik yang terdiri dari dislipidemia, peningkatan tekanan darah, peningkatan kadar glukosa darah akibat resistensi insulin, keadaan protrombotik, dan keadaan proinflamasi. 1 Belakangan ini terjadi peningkatan angka kejadian sindrom metabolik. Di Amerika Serikat, prevalensi sindrom metabolik pada populasi usia di atas 20 tahun adalah 23%.2 Di Indonesia, prevalensi sindrom metabolik dengan kriteria modifikasi Asia adalah sebesar 25,7% pada pria dan 25% pada wanita.3 Prevalensi sindrom metabolik bervariasi di antara etnis, namun secara umum prevalensinya adalah 23% pada dewasa muda dan meningkat seiring bertambahnya usia. Sindrom metabolik menjadi perhatian karena berkaitan dengan peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler aterosklerotik. Penelitian terakhir melaporkan bahwa penderita sindrom metabolik memiliki risiko penyakit kardiovaskuler aterosklerotik sebesar dua kali lipat dibanding orang tanpa sindrom metabolik.4 Secara keseluruhan, penderita sindrom metabolik memiliki peningkatan risiko kematian menjadi sebesar 12%, dibandingkan 2% pada individu tanpa sindrom metabolik.5 Sindrom metabolik berhubungan erat dengan penyakit

kardiovaskuler, salah satunya karena terdapat gangguan koagulasi. Referat ini akan membahas lebih dalam mengenai gangguan koagulasi pada sindrom metabolik ditinjau dari patogenesis, pengenalan gejala, diagnosis, dan tatalaksana.

B. Etiologi dan Patofisiologi 1. Etiologi dan Patofisiologi Sindrom Metabolik Sindrom metabolik adalah suatu kumpulan gejala, bukan

merupakan penyakit tersendiri. Sampai saat ini, belum ada patogenesis yang dapat dipastikan.4 Hipotesis etiologi dan patogenesis yang paling banyak diterima saat ini mencakup interaksi antara faktor endogen dan faktor eksogen.

Gambar 1. Skema etiologi sindrom metabolik

Untuk mendapat sindrom metabolik, individu harus suseptibel (faktor endogen) dan terdapat faktor eksogen. Obesitas adalah faktor eksogen yang berperan utama, namun kurangnya aktifitas fisik dan diet dapat juga berperan. Faktor endogen mencakup resistensi insulin, jaringan lemak disfungsional, kelainan endokrin, dan kelainan genetik.6

Hasil akhir dari interaksi tersebut adalah dislipidemia, peningkatan tekanan darah, peningkatan kadar glukosa darah akibat resistensi insulin, keadaan proinflamasi, dan keadaan protrombotik.

Gambar 2. Ilustrasi patogenesis sindrom metabolik

Pada

kondisi

normal,

kondisi

kesetimbangan

energi

positif

meningkatkan penyimpanan lemak di jaringan adiposa. Pada penderita sindrom metabolik, hasil interaksi faktor endogen dan eksogen

menyebabkan peningkatan massa jaringan adiposa (terutama jaringan adiposa viseral). Seiring terjadinya obesitas kemampuan penyimpanan lemak terganggu atau terlewati sehingga lemak disimpan di sel tipe lain, termasuk sel hepar dan sel otot rangka.8 Di hepar, asam lemak bebas menyebabkan peningkatan produksi glukosa, trigliserid, dan

meningkatkan sekresi very low density lipoproteins (VLDL). Asam lemak bebas di hepar juga menyebabkan penurunan high density lipoproteins (HDL) dan peningkatan low density lipoproteins (LDL). Di otot, asam

lemak

bebas

menurunkan

sensitifitas

terhadap

insulin

dengan

menghambat pengambilan glukosa yang dimediasi insulin. Peningkatan kadar glukosa darah meningkatkan sekresi insulin dari pankreas, menyebabkan hiperinsulinemia. Hiperinsulinemia menyebabkan

peningkatan reabsorbsi natrium, dan peningkatan aktifitas sistem saraf simpatetik yang berkontribusi pada munculnya hipertensi.7 Bersamaan dengan proses tersebut, terus meningkatnya massa jaringan adiposa menyebabkan hipoksia jaringan adiposa atau kematian adiposit, menyebabkan ekspresi kemoatraktan terhadap monosit dan sitokin lainnya. Sitokin yang beredar ikut berperan menyebabkan resistensi insulin di otot, dan hepar.8 Resistensi insulin juga menyebabkan keadaan proinflamasi, melalui peningkatan sekresi interleukin-6 (IL-6) dan tumor necrosis factor- (TNF) oleh adiposit dan makrofag. Peningkatan kadar sitokin yang beredar juga merangsang hepar menghasilkan C-reactive protein (CRP). Sitokin dan asam lemak bebas meningkatkan produksi fibrinogen oleh hepar dan meningkatkan produksi plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1), menyebabkan keadaaan protrombotik.

2. Patofisiologi Gangguan Koagulasi pada Sindrom Metabolik Hemostasis merupakan sistem yang kompleks di mana keadaan kesetimbangan dipengaruhi berbagai faktor.

Gambar 3. Skema sistem koagulasi dan fibrinolisis.

Keterangan: F, factor; FBG, fibrinogen; FDP, fibrin/ fibrinogen degradation products; FB sol, soluble fibrin; FB st, stabilized fibrin; PAI-1, plasminogen activator inhibitor-1; PC, protein C; PS, protein S; PG, plasminogen; PN, plasmin; TAFI, thrombin-activatable fibrinolysis inhibitor; TF, tissue factor; TFPI, tissue factor pathway inhibitor; t-PA, tissueplasminogen activator.

Berikut adalah rangkuman faktor antitrombosis dan protrombosis di plasma:


Tabel 1. Faktor antitrombosis dan protrombosis plasma
9

Sindrom metabolik menyebabkan keadaan protrombotik melalui disfungsi endotel, hiperkoagulasi dan hipofibrinolisis, dan aktivasi platelet. Disfungsi endotel adalah perubahan relaksasi vaskular akibat berkurangnya faktor-faktor relaksasi yang dihasilkan endotel,

menyebabkan predominansi stimulus vasokonstriktif dan kecenderungan protrombotik. Pada keadaan normal, endotel berperan sebagai pembatas antara darah dengan dinding pembuluh darah, dan melepaskan zat vasokatif yang menghambat vasokonstriksi, adhesi leukosit, pertumbuhan sel otot polos vaskuler, dan agregasi platelet. Resistensi insulin dianggap sebagai penyebab utama, dengan menghambat sintesis nitrik oksida (NO) dan prostasiklin (PGI2) oleh endotel. Selain resistensi insulin, berbagai zat seperti asam lemak bebas, adipokin, dan LDL teroksidasi mengaktifkan kinase yang menyebabkan endotel menghasilkan spesies oksigen reaktif, yang berkontribusi pada aterogenesis. Hiperglikemia turut berperan

terhadap disfungsi endotel melalui pembentukan advanced glycation endproducts (AGE) yang menyebabkan penurunan NO dan PGI2.10 Peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler pada sindrom metabolik juga berkaitan dengan keadaan hiperkoagulasi dan hipofibrinolisis. Berbagai penelitian membuktikan bahwa penderita sindrom metabolik memiliki konsentrasi plasma fibrinogen, faktor von Willebrand, faktor VIII, dan faktor VII yang lebih tinggi dibandingkan individu tanpa sindrom metabolik. Penderita sindrom metabolik juga menunjukkan keadaan hipofibrinolisis. Perubahan fibrinolisis pada sindrom metabolik terutama disebabkan oleh peningkatan kadar PAI-1 serum. Berbagai sitokin proinflamasi yang sering ditemukan pada sindrom metabolik seperti TNF, leptin, IL-6, dan angiotensinogen telah terbukti meningkatkan kadar PAI-1. Hiperkoagulasi dan hipofibrinolisis berbanding lurus dengan resistensi insulin, obesitas sentral, dan hipertrigliseridemia.10 Platelet pada penderita sindrom metabolik, khususnya dengan intoleransi glukosa dan obesitas sentral, menunjukkan peningkatan adhesi dan agregasi baik secara spontan maupun karena pencetus.

Kemungkinan penyebab aktifitas ini kemungkinan merupakan gabungan dari perubahan reseptor glikoprotein terhadap protein pada permukaan platelet, peningkatan pengikatan fibrinogen, berkurangnya fluiditas

membran, perubahan metabolisme trombosit, dan perubahan jalur sinyal intra-trombosit. tromboksan.10 Perubahan-perubahan ini menyebabkan trombosit

mengalami peningkatan mobilisasi kalsium dan peningkatan sintesis

D. Diagnosis Sindrom metabolik adalah suatu kumpulan faktor risiko yang biasanya tidak berhubungan dengan gejala khas. Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan lingkar pinggang di atas batas normal dan tekanan darah tinggi. Terdapatnya salah satu atau kedua tanda tersebut harus mengarahkan kecurigaan untuk menemukan abnormalitas biokimia lain yang berkaitan dengan sindrom metabolik. Terkadang dapat ditemukan tanda resistensi insulin seperti lipoatrofi atau akantosis nigrikans.7 Pemeriksaan profil lipid dan glukosa puasa diperlukan untuk memastikan sindrom metabolik. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan antara lain apoB, CRP, fibrinogen, asam urat, mikroalbumin urin, dan fungsi hepar.7 Diagnosis sindrom metabolik ditegakkan dengan memenuhi kriteria diagnosis. Sampai saat ini terdapat beberapa kriteria, di antaranya kriteria World Health Organization (WHO), American Association of Clinical Endocrinologists (AACE), dan Adult Treatment Panel III (ATP III).4 Kriteria yang dipakai di Indonesia adalah kriteria ATP III dengan modifikasi pada nilai batas lingkar pinggang.3 Ditekankan bahwa dalam pengukuran lingkar pinggang, untuk memastikan keakuratan terdapat beberapa syarat. Terdapat perbedaan pendapat mengenai lokasi anatomik pengukuran, yaitu di pertengahan antara kosta terbawah dengan krista iliaka (cara World Health

Organization), atau tepat di atas krista iliaka (cara National Institute of Health). Menurut penelitian, perbedaan lokasi tersebut tidak memengaruhi prevalensi sindrom metabolik.11 Pita pengukur harus ditempatkan di permukaan kulit abdomen tepat di lokasi pengukuran, dengan pita pengukur melingkar secara horizontal, dan ketat tanpa menyebabkan penekanan. Pembacaan hasil ukur dilakukan saat ekspirasi, dengan nilai terdekat 0,5 cm.12

Tabel 2. Kriteria diagnosis sindrom metabolik

Kriteria Diagnosis Sindrom Metabolik ATP III Faktor risiko Obesitas sentral, diukur dengan lingkar pinggang Laki-laki > 102 cm; 90 cm (modifikasi Asia)3 Perempuan > 88 cm; 80 cm (modifikasi Asia)3 Trigliserid Kolesterol HDL Laki-laki < 40 mg/dL Perempuan < 50 mg/dL Tekanan darah Glukosa darah puasa Sistol 130 atau diastol 85 mmHg 110 mg/dL 150 mg/dL Batas

Diagnosis sindrom metabolik ditegakkan apabila minimal tiga dari lima kriteria terpenuhi. Resistensi insulin tidak diperlukan untuk membuat diagnosis, meskipun individu yang memenuhi kriteria ATP III sebagian besar memang memiliki resistensi insulin. Adanya diabetes melitus tipe 2 tidak mengeksklusi diagnosis sindrom metabolik.4 Pemeriksaan penunjang laboratorium diperlukan untuk

membuktikan keadaan protrombotik. Pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan fibrinogen dan PAI-1. Penelitian menunjukan pemeriksaan PAI-1 memiliki spesifitas lebih tinggi dibandingkan dengan fibrinogen13. Saat ini pemeriksaan PAI-1 belum banyak dilakukan mengingat masalah biaya dan standarisasi pemeriksaan, sehingga pemeriksaan fibrinogen lebih rutin dilakukan.14 Pemeriksaan penunjang pencitraan jarang diindikasikan dalam diagnosis sindrom metabolik, namun dapat dilakukan pada penderita dengan gejala dan tanda komplikasi sindrom metabolik. Apabila terdapat

10

keluhan nyeri dada, sesak, atau kram (claudication) dapat dilakukan pemeriksaan elektrokardiografi, ekokardiografi, atau stress single-photon emission computed tomography scan (SPECT scan).15

E. Tatalaksana Tujuan utama tatalaksana pada penderita sindrom metabolik adalah mengurangi risiko penyakit kardiovaskuler aterosklerosis. Untuk mencapai tujuan tersebut, setiap penderita sindrom metabolik harus mendapat pengobatan dan pengawasan jangka panjang. Penderita tersebut perlu dikelompokkan berdasarkan risiko 10 tahun menjadi kategori risiko tinggi (risiko 10 tahun >20%), risiko menengah (risiko 10 tahun 10% sampai ini 20%), dilakukan dan risiko rendah (risiko skor <10%). risiko

Pengelompokkan

dengan

menggunakan

Framingham untuk penyakit jantung koroner.4

11

Gambar 4. Skor Risiko Framingham

16

12

Tatalaksana sindrom metabolik terdiri atas tatalaksana faktor risiko dasar dan tatalaksana faktor risiko metabolik. Tatalaksana faktor risiko dasar bertujuan untuk memperbaiki obesitas sentral, kurangnya aktifitas fisik, dan diet aterogenik. Tatalaksana faktor risiko metabolik bertujuan untuk memperbaiki dislipidemia aterogenik, peningkatan tekanan darah, peningkatan gula darah puasa, keadaan proinflamasi, dan keadaan protrombotik. Banyak orang yang memiliki suseptibilitas genetik terhadap sindrom metabolik, namun tidak bermanifestasi secara klinis apabila tidak terdapat obesitas atau kurangnya aktifitas fisik. Dengan demikian, tatalaksana faktor risiko menjadi intervensi lini pertama. Pengurangan berat badan dapat dicapai dengan kombinasi pengurangan asupan kalori, meningkatkan aktifitas fisik, dan mengubah kebiasaan hidup. Tujuan pertama pengurangan berat badan adalah penurunan 7-10% berat badan awal dalam waktu 6-12 bulan. Penggunaan obat-obatan penurun berat badan sampai saat ini masih terbatas kegunaannya. Obat yang dapat digunakan antara lain sibutramin dan orlistat. Tindakan bedah bariatrik diberikan pada penderita dengan obesitas parah dan risiko tinggi komplikasi. Meningkatkan aktifitas fisik membantu menurunkan berat badan dan mengurangi risiko keseluruhan penyakit kardiovaskular. Rekomendasi saat ini adalah minimal total 30 menit latihan derajat sedang per hari, seperti berjalan cepat, selama lima hari dalam seminggu. Diet aterogenik adalah pola makan yang meningkatkan proses aterogenesis, antara lain dengan peningkatan trigliserid, LDL, tekanan darah, dan gula darah. Komponen makanan yang meningkatkan LDL dan trigliserid secara bermakna adalah lemak jenuh, lemak trans, dan kolesterol.17 Sumber utama lemak jenuh dalam makanan antara lain produk susu tinggi lemak (misalnya susu segar, keju, mentega, es krim,

13

krim), daging tinggi lemak, minyak (minyak kelapa sawit, minyak kelapa), dan makanan yang dipanggang.17 Sumber utama lemak trans dalam makanan adalah makanan yang mengalami proses hidrogenasi minyak, misalnya kerupuk, kentang goreng, dan ayam goreng. Sumber kolesterol dalam makanan antara lain produk telur, produk susu, daging, dan kerang. Untuk mengurangi faktor risiko dasar diet harus rendah lemak jenuh, lemak trans, kolesterol, natrium, dan gula sederhana; namun konsumsi buah, sayur, dan padi-padian utuh harus mencukupi. Berikut adalah pedoman diet dari National Cholesterol Education Program (NCEP):
Tabel 3. Pedoman diet NCEP
17

Jenis

Persen kebutuhan kalori per hari

Contoh

Lemak Lemak jenuh

< 30% < 7% Produk susu, daging,

minyak, makanan yang dipanggang Lemak polyunsaturated Lemak monounsaturated Karbohidrat 10% 10 15% 50 60% Kacang-kacangan, ikan Minyak zaitun, alpukat

Setelah faktor risiko dasar ditangani, faktor risiko metabolik juga harus diperhatikan. Apabila terdapat penyakit kardiovaskuler aterosklerotik atau diabetes melitus atau skor risiko 10 tahun Framingham >20%, maka pemberian medikamentosa dapat diindikasikan. Dislipidemia aterogenik adalah keadaan kadar trigliserid, apoB, LDL, dan HDL yang abnormal. Obat-obatan yang dapat digunakan untuk mengontrol dislipidemia antara lain golongan statin, fibrat, dan asam nikotinik.

14

Apabila terdapat hipertensi tanpa disertai diabetes atau penyakit ginjal kronis, tujuan terapi antihipertensi adalah tekanan darah <140/90 mmHg. Apabila hipertensi disertai diabetes atau penyakit ginjal kronis, tujuan terapi menjadi tekanan darah <130/80 mmHg. Peningkatan tekanan darah yang ringan sering dapat dikontrol dengan perubahan gaya hidup, yaitu dengan penurunan berat badan, meningkatkan aktifitas fisik, mengurangi konsumsi alkohol dan natrium sesuai rekomendasi Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH). Apabila hipertensi tetap tidak terkontrol dengan perubahan gaya hidup, obat antihipertensi diindikasikan. Beberapa penelitian merekomendasikan obat penghambat konversi angiotensin (angiotensin converting enzyme inhibitor, ACE-inhibitor) sebagai obat lini pertama untuk hipertensi pada penderita sindrom metabolik. Obat penghambat reseptor angiotensin (angiotensin receptor blockers, ARB) dapat digunakan pada penderita yang tidak cocok menggunakan ACE-inhibitor. Penggunaan diuretik, khususnya kelas thiazide tidak direkomendasikan mengingat beberapa penelitian

menunjukkan kemungkinan progresi glukosa darah puasa terganggu menjadi diabetes melitus tipe 2 pada penderita yang diberi diuretik. Progresi tersebut diduga disebabkan berkurangnya sekresi insulin oleh sel beta pankreas akibat deplesi kalium serum. Pengurangan berat badan dan peningkatan aktifitas fisik dapat memperlambat atau mencegah glukosa darah puasa terganggu menjadi diabetes melitus tipe 2. Obat hipoglikemik oral (OHO) seperti metformin, tiazolidinedion, dan akarbose telah terbukti menurunkan risiko diabetes melitus tipe 2 pada penderita dengan glukosa darah puasa terganggu. Metformin adalah obat golongan biguanid yang bekerja dengan

meningkatkan aktifitas AMP-dependent protein kinase (AMPK), yang menstimulasi oksidasi asam lemak, pengambilan glukosa oleh jaringan, dan mengurangi lipogenesis dan glukoneogenesis sehingga

meningkatkan sensitifitas insulin, meningkatkan penyimpanan glikogen di

15

otot, mengurangi produksi glukosa oleh hepar, dan menurunkan glukosa darah. Tiazolidinedion bekerja dengan mengaktifkan (PPAR-), peroxisome menyebabkan

proliferator-activated

receptors-gamma

peningkatan sensitifitas insulin, meningkatkan pengambilan glukosa, dan mengurangi kadar asam lemak di plasma. Akarbose adalah penyekat enzim -glukosidase, menyebabkan berkurangnya absorpsi disakarida di brush border saluran cerna sehingga mengurangi peningkatan glukosa darah postprandial.18 Peran OHO dalam menurunkan risiko penyakit kardiovaskuler aterosklerotik belum diteliti. Pada penderita sindrom metabolik yang sudah memiliki diabetes melitus tipe 2, penurunan risiko penyakit kardiovaskuler aterosklerotik dapat dicapai dengan pengobatan dislipemia dan hipertensi. Kontrol glikemik dengan target HbA1C <7% juga terbukti menurunkan komplikasi mikrovaskuler dan makrovaskuler. Keadaan protrombotik sering ditandai dengan ditemukannya peningkatan fibrinogen, PAI-1, dan faktor koagulasi lainnya. Untuk pencegahan primer, satu-satunya terapi yang tersedia untuk menghambat trombosis arteri adalah aspirin dosis rendah atau obat antiplatelet lainnya. Aspirin juga direkomendasikan untuk penderita yang sudah pernah memiliki penyakit kardiovaskuler aterosklerosis, selama tidak ada kontraindikasi.19 Pedoman saat ini merekomendasikan penggunaan aspirin sebagai profilaksis penyakit jantung koroner pada pria dengan risiko 10 tahun Framingham >10%, pada wanita dengan risiko 10 tahun Framingham >20%, dan penderita yang pernah memiliki penyakit kardiovaskuler aterosklerosis.4 Aspirin biasa diberikan dengan dosis 75 sampai dengan 325 mg sekali sehari. Aspirin menghambat kerja platelet dengan menghambat enzim cyclooxygenase-1 (COX-1) secara ireversibel. COX-1 berfungsi mengubah asam arakidonat menjadi tromboksan A2, yang merupakan agonis aktifasi dan agregasi platelet. Sebagian penderita yang mendapat terapi aspirin yang adekuat tetap mengalami kejadian trombosis. Untuk

16

menilai kerja aspirin, dapat dilakukan pemeriksaan fungsional dan biokimia. Pemeriksaan fungsional dengan light transmission platelet aggregometry dianggap sebagai baku emas untuk pemeriksaan fungsi platelet.20

Gambar 5. Contoh hasil pemeriksaan platelet aggregometry

Pada pemeriksaan ini, asam arakidonat ditambahkan pada plasma sampel, sehingga terjadi agregasi platelet dan perubahan transmisi cahaya melewati sampel. Perubahan transmisi ini kemudian

diterjemahkan sebagai persentase agregasi. Respon aspirin yang adekuat ditetapkan apabila hasil persentase agregasi kurang dari 20% (platelet normal memiliki persentase agregasi sekitar 70%).20 Pemeriksaan biokimia adalah dengan mengukur metabolit tromboksan di serum atau urine. Pemberian aspirin memiliki berbagai reaksi yang tidak diinginkan, antara lain hipersensitifitas anafilaktoid, hipersensitifitas respiratorik,

17

hipersensitifitas kulit, dan dispepsia. Pada penderita yang mengalami hipersensitifitas terhadap aspirin, klopidogrel merupakan terapi pilihan.20 Keadaan proinflamasi sering ditemukan melalui pemeriksaan Creactive protein (CRP) dengan tingkat >3 mg/L. Penurunan berat badan terbukti dapat menurunkan kadar CRP. Sampai saat ini tidak ada obat yang dapat mengurangi risiko penyakit kardiovaskuler aterosklerosis melalui mekanisme pengurangan keadaan proinflamasi.

F. Komplikasi Komplikasi utama sindrom metabolik adalah penyakit

kardiovaskuler aterosklerotik. Selain penyakit kardiovaskuler ateroslerotik, kondisi kardiovaskular lainnya yang berhubungan dengan sindrom metabolik antara lain penyakit vaskular perifer akibat aterosklerosis, fibrilasi atrium, dan gagal jantung.21 Perubahan hemodinamik berupa peningkatan volume darah dan tahanan vaskular sistemik menyebabkan peningkatan beban kerja jantung dan menyebabkan perubahan struktur dan fungsi jantung. Pada sistem respiratori, dapat terjadi komplikasi obstructive sleep apnea (OSA) karena terjadi sumbatan intermiten jalan napas atas saat tidur. Pada sistem gastrointestinal, komplikasi yang sering terjadi adalah perlemakan hati non-alkoholik (nonalcoholic fatty liver disease, NAFLD). NAFLD terjadi akibat akumulasi lemak di hepar yang disertai perekrutan sel inflamasi dan fibrosis. Komplikasi lain pada sistem gastrointestinal adalah penyakit refluks gastroesofagus dan hernia hiatal sebagai akibat meningkatnya tekanan abdomen. Pada sistem reproduksi, dapat terjadi komplikasi sindrom polikistik ovarium (polycystic ovarian syndrome, PCOS) karena peningkatan jaringan adiposa dan resistensi insulin. Beberapa jenis kanker dihubungkan dengan obesitas, antara lain kanker payudara, endometrium, kolorektal, prostat, dan renal cell carcinoma. Mekanisme terjadinya kanker dicurigai karena tingginya kadar estrogen yang tidak berimbang disertai hiperandrogenisme ovarium,

18

menyebabkan peningkatan kadar testosteron dan penurunan kadar Luteinizing Hormone.

G. Prognosis Penderita sindrom metabolik mengalami peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler aterosklerotik sekitar dua lipat.21 Penderita sindrom metabolik yang memiliki seluruh faktor risiko metabolik

(dislipidemia, peningkatan tekanan darah, peningkatan kadar glukosa darah akibat resistensi insulin, keadaan protrombotik, dan keadaan proinflamasi) memiliki risiko seumur hidup yang tinggi untuk mendapat penyakit kardiovaskuler aterosklerotik, namun untuk menetapkan risiko 10 tahun penyakit kardiovaskuler aterosklerotik diperlukan penilaian yang lebih lengkap berupa Skor Framingham.22

H. Kesimpulan Sindrom metabolik didefinisikan sebagai kumpulan faktor resiko metabolik yang terdiri dari dislipidemia, peningkatan tekanan darah, peningkatan kadar glukosa darah akibat resistensi insulin, keadaan protrombotik, dan keadaan proinflamasi. Diagnosis sindrom metabolik ditegakkan minimal tiga dari lima kriteria ATP III terpenuhi. Pemeriksaan penunjang penunjang diperlukan untuk memastikan keadaan gangguan koagulasi, yaitu dengan pengukuran kadar fibrinogen. Tatalaksana sindrom metabolik mencakup tatalaksana faktor risiko dasar dan tatalaksana faktor risiko metabolik. Medikasi untuk gangguan koagulasi adalah dengan aspirin dosis 75 325 mg per hari. Komplikasi utama sindrom metabolik adalah penyakit kardiovaskular aterosklerotik, dengan peningkatan risiko sekitar dua lipat.

19

DAFTAR PUSTAKA
1. Grundy SM. Obesity, metabolic Syndrome, and cardiovascular disease. J Clin Endocrinol Metab 2004; 89(6):2595-2600. 2. Davi G, Santilli F. Atherothrombotic disease and the metabolic syndrome. International Congress Series 2007; 1303:74-82. 3. Sidartawan S & Purnamasari D. Sindrom metabolik. In AW Sudoyo, B Setiyobadi, I Alwi, & M Sunadibrata editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2009. pp.1865-1872. 4. Grundy SM, Cleeman JI, Daniels SR, et al. Diagnosis and management of the metabolic syndrome : An American Heart Association/National Heart, Lung, and Blood Institute scientific statement. Circulation 2005; 112:2735-52. 5. Isomaa B, Almgreen P, Tuomi T, et al. Cardiovascular morbidity and mortality associated with the metabolic syndrome. Diabetes Care 2001; 24:6839. 6. Grundy SM, Smith SC. Metabolic syndrome, obesity, and diet. In Fuster V, Walsh RA, Harrington RA, editors. Hursts the heart. New York: McGraw-Hill; 2011. 7. Eckel RH. The metabolic syndrome. In DL Longo, AS Fauci, DL Kasper, SL Hauser, JL Jameson, J Loscalzo editors. Harrison's principles of internal medicine. New York: McGraw-Hill; 2012. 8. Christian R, Kahn CR. Tissuespecific insulin signaling, metabolic syndrome, and cardiovascular disease. Arterioscler Thromb Vasc Biol 2012; 32:2052-59. 9. Franchini M, Lippi G, Monzato F, et al. Hemostatic abnormalities in endocrine and metabolic disorders. European Journal of Endocrinology 2010; 162:439-451. 10. Palomo I, Moore-Carrasco R, Alarcon M, et al. Pathophysiology of the proatherothrombotic state in the metabolic syndrome. Front Biosci (Schol Ed) 2010; 1(2):194-208. 11. Mason C, Katzmarzyk PT. Effect of the site of measurement of waist circumference on the prevalence of the metabolic syndrome. Am J Cardiol 2009; 15;103(12):1716-20. 12. McGuire, Ashlee K., dan Robert Ross. "The Revision of the Measurement of Waist Circumference in the CPAFLA." CSEP. N.p., November 2008. Web. <http://www.csep.ca/english/view.asp>. 13. Mertens I, Verrijken A, Michiels JJ, et al. Among inflammation and coagulation markers, PAI-1 is a true component of the metabolic syndrome. International Journal of Obesity 2006; 30:1308-14. 14. Odrow-Sypniewska G. Markers of pro-infammatory and prothrombotic state in the diagnosis of metabolic syndrome. Advances in Medical Sciences 2007; 52:246-250. 15. Wang, SS, Yasmine SA. Metabolic syndrome workup. Metabolic Syndrome. Medscape Reference, 2012. Web. <http://emedicine.medscape.com/article/165124-workup>. 16. Wilson PWF, D'Agostino RB, Levy D, et al. "Prediction of Coronary Heart Disease Using Risk Factor Categories." Circulation 1998; 97:1837-47.

20

17. National Institutes of Health. Third Report of the National Cholesterol Education Program (NCEP) Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults (Adult Treatment Panel III). 2002. 18. Powers AC & D'Alessio D. Endocrine Pancreas and Pharmacotherapy of Diabetes Mellitus and Hypoglycemia. Dalam: Brunton LL, Chabner BA, Knollmann BC, eds. Goodman & Gilman's the pharmacological basis of therapeutics. New York: McGraw-Hill; 2011. 19. Angiolillo DJ, Giugliano GR, Simon D. Pharmacologic therapy for acute coronary syndromes. In: Fuster V, Walsh RA, Harrington RA, eds. Hurst's the heart. New York: McGraw-Hill; 2011. 20. Smock, Kristi J, Rodgers GM. Laboratory evaluation of aspirin responsiveness. American Journal of Hematology 2010; 85: 356-360. 21. Dekker JM., Girman C, Rhodes T, et al. Metabolic syndrome and 10-year cardiovascular disease risk in the Hoorn Study. Circulation 2005; 112:666-73. 22. Grundy SM. Metabolic syndrome: A multiplex cardiovascular risk factor." Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism 2007. 92(2):399404.

21

Anda mungkin juga menyukai