Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

PERAN ANTIKOAGULAN ORAL PADA PENCEGAHAN STROKE KARENA AF

Pembimbing : dr. Fachry Uzer, Sp.S

Disusun oleh : Marissa Anggraeni 030.08.155

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF RSUD. DR.SOESELO SLAWI PERIODE 17 DESEMBER 2012 19 JANUARI 2013 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

DAFTAR ISI

BAB I. Pendahuluan ..................................................................................................................1 BAB II. Pembahasan II.1 Tentang Fibrilasi Atrium ........................................................................................2 II.2 Risiko Kejadian Stroke Pada Fibrilasi Atrium .......................................................4 II.3 Penanganan Stroke Pada Pasien Dengan AF...........................................................5 II.4 Obat Antikoagulan Baru........................................................................................17 BAB III. Kesimpulan ..............................................................................................................19 BAB IV. Daftar Pustaka...........................................................................................................20

BAB I
PENDAHULUAN Fibrilasi atrium (atrial fibrilation AF) merupakan suatu takiaritmia supraventrikel yang ditandai dengan aktivasi elektris atrium yang tak terkoordinasi sehingga terjadi gangguan fungsi mekanik atrium. AF merupakan aritmia jantung yang paling sering terjadi pada pasien usia di atas 65 tahun. Prevalensi semakin tinggi dengan bertambahnya usia dan merupakan penyebab utama terjadinya stroke akibat adanya tromboemboli (1,2). Stoke atau gangguan peredaran darah otak akibat AF merupakan stroke non hemmoragik / stroke iskemi dan sudah pasti stroke merupakan problem utama di bidang neurologi. Bukan hanya angka kejadiannya yang makin meningkat, tapi juga kemungkinan tersisanya sekuele yang mengganggu untuk waktu lama, menurunnya mutu kehidupan, dan meningkatnya kematian. Stroke yang disertai fibrilasi atrium merupakan penyakit yang jauh lebih berpotensi jelek dibandingkan dengan stroke tanpa AF. (1) Penderita AF mempunyai risiko kejadian stroke 2-7 kali, dengan resiko stroke absolute berkisar 1-15% pertahun . FA diperkirakan bertanggung jawab terhadap kejadian strok iskemik sekitar 15-25%, dan juga FA mungkin dihubungkan dengan infark serebri tenang. Laju kejadian stroke bervariasi dari 0,5% pertahun pada orang muda tanpa kelainan struktur jantung sampai 12% pertahun pada penderita FA yang pernah mengalami stroke sebelumnya. Saffitz mengatakan bahwa sekitar 15 % dari stroke yang terjadi di AS disebabkan oleh adanya AF, dalam angka ini meliputi 2,5 juta orang, dan sekitar 30% pasien AF mempunyai riwayat keluarga dengan AF juga. Karena adanya hubungan erat antara risiko kejadian stroke pada AF, maka sangat penting penatalaksaan dan pencegahan terhadap stroke pada kasus AF selain penatalaksaan untuk fibrilasi atriumnya sendiri.(1,3)

BAB II
PEMBAHASAN

II.1 TENTANG FIBRILASI ATRIUM

Gambar 1. EKG Fibrilasi (atas) dan irama sinus normal (bawah). Panah ungu menunjukkan gelombang P, pada fibrilasi gelombang P absen.

Fibrilasi atrium (atrial fibrilation AF) merupakan suatu takiaritmia supraventrikel yang ditandai dengan aktivasi elektris atrium yang tak terkoordinasi sehingga terjadi gangguan fungsi mekanik atrium. Dari gambaran elektrokardiogram AF dapat dikenali dengan absennya gelombang P, yang diganti oleh fibrilasi atau oskilasi antara 400-700 permenit dengan berbagai bentuk, ukuran, jarak dan waktu timbulnya yang dihubungkan dengan respon ventrikel yang cepat dan tak teratur bila konduksi AV masih utuh (3). Tampilan klinis FA sangat bervariasi. Klasifikasi FA dapat menolong dalam melakukan pengelolaan kelainan irama tersebut. Terdapat banyak klasifikasi yang dikenal dalam literatur, namun yangdirekomendasikan adalah klasifikasi yang didasarkan pada pedoman ACC/AHA/ESC2, yakni (2,3) : 1. FA paroksismal: Suatu episode aritmia yang dimulai dan berakhir secara spontan, umumnya berlangsung kurang dari 24 jam tapi kadang-kadang bisa berlangsung sampai 7 hari. 2. FA persisten: Episode aritmia yang berlangsung lebih dari 7 hari atau membutuhkan terminasi baik secara farmakologis maupun secara elektris. 3. FA permanen: Episode aritmia yang berlangsung lama dimana diperlukan terminasi yang berulangulang.

Bila penderita mengalami dua atau lebih episode FA paroksismal ataupun FA persisten maka jenis FA yang dialami ini disebut FA rekuren. Definisi ini digunakan terhadap episode FA yang lamanya lebih dari 30 detik dan tidak dihubungkan dengan suatu penyebab yang reversibel,seperti operasi jantung, infark miokard, emboli paru, miokarditis atau hipertiroidisme. Bila penyebab yang reversibel dapat dikenal maka penyebab tersebut diobati secara simultan dengan pengelolaan episode FA, dan kerapkali strategi ini akan menghilangkan aritmia tersebut dan tak membutuhkan lagi pengelolaan aritmia jangka panjang(3).

Pada saat ini patofisiologi FA masih belum begitu jelas. Secara teoritis ada dua mekanisme yang terlibat dalam patofisiologi terjadinya FA. Yang pertama meningkatnya otomatisitas dari satu atau beberapa fokus yang mengalami depolarisasi dengan cepat dan kedua terjadinya mekanisme reentri melalui satu atau lebih jalur konduksi. Wijffels dkk pertama kali menunjukkan bahwa FA yang berkepanjangan menyebabkan perubahan sifat elektris (remodeling elektris) atrium yang memacu FA menjadi menetap. Faktor-faktor lain yang dapat menginduksi atau mempertahankan FA adalah ekstrasistole, aktivitas sistim saraf otonom, iskemia atrium, regangan atrium, konduksi anisotropik, dan faktor usia. (2,3) Untuk mendiagnosis AF, pemeriksaan elektrokardiografi merupakan standar baku sebagai alat diagnostik. AF paroksismal dapat dideteksi dengan menggunakan pemantau Holter atau pemeriksan EKG transtelefonik. Pemeriksaan foto toraks, ekokardiografi mutlak diperlukan untuk menyingkirkan penyakit sekunder(3). Pada pasien dengan AF, tujuan strategi pengobatan adalah dipusatkan pada kontrol aritmianya (rhytm control). Obat yang biasa digunakan untuk tujuan rhytm control adalah obat anti aritmia golongan I seperti Quinidine, Disopiramid, dan Propafenon; Amiodaron dapat diberikan sebagai obat anti aritmia golongan II. Untuk mengendalikan laju denyut ventrikel (rate control), dapat diberikan obat-obatan yang bekerja pada nodus AV seperti digitalis, verapamil dan penyekat beta. Amiodaron juga dapat dipakai untuk rate control. Tanpa melihat pola dan strategi pengobatan AF yang digunakan, pasien harus mendapatkan antikoagulan untuk mencegah terjadinya tromboemboli. Pasien yang mempunyai

kontraindikasi terhadap warfarin dapat di berikan antipletelet.terapi non farmakologis pada AF antara lain : kardiversi external dengan DC shock (dapat dilakukan pada AF paroksismal dan AF persistent), pemasangan pacu jantung (pacemaker),terapi ablasi transkateter (2).

II. 2 RISIKO KEJADIAN STROKE PADA FIBRILASI ATRIUM

FA diperkirakan bertanggung jawab terhadap kejadian strok iskemik sekitar 15-25%, dan juga FA mungkin dihubungkan dengan infark serebri tenang. Laju kejadian stroke bervariasi dari 0,5% pertahun pada orang muda tanpa kelainan struktur jantung sampai 12% pertahun pada penderita FA yang pernah mengalami stroke sebelumnya. Saffitz mengatakan bahwa sekitar 15% stroke yang terjadi di AS disebabkan oleh adanya AF, dalam angka ini meliputi 2,5 juta orang, dan sekitar 30% pasien AF mempunyai riwayat keluarga dengan AF juga. Penetapan stratifikasi risiko sejak lebih dari 20 tahun terakhir merupakan elemen yang penting untuk menentukan jenis terapi pencegahan kejadian stroke. Keputusan untuk mengobati seorang penderita dengan antikoagulasi seharusnya didasarkan pada keputusan klinis bahwa risiko kejadian tromboemboli tanpa terapi lebih berbahaya dibanding risiko terjadinya perdarahan apabila diberi obat(1,3,6). Berbagai penelitian telah mengidentifikasi faktor risiko ganda yang dihubungkan dengan peningkatan kejadian stroke. Faktor faktor tersebut dikelompokkan menjadi(4,5,6) : Faktor risiko yang tidak bisa dimodofikasi antara lain kelamin, herediter, ras. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi Faktor risiko mayor : hipertensi, penyakit jantung iskemik (sudah ada termasuk umur, jenis

manifestasi aterosklerosis), penyakit jantung reumatik, katup prostesis, gagal jantung bendungan, riwayat strok, serangan iskemik sementara, diabetes mellitus, merokok Faktor risiko minor : dislupidemia, tiroktosikosis, obesitas, kadar asam urat tinggi. dan sekitar 30% pasien AF mempunyai riwayat keluarga dengan AF juga. The Atrial Fibrillation Investigators (AFI) menganalisis bahwa beberapa faktor risiko yang dihubungkan dengan lebih dari 5% risiko stroke pertahun jika mereka tidak diberi terapi warfarin. Risiko stroke ini didasarkan pada umur yakni <65 tahun, 65-75 tahun dan >75 tahun(2).

Gambar 2. Tabel laju kejaian stroke pertahun dari analisis penelitian FA berdasarkan kelompok umum dan ada tidaknya faktor resiko.

Oleh karena itu sangat penting penatalaksaan dan pencegahan terhadap stroke pada kasus AF selain penatalaksaan untuk fibrilasi atriumnya sendiri.

II.3 PENANGANAN STROKE PADA PASIEN DENGAN AF

Mengobati pasien stroke karena AF dengan cara konvensional, dengan mengobati segala faktor resiko, mengatur tensi, kadar gula darah, elektrolit, albumin, lipid, dan sebagainya tidaklah cukup. Dengan cara ini para pasien kelompok ini akan lebih sering mengalami stroke dibandingkan dengan pasien stroke tanpa AF(1). Selain yang telah disebutkan diatas diperlukan pula obat-obatan farmakologis. Pilihan obat yang dapat diberikan antara lain : Anti Koagulan (3.4,7,8) Obat- obat antikoagulan menghambat perkembangan dan pembesaran bekuan. Seharusnya sudah jelas berdasarkan kelompok ini bahwa obat obat ini bekerja dengan cara mengganggu fase koagulatif hemostatis. Penggolongan obat obat ini yaitu : a. Golongan heparin, mencakup senyawa-senyawa yang diberikan secara parentral

(heparin dan heparin berbobot rendah) dan oral (warfarin dan dikumarol. b. Inhibitor thrombin langsung c. Lain-lain Terapi antikoagulan memberikan profilaksis terhadap thrombus vena dan arteri. Obat ini tidak dapat melarutkan bekuan yang terbentuk, tetapi dapat mencegah atau memperlambat perluasan bekuan yang sudah ada. Terapi antikoagulan pada pasien-pasien fibrilasi atrimu telah mengurangi resiko tromboemboli sistemik dan stroke.
5

Gambar 3. Skema sistem koagulasi dan fibrinolisis

1. Warfarin Warfarin adalah anti koagulan oral yang mempengaruhi sintesa vitamin K-yang berperan dalam pembekuan darah- sehingga terjadi deplesi faktor II, VII, IX dan X. Ia bekerja di hati dengan menghambat karboksilasi vitamin K dari protein prekursomya. Karena waktu paruh dari masing-masing faktor pembekuan darah tersebut, maka bila terjadi deplesi faktor Vll waktu protrombin sudah memanjang. Tetapi efek anti trombotik baru mencapai puncak setelah terjadi deplesi keempat faktor tersebut. Jadi efek anti koagulan dari warfarin membutuhkan waktu beberapa hari karena efeknya terhadap faktor pembekuan darah yang baru dibentuk bukan terhadap faktor yang sudah ada disirkulasi. Warfarin tidak mempunyai efek langsung terhadap trombus yang sudah terbentuk, tetapi dapat mencegah perluasan trombus. Warfarin telah terbukti efektif untuk pencegahan stroke kardioembolik. Karena meningkatnya resiko pendarahan, penderita yang diberi warfarin harus dimonitor waktu protrombinnya secara berkala.

Farmakokinetik : Mula kerja biasanya sudah terdeteksi di plasma dalam 1 jam setelah pemberian, kadar puncak dalam plasma: 2-8 jam, Waktu paruh : 20-60 jam; rata-rata 40 jam, Bioavailabilitas: hampir sempurna baik secara oral, 1M atau IV, Metabolisme: ditransformasi menjadi metabolit inaktif di hati dan ginjal.,Ekskresi: melalui urine clan feses. Farmakodinamik : 99% terikat pada protein plasma terutama albumin, absorbsinya berkurang bila ada makanan di saluran cerna. Indikasinya antara lain untuk profilaksis dan pengobatan komplikasi tromboembolik yang dihubungkan dengan fibrilasi atrium dan penggantian katup jantung ; serta sebagai profilaksis terjadinya emboli sistemik setelah infark miokard (FDA approved), profilaksis TIA atau stroke berulang yang tidak jelas berasal dari problem jantung. Kontraindikasi : semua keadaan di mana resiko terjadinya perdarahan lebih besar dari keuntungan yang diperoleh dari efek anti koagulannya, termasuk pada kehamilan, kecenderungan perdarahan atau blood dyscrasias dll. Interaksi obat : Warfarin berinteraksi dengan sangat banyak obat lain seperti asetaminofen, beta bloker, kortikosteroid, siklofosfamid, eritromisin, gemfibrozil, hidantoin, glukagon, kuinolon, sulfonamid, kloramfenikol, simetidin, metronidazol, omeprazol, aminoglikosida, tetrasiklin, sefalosporin, anti inflamasi non steroid, penisilin, salisilat, asam askorbat, barbiturat, karbamazepin dll. Efek samping dapat terjadi perdarahan dari jaringan atau organ, nekrosis kulit dan jaringan lain, alopesia, urtikaria, dermatitis, demam, mual, diare, kram perut, hipersensitivitas dan priapismus. Harti- hati untuk usia di bawah 18 tahun belum terbukti keamanan dan efektifitasnya. Hati- hati bila digunakan pada orang tua. Tidak boleh diberikan pada wanita hamil karena dapat melewati plasenta sehingga bisa menyebabkan perdarahan yang fatal pada janinnya. Dijumpai pada ASI dalam bentuk inaktif, sehingga bisa dipakai pada wanita menyusui. Dosis inisial dimulai ,dengan 2-5 mg/hari dan dosis pemeliharaan 2-10 mg/hari. Obat diminum pada waktu yang sama setiap hari. Dianjurkan diminum sebelum tidur agar dapat dimonitor efek puncaknya di pagi hari esoknya. Lamanya terapi sangat tergantung pada kasusnya. Secara umum, terapi anti koagulan harus dilanjutkan sampai bahaya terjadinya emboli dan trombosis sudah tidak ada. Pemeriksaan waktu protrombin dilakukan setiap hari begitu dimulai dosis inisial sampai tercapainya waktu protrombin yang stabil di batas terapeutik. Setelah tercapai, interval pemeriksaan waktu protrombin tergantung pada penilaian dokter dan respon penderita terhadap obat. Interval yang dianj urkan adalah 1-4 minggu.
7

2. Heparin Heparin adalah bahan alami yang diisolasi dari mukosa intestinum porcine atau dari paru-paru sapi. Obat bekerja sebagai anti koagulan dengan mempotensiasi kerja anti trombin III (AT-III) membentuk kompleks yang berafinitas lebih besar dari AT -III sendiri, terhadap beberapa faktor pembekuan darah, termasuk trombin, faktor IIa, IXa, Xa, XIa,dan XIla. Oleh karena itu heparin mempercepat inaktifasi faktor pembekuan darah. Heparin biasanya tidak mempengaruhi waktu perdarahan. Waktu pembekuan memanjang bila diberikan heparin dosis penuh, tetapi tidak terpengaruh bila diberikan heparin dosis rendah. Heparin dosis kecil dengan AT-III menginaktifasi faktor XIIIa dan mencegah terbentuknya bekuan fibrin yang stabil. Penggunaan hefarin dimonitor dengan memeriksa waktu tromboplastin parsial (aPTT) secara berkala. Penggunaan heparin untuk stroke akut masih diperdebatkan. Belum ada uji klinis yang memberikan hasil yang konklusif. American Heart Association merekomendasikan " penggunaan heparin tergantung pada preferensi dokter yang menanganinya. Harus dimengerti bahwa penggunaan heparin bisa tidak memperbaiki hasil akhir yang diperoleh pada penderita stroke iskemik akut ". Heparin dapat diberikan secara IV atau SK. Pemberian secara IM tidak dianjurkan karena sering terjadi perdarahan dan hematom yang disertai rasa sakit pada tempat suntikan. aPTT dimonitor ketat agar berkisar 1,5 kali nilai kontrol. Farmakokinetik : Mula kerja : segera pada pemberian IV, 20-60 menit setelah pemberian SK , kadar puncak dalam plasma: 2 4 jam setelah pemberian SK, waktu paruh : 30-180 menit. Bioavailabilitas : karena tidak diabsorbsi di saluran cerna, harns diberikan secara parenteral. Metabolisme : terutama di hati dan sistem retikuloendotelial (SRE) ; bisa juga di ginjal. Ekskresi : secara primer diekskresi oleh hati dan SRE. Farmakodinamik : terikat pada protein plasma secara ekstensif Indikasi : pada dosis rendah untuk pencegahan stroke atau komplikasi tromboembolik. Profilaksis trombosis serebral pada evolving stroke (masih diteliti). Kontraindikasi : hipersensitif terhadap heparin, trombositopeni berat, perdarahan yang tidak terkontrol. Interaksi obat : antikoagulan oral, aspirin, dextran, fenilbutazon, ibuprofen, indometasin, dipiridamol, hidroksiklorokuin, digitalis, tetrasiklin, nikotin, anti histamin, nitrogliserin. Efek samping dapat terjadi perdarahan, iritasi lokal, eritema, nyeri ringan, hematom, ulserasi, menggigil, demam, urtikaria, asma, rhinitis, lakrimasi, sakit kepala, mual, muntah,reaksi anafilaksis, trombositopeni, infark miokard, emboli paru, stroke, priapismus, gatal dan rasa terbakar, nekrosis kulit, gangren pada tungkai. Penggunaan 15.000 U atau lebih
8

setiap hari selama lebih dari 6 bulan dapat menyebabkan osteoporosis dan fraktur spontan. dDsis rendah dianjurkan untuk pencegahan stroke dan profilaksis evolving stroke. Pada pemberian secara SK dimulai dengan 5000 U lalu 5000 U tiap 8-12 jam sampai 7 hari atau sampai penderita sudah dapat dimobilisasi (mana yang lebih lama). Bila diberi IV, sebaiknya didrips dalam larutan Dekstrose 5% atau NaCI fisiologis dengan dosis inisial 800 U/jam. Hindari pemberian dengan bolus. Sesuaikan dosis berdasarkan basil aPTT (sekitar 1,5 kali nilai normal). Pada anak dimulai dengan 50 U/kgBB IV bolus dengan dosis pemeliharaan sebesar 100 U/kgBB/4jam perdrips atau 20.000 U/m2/24 jam dengan infus. Pada kasus AF heparin tidak diberikan, diberikan obat berupa antikoagulan oral.

Gambar 4. Tabel pedoman terapi antitrombotik pada AF menurut ACC/AHA/ESC

Anti trombotik (3, 4, 7,9) Kemampuan terapi antitrombotik untuk menurunkan risiko stroke pada penderita FA

pertama kali dilaporkan pada akhir tahun 1980-an. Meskipun aspirin menunjukkan alternatif terapi yang lebih baik dan lebih aman dibanding warfarin, dia tidak memberi tingkat proteksi yang sama untuk mencegah strok seperti wafarin pada penderita FA. Anti trombosit (anti platelet) adalah obat yang dapat menghambat agregasi trombosit sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan trombus yang terutama sering ditemukan pada sistem arteri. Beberapa obat yang termasuk golongan ini adalah aspirin, sulfinpirazon, dipiridamol, dekstran, tiklopidin, prostasiklin ( PGI-2 ). Obat anti trombosit yang telah terbukti efektifitasnya dalam pencegahan stroke adalah :

1. Aspirin (asetosal, asam asetil-salisilat). Aspirin bekerja mengasetilasi enzim siklooksigenase dan menghambat pembentukan enzim cyclic endoperoxides. Aspirin juga menghambat sintesa tromboksan A-2 (TXA-2) di dalarn trombosit, sehingga akhirnya menghambat agregasi trombosit. Aspirin menginaktivasi enzim-enzim pada trombosit tersebut secara permanen. Penghambatan inilah yang mempakan cara kerja aspirin dalam pencegahan stroke dan TIA (Transient Ischemic Attack). Pada endotel pembuluh darah, aspirin juga menghambat pembentukan prostasiklin. Hal ini membantu mengurangi agregasi trombosit pada pembuluh darah yang rusak. Farmakokinetik : Mula kerja : 20 menit -2 jam. kadar puncak dalam plasma: kadar salisilat dalarn plasma tidak berbanding lurus dengan besamya dosis, waktu paruh : asam asetil salisilat 15-20 rnenit ; asarn salisilat 2-20 jam tergantung besar dosis yang diberikan. Bioavailabilitas : tergantung pada dosis, bentuk, waktu pengosongan lambung, pH lambung, obat antasida dan ukuran partikelnya. Metabolisrne : sebagian dihidrolisa rnenjadi asarn salisilat selarna absorbsi dan didistribusikan ke seluruh jaringan dan cairan tubuh dengan kadar tertinggi pada plasma, hati, korteks ginjal , jantung dan paru-paru. Ekskresi : dieliminasi oleh ginjal dalam bentuk asam salisilat dan oksidasi serta konyugasi metabolitnya. Farmakodinamik : adanya makanan dalam lambung memperlambat absorbsinya, danpemberian bersama antasida dapat mengurangi iritasi lambung tetapi meningkatkan kelarutan dan absorbsinya. Sekitar 70-90 % asam salisilat bentuk aktif terikat pada protein plasma.

10

lndikasi : Menurunkan resiko TIA atau stroke berulang pada penderita yang pernah menderita iskemi otak yang diakibatkan embolus, menurunkan resiko menderita stroke pada penderita resiko tinggi seperti pada penderita tibrilasi atrium non valvular yang tidak bisa diberikan anti koagulan. Kontra indikasi . hipersensitif terhadap salisilat, asma bronkial, hay fever, polip hidung, anemi berat, riwayat gangguan pembekuan darah. lnteraksi obat: obat anti koagulan, heparin, insulin, natrium bikarbonat, alkohol clan, angiotensin -converting enzymes. Aspirin murah dan mudah didapatkan. Jarang dijumpai alergi pada aspirin. Efek samping yang sering terjadi pada pemberian aspirin ialah komplikasi gastrointestinal, gastritis, peptic ulcer, perdarahan saluran cerna bagian atas. Perdarah lain termasuk perdarahan intrakranial merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pemberian aspirin dosis besar. Tidak dianjurkan dipakai untuk pengobatan stroke pada anak di bawah usia 12 tahun karena resiko terjadinya sindrom Reye. Pada orang tua harus hati- hati karena lebih sering menimbulkan efek samping kardiovaskular. Obat ini tidak dianjurkan pada trimester terakhir kehamilan karena dapat menyebabkan gangguan pada janin atau menimbulkan komplikasi pada saat partus. Tidak dianjurkan pula pada wanita menyusui karena disekresi melalui air susu. Dosis : FDA merekomendasikan dosis: oral 1300 mg/hari dibagi 2 atau 4 kali pemberian. Sebagai anti trombosit dosis 325 mg/hari cukup efektif dan efek sampingnya lebih sedikit. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf merekomendasikan dosis 80-320 mg/hari untuk pencegahan sekunder stroke iskemik. 2. Ticlopidine Ticlopidine merupakan derivat Theinopyridine. Mekanisme kerja ticlopidine

menghambat agregasi platelet yang diiduksi oleh ADP dan blokade tranformasi reseptor fibriogen platelet menjadi bentuk yang afinitasnya tinggi. Proses ini menyebabkan penghambatan pada agregasi platelet dan pelepasan isi granul platelet. Ticlopidine juga dapat digunakan sebagai pengganti aspirin untuk pasien yang hipersensitif terhadap aspirin atau intoleransi gastrointestinal. Farmakokinetik : mula kerja diabsorbsi cepat, kadar puncak dalam plasma: 2 jam, waktu paruh : 4-5 hari, bioavailabilitas : > 80%, metabolisme : terutama di hati .ekskresi : 60% melalui urine daD 23% melalui feses. Farmakodinamik : bioavailabilitas oral meningkat 20% hila diminum setelah makan ; pemberian bersama makan dianjurkan untuk meningkatkan
11

toleransi gastrointestinal. 98% terikat secara reversibel dengan protein plasma terutama albumin dan lipoprotein. Indikasi : Mengurangi resiko stroke trombotik pada penderita yang pemah mengalami prekursor stroke atau pemah mengalami stroke merupakan pilihan bila terjadi intoleransi terhadap aspirin. Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap Tiklopidin, kelainan darah (misalnya netropeni, trombositopeni), gangguan pembekuan darah, perdarahan patologis aktif (misalnya perdarahan lambung, perdarahan intrakranial), gangguan fungsi hati berat. Interaksi obat aspirin, antasida, simetidin, digoksin, teofilin, fenobarbital, fenitoin, propanolol, heparin, antikoagulan oral, obat tibrinolitik. Efek samping : Paling sering : diare, mual, dispepsia, rash, nyeri gastrointestinal, netropeni, purpura, pruritus, dizziness, anoreksia, gangguan fungsi hati. Kadang-kadang ecchymosis, epistaksis, hematuria, perdarahan konjunktiva, perdarahan gastrointestinal, perdarahan perioperatif, perdarahan intraserebral, urtikaria, sakit kepala, asthenia, nyeri, tinnitus. Hati hati Pada usia di bawah 18 tahun belum terbukti keamanan dan efektifitasnya. Tidak dianjurkan pada penderita gangguan fungsi hati berat. Penggunaan selama kehamilan hanya bila sangat dibutuhkan. Bila diberi pada wanita menyusui harus dihentikan menyusuinya. Dosis dewasa dan orang tua : 2 x 250 mg/hari diminum bersama makanan. dosis yang direkomendasikan Perdossi adalah 250-500 mg/hari pada penderita yang tidak tahan dengan aspirin. 3. Clopidrogel Clopidrogel termasuk golongan Thienopyridine (seperti ticlopidine). Obat ini memblok kerja trombosit secara selektif dan menghambat secara irreversible ikatan antara ADP dan respetor trombosit. Clopidrogel 75mg perhari rupanya lebih efektif bila dibandingkan dengan aspirin 325mg perhari, clopidrogel mempunyai kelebihan dibanding ticlopidine terutama dalam hal efek samping hematologinya. Efek samping clopidrogel yang biasa timbul adalah rash dan diare. Clopidrogel dapat diberikan bersama aspirin. Dosis clopidrogel bisanya 75-100mg perhari oral. 4. Dipiridamol Merupakan suatu inhibitor phospodiesterase yang meningkatkan kadar cyclic adeno monophospate, sehingga mengakibatkan penuruna sensitivitas terhadap stimuli yang
12

mengaktifkan.Dipiridamol biasanya tidak diberikan sendiri, pemberiannya lebih sering sebagai tambahan dengan aspirin pada pencegahan penderita stoke dengan penyakit arteri dan sebagai tambahan pada terapi warfarin pada penyakit jantung yang disebabkan karena tromboemboli. Kombinasi pemberian dipiridamol dengan aspirin lebih baik bila dibandingkan dengan pemberian hanya satu obat saja. Namun demikian bagaimanapun terapi kombinasi dapat menyebabkan risiko kenaikan timbulnya perdarahan. Efek samping dipiridamol yang paling sering adalah sakit kepala, kadang-kadang dapat timbul perdarahan, diare, iritasi gastrointestinal. Dipiridamol biasnya dikombinasikan dengan spirin dalam satu kapsul. Cara pemberian : aspirin 25mg + dipiridamol 200mg 2 kali sehari. 5. Cilostazol Dapat menghambat agregasi platelet dan juga bersifat vasodilator yang dapat dipakai untuk prevensi sekunder pada pasien yang mempunyai resiko stroke. Mekanisme kerja cilostazol adalah dengan menghambat secara selektif phospodiesterase-3 (PDE-3), yaitu suatu cGMP-inhibited dan camp-selektive phospodiesterase, sehingga kadar cGMP dan camp dalam sel meningkat yang memblokade aktivitas trombosit melalu Ca Peningkatan cAMP dalam sel dan trombosit mempunyai beberapa efek yaitu sebagai antitrombosit, vasodilatasi otot polos vaskuler, menghambat proliferase sel otot polos vaskuler dan dapat berperan sebagai obat aterosklerosis, meningkatkan p53 dan menghambat pertumbuhan sel, p53 ini memegang peranan penting dalam regulasi sel otot polos vaskuler aorta dan menekan perkembangan siklus sel dan menambah produksi hepatocyte growth factor yang dalam pembuluh darah mempunyai efek regenerasi sel endotel. Dosis harian : 100mg dengan cara pemberian 50mg peroral 2 kalisehari. Efek samping : palpitasi, sakit kepala, dizziness dan nausea. 6. Glycoprotein (GP) IIB/IIA Antagonis Obat ini menghambat reseptor GP Iib/IIIa, merupakan jalur bersama terakhir dalam pengaktifan trombosit. Obat ini terdapat bentuk injeksi intravena ( Xemilofiban, Orofiban, Sibrafiban, dan Lotrafiban).

13

Gambar 5. Tabel obat anti trombotik

Pada masa lampau, para ahli stroke sudah mempunyai obat yang cukup efektif untuk menangani stroke dengan AF, yaitu penggunaan antagonis vitamin K. Contoh yang sudah sangat dikenal adalah penggunaan warfarin oral setelah fase akut, misalnya Simarc-2. Obat ini diberikan dengan pemantauan yang ketat dari derajat efek antikoagulannya lewat pemeriksaan INR secara berkala. Derajat antikoagulannya harus dipertahankan antara INR 23 : bila <2 maka terapi kurang efektif, bila >3 terjadi bahaya komplikasi perdarahan, baik di otak maupun di bagian tubuh lainnya. Karena itu sebaiknya tidak memakai obat ini bila pasien sulit menaati keharusan memeriksakan darahnya secara periodik, seperti yang digariskan doketr. Suatu fakta lain yang juga cukup mengganggu adalah bahwa efek terapetik obat ini sangat mudah dipengaruhi oleh banyak hal : makanan yang mengandung vitamin K, sayuran, obat tertentu(1).

14

Semua fakta ini mugkin yang membuat baik pasien maupun dokter ragu-ragu atau bahkan menghindari penggunaan VKA. Suatu survey di amerika menemukan sekitar 85% dokter memberikan VKA, di Canada jumlah dokter yang memberikan VKA pada pasien stroke emboli hanya 84 %, menurut Gunawan, dia meyakini bahwa di Indonesia jumlah dokter yang secara rutin dan benar memberikan VKA pada pasien adalah lebih kecil. Ketaatan pasien yang rendah melengkapi banyaknya kegagalan terapi dengan obat ini (1). Mungkin karena ini banyak ahli penyakit Saraf yang memilih jalan yang mudah : menggunakan antiplatelet saja. Cukup banyak karangan yang telah dipublikasikan yang menyangkal efektivitas penggunaan antiplatelet saja untuk pasien dengan AF. Pada suatu studi yang dipublikasikan, dikatakan bahwa penggunaan clopidogrel + aspirin bisa merupakan alternatif, tapi hanya pada mereka yang tidak bisa diberikan VKA(1). Suatu metaanalisis dari 6 uji coba yang memberika warfarin secara benar pada 2,900 pasien dengan AF membuktikan obat ini efektif secara sangat bermakna (64%, 95%, Cl 49%74%), dibandingkan kelompok plasebo atau yang tidak diberikan terapi. Penggunaan antiplatelet dengan aspirin memang diikuti sedikit pengurangan insiden stroke (22%, 95% Cl 2%-39%) dibanding placebo. Perbandingan langsung antara VKA terapi dengan antiplatelet aspirin membuktikan bahwa VKA jauh lebih unggul. Penggunaan gabungan clopidogrel + aspirin, walaupun lebih baik daripada aspirin atau clopidogrel saja, tetap kalah dengan VKA(1). Sebelum terapi antikoagulan oral diberikan maka harus diperiksa jumlah trombosit, serta data awal tes hemostatis antara lain (8,9). : Prothrombin time (PT) Pemeriksaan ini digunakan untuk menguji pembekuan darah melalui jalur ekstrinsik dan jalur bersama yaitu faktor pembekuan VII, X, V, protrombin dan fibrinogen. Selain itu juga dapat dipakai untuk memantau efek antikoagulan oral karena golongan obat tersebut menghambat pembentukan faktor pembekuan protrombin, VII, IX, dan X. Nilai normal berkisar antara 10-14 detik INR (International Normalized Ratio) INR didapatkan dengan membagi nilai PT yang didapat dengan nilai PT normal kemudian dipangkatkan dengan ISI di mana ISI adalah International Sensitivity Index. adi INR adalah rasio PT yang mencerminkan hasil yang akan diperoleh bila tromboplastin baku WHO yang digunakan, sedangkan ISI merupakan ukuran kepekaan sediaan tromboplastin
15

terhadap penurunan faktor koagulasi yang bergantung pada vitamin K. Sediaan baku yang pertama mempunyai ISI = 1,0 ( tromboplastin yang kurang peka mempunyai ISI > 1,0). Dengan demikian cara paling efektif untuk standardisasi pelaporan PT adalah kombinasi sistim INR dengan pemakaian konsisten tromboplastin yang peka yang mempunyai nilai ISI sama. INR digunakan untuk monitoring terapi warfarin (Coumadin) pada pasien jantung, stroke, deep vein thrombosis (DVT), katup jantung buatan, terapi jangka pendek setelah operasi misal knee replacements. INR hanya boleh digunakan setelah respons pasien stabil terhadap warfarin, yaitu minimal satu minggu terapi. Standar INR tidak boleh digunakan jika pasien baru memulai terapi warfarin untuk menghindari hasil yang salah pada uji. Pasien dalam terapi antikoagulan diharapkan nilai INR nya 2-3 , bila terdapat resiko tinggi terbentuk bekuan, perdarahan INR sekitar 2,5 3,5.

APTT (Activated Partial Thromboplastin Time) Pemeriksaan ini digunakan untuk menguji pembekuan darah melaui jalur intrinsik dan jalur bersama yaitu faktor pembekuan XII, prekalikrein, kininogen, XI, IX, VIII, X, V, protombin dan fibrinogen. Nilai normal berkisar 30-40 detik Pemeriksaan ini juga dipakai untuk memnatau pemberian heparin. Dosis heparin diatur sampai APTT mencapai 1,5-2,5 kali nilai kontrol. TT (Thrombin Time) Pemeriksaan ini digunakan untuk menguji perubahan fibrinogen menjadi fibrin.Hasil TT dipengaruhi oleh kadar dan fungsi fibrinogen serta ada tidaknya inhibitor. Hasilnya memanjang bila kadar fibrinogen kurang dari 100 mg/dl atau fungsi fibrinogen abnormal atau bila terdapat inhibitor thrombin seperti heparin atau FDP (Fibrinogen degradation product). Nilai normal 14-16detik D Dimer D dimer merupakan suatu protein yang dilepaskan ke dalam sirkulasi selama proses penghacuran bekuan fibrin. D dimer digunakan untuk mendeteksi proses cross linked fibrin dari fragmen pritein yang dihasilkan oleh aktivitas proteolitik plasmin terhadap fibrin atau fibrinogen. Kadar normal <500ng/dl.
16

Fibrinogen Pemeriksaan fibrinogen berguna untuk mengetahui adanya kelainan pembekuan darah, mengetahui adanya resiko terjadinya pembekuan darah (peningkatan resiko terjadinya Penyaikt Jantung Koroner (PJK) dan Stoke) dan mengetahui adanya gangguan fungsi hati. Fibrinogen adalah glikoprotein dengan berat molekul mencapai 340.000 dalton. Fibrinogen disintesis di hati (1,7-5 g/hari) dan oleh megakariosit. Di dalam plasma kadarnya sekitar 200400 mg/dl. Waktu paruh fibrinogen sekitar 3-5 hari. Nilai normal 150 - 450 mg/dl

II.4 OBAT ANTI KOAGULAN BARU


(1,11,12)

Oral Factor Xa Inhibitor : RIVAROXABAN

Gambar 6. Contoh kemasan Rivaroxaban Xarelto

Rivaroxaban diklaim sebagai terobosan baru anti penggumpalan darah oral yang praktis dan efektif untuk mencegah stroke serta stroke berulang pada penderita fibrilasi atrium, gangguan irama jantung yang paling banyak ditemui. Rivaroxaban adalah antikoagulan oral yang kuat, bekerja selektif sebagai inhibitor faktor Xa, yang rumusannya berbasis oxazolidinone. Obat ini secara oral sangat cepat terserap dengan kadar plasma puncak tercapai dalam waktu 2-4 jam setelah pemberian, dengan bioavaibilitas tinggi (80-100%). Setelah mencapai steady state obat ini mempunyai watu paruh 7-11 jam hingga bisa diberikan 1xsehari saja. Efek samping utama obat ini adalah mual, muntah, eknaikan suhu tubuh, dan obstipasi. Efek samping serupa juga terjadi pada enoxaparin.Hingga kini belum ditemukan interaksi farmakologik yang bermakna antara obat ini dengan obat lain yang juga bekerja
17

pada platelet, misalnya clopidogrel atau aspirin. Bila diberikan bersama dengan NSAID, aspirin, atau clopidogrel bisa terjadi kenaikan kemungkinan perdarahan. Pemberian bersama dengan inhibito CYP3A4 dam P-glycoprotein seperti ketoconazole, atau dengan ritonavir, mungkin akan terjadi kenaikan resiko perdarahan karena konsentrasi plasma rivaroxaban akan meningkat. Salah satu sifat yang kurang menguntungkan adalah belum ditemukannya antidote untuk obat ini bila terjadi komplikasi. Bila dihentikan pemberiannya diperlukan waktu sekitar 2 hari untuk wash-out yang optimal. Pada dosis 30mg rivaroxaban mencegah pembentukan trombin selama lebih dari 24 jam, tanpa mempengaruhi agregasi palelet. Suatu uji coba fase III meliputi 14.000 pasien yang diberi 30mg/hari, dibandingkan dengan warfarin yang dosisinya disesuaikan dengan respon klinis yang ideal (Rocket AF). Uji coba yang meliputi 12.000 pasien membuktikan efektivitas dosis 20mg/hari dalam mencegah terjadinya VTE pada pasien pasca operasi pinggul dan tulang punggung. Efektivitas oral antiokagulan yan telah beredar lebih dahulu adalah dari dabigatran, suatu direct thrombin inhibitor, dipasarkan dengan nama praxada. Uji coba obat ini dibandingan dengan warfarin pada RELY trial membuktikan efektivitas obat baru ini tidak dibawah VKA. Dengan cara pemberian yang jauh lebih sederhana maka obat golongan Xa antagonis sangat berpeluang menggeser popularitas VKA. Menurut dr. Jeffrey Adipranoto, SpJP(K), FIHA, FESC dari RSU dr. Soetomo, berdasarkan hasil penelitian, Rivaroxaban dapat melengkapi kekurangan dari produk lama karena efektif dan lebih aman. Obat ini cukup diminum sekali sehari dan tak perlu dimonitor terus menerus. Menariknya, Rivaroxaban tidak ada interaksi dengan makanan. Sehingga, pasien tidak ada pantangan untuk memakan sesuatu, terutama sayuran kaya vitamin K yang selama ini menjadi momok bagi penderita stroke.

18

BAB III
KESIMPULAN

Fibrilasi atrium (atrial fibrilation /AF) merupakan aritmia jantung yang sering terjadi pada pasien usia lanjut. Pasien AF mempunyai resiko terjadinya stroke lebih besar daripada orag normal, dan AF merupakan penyebab utama terjadinya stroke akibat adanya tromboemboli. Oleh sebab itu penting dilakukan penanganan pencegahan stroke pada pasien AF disamping pengobatan untuk aritmianya. Pencegahan stroke pada pasien AF dapat dimulai dari pengobatan/ perngontrolan segala faktor risiko, selanjutnya strategi pengobatan AF yang digunakan, pasien harus mendapatkan antikoagulan untuk mencegah terjadinya tromboemboli. Penggunaan

antikoagulan oral pada AF dapat menurunkan risiko terjadinya stroke. Obat antikogagulan oral yang cukup efektif untuk menangani stroke dengan AF, yaitu penggunaan antagonis vitamin K. Contoh yang sudah sangat dikenal adalah penggunaan warfarin oral, Dosis inisial dimulai ,dengan 2-5 mg/hari dan dosis pemeliharaan 2-10 mg/hari, Obat ini diberikan dengan pemantauan yang ketat dari derajat efek antikoagulannya lewat pemeriksaan INR secara berkala. Derajat antikoagulannya harus dipertahankan antara INR 2-3, . Efek terapetik obat ini sangat mudah dipengaruhi oleh banyak hal : makanan yang mengandung vitamin K, sayuran, obat tertentu. Sekarang ini, obat antikoagulan baru, Rivaroxaban merupakan antikoagulan oral yang kuat yang bekerja selektif sebagai inhibitor faktor Xa Uji coba obat ini dibandingan dengan warfarin pada RELY trial membuktikan efektivitas obat baru ini tidak dibawah VKA dan juga rivaroxaban tidak ada interaksi dengan makanan seperti warfarin, sehingga, pasien tidak ada pantangan untuk memakan sesuatu, terutama sayuran kaya vitamin K. Selain antikoagulan oral dapat juga diberikan obat anti trombotik/ anti platelet, meskipun lebih aman, namun efektifitasnya masi kalah dibandingkan antikoagulan oral untuk mencegah stroke pada pasien AF. Pada suatu studi yang juga dikatakan penggunaan clopidogrel + aspirin bisa merupakan alternatif, tapi hanya pada mereka yang tidak bisa diberikan VKA Sebelum terapi antikoagulan oral diberikan, hendaknya diperiksa jumlah trombosit, serta data awal tes hemostatis antara lain prothrombin timr (PT), INR, activated partial tromboplastin time (APPT), thrombin time (TT) D dimer, serta Fibrinogen .

19

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA 1. Budiarto G. Peran Antikoagulan Oral pada Pencegahan Stroke Karena AF. Dalam : Gofir A,dkk, Ed. Neurology Update Makalah Ilmiah Konas Perdossi ke-7. 21-23 Juli 2011 : Manado, Indonesia : Pustaka Cendekia Press ; 2011. p. 253-6. 2. Firdaus I, Penyakit Fibrilasi Atrium pada Hipertiroidisme Patogenesis dan Tatalaksana. Jurnal Kardiologi Indonesia 2007; 28 : 375-386. Avaiable from : http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/karidn/article/download/778/778 accessed on : 5 Desember 2012. 3. Mapphaya AA, Atrium Fibrilation Terapi to Prevent Stroke. The Indonesia Journal of Medical Science Volume 1 No. 8 April 2009 p. 477-489. Avaiable from : http://med.unhas.ac.id/jurnal/attachments/article/121/2010_8_V1_TP-2.pdf

accessed on : 5 Desember 2012. 4. Wahjoepramono EJ, Stroke : Tatalaksana Fase Akut. Jakarta : FK Universitas Pelita harapan ; 2005. p. (f.risk),171-5 5. Hartwig MS, Penyakit Serebrovaskular. Dalam : Price SA, Wilson LM, Ed Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit 6th edition. Jakarta : ECG. 2006.p 1105-1130. 6. Smith Ws, English JD, Johnston SC. Cerebrovascular Diseases. Dalam : Hauser SL, Ed. Harrisons Neurology in Clinical Medicine. 2nd edition . China McGraw-Hill Medical. 2010. p.252-262. 7. Rambe AS, Obat Obat Penyakit serebrovaskular. USU Digitalize Library 2004. p. 1-9. Avaiable from : :

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3458/3/penysaraf-aldy4.pdf.txt accessed on : 5 Desember 2012. 8. Karmila N, Pengaruh Pemberian Warfarin. e-USU Repository :2010. p. 17-30 Avaiable at :

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6349/1/10E00182.pdf accessed on : 5 Desember 2012. 9. Tugasworo D. Peranan Antiplatelet Dalam terapi Stroke. Dalam : Gofir A, Yudianta, Ed. Komna Perdossi ke-6; 5-7 Juli 2007 ; Yogyakarta, Indonesia : Pustaka Cendekia Press ; 2007. p.8-19
20

10. Admin, Hemostatis. 2012. Avaiable from : http://laboratorium-analisysrafsan.blogspot.com/2012/07/homeostatis.html accessed on : 5 Desember 2012. 11. Amelia, Rivaroxaban, Temuan Baru dalam Cegah Penggumpalan Darah. 2012. Avaiable from : http://www.epochtimes.co.id/kesehatan.php?id=965 accessed on : 5 Desember 2012. 12. Innes, Rivaroxaban, si Anti Penggumpal Darah. 2012. Avaiable from : http://health.ghiboo.com/rivaroxaban-si-anti-penggumpalan-darah accessed on : 5 Desember 2012.

21

Anda mungkin juga menyukai