Anda di halaman 1dari 5

Solo Rock City Tak pernah disangka sebelumnya bahwa dua sesuatu yang sangat kontras menemui takdir

untuk dipersatukan. Solo dengan citra kelembutan dan rock dengan tampilan kasarnya. Namun hal ini malah menjadi sesuatu hal yang menarik untuk diantusiasi. Masyarakat Solo sebenarnya sudah tidak asing dengan hadirnya musik rock atau metal. Untuk urusan musik cadas ini, kota Solo sudah sejak lama mengirimkan delegasinya untuk mengarungi jagad musik rock tanah air. Sebut saja grup Trencem yang lahir pada tahun 60-an. Kemudian pada tahun 70-an muncul nama Destroyer, dan disusul Kaisar pada awal 90-an. Namun baru beberapa tahun terakhir ini saja kota Solo sedang banyak dibicarakan oleh para penggemar musik rock di Indonesia. Tahun 2000-an memang bisa disebut era kebangkitan scene musik rock/metal di kota Solo. Pentolan grup Down For Life, Stephanus Adjie mengungkapkan bahwa Rock In Solo memiliki andil besar terhadap nge-trennya musik metal ini Rock In Solo Musik metal di Solo semakin kelihatan setelah adanya acara-acara di radio dan Rock In Solo yang menjadikan musik metal di Solo semakin kuat dan menjadi barometer di daerah-daerah lain, katanya ketika ditemui di rumahnya di daerah Kartopuran Solo, Selasa (13/3). Dengan tidak mengesampingkan pada militan metal sejati, sepertinya masyarakat kota Solo mulai jenuh dengan segala sesuatu yang dijejalkan oleh media mainstream saat ini, dan mencari alternatif lain yang dapat mewakili isi hati mereka. Namun dari mereka tetap saja ada yang suka metal hanya sekedar ikut-ikutan tren. Memang tak dapat dipungkiri ini memang resiko dari sebuah tren, dan hal ini menurut Adjie juga tak lepas dari perkembangan psikologis anak muda itu sendiri. Sekitar 50 persen anak muda yang menyukai musik metal hanya mengikuti tren. Kan anak muda itu dinamis, selalu mengikuti perkembangan lingkungannya. Semakin dewasa mereka akan menemukan identitas diri, jelas Adjie. Kembali ke masalah scene musik metal, mungkin memang terasa aneh bila musik yang katanya keras, brutal, bahkan berbahaya justru malah bercokol dan menjadi mainstream di kota yang terkenal dengan budayanya yang lemah lembut ini. Namun bukan berarti musik metal ini masuk ke kota Solo secara paksa dan menekan kebudayaan asli daerah. Budaya dan karakter masyarakat yang ramah, dan terbuka inilah yang menyebabkan scene musik cadas gampang diterima masyarakat. Hal ini juga menimbulkan kesadaran dan akhirnya menciptakan hubungan timbal balik dari para insan metal terhadap budaya kota Solo. Musik metal juga harus mengakomodir dengan budaya Solo. Musik metal yang notabene berasal dari budaya barat kita sesuaikan dengan karakter dan budaya masyarakat Solo.

Tindakan nyata dari hubungan ini misalnya saja terlihat ketika perhelatan Rock In Solo 2011. Dalam festival metal yang bertajuk Heritage Metal Fest ini, setiap memasuki waktu sholat pertunjukan akan diistirahatkan dulu untuk menghormati umat muslim baik bagi para metalhead yang berada di dalam tempat pertunjukan, maupun masyarakat sekitar. Hal ini juga merupakan kesepakatan dengan pengurus Masjid Agung Kraton Surakarta yang letaknya berdekatan dengan alun-alun tempat Rock In Solo diadakan. Selanjutnya mengenai status kota Solo yang saat ini menjadi barometer musik metal bagi daerahdaerah lain, bagi Adjie hal ini bernilai dua hal. Menyenangkan dan sekaligus menjadi beban. Karena berarti kita harus mengolah terus dan tidak boleh berpuas diri, terangnya. Adjie melanjutkan, jika pencapaian kota Solo yang sudah sedemikian besar ini tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas diri, maka tidak diragukan lagi status ini akan tinggal kenangan. Kemauan para pelaku scene musik ini untuk berusaha memelihara kondisi yang mendukung perkembangan genre musik keras di Solo, merupakan salah satu hal positif yang diharapkan mampu menghapus citra negatif musik metal yang diidentikkan dengan tindakan ugal-ugalan. Perbedaan idealisme dalam memandang tujuan bermusik boleh berbeda, namun jangan sampai hal ini menimbulkan benturan-benturan yang tidak perlu. Tak pelak lagi Solo kini telah menjelma menjadi kota yang menyematkan musik cadas sebagai salah satu identitasnya berdampingan dengan identitas konvensional yang telah lama melekat pada kota ini, seperti Keraton, nasi liwet, batik, keroncong maupun gamelan. Rock In Solo Menyeruaknya scene musik metal di kota Solo tak lepas dari event-event yang mana telah mempertemukan pasukan metalhead dengan para punggawa musik metal. Event ini tidak lain dan tidak bukan adalah Rock In Solo. Gelaran yang awalnya hanya dimaksudkan untuk meramaikan scene musik cadas ini kemudian menjelma menjadi salah satu event musik metal terbesar di Jawa Tengah, bahkan dalam skala nasional. Hajatan yang telah diselenggarakan sebanyak lima kali sejak 2004 dan sempat fakum tiga kali yakni pada tahun 2005, 2006, dan 2008 ini pada awalnya hanya menampilkan band-band lokal baik dari Solo maupun dari kota-kota lain. Selama dua kali penyelenggaraannya, Rock In Solo tercatat pernah menampilkan band-band seperti BurgerKill, Seringai, Tengkorak, The Brandals, dan Death Vomit, selain tentu saja Bandoso, Makam, dan Down For Life yang bertindak selaku tuan rumah. Pada Rock In Solo tiga, tahun 2009, band-band dari luar negeri mulai ikut ambil bagian dalam metal fest ini. Adalah Psycroptic, band death metal asal Australia yang didaulat menjadi band manca pertama yang tampil di Rock In Solo. Kemudian tahun 2010 Dying Festus yang berhasil

diboyong dari Maryland, Amerika Serikat sukses menuntaskan misinya untuk memuaskan ribuan metalheads kota Bengawan. Dan pada penyelenggaraannya pada tahun 2011 kemarin, tak tanggung-tanggung, enam band mancanegara dihadirkan seperti Deranged asal Swedia, Enforce dari Perth, Australia, kemudian mewakili benua Asia, terdapat nama Oathean dan Ishtar yang dua-duanya berasal dari Korea. Sedangkan dua band lainnya yaitu Death Angel asal San Fransisco, dan Kataklysm asal Montreal, Kanada didaulat menjadi headliner Rock In Solo yang kelima ini. Keberadaan Rock In Solo ini terbilang masih bungsu bila dibandingkan dengan saudarasaudaranya di kota-kota lain seperti Bandung Berisik atau Jogja Brebeg. Namun dengan demikian, pagelaran Rock In Solo ini menunjukkan bahwa episentrum musik rock atau metal sekarang tidak berkutat di kota-kota besar saja. Tidak dapat dibantah lagi, Rock In Solo merupakan event musik metal yang telah menaikkan gensi kota solo dalam scene musik metal di Indonesia. Komunitas Keberadaan sebuah band pasti akan memunculkan orang-orang yang kemudian menjadi penggemarnya. Dalam perkembangannya, mereka secara alami membentuk sebuah komunitas sendiri didasari kegemaran akan sebuah band atau sebuah genre tertentu. Komunitas ini nantinya semakin besar dan terbagi dalam kelompok-kelompok kecil secara regional. Di kota Solo sendiri kecenderungan membentuk komunitas ini, terutama komunitas rock atau metal sudah terlihat pada dekade 80-an dan 90-an. Paguyuban Rock Solo, atau disingkat Pagars adalah komunitas penggemar musik rock di Solo yang muncul pada tahun 80-an dan aktif hingga 90-an. Pada tahun 90-an ini juga tercatat ada Paragon, kepanjangan dari Parade Rambut Gondrong. Selain itu juga terdapat komunitas lain bernama Grinder Troops yang dibentuk pada tahun 1993. Komunitas ini merupakan komunitas extreme metal pertama di Solo. Di era ini juga terbentuk komunitas yang bernama Nebula Corps Grinder. Saat ini komunitas yang cukup besar di Solo adalah Pasukan Babi Neraka. Ini merupakan komunitas yang pusat pusarannya terletak pada jagoan metal kota Solo, Down For Life. Yup, komunitas yang bermarkas di kawasan Kartopuran, tepatnya di sebuah rumah sekaligus sebuah toko merchandise musik rock yang bernama Belukar Rockshop ini merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang mempunyai kepentingan dengan band yang digawangi oleh Stephanus Adjie (Vokal), Moses Rizky (gitar), Rio Baskara (gitar), Ahmad Jojo Azhari (bass) dan Wahyu Uziel Jayadie (drum). Pasukan yang selalu berada di garis depan setiap kali Down For Life manggung ini juga terbagi menjadi beberapa kelompok menurut wilayahnya masingmasing, seperti Salatiga, karanganyar, Sukoharjo, Boyolali, dan sebagainya. Komunitas lain yang cukup dikenal di Solo adalah Solo City Hardcore (SCHC). Komunitas yang didirikan pada awal 200-an ini dulunya hanya merupakan ajang berkumpulnya sekelompok anak

kecil anak muda penggemar hardcore. Dari komunitas ini kemudian muncul band-band seperti Spirit of Life dan Never Again. Tumbuk dan berkembangnya komunitas dan band-band metal di wilayah Solo tak lepas dari peran media. Beberapa media lokal seperti suratkabar memang terbilang intens dalam mengangkat berita-berita atau acara-acara musik rock atau metal. Selain itu juga siaran-siaran khusus musik keras ini di stasiun-stasiun radio setempat. Walikota Metal Geliat musik metal di kota Solo juga tidak terlepas dari peran sosok yang sangat familiar ini. Ya, dia adalah Walikota Solo, Joko Widodo atau lebih akrab disapa dengan sebutan Jokowi. Dibalik sosoknya yang kalem, ternyata Jokowi merupakan salah satu dari sekian metalhead di dunia. Demi memuaskan kegemarannya akan musik cadas, beliau tak sungkan-sungkan menonton secara langsung konser musik yang kata orang tua bikin budeg ini. Yang terkini adalah kehadirannya di konser Linkin Park di Jakarta, Lamb of God dan Judas Priest di Singapura, dan tak terkecuali Rock In Solo Sendiri. Uniknya lagi, beliau datang dengan santai dan tanpa pengawalan. Bukan tanpa alasan bagi jokowi untuk menyukai musik metal. Baginya musik metal itu dinilainya mempunyai semangat pendobrak. Saya suka yang cadas. Rock. Metal. Membuat tergugah dan bersemangat untuk berkarya, ujarnya kepada Rolling Stones Indonesia disela konser Linkin Park di Jakarta, September lalu. Jokowi sudah menyukai musik cadas dari grup-grup seperti Led Zeppelin, Metallica, Black Sabbath, Napalm death, Fear Factory dan lamb of God sejak dia duduk di bangku Sekolah menengah pertama (SMP). Jokowi meneruskan kegemarannya ini hingga sekarang. Saya seorang forester yang suka music cadas. Karakter itu tidak akan pernah terhapuskan oleh apa pun, katanya. Bagi Jokowi, spirit rock dan metal adalah kebebasan. Saya mendapatkan energi itu dari mendengar musiknya, lanjutnya. Sebagai penggemar musik metal, Jokowi mendukung penuh kreativitas anak-anak metal di Indonesia. Lebih lanjut lagi, jika musik metal ini dihubungkan dengan statusnya sebagai pemimpin warga Solo, Jokowi mengatakan bahwa musik rock itu pendobrak, bersemangat, dan dinamis. Jadi jangan sampai pemimpin itu mellow. Apa yang dikatakan beliau memang sejalan dengan filosofi musik rock dan musik metal, yaitu kehidupan yang terus bergerak (life is motion, motion is life). Filosofi ini bila diterjemahkan dalam bahasa Jawa yang lebih halus dapat diartikan bahwa dengan kelembutan ini masyarakat Jawa bergerak aktif mengarungi kehidupan, bahkan berani menentang kekuasaan yang lebih besar. Terbukti Jokowi pernah menentang Gubernur yang ingin membangun mall di kota Solo.

Well, kota Solo memang sedang berkembang, mengalami kemajuan pesat, dan mampu menjelma menjadi barometer pergerakan musik rock dan metal. Buktinya adalah hajatan tahunan Rock In Solo, dimana metalheads dari berbagai daerah, budaya, status sosial, ras, dan agama, tumpah ruah dalam satu wadah untuk bersama-sama menikmati gempuran musik cadas dari beberapa punggawa musik metal, adalah pemandangan yang tak pernah muncul di kota yang terkenal dengan buda jawanya yang kental ini sebelumnya. So, are you ready to rock in Solo!!! Muhammad Seif

Anda mungkin juga menyukai