Anda di halaman 1dari 19

REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PEMBELAJARAN BAHASA Oleh : Diah Hadijah, Dra., M.Pd.

Abstrak Karakter, sifat, tabeat, atau watak manusia dewasa ini mengalami penurunan yang drastis, tak terkecuali manusia Indonesia. Banyak usaha yang telah dilakukan untuk memperbaiki watak manusia Indonesia, antara lain sejak pemerintahan Orde Lama, dimana presiden Soekarno menekankan pentingnya Nation and Character Building yang berorientasi kepada persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia sampai dengan pemerintahan Orde Reformasi, dimana presiden Susilo Bambang Yudhoyono antara lain menyatakan bahwa Pendidikan harus membangun Karakter dan Jati diri bangsa. Walaupun konsep kedua presiden itu agak berbeda, namun maksudnya sama, yaitu bagaimana bangsa Indonesia dapat menjadi bangsa yang baik serta terpuji. Namun menjadi bangsa yang baik dan terpuji, tidaklah mudah seperti membalik telapak tangan. Banyak faktor yang dapat mengubah tabeat, serta watak manusia . Tulisan ini mencoba mencari pemecahan terbaik, melalui revitalisasi pendidikan karakter khususnya melalui pembelajaran bahasa. Pendahuluan Pengalaman historis menunjukkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia lahir melalui perjuangan yang panjang. Selama tiga ratus lima puluh tahun kita dijajah oleh Belanda, dan tiga setengah tahun oleh Jepang. Hal tersebut menyita banyak pikiran, tenaga, jiwa dan raga bangsa Indonesia. Hanya dengan semangat yang menyala-nyala dan keyakinan yang teguhlah bangsa Indonesia dapat mmenangkan perjuangan baik secara fisik maupun diplomasi. Meskipun kemerdekaan telah kita raih, namun pihak penjajah masih terus menerus berusaha untuk memecah belah persatuan Indonesia, namun mereka tidak berhasil. Hal ini antara lain adanya perjuangan bung Karno yang berulang kali menyatakan bahwa proses nation and character building secara berkesinambungan memerlukan aktivitas yang dinamis, pemupukan jiwa dan mental yang ingin bersatu, persamaan watak atas dasar persamaan nasib, patriotism, rasa setia kawan dan rasa loyal terhadap tanah air Indonesia.(Roeslan Abdoelgani, Nasionalisme Asia, Pidato,t.t). Dari uraian tersebut jelaslah bahwa upaya membina karakter, watak bangsa Indonesia ditujukan demi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Watak bangsa Indonesia dibina dan ditempa untuk mempersatukan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar.
1

Dewasa ini apabila kita teliti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya pada Bab II tentang Dasar, Fungsi dan Tujuan, pada Pasal 3 dicantumkan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Dari uraian tersebut jelaslah bahwa pembentukan watak tidak hanya menjadi konsumsi dari mata pelajaran tertentu, akan tetapi semua mata pelajaran (interdisipliner), semua guru, semua mata kuliah, semua dosen bertanggung jawab untuk membina watak para siswa dan mahasiswa untuk menjadi baik. Bahkan secara luas pendidikan karakter atau pendidikan watak menjadi tanggung jawab semua lembaga termasuk lembaga pendidikan, baik pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan non-formal. Untuk itu diperlukan adanya kerja keras dari setiap elemen masyarakat, khususnya mereka yang bergerak di bidang Pendidikan dan Kebudayaan. Sebagaimana Pengarahan Wakil Presiden Republik Indonesia Prof. Dr. Boediono dalam Rembug Nasional Pendidikan dan Kebudayaan 2012 di Depok Jawa barat, pada tanggal 26 Pebruari 2012 mengungkapkan bahwa keberhasilan masa depan bangsa Indonesia, tergantung kepada tiga hal, yaitu : (1) Sumber Daya Manusia yang berkualitas, bukan Sumber Daya Alam, (2) Generasi yang akan datang harus lebih baik daripada generasi sekarang, (3) Untuk memperoleh generasi yang akan datang yang berkualitas diperlukan adanya pendidikan dan pelayanan kesehatan yang bermutu.

Permasalahan Belum berhasilnya Pendidikan karakter antara lain disebabkan : 1. Banyak anggapan bahwa Pendidikan karakter hanya merupakan tanggung jawab mata pelajaran/perkuliahan agama, Pancasila serta Pendidikan kewarganegaraan, sedangkan mata pelajaran/perkuliahan serta disiplin ilmu lainnya tidak perlu membahas pendidikan karakter. Bagaimana peran pembelajaran bahasa dalam proses pendidikan karakter ? 2. Pendidikan karakter dianggap cukup diberikan di lingkungan pendidikan formal (sekolah atau universitas), dan bukan menjadi tanggung jawab
2

pendidikan informal serta

non-formal. Akibatnya adalah pembentukan

karakter siswa kurang berhasil, karena mereka melihat adanya perbedaan antara apa yang mereka terima dari sekolah dengan apa yang mereka lihat di kehidupan keluarga dan di masyarakat. 3. Pendidikan karakter cenderung kepada pendidikan tentang karakter dan bukan dimaksudkan agar manusia belajar menjadi manusia yang berwatak. Hal ini berpengaruh terhadap isi dan metode penyajian pendidikan karakter dan selanjutnya berpengaruh pula pada kurikulum serta tanggung jawab orang tua dan masyarakat. Bagaimana sebaiknya metodologi dalam pembelajaran pendidikan karakter ?. 4. Perhatian orang tua terhadap nilai rapor anak, lebih tertuju atau mementingkan kepada nilai-nilai mata pelajaran yang mengutamakan kecerdasan otak, dan kurang memperhatikan nilai perilaku serta watak. 5. Nilai-nilai agama yang seharusnya menjadi landasan pendidikan karakter belum direncanakan secara matang, sehingga belum terdapat adanya keterpaduan dalam proses pelaksanaannya.

Pembahasan 1. Pengertian Pendidikan karakter : Sebelum membahas pengertian

pendidikan karakter, berikut ini akan penulis sampaikan berbagai pandangan mengenai pengertian karakter. Di dalam Encyclopedia of Educational

Research (1960 : 184) antara lain diungkapkan Character has been interpreted by some as roughly equivalent to morality, by others as synonymous with personality, and by still others as practically

interchangeable with ethical and spiritual values. Dari pandngan itu jelaslah bahwa karakter secara kasar diterjemahkan hampir sama dengan moralitas, kepribadian, etika serta nilai-nilai spiritual. Sedangkan di bagian lain diungkapkan bahwa Character is not exactly equivalent to morality, for character implies more creativeness and volition. Morality is typically geared to the accepted standards of a given time and place, whereas character implies creativeness toward goals potentially beyond the accepted norms of the present, and volitional powers to take ones stand if necessary in advance of the dictates of morality. Good, strong character would normally involve
3

morality as a minimum, but superior character would not always be limited to the morality of a given time or locality. (1960 : 184) . Bahwa karakter tidak persis sama dengan moralitas, karena karakter lebih menekankan kepada kreativitas serta adanya kehendak atau kemauan. Dengan demikian, karakter memiliki nilai-nilai yang harus diterapkan di dalam praktek, serta secara berkesinambungan selalu berusaha melakukan perbaikan dan perubahan setiap saat yang lebih baik daripada sebelumnya. Semuanya ini didorong oleh adanya kemauan atau kehendak untuk mengubah dirinya, dalam arti detik ini harus lebih baik dari detik sebelumnya. Pandangan lain diungkapkan oleh Sharon Wisniewski & Keneth Miller dalam Jurnal The ASCA Counselor Vol. 35 Nomor 2 tahun 1998 (Yang dikutip oleh Mohamad Surya)(2006 : 2-4) menyebutkan bahwa Watak dipandang sebagai suatu hubungan timbal balik antara diri (self) dengan tiga hal yang pasti ada, yaitu lingkungan internal (diri), lingkungan eksternal (orang lain dan lingkungan fisik), dan lingkungan spiritual (sesuatu yang lebih besar dan abadi dari diri). Atas dasar pandangan itu, ada empat tingkatan mutu watak, yaitu tingkatan O (nol), tingkatan satu, dua, dan tiga, yaitu : 1) Watak tingkatan nol : merupakan tingkatan watak yang sifatnya sedikit atau tidak ada timbangan-timbangan moral dalam perilaku kepribadiannya . Kepribadian dalam tingkatan nol ini disebut sebagai reactive personality atau kepribadian reaktif yaitu kepribadian yang terwujud dari

perilaku-perilaku yang sifatnya reaktif yaitu perilaku yang bersifat spontan tanpa timbangan-timbangan nilai moral. Misalnya, kalau tersinggung sedikit saja lalu bereaksi dengan memukul atau mengeluarkan kata-kata kotor tanpa pertimbangan apakah perbuatan itu sopan atau tidak, baik atau jelek. Perilakunya lebih banyak dikendalikan oleh gejolak emosional menurut kepuasannya sendiri tanpa mempertimbangkan berbagai timbangan nilai. Beberapa peristiwa tawuran, perusakan, perkelahian, perampokan,

pembunuhan, perkosaan dan sebagainya yang bersumber dari hal-hal yang sebenarnya sepele, merupakan contoh manifestasi watak tingkatan nol ini. Pribadi dalam watak tingkatan nol, menunjukkan beberapa cirri seperti : lebih bersifat pasif, kurang inisiatif, bersifat menunggu, pasrah, menanti belas kasihan, ingin diperhatikan, emosional, tidak peduli dengan risiko, berpandangan pendek dan sebagainya. 2) Watak tingkatan satu : merupakan
4

watak yang ditandai dengan kemampuan melakukan hubungan timbal balik dengan berbagai aspek dalam dirinya sendiri dengan kendali emosional yang mantap. Stephen Covey menyebutnya sebagai proactive personality atau kepribadian proaktif, yaitu kepribadian yang mempunyai kualitas keberdayaan sedemikian rupa sehingga mampu mewujudkan perilaku yang aktif dan terarah sesuai dengan tuntutan dirinya sendiri dan lingkungan. Tingkatan ini disebut juga sebagai watak yang dilandasi oleh emotional intelligence atau kecerdasan emosional, yaitu kualitas kemampuan menampilkan kepribadian dengan kekuatan emosional yang mantap, sehingga mampu mewujudkan perilaku yang sesuai dengan timbangan moral. Menurut Dabiel Goleman (1995) kecerdasan emosional seseorang merupakan sumber watak seseorang dalam menghadapi berbagai tantangan. Kecerdasan emosional didukung oleh lima kemampuan, yaitu : (1) mengenai emosi diri, (2) mengelola emosi, (3) memotivasi diri, (4) mengenali emosi orang lain, dan (5) membina hubungan dengan orang lain. Orang yang berwatak pada tingkatan ini, mampu menunjukkan perilaku yang terkendali secara emosional dan mencerminkan kepribadian yang baik dari sudut timbangan nilai moralitas. Dalam menghadapi berbagai persoalan atau tantangan watak dalam tingkatan ini akan akan banyak berinteraksi dengan dirinya sendiri dengan pertimbanganpertimbangan emosional yang mantap serta memperhatikan berbagai alternative dan risiko yang mungkin timbul. Tindakan yang diambil didasarkan atas timbangan resiko minimal dan keuntungan maksimal dalam mencapai tujuannya. 3) Watak tingkatan dua : merupakan watak dalam tingkatan berkemampuan untuk melakukan hubungan timbal balik secara sehat antara dirinya dengan orang lain dan lingkungan yang lebih luas. Stephen Covey menyebutnya sebagai interdependent personality atau kepribadian yang mampu melakukan hubungan timbal balik dengan pihak-pihak di luar dirinya. Watak tingkatan ini merupakan tingkatan yang lebih baik karena seluruh perilaku kepribadiannya lebih banyak didasarkan atas timbangan moral. Oleh karena itu tingkatan ini disebut juga sebagai watak moral intelligence atau kecerdasan moral, yaitu watak yang terwujud karena kepribadiannya tercermin atas dasar perilaku berdasarkan timbangan moral yang matang. Orang dalam tingkatan ini memahami, menghayati dan mampu
5

mengamalkan nilai-nilai moral secara utuh dalam keseluruhan perilakunya sehingga mencerminkan kepribadian yang tergolong baik. Dalam menghadapi berbagai situasi masalah (termasuk situasi krisis) orang yang berwatak tingkatan dua mampu membuat tindakan atas dasar timbangan moral secara utuh sehingga tidak hanya menghasilkan kondisi sehat bagi dirinya akan tetapi juga bagi kepentingan orang lain dan lingkungan. Mereka mampu bertindak secara cermat, tenang, berkepala dingin, penuh keyakinan dan optimism, sehingga menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi dirinya dan orang lain. 4) Watak tingkatan tiga : adalah watak yang ditandai dengan kemampuan melakukan hubungan timbal balik dengan lingkungan paling besar di luar dirinya yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa, di samping kemampuannya berhubungan timbal balik dengan dirinya sendiri dan orang lain serta lingkungan. Landasan utama watak tingkatan ini adalah kualitas keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu watak tingkatan ini disebut sebagai watak spiritual intelligence atau kecerdasan spiritual, yaitu watak yang muncul dari keseluruhan perilaku yang terwujud atas dasar timbangan-timbangan spiritual yang berakar pada nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pada tingkatan ini, akan tercermin keseluruhan kepribadian yang paripurna dan sehat sejalan dengan keseluruhan nilai-nilai normative moralitas. Dalam menghadapi berbagai situasi (terutama situasi kritis) orang berwatak tingkatan tiga ini akan mampu mengendalikan dirinya dan menjaga keseimbangan dengan lingkungan atas dasar keyakinan spiritual yang kuat terhadap kuasa Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. Semua pikiran, sikap, dan tindakan mencerminkan kondisi kepribadian yang sehat dan utuh, sehingga memberikan makna yang sangat luas bagi dirinya dan umat di sekitarnya. Selanjutnya mengenai pengertian pendidikan karakter, Chester W. Harris melanjutkan pendapatnya bahwa Character education is a process not only of developing the individual in his personal ideals and conduct, but also of educating him to develop and apply his personal virtues in group participation in issues and services (1960 : 184). Dari pandangan tersebut jelaslah bahwa pendidikan karakter merupakan suatu proses dalam arti tidak hanya ,mengembangkan individu sebagai pribadi yang ideal serta perilaku yang terpuji, akan tetapi juga mendidiknya untuk mengembangkan dan
6

mempraktekkan kebajikan pribadinya dalam peranserta kelompok dan selalu tampil di depan dalam memberikan pelayanan yang terbaik. Pendidikan karakter sebagai suatu proses, berarti terdapat adanya tahapan-tahapan yang harus dilakukan, antara lain, pertama harus adanya aktivitas, kedua, aktivitas itu berlangsung secara terus menerus atau berkesinambungan, dan ketiga, dalam kesinambungan itu terdapat adanya kreativitas, perbaikan atau peningkatan perilaku yang terpuji. 2. Peranan pembelajaran bahasa dalam proses Pendidikan karakter. Merupakan tanggung jawab semua pihak dalam Pendidikan karakter

khususnya dalam pembelajaran bahasa. Menurut Howard Gardner dalam Frame of Mind : The Theory of Multiple Intelligence bahwa kemampuan otak manusia (Multiple Intelligences) adalah : (1) Spacial Visual, (2) Linguistic Verbal, (3) Inter personal, (4) Music & Rithmic, (5) Naturalistic, (6) Body and Kinestetic, (7) Intra personal, serta (8) Logic and Math. Salah satu dari kemampuan tersebut di atas adalah kemampuan berbahasa. Kemampuan berbahasa ini adalah suatu kemampuan untuk menangkap simbol-simbol. Pandangan Howard Gardner dianggap sebagai pendekatan pembelajaran yang lebih objektif dalam menggali serta mengembangkan kemampuan setiap individu sesuai potensi atau kecerdasan orisinilnya. Selaras dengan berkembangnya konsep kecerdasan meliputi pengetahuan mengenai faal dan kapasitas otak manusia . Pengetahuan mengenai otak manusia itu menjadi landasan berpikir bagi berkembangnya berbagai teori/konsep kecerdasan. Misalnya konsep otak kanan dan otak kiri yang masing-masing memiliki penekanan fungsi yang berbeda. Otak sisi kiri antara lain untuk fungsi-fungsi berpikir logis/rasional (matematika), berbahasa (kata-kata, keteraturan (urutan), sedangkan otak sisi kanan antara lain untuk fungsi-fumgsi visual (gambar), seni, irama, imajinasi, intuisi, berpikir acak (tidak teratur) dan sebagainya.Berkaitan dengan pengetahuan mengenai otak kanan/kiri tersebut, terdapat kecenderungan bahwa praktek pendidikan di sekolah-sekolah pada umumnya lebih menekankan pada berkembangnya sisi otak kiri. Padahal sisi otak kanan tidak kalah pentingnya, karena sangat berhubungan dengan berkembangnya kemampuan kreativitas dan kemauan atau kehendak, sebagaimana dibutuhkan dalam pendidikan karakter. Gordon, Dryden &
7

Jeannette, Vos, dalam The Learning Revolution atau Revolusi Cara Belajar, mengulas berbagai hasil penelitian mengenai otak dan kecerdasan yang dilakukan oleh para pakar seperti Ronald Kotulak (dalam Inside the Brain), Marian Cleeves Diamond (Enriching Heredity), Howard Gardner (Frames of Mind), Robert Ornstein (The Amazing Brain), Tony Buzan ( Make the Most of Your Mind) dan lain-lain, yang membutuhkan perhatian akan perlunya penanganan pendidikan yang lebih kreatif. Dari hasil penelitian Dryden & Vos dapat disimpulkan bahwa dalam setiap sistem pendidikan yang terbukti berhasil, citra diri (self concept), ternyata lebih penting dari pada materi pelajaran. Untuk itu, kurikulum pendidikan sebaiknya disusun dalam empat tingkat untuk saling mendukung dan melengkapi, yang masing-masing meliputi : (1) Citra diri dan perkembangan pribadi, (2) Pelatihan ketrampilan hidup, (3) Belajar tentang cara belajar dan berpikir, (4) Kemampuankemampuan akademik, fisik, dan artistic yang spesifik. Dari kurikulum empat tingkat tersebut dapat diungkapkan : pertama ; citra diri dan perkembangan pribadi harus dikembangkan dalam perspektif peran dan fungsi manusia sebagai makhluk Tuhan, sebagai individu mandiri dan makhluk social, serta sebagai unsure produksi. Sebagai makhluk Tuhan, ia selalu bertindak mengerjakan sesuatu atas nama tanggung jawab keimanannya, dan konsekwensi keimanannya itu dalam motif beribadah. Sebagai individu ia harus dapat mengenali diri, menemukan jati diri , memahami kelemahan dan kekurangannya, dalam rangka membangun karakter dan mengembangkan potensi diri untuk berkarya. Dalam pembelajaran bahasa di sini peran orang tua untuk memberi kesadaran kepada anak untuk menjalankan ibadah, solat lima waktu, membaca doa bersama-sama dengan anak dan membimbingnya pada setiap aktivitas yang dilakukan dengan kata-kata yang lemah lembut serta memberikan contoh teladan kepada anak-anak. Sebagai makhluk sosial ia harus memahami nilai-nilai sosial, dan selalu termotivasi untuk berkarya dalam konteks kebersamaan sosial. Peran orangtua dalam hal ini memberikan bimbingan kepada anak-anak untuk menghormati orang yang lebih tua, bergaul dengan sesama teman serta melindungi yang lebih muda dengan selalu menggunakan kata-kata yang sopan. Selalu mengucapkan terimakasih kepada orang lain yang memberikan bantuan. Di tingkat sekolah, guru-guru
8

membiasakan anak untuk saling bergaul dengan kata-kata yang membuat orang lain merasa senang. Contohnya di tingkat Taman Kanak-Kanak atau Pendidikan Anak Usia Dini, guru-guru memberikan contoh tentang tata tertib makan bersama. Misalnya anak laki-laki menarik kursi terlebih dahulu untuk mempersilahkan anak perempuan duduk, baru anak laki-laki mencari kursinya sendiri, dan anak perempuan mengucapkan terima kasih atas bantuan anak laki-laki tersebut. Kemudian tata cara makan yang baik, membaca doa bersama dan seterusnya. Sebagai unsur produksi, ia selalu termotivasi untuk berprestasi secara produktif, kreatif, inovatif, dan bernilai ekonomi. Proses membangun citra diri yang melibatkan perspektif-perspektif itu, apabila dapat berhasil akan mampu menjadikan dirinya sebagai manusia yang efektif. Dalam pembelajaran bahasa, anak selalu menunjukkan prestasinya dalam penguasaan bahasa, baik bahasa Daerah, bahasa Indonesia, maupun bahasa asing baik dalam sikap maupun bertutur kata. Kedua, Pelatihan keterampilan hidup, yang secara sempit dapat diartikan sebagai keterampilan praktis yang berkaitan dengan dunia kerja (kecakapan vokasional), atau pengertian yang lebih luas biasanya disebut dengan kecakapan hidup (life skills). Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, kecakapan hidup didefinisikan sebagai seperangkat kecakapan yang dimiliki oleh seseorang agar berani menghadapi permasalahan hidup dan kehidupan secara wajar, tanpa merasa tertekan; kemudian secara mandiri, proaktif, dan kreatif mencari dan menemukan jalan keluar atau solusi sehingga akhirnya mampu mengatasi permasalahan hidup dan kehidupan. Kecakapan hidup dikelompokkan menjadi dua, yaitu kecakapan hidup generic dan kecakapan hidup spesifik. Kecakapan hidup generic terbagi dua yaitu kecakapan personal dan kecakapan social. Kecakapan hidup spesifik terbagi menjadi kecakapan akademik dan kecakapan vokasional. Walaupun Pendidikan umum (SD,SMP, SMA) lebih

mempersiapkan siswa untuk melanjutkan jenjang Pendidikan yang lebih tinggi, artinya lebih ditekankan kepada kecakapan akademik, kecakapan vokasional tetap dapat diberikan sesuai dengan minat siswa dan kondisi setempat, untuk mengantisipasi siswa yang tidak dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, dan ingin langsung bekerja. Dengan demikian pembelajaran bahasa sangat bermanfaat bagi siswa yang akan bekerja untuk menggunakan
9

bahasanya secara santun dan benar. Ketiga, belajar tentang cara belajar dan berpikir. Keduanya termasuk yang paling mendasar harus diberikan kepada anak didik. Tujuan dari belajar ini ialah suatu upaya untuk memahami berbagai pengetahuan mengenai otak dan kecerdasan serta teknik-teknik melatih kemampuan berpikir efektif. Berbagai macam kemampuan berpikir itu antara lain : (1) Accelerated learning (belajar cepat), (2) super learning (belajar super) , (3) suggestopedia learning (belajar mempengaruhi), (4)

whole brain learning (belajar secara keseluruhan), (5) Integrated learning (belajar secara terintegrasi) dan sebagainya. Keseluruhan sistem tersebut umumnya memiliki karakter yang sama, yaitu mendorong anak untuk menggunakan seluruh kecerdasannya dan indera untuk belajar dengan lebih baik, melalui musik, irama, ritme, gambar, perasaan, emosi, dan tindakan. Jika pengembangan citra diri, kecakapan hidup, dan cara belajar berpikir, lebih menekankan pada aspek-aspek fundamental dari seorang anak didik (aspek esensi dan metode), maka pada tingkatan keempat, yaitu mengembangkan kemampuan akademik, fisik, dan artistik yang spesifik lebih menekankan pada aspek materi pembelajaran yang bersifat praktis untuk menguasai keahlian tertentu. Berbagai pemikiran pembaharuan pembelajaran, yang juga disertai dengan berbagai praktek-praktek eksperimen, pada intinya bermuara pada sebuah semangat bersama untuk melakukan reformasi pembelajaran khususnya di bidang bahasa. Hasil reformasi pada akhirnya harus dapat dinilai pada apa yang telah dicapai oleh anak didik dalam kerangka meningkatkan kemampuan belajar untuk menguasai kecakapan/keahlian berbahasa yang lebih tinggi, serta meningkatkan motivasi dan citra diri (self concept). 3. Pendidikan karakter hendaknya diberikan di semua jenis pendidikan, mulai dari pendidikan informal, pendidikan formal sampai dengan pendidikan non-formal. Pendidikan karakter sebagai suatu proses untuk mengembangkan individu sebagai pribadi yang terpuji, tidak cukup hanya diberikan atau menjadi tanggung jawab sekolah saja (formal education), akan tetapi menjadi tanggung jawab bersama, antara sekolah, keluarga (informal education), dan masyarakat (non-formal education). Instansi pertama yang sangat berperan dalam memberikan keteladanan dalam pendidikan karakter, adalah keluarga, karena
10

keluarga sebagai peletak dasar dari perilaku serta kepribadian seseorang, baru kemudian lingkungan yang lebih luas yaitu sekolah dan masyarakat. Di lingkungan keluarga, anak sudah mulai diperkenalkan dengan perasaan kasih sayang, sholat dan berdoa di bawah bimbingan orang tua, tahu berterimakasih, sikap sopan santun, kejujuran, berterus terang dalam menghadapi masalah, disiplin, tertib, menjaga kebersihan, tepat waktu, dan lain-lain. Di lingkungan sekolah, mulai adaptasi dengan lingkungan, seperti mau bekerjasama dengan teman-teman, menghormati guru, mau mengakui kesalahan, mampu berbeda pendapat, tidak mengeluh, belajar keras, rajin, mampu mengemukakan pendapat dan seterusnya. Demikian pula di lingkungan masyarakat, dimana permasalahan yang dihadapi semakin kompleks. 4. Metodologi dalam pembelajaran pendidikan karakter. Banyak sekali metode dan program pembelajaran pendidikan karakter yang dapat diterapkan. Beberapa metode yang spesifik, antara lain diungkapkan oleh John Vernon dalam What Would You Have Done ? there have been many programs which have concentrated mainly on motivating and informing children in connection with ethical conduct. One of the earlier experiments in this area involved the preparation of stories from biography based on true ethical choices and the use of this in free discussion . Dalam pelaksanaannya metode ini dapat menggunakan kisah kehidupan Nabi Muhammad S.A.W yang dapat dijadikan panutan pembelajaran pendidikan karakter. Selanjutnya Hartshorne, Hugh and May, Mark A., dalam Studies in the Nature of Character : 1928) mengungkapkan The second main method around which many programs have been organized has been the activity, or the learning by-doing, method. Psychologically the essential principle here is that students learns what they practice with satisfaction . One experimental study of this method has been made by Jones, who use many of the tests of actual conduct in their character education Inquiry. Dengan demikian, metode ini lebih menekankan kepada belajar sambil berbuat, dalam arti bagaimana metode ini mengaktifkan siswa dalam menghadapi kasus-kasus dalam kehidupan anak, melalui berbagai eksperimen. Berikutnya Stanley Dimond dalam Total School Approach, dan Hilda Taba dalam With perspective on Human Relations : A Study of Peer
11

Group Dynamics in an Eight Grade mengungkapkan bahwa The third grouping of programs and procedures involves the general principle of conditioning, or learning from the mores and spirit of the group. . Taba in an extensive study of peer-group dynamics in an eight grade concludes that by effective group methods a school can improve tne values of children, making those with poorer values more sensitive to the better values around them. Metodologi dalam pembelajaran pendidikan karakter, selanjutnya

diungkapkan oleh Allport, G.W. dalam Becoming : Basic Considerations for a Psychology of Personality (1955 : 106) dan Meredith, Cameron. W. dalam Personality and Social Development During Childhood and Adolescence (1955 : 469) bahwa Methods and program for character education relates to the development of the self, including the ideals which give inner motivation to conduct and many others have recently emphasized the point that no other teaching is more important than that which contributes to the developing self of a child and youth. But the methods of doing it are just beginning to attract attention and study. Up to now the influencing of the inner self or ideals of a child has been considered an art more than a science. A parent, teacher, or religious leader has been thought simply to have influence on a child.There have been few if any basic suggestions as to how to develop such influence as it affects to self. Dari pendapat tersebut jelaslah bahwa metode serta

program pendidikan karakter berkaitan dengan pengembangan citra diri, termasuk di dalamnya keinginan motivasi dari dalam diri untuk berperilaku sebagaimana yang diharapkan yang ditekankan kepada adanya pandangan bahwa tidak ada cara mengajar yang lebih penting selain memberikan

kontribusi untuk mengembangkan citra diri bagi anak dan remaja. Namun demikian, metode untuk melakukan hal tersebut pada mulanya untuk menarik perhatian dan belajar. Sampai saat ini, pengaruh citra diri seorang anak telah dipertimbangkan dan cenderung sebagai seni daripada sebagai ilmu. Para orang tua, guru atau pemimpin agama memiliki pengaruh terhadap anak. Yang penting dalam hal ini adalah bagaimana cara untuk mempengaruhi terjadinya perubahan pada citra diri anak. 5. Bagaimana perhatian orangtua terhadap pendidikan karakter.

Pembangunan Indonesia di masa depan bersandar pada visi Indonesia jangka


12

panjang, yaitu terwujudnya Negara-bangsa Indonesia modern yang aman dan damai, adil dan demokratis, serta sejahtera dengan menjunjung tinggi nilainilai kemanusiaan, kemerdekaan dan persatuan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian maka pembangunan Pendidikan nasional ke depan didasarkan pada paradigma membangun manusia Indonesia seutuhnya, yang berfungsi sebagai subyek yang memiliki kapasitas untuk mengaktualisasikan potensi dan dimensi kemanusiaan secara optimal. Dimensi kemanusiaan mencakup tiga hal paling mendasar, yaitu : (1) budi pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis; (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas piker dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan

mengembangkan ketrampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis. Sesuai dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berkewajiban untuk mencapai Visi Pendidikan Nasional sebagai berikut Terwujudnya sistem Pendidikan sebagai pranata social yang kuat dan berwibawauntuk memberdayakan semua warga Negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. (Visi Pendidikan Nasional). Sejalan dengan Visi Pendidikan Nasional tersebut, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berhasrat untuk pada tahun 2025 menghasilkan Insan Indonesia Cerdas dan Kompetitif (Insan Kamil/Insan Paripurna). Yang dimaksud dengan insan Indonesia yang cerdas adalah insan yang cerdas secara komprehensif, yang meliputi cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas social, cerdas intelektual, dan cerdas kinestetis. Cerdas spiritual adalah beraktualisasi diri melalui olah hati/kalbu untuk

menumbuhkan dan memperkuat keimanan ketakwaan dan akhlak mulia, termasuk budi pekerti luhur dan kepribadian unggul. Cerdas emosional dan social adalah berakumulasi dan melalui olah rasa untuk meningkatkan sensitivitas dan apresiasi seni dan budaya, serta kompetensi untuk mengekspresikannya.Sedangkan cerdas social adalah beraktualisasi social. Cerdas intelektual adalah beraktualisasi diri melaluiolah piker untuk memperoleh kompetensi dan kemandirian dalam ilmu pengetahuan dan
13

teknologi. Aktualisasi insan intelektual yang kritis, kreatif dan imajinatif. Sedangkan cerdas kinestetik adalah beraktualisasi diri melalui olah raga untuk mewujudkan insan yang sehat, bugar, berdaya tahan, sigap, terampil dan trengginas, serta aktualisasi insane adiraga.(Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan : Ditjen. Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah). Dari gambaran tersebut jelaslah begitu luhurnya visi Pendidikan nasional kita, yang kemudian diwujudkan dalam praktek. Namun demikian dalam

pelaksanaannya, pendidikan lebih identik dengan persekolahan, dan kemudian dipersempit dengan pengajaran untuk selanjutnya dipersempit dengan pengajaran di kelas dan makin dipersempit menjadi penyampaian materi kurikulum. Selanjutnya berbuntut pada pencapaian ujian akhir (ebtanas). Hal ini penting untuk menghindari pendidikan yang terlalu berorientasi sangat sempit yang berpusat pada aspek-aspek kognitif dan intelektual sehingga Pendidikan tidak mampumenghasilkan kepribadian secara utuh karena kehilangan unsure fundamentalnya yang berakar pada nilai-nilai moral. (Mohamad Surya ; 2006 : 5). Hal ini pula yang menyebabkan orang tua anak terfokus perhatiannya kepada nilai rapor anak yang lebih mendahulukan aspek akademik daripada aspek kepribadian anak. Orang tua akan lebih bangga melihat nilai akademis anak lebih baik dibandingkan dengan nilai perilaku anak. Akibatnya anak lebih dipacu untuk mengikuti kursus-kursus atau les akademik daripada belajar agama. 6. Peranan agama dalam membina pendidikan karakter. Dalam pembinaan pendidikan karakter, peranan agama sangatlah mendasar untuk membentuk perilaku, moral serta watak siswa. agama akan membina anak didik kita menjadi insan yang akhlakul karimah. Yang dimaksud dengan akhlakul karimah, adalah perbuatan mulia. Berakhlak mulia sangat dicintai Allah SWT dan mendapat pahala. Akhlak mulia telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dengan sikap, ucapan dan perbuatannya sangat terpuji, sehingga menjadi suri tauladan bagi pengikut-pengikutnya. Sebagaimana diungkapkan dalam Al-Quran : Sesungguhnya telah pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang

mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan banyak menyebut nama Allah SWT (Q.S al-Ahzab, 33 : 21). Selanjutnya Rasulullah
14

Muhammad

SAW

bersabda

Sesungguhnya

aku

diutus

untuk

menyempurnakan akhlak (H.R. Bukhari). Seorang pemimpin haruslah meniru perbuatan Rasulullah SAW, karena setiap pemimpin menjadi panutan para pengikutnya. Manusia diberi kepercayaan oleh Allah SWT sebagai khalifah di muka bumi, yang bertugas memimpin, mengolah dan menyuburkan alam sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Quran : Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan menghianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dhalim dan bodoh (Q.S al-Azhab, 33 : 72). Berikutnya pada Surat al-Baqarah : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para

Malaikat. Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Mereka berkata, Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?. Tuhan berfirman, Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. (Q.S. Al-Baqarah : 3)). Di sinilah peran dari para pemimpin, para pembuat kebijakan di negeri ini untuk secara terus menerus menyusun dan mempraktekkan berbagai kebijakan pendidikan yang bersumber kepada agama. Firman Allah SWT dalam Surat An Nuur (55) menegaskan : Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal yang sholeh bahwa Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhoi-Nya untuk mereka. Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa (selama) mereka tetap menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan suatu apapun dengan Aku. Dan barang siapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu mereka itulah orangorang yang fasik. (QS. An-Nuur : 55). Islam selalu dapat mengikuti berbagai perubahan zaman, sehingga walaupun terjadi perubahan teknologi secanggih apapun, agama Islam mampu mengikuti perubahan tersebut sampai akhir zaman. Sebagaimana diungkapkan dalam Islam A Global Civilization (Islamic Affairs Department : The
15

Embassy of Saudi Arabia, Washington, D.C.), bahwa Islam is a religion for all people from whatever race or background they might be. That is why Islamic civilization is based on a unity which stands completely against any racial or ethnic discrimination. The global civilization thus created by Islam permitted people of diverse ethnic background to work together in cultivating various arts and sciences (2000 : 10). Selanjutnya diungkapkan bahwa: Islam is a religion based upon knowledge for it is ultimately knowledge on the Oneness of God combined with faith and total commitment to Him that saves man. The text of the Quran is replete with verses inviting man to use his intellect, to ponder, to think and to know for the goal of Human life is to discover the Truth which is non other than worshiping God in His Oneness. The Hadith literature is also full of reference to the importance of knowledge. (2000 : 20). Strategi pembelajaran Pendidikan karakter dalam membina sikap mental ilmu amaliah dan amal ilmiah, dapat pula dimulai dengan Al-Hadist Barang siapa merintis jalan baru (penemuan baru) lalu diikuti oleh banyak orang dan kebetulan jalan baru itu benar, maka baginya ditambahkan kebaikan (pahala) sebanyak orang yang mengikutinya (AlHadist). Selanjutnya Luqman Al Hakim berkata kepada puteranya Rendahkan hatimu untuk kebenaran kelak kamu menjadi manusia yang berakal, dan orang yang berakal mudah menerima kebenaran dan akan berjalan bersama kebenaran. Berikutnya sebuah pepatah mengatakan Ilmu yang tidak diamalkan tak obahnya dengan pohon tiada berbuah. Ilmu yang sedikit tetapi diamalkan jauh lebih berfaedah dari pada ilmu seluas samudera namun tidak diamalkan dan tidak bermanfaat (Pepatah). Penutup 1. Karakter atau watak dipandang sebagai suatu hubungan timbal balik antara diri (self) dengan tiga hal yang pasti ada, yaitu lingkungan internal (diri), lingkungan eksternal (orang lain dan lingkungan fisik), dan lingkungan spiritual (sesuatu yang lebih besar dan abadi dari diri). Terdapat adanya empat tingkatan mutu watak, yaitu : (1) Watak tingkatan nol, (2) Watak tingkatan satu, (3) Watak tingkatan dua, dan (4) Watak tingkatan tiga.

16

2. Pendidikan karakter merupakan suatu proses dalam arti tidak hanya mengembangkan individu sebagai pribadi yang ideal serta perilaku yang terpuji, akan tetapi juga mendidiknya untuk mengembangkan dan

mempraktekkan kebajikan pribadinya dalam peranserta kelompok dan selalu tampil di depan dalam memberikan pelayanan yang terbaik. Pendidikan karakter sebagai suatu proses, berarti terdapat adanya tahapan-tahapan yang harus dilakukan, antara lain, pertama harus adanya aktivitas, kedua aktivitas itu berlangsung secara terus menerus atau berkesinambungan, dan ketiga, dalam kesinambungan itu terdapat adanya kreativitas, perbaikan atau peningkatan perilaku yang terpuji. 3. Pendidikan karakter melalui pembelajaran bahasa dimulai dengan

mendengarkan kata-kata yang menyejukkan iman melalui ucapan, perbuatan atau tindakan serta memperoleh contoh-contoh yang dapat dijadikan panutan hidup yang semuanya selalu dimulai dengan mengucapkan athma Allah. 4. Pendidikan karakter sebagai suatu proses untuk mengembangkan individu sebagai pribadi yang terpuji, tidak cukup hanya diberikan atau menjadi tanggung jawab sekolah saja, akan tetapi menjadi tanggung jawab bersama, antara sekolah, keluarga dan masyarakat. 5. Metodologi dalam pembelajaran pendidikan karakter dapat dimulai dengan membahas biografi kehidupan Rasulullah SAW, baik perilaku, tindakan dan perbuatannya, kemudian dilanjutkan dengan belajar sambil berbuat dalam menghadapi kasus-kasus dalam kehidupan siswa, selanjutnya pengembangan citra diri anak melalui dinamika kelompok. Dalam metodologi ini peranserta orangtua, guru dan para pemimpin agama sangat diutamakan untuk dapat saling mengisi dalam pelaksanaannya. 6. Peran orang tua sebagai pelaksana pendidikan karakter yang pertama, hendaknya dapat membimbing putera dan puterinya dengan contoh dan teladan yang baik, sehingga anak akan merasa nyaman berada dalam lingkungan keluarga, dan hal itu akan memotivasi anak untuk menghadapi kehidupannya dikemudian hari. 7. Dalam Pendidikan karakter peranan agama sangatlah mendasar untuk membentuk perilaku, moral serta watak siswa. Agama akan membina anak

17

didik kita menjadi insan yang akhlakul karimah, yaitu insan yang berakhlak mulia (terpuji). Daftar Kepustakaan Allport, G.W., 1955, Becoming Basic Considerations for a Psychology of Personality Yale. University.. Depdiknas, 2003, Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Kecakapan Hidup di Sekolah Menengah Atas, Jakarta, Depdiknas., Dryden, Gordon & Vos, Jeannette, 2003, Revolusi Cara Belajar (The Learning Revolution), Penerbit Kaifa, Bandung Gardner, Howard, 1983, Frames of Mind : The Theory of Multiple Intelligence, An Article., New York.. Harris, Chester W., 1960, Encyclopedia of Educational Research, The Macmillan Company, New York. Meredith, Cameron. W., 1955, Personality and Social Development During Child hood and Adolescence, R. Ed. Res. Naisbitt, John, 1982, Megatrends, Ten New Directions Transforming Our Lives, Warner Books, Inc. Library of Congress Cataloging in Publication, N.Y. Roeslan Andoelgani, t.t. Nasionalisme Asia, Prapanca, Jakarta. Surya, Mohamad, 2006, Pendidikan Holistik Dalam Membangun Watak Bangsa, Seminar Nasional Pendidikan IPS, SPS UPI, Bandung. The Embassy of Saudi Arabia, 2000, Islam A Global Civilization, Islamic Affair Department, Washington D.C. The New Lexicon Webster International Dictionary, 1978, The English Language Institute of America. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Wisniewski & Keneth Miller, 1998, The ASCA Counselor, Vol. 35 No. 2 (Dalam Mohamad Surya : Pendidikan Holistik Dalam Membangun Watak Bangsa), Seminar Nasional Pendidikan IPS, 2006. .

Riwayat Penulis Diah Hadijah, Dra. M.Pd. adalah Dosen Kopertis Wilayah IV yang diperbantukan pada Jurusan Bahasa Inggris FKIP-Universitas Islam Nusantara.

18

19

Anda mungkin juga menyukai