Anda di halaman 1dari 23

I.

Pendahuluan

1.1.

Latar Belakang

Demam tifiod masih merupakan penyakit endemik di indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum di dalam undang-undang nomor 6 tahun 1962 tentang wabah. Kelompok ini merupakan dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah. Indikasi demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan. Di daerah jawa barat 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insidens di perkotaan berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan lingkungan. Case fatalily rate (CFR) demam tifoid di tahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh kematian di indonesia. Namun demikian berdasarkan hasil survei Kesehatan Rumah Tangga Departemen Kesehatan RI (SKRI Depkes RI) tahun 1995 demam tifoid termasuk dalam 10 penyakit dengan motilitas tertinggi.

1.2.

Tujuan

Makalah ini bertujuan agar pembaca dapat mengetahui tentang demam tifoid. Di dalam makalah ini akan dibahas tentang penyebab, gejala, pemeriksaan, pengobatan sampai pencegahan demam tifoid.

II. Pembahasan
1. Pemeriksaan
1.1.Anamnesis Anamnesis dilakukan agar dokter dapat mengetahui pemeriksaan yang lebih lanjut. Pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan mengenai demam adalah: Apa yang dimaksud pasien dengan nyeri kepala? Adakah rasa nyeri? Bagaimana rasanya (misalnya berdenyut, menusuk, atau sakit)? Bagaimana awalnya? Apakah timbulnya bertahap atau mendadak? Apa yang memicunya? Pernahkah ada gejala penyerta (misalnya gangguan muntah, mual, dan demam)? Apakah sama seperti nyeri kepala sebelumnya? Seberapa sering pasien mengalami nyeri kepala? Apa yang bisa memicu nyeri kepala? Ketegangan, kecemasan, dan sebagainya? Yang penting tanyakan juga riwayat penyakit terdahulu dan juga riwayat keluarga.1

1.2. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik dilakukan dengan cara palpasi dan auskultasi. Palpasi dilakukan untuk mengukur peningkatan suhu tubuh (untuk memastikan gunakan termometer). Auskultasi dilakukan untuk mengetahui perubahan fisiologi dari gantrointestinal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan suhu tubuh, debar jantung relative lambat (bradikardi), lidah kotor, pembesaran hati dan limpa (hepatomegali dan splenomegali), kembung (meteorismus), radang paru (pneumomia) dan kadang-kadang dapat timbul gangguan jiwa. Penyulit lain yang dapat terjadi adalah pendarahan usus, dinding usus bocor (perforasi), radang selaput perut (peritonitis) serta gagal ginjal.

1.3.Pemeriksaan Laboratorium 1.3.1. Pemeriksaan Rutin Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu
2

pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam limfoid dapat meningkat. SGOT dan SGPT sering kali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus. SGOT dan SGPT merupakan ensim derivat vitamin B6 yang disebut glutamin yang mempermudah proses transaminase AA dalam sintesis AA non-esensial oleh sel hati. Penurunan protein seperti albumin dalam darah menyebabkan hati mensintesis proetin dengan cepat untuk mencapai batas normal. Kegiatan ini membutuhkan banyak ensim transaminase dan fungsi metabolik hati meningkat yang ditandai dengan meningkatnya nilai SGOT dan SGPT dalam darah. 2

1.3.2. Biakan Darah Biakan darah positif memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah negatif tidak menyingkirkan demam tifoid. Hal ini disebabkan karena hasil biakan darah tergantung pada beberapa faktor, antara lain : a. Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kuntur darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat dan hasil mungkin negatif. b. Volume darah yang berkurang (diperlukan kurang lebih 5cc darah). Bila darah yang dibiakan terlalu sedikit, hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil sebaiknya secara bedside langsung dimasukan ke dalam media cairan empedu untuk pertumbuhan kuman. c. Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam tubuh pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakterimia hingga biakan darah dapat negatif. d. Saat pengambilan darah setalah minggu pertama, pada saat aglutinin semakin meningkat.2

1.3.3. Uji Widal Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.typhi. pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid, yaitu: a. Aglutinin O (dari tubuh kuman) b. Aglutinin H (flagela kuman) c. Aglutinin Vi (simpai kuman) Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk mengdiagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya, semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke empat dan tetat tinggi pada beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang-orang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal, yaitu faktor-faktor yang berhubungan dengan pasien dan faktor-faktor teknis. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pasien adalah : Keadaan umum Gizi buruk menghambat pembentukan anti bodi Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit. Aglutinasi baru dijumpai dalam darah setelah pasien sakit satu minggu dan mencapai puncak pada minggu ke empat. Pengobatan dini dengan antibiotik Beberapa peneliti berpendapat bahwa pengobatan dini dengan obat antimikroba mengahmbat pembentukan anti bodi, tetapi peneliti-peneliti lain menentang pendapat ini Penyakit-penyakit tertentu

Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi pembentukan antibodi Obat-obat imunosupresif Vaksinasi dengan kotipa Pada seseorang yang divaksinasi, titer aglutinin O dan H meningkat. Infeksi klinis atau subklinis oleh salmonella sebelumnya Keadaan ini menyebabkan uji Widal positif, walaupun sebenarnya titer rendah. Di daerah endemik tifoid dapat dijumpai aglutinin pada orangorang sehat. Faktor-faktor teknis pemeriksaan laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan stain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen. Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglutinin yang bermakna diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer tang sering dipakai hanya kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan batas-batas ini bahkan dapat berbeda di berbagai laboratorium setempat.2

1.3.4. Pemeriksaan Kultur (biakan empedu) Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan Demam Typhoid/ paratyphoid. Interpretasi hasil : jika hasil positif maka diagnosis pasti untuk Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebalikanya jika hasil negati, belum tentu bukan Demam Tifoid/ Paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit kurang dari 2mL), darah tidak segera dimasukan ke dalam medial Gall (darah dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam bekuan), saat pengambilan darah masih dalam minggu1 sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotika, dan sudah mendapat vaksinasi. Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7hari, bila belum ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari). Pilihan bahan spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah darah, kemudian untuk stadium lanjut/ carrier digunakan urin dan tinja.

2. Etiologi
Etiologi demam tifoid adalah Salmonella typhi. Bakteri berbentuk batang, tidak berspora dan tidak bersimpai tetapi mempunyai flagel feritrik (fibrae). Pada pewarnaan gram negatif. Ukuran salmonella typhi berukuran 24 mikrometer x 0,5 0,8 mikrometer dan bergerak. Salmonella typhi merupakan bakteri fakultatif intraseluler. Salmonella mengandung gen esensial untuk infeksi sistemik, replikasi intraseluler dan TtiSS (type III secretion system) yang melindungi bakteri untuk tetap hidup dari proses degredasi. Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi atau paratyphi, suatu bakteri gram negative berflagella yang bersifat non-sporulasi dan anaerobik fakultatif. Sedangkan demam paratifoid disebabkan oleh organisme yang termasuk dalam spesies Salmonella enteritis, yaitu S. enteritidis bioserotipe paratyphi A, S. enteritidis bioserotipe paratyphi B, S. enteritidis bioserotipe paratyphi C. Kuman-kuman ini lebih dikenal dengan nama S.paratyphi A, S.paratyphi B, S.paratyphi C. 3

Salmonella typhi

3. Epidemiologi
Demam tifoid menyerang penduduk di semua negara. Seperti penyakit menular lainnya, tifoid banyak ditemukan di negara berkembang yang higiene pribadi dan sanitasi lingkungannya kurang baik. Prevalensi kasus bervariasi tergantung lokasi, kondisi lingkungan setempat, dan perilaku masyarakat. Angka insidensi di Amerika Serikat pada tahun 1990 adalah 300-500 kasus per tahun dan terus menurun. Prevalensi di Amerika latin sekitar 150/100.000 penduduk setiap tahun, sedangkan prevalensi di Asia jauh lebih banyak yaitu sekitar 900/10.000 penduduk per tahun. Meskipun demam tifoid menyerang semua umur, namun golongan terbesar tetap pada usia kurang dari 20 tahun. 4 Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah Demam tifoid dan paratifoid endemik di Indonesia. Penyakit ini jarang ditemukan secara epidemik, lebih bersifat sporadis, terpencar-pencar di suatu tempat, dan jarang terjadi tebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Di indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun dan insidens tertinggi adalah pada anak-anak. Terdapat dua sumber penularan S. typhi, yaitu pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering, karier. Di daerah endemik, transisi terjadi melalui air yang tercemar S. typhi, sedangkan makanan yang tercemar oleh karier merupakan sumber penularan tersering di daerah nonendemik.3 S typhi masuk ke tubuh manusia bersama bahan makanan atau minuman yang tercemar. Cara penyebarannya melalui muntahan, urin, dan kotoran dari penderita yang kemudian secara pasif terbawa oleh lalat (kakikaki lalat). Lalat itu mengontaminasi makanan, minuman, sayuran, maupun
7

buah-buahan segar. Saat kuman masuk ke saluran pencernaan manusia, sebagian kuman mati oleh asam lambung dan sebagian kuman masuk ke usus halus. Dari usus halus itulah kuman beraksi sehingga bisa menjebol usus halus. Setelah berhasil melampaui usus halus, kuman masuk ke kelenjar getah bening, ke pembuluh darah, dan ke seluruh tubuh (terutama pada organ hati, empedu, dan lain-lain).Jika demikian keadaannya, kotoran dan air seni penderita bisa mengandung kuman S typhi yang siap menginfeksi manusia lain melalui makanan atau pun minuman yang dicemari. Pada penderita yang tergolong carrier (pengidap kuman ini namun tidak menampakkan gejala sakit), kuman Salmonella bisa ada terus menerus di kotoran dan air seni sampai bertahun-tahun. S. thypi hanya berumah di dalam tubuh manusia. Oleh kerana itu, demam tifoid sering ditemui di tempat-tempat di mana penduduknya kurang mengamalkan membasuh tangan manakala airnya mungkin tercemar dengan sisa kumbahan.Sekali bakteria S. thypi dimakan atau diminum, ia akan membahagi dan merebak ke dalam saluran darah dan badan akan bertindak balas dengan menunjukkan beberapa gejala seperti demam. Pembuangan najis di merata-rata tempat dan hinggapan lalat (lipas dan tikus) yang akan menyebabkan demam tifoid.

4. Patofisiologi
Penularan terjadi melalui saluran cerna dengan tertelannya Salmonella, kemudian bakteri berkolonisasi dan menembus epitel dan menginfeksi folikel limfoid di usus halus (Peyeri Patches). Patogenitas bergantung pada faktor jumlah kuman, keasaman lambung dan virulensi dengan menyebarnya kuman melalui duktus torasikus ke sirkulasi sistemik. Infeksi sistemik dapat melibatkan berbagai organ, termasuk hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu, paru, susunan saraf pusat, dan berbagai organ lain. Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propria. Di dalam lamina propria kuman
8

berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat bergerak dan berkembang biak di dalam makofag dan selanjutnya dibawa ke plague peyery ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterrimia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limfa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dua kalinya serta terdapat tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak dan bersama cairan empedu diekskresi secara intermitens ke dalam usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian lagi masuk ke sirkulasi darah setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubungan makrofag telah teraktifasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, sakit kepala, intabilitas vaskuler, gangguan mental, dan koagolasi. Di dalam palque peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitifitas tipe lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran pencernaan dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plaque peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patogenessi jaringan limfoid ini dapat berkembang biak hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan prefosis. Endotoksin dapat menempel di reseptor endotel kapiler dengan akibat timbulnya aplikasi seperti gangguan neurospikiatrik, kardiovaskuler, pernapasan, dan ganggua organ lain.2 S.typhi masuk ke tubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid plak peyeri di ileum terminalis yang hipertrofi. Bila terjadi komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal, kuman menembus lamina propria, masuk ke aliran limfe mencapai
9

kelenjar limfe mesenterial, dan masuk ke sirkulasi darah memalui duktus torasikus. S.typhi bersarang di plak peyeri, limfa, hati, dan bagian-bagian lain sistem retikuloendotelial. Endotoksin S.typhi berperan dalam proses inflamasi lokal pada jaringan tempat kuman tersebut berkembang biak. S.typhi dan endotoksinya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen dan leukosit pada jaringan yang meradang, sehingga terjadi demam.3 Faktor virulensi merupakan kemampuan bakteri menyebabkan penyakit (mekanisme patogenesis), terdiri dari banyak faktor. adhesin yang merupakan protein yang menentukan perlekatan ke sel mukosa, sebagai tahap penting dalam kolonisasi. Kapsul terdiri dari polisakarida yang menghambat fagositosis (tidak dapat cerna oleh sel fagosit). Toksik terdiri dari endotoksin (yang merupakan komponen integral dinding sel bakteri gram -) dan eksotoksin (yang disekresi oleh bakteri dan mungkin bertanggung jawab atas manifestasi utama infeksi yaitu enterotoksin, neurotoksin).

5. Gambaran Klinis
Masa tunas dalam tifoid berlangsung 10-14 hari. Gejala-gejala klinik yang sangat bervariasi dan ringan sampai berat, dari asimtomatik hingga disertai komplikasi sampai kematian. Pada minggu pertama gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut lainnya seperti demem, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare dan epestaksi. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat berlahan-lahan dan terutama sore hari hingga malam hari. Dalam minggu ke dua, gejala-gejala jelas menjadi lebih jelan berupa demam, brakikardi relatif (adalah peningkatan suhu 1 derajat tidak diikuti peningkatan denyut nafi 8 kali permenit), lidah yang berselaput, hepatomegali,splenomegali, metoreismus, dan gangguan mental atau psikis.2

6. Diagnosis
Penegakan diagnosis sedini mungkin dangat bermanfaat agar bisa diberikan terapi yang terpat dan meminimalisasi komplikasi. Pengetahuan gambaran klinik penyakit ini sangat diperlukan untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun
10

pada kasus tertentu dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakan diagnosis.

6.1.Working Diagnosis Dari anamnesis dan pemeriksaan terdapat gejala berupa demam selama 2 minggu terutama menjelang sore hari, gangguan gastrointestinal (seperti mual, muntah, dan sulit buang air besar), dan dsertai gangguan kesadaran. Gejala-gejala tersebut merupakan gejala penyakit tifoid. Untuk memastikan diagnosis perlu dikerjakan pemeriksaan laboratorium sebagai berikut : a. Pemeriksaan darah tepi : Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis, relatif dan aneosinofillia, pada permulaan sakit mungkin terdapat anemia dan trombositpenia ringan. b. Pemeriksaan sumsum tulang : Terdapat gambaran sumsum tulang berupa hiperaktif RES dengan adanya sel makrofag,sedangkan sistem eritropoesis, granulopoesis dan trombopoesis berkurang. c. Biakan empedu : Basil salmonella thyposa dapat ditemukan dalam darah penderita, biasanya dalam minggu pertama sakit, selanjutnya sering ditemukan dalam feses. d. Pemeriksaan widal : Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi, untuk membuat diagnosis yang diperlukan ialah titer zat anti terhadap antigen O.titer yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan yang progresif digunakan untuk membuat diagnosis.

6.2. Diagnosis Diferensial Pada kasus disebutkan terdapat diagnosis banding yang mempunyai gejala yang hampir sama dengan working diagnosis diatas (demam tifoid). Penyakitpenyakit yang dapat dijadikan sebagai diagnosis banding adalah malaria dan demam berdarah. 6.2.1. Malaria Pada malaria gejala utamanya adalah demam (pada plasmodium vivax serangan pada siang atau sore hari). Demam dapat disertai gejala lain seperti menggigil, lemas, sakit otot, batuk, dan gejala gastrointestinal seperti mual,
11

muntah, dan diare. Setelah 1-2 minggu serangan demam yang disertai gejala lain akan diselingi periode bebas penyakit. Demam kemudian bersifat periodik yang khas pada malaria yaitu intermitens. Serangan demam yang khas sering di mulai pada siang hari dan berlangsung 8-12 jam. Setelah itu terjadi stadium apireksia. Pada infeksi malaria, periodisitas demam berhubungan dengan waktu pemecahan sejumlah slizon matang dan keluarnya merozoid yang masuk ke aliran darah. Pada malaria vivax dan ovale setiap kelompok menjadi matang dalam48 jam sehingga periode demamnya bersifat tersian. Pada malaria kuartana yang disebabkan oleh P.malariae menimbulkan interval 72 jam. Ada stadium yang khas pada malaria, yaitu stadium menggigil, stadium puncak demam, dan stadium berkeringan. Serangan demam makin lama makin berkurang karena tubuh menyesuikan diri dengan parasit yang ada dalam 1tubuh dan karena respons imun hospes. Anemia, splenomegali, dan hepatomegali sering berhubungan dengan malaria.5

6.2.2. Demam Dingue dan Demam Berdarah Dingue Gambaran klinis amat bervariasi, dari yang ringan, sedang, deperti DD sampai DBD dengan manifestasi demam akut, perdarahan, serta kecenderungan terjadi renjatan yang dapat berakibat fatal. Masa inkubasi dengue antara 3-15 hari, rata-rata 5-8 hari. Pada DD terdapat peningkatan suhu tiba-tiba, disertai sakit kepala, nyeri yang hebat pada otot dan tulang, muntah dan batuk ringan. Sakit kepala dapat menyeluruh atau berpusat pada supraorbital dan retrornital. Nyeri di bagian otot terutama dirasakan bila tendon dan otot ditekan. Pada mata dapat ditemukan pembengkakan. Di otot sekitar mata terasa pegal. Eksentem dapat muncul pada awal demam yang terlihat jelas di muka dan dada, berlangsung beberapa jam lalu akan muncul kembali pada hari ke 3 6 berupa bercak petekie di lengan di kaki lalu ke seluruh tubuh. Pada saat suhu turun ke normal, ruam berkurang, dan cepat menghilang, bekasbekasnya kadang terasa gatal. Nadi pasein mula-mula cepat, kemudian menjadi normal atau lebih lambat pada hari ke 4 atau ke 5. Bradikardi dapat menetap beberapa hari dalam masa penyembuhan. Dapat terjadi lidah kotor dan sulit buang air besar. Pada pasien DSS, gejala renjatan ditandai dengan kulit yang terasa lembab dan dingin, sianosis perifer yang terutama tampak
12

pada ujung hidung, jari kaki dan tangan, serta penurunan tekanan darah. Rejatan biasanya terjadi pada waktu demam atau saat demam turun antara hari ke 3 dan hari ke 7 penyakit.

7. Penatalaksanaan
7.1.Perawatan Pasien demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk diisolasi, di observasi dan pengobatan. Istirahat dan perawatan profesional bertujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus. Mobilisasi pasien dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. Pasien dengan kesadaran yang menurun, posisi tubuhnya harus berubah-rubah pada waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostratik dan dekubitus. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan, karena kadangkadang terjadi obstipasi dan retensi air kemih.

7.2.Diet dan terapi penunjang Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan semakin lama. Di masa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring. Kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberi nasi, yang perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Hal ini disebabkan ada pendapat bahwa usus harus diistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukan bahwa pemberian makan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid.

13

7.3.Peemberian antibiotik Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah sebagai berikut: a. Kloramfenikol. Di indonesia Kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk mengobati demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4 x500 mg perhari dapat diberikan secara oral ataiu intramuskular. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikan intramuskular tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dari pengalaman penggunaan obat ini dapat menurunkan demam rata-rata 7 hari. Kloramfenikol akan mensupresi flora normal usus, dengan akibat meningkatkan efektivitas antikaogulan oral yang diberi bersama, mengurangi efektivitas sulfasalazin dan potensi dapat mengurangi efektivitas kontrasepsi oral.6 b. Tiamfenikol. Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4x500 mg, demam ratarata menurun pada hari ke 5. Tiamfenikol digunakan untuk indikasi yang sama dengan kloramfenikol. Selain itu juga digunakan untuk indikasi pada infeksi saluran empedu. Obat ini diekskrsi seluruhnya lewat urin. c. Kotrimoksazol. Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa adalah 2x2 tablet diberikan selama 2 minggu.6 d. Ampisilin dan amoksisilin. Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150 mg/kgBB dan digunakan selama 2 minggu. Senyawa-senyawa ini memiliki aktivitas antibakteri yang mirip dan spektrum yang lebih luas daripada antibiotik lain. Semuanya dapat diuraikan oleh -laktamase (baik bakteri gram positf dan gram negatif). 7 e. Sefalosporin generasi ketiga. Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke tiga yang terbukti efektif untuk demam tifoid adalah
14

seftriakson, dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari. f. Golongan flourokuinolon. Golongan ini beberapa jenis bahan sediaan dan aturan pemberiaannya : Norfloksasin dosis 2x400 mg/hari selama 14 hari Siprofloksasin dosis 2x500 mg/hari selama 6 hari Ofoksasin 2x400 mg/ hari selama 7 hari Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari Demam pada umumnya mengalain lisis pada hari ke tiga, atau menjelang hari ke empat. hasil penurunan semam sedikit lebih lambat pada penggunaan norfloksasin yang merupakan flourokuinolon pertama yang memiliki bioavalibilitas tidak sebaik flourokuinolon yang dikembangkan kemudian.

7.4.Kombinasi obat antimikroba Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu saja antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik, yang pernah terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain kuman Salmonella. Kortikosteroid. Penggunaan steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid yang mengalami syok septik dengan dosis 3x5 mg.

8. Komplikasi demam tifoid


Sebagai suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ utama tubuh dapat diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid adalah: 8.1.Komplikasi Intestinal 8.1.1. Perdarahan Intestinal Pada plak Peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminal) dapat terbentuk tukak/luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka akan
15

terjadi pendarahan. Selanjutnya bila tukak menembus dinding usus maka perforasi dapat terjadi. Selain karena faktor luka, perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan kaogulasi darah (KID) atau gabungan kedua faktor. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Sacara klinis perdarahan akut darurat bedah ditegakan bila mengalami perdarahan sebanyak 5 ml/kg BB/jam dengan faktor homeostasis dalam batas normal. Jika penanganannya terlambat, moralitas cukup tinggi . bila transfusi yang diberikan tidak dapat mengimbangi perdarahan yang terjadi, maka tindakan bedah perlu dipertimbangan. 8.1.2. Perforasi usus Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum demam tifoid yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan perforasi usus mengeluh penyakit nyeri perut yang hebat terutama di daerah kanan bawah yang kemudian menyebar keseluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bisingan usus melemah pada 50% penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan darah turun, bahkan dapat syok. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya perforasi. Bila pada gambaran polos abdomen ditemukan pada rongga peritoneum atau subdiagfragma kanan, maka hal ini merupakan nilai yang cukup menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan kejadian adalah perforasi adalah umur (biasanya 20-30 tahun), lama demam, modalitas pengobatan, beratnya penyakit, dan mobilitas penderita. Antibiotik diberikan secara selektif bukan hanya untuk mengobati kuman S.typhi tetapi juga mengatasi kuman yang bersifat fakultatif dan anaerob pada flora usus. Umumnya diberikan antibiotik spektrum luas dengan kombinasi kloramfinokol dan ampisilin intravena. Cairan harus dipasangkan nasogastric tube. Transfusi darah dapat diberikan bila terdapat kehilangan darah akibat perdarahan intestinal. 8.2.Komplikasi Ekstra Intestinal
16

8.2.1. Komplikasi Hematologik Komplikasi hematologik berupa trombositopenia, hipofibrinogenemia, peningkatan prothrombin time, peningkatan partial thromboplastin time, peningkatan fibrin degenerasi produk sampai kaogulasi intravaskular diseminata (KID) dapat ditemukan pada kebanyakan pasien demam tifoid. Trombositopenia saja sering dijumpai, hal ini mungkin terjadi karena menurunnya produksi trimbosit di sumsum tulang selama proses infeksi atau meningkatnya destruksi trombosit di sistem retikuloendotelial. Obat-obatan juga memegang peranan. Penyebab KID pada demam tifoid belum jelas. Hal-hal yang sering dikemukakan adalah endotoksin mengaktifkan beberapa sistem biologik, kaogulasi, dan fibronolisis. Pelepasan kinin, prostaglandin, dan histamin menyebabkan vasokontriksi dan kerusakan endotel pembuluh darah dan selanjutnya mengakibatkan perangsangan mekanisme kaogulasi, baik KID kompensata maupun dekompensata. Bila terjadi KID dekompensata dapat diberikan transfusi darah, substitusi trombosit dan faktor-faktor koagulasi bahkan heparin, meskipun ada pula yang tidak sependapat tentang manfaat pemberian heparin pada demam tifoid. 8.2.2. Hepatitis Tifosa Pembengkakan hati ringan sampai sedang dijumpai pada sekitar 50% kasus dengan demam tifoid dan lebih banyak dijumpai karena S.typhi daripada S.paratyphi. untuk membedakan apakah hepatitis ini oleh karena tifoid, virus, malaria, atau amuba maka perlu diperhatikan kelainan fisik, parameter laboratorium, dan bila perlu histopatologik hati. Pada demam tifoid, kenaikan enzim transaminase laboratorium tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin (untuk membedakan dengan hepatitis karena virus). Hepatitis tifosa dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi dan sistem imun yang kurang. Meskipun sangat jarang, komplikasi hepatosefalopati dapat terjadi. 8.2.3. Manifestasi Neuropsikiatrik/Tiroid Toksik Manifestasi Neuropsikiatrik dapat berupa delirium dengan atau tanpa kejang semi koma, atau koma, parkinson rigidity, sindrom otak akut,dll. Terkadang gejala demam tifoid diikuti suatu sindrom klinis berupa gangguan atau penurunan kesadaran akut dengan atau tanpa disertai kelainan neurologi
17

lainnya dan dalam pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal. Sindrom klinik seperti itu disebut sebagai tifoid toksik, tifoid berat, demam tifoid ensepalopati, atau demam tifoid dengan toksemia. Diduga faktor ekonomi rendah, ras, kebangsaan, iklim, nutrisi, kebudayaan, dan adat yang masih terbelakang ikut mempermudah terjadinya penyakit tersenut dan timbul kematian. Semua kasus tifoid toksik, atas pertimbangan klinis sebagai demam tifoid berat, langsung diberikan pengobatan kombinasi kloramfenikol 4x400 mg ditambah ampisilin 4x1 gram dan deksametason 3x5 mg.

9. Prognosis
Umumnya prognosis tifus baik asal penderita cepat berobat. Namun Bila penyakit berat, pengobatan terlambat/ adekuat atau ada komplikasi berat, kesadaran menurun sekali, dan panas sangat tinggi,maka prognosis kurang baik/buruk.8 Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh, jumlah, dan virulensi Salmonella, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka kematian pada anak-anak 2,6%, dan pada orang dewasa 7,4%, dan rata-rata 5,7%. 2

10. Preventif
Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan karena akan berdampak cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan kematian akibat damam tifoid,menurunkan kesakitan dan kematian akibat demam tifoid, menurunkan anggaran pengobatan pribadi maupun negara, mendatangkan devisa negara yang berasal dari wisatawan mancanegara karena telah hilangnya predikat negara endemik dan hiperendemik sehingga mereka tidak takut lagi terserang tifoid saat berada di daerah kunjungan wisata. 2 Para pelancong sebaiknya menghindari makan sayuran mentah dan makanan lainnya yang disajikan atau disimpan di dalam suhu ruangan. Sebaiknya mereka memilih makanan yang masih panas atau makanan yang dibekukan, minuman kaleng dan buah berkulit yang bisa dikupas.9 Pencegahan di lakukan dengan cara tidak minum air yang belum dimasak (belum matang), bila ingin jajan di pingir jalan yang belum jelas apakah airnya
18

dimasak atau tidak, yakinlah bahwa badan kita dalam keadaan yang fit sehingga daya tahan tubuh kita (leukosit) dapat menghancurkan kuman-kuman itu, menjaga kebersihan peralatan makan, menjaga daya tahan tubuh agar selalu fit dengan makanan, gizi seimbang, istirahat yang cukup, olah raga, rileks (tidak stress/tegang), dan untuk menghindari penyebaran kuman, Buang air besar sebaiknya pada tempatnya jangan dikali atau sungai. Kebersihan makanan dan minuman sangat penting untuk mencegah demam tifoid. Merebus air minum sampai mendidih dan memasak makanan sampai matang juga sangat membantu, selain itu juga perlu dilakukan sanitasi lingkungan termasuk membuang sampah di tempatnya dengan baik dan pelaksanaan program imunisasi4 Tidakan preventif sebagai upaya pencegahan penularan dan peledakan kasus luar biasa (KLB) demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari segi luman salmonella typhi sebagi agen penyakit dan faktor pejamu (host) serta lingkungan. Secara garis besar ada tiga strategi pokok untuk memutuskan transisi tifoid, yaitu : 1. Identifikasi dan eradiksi Salmonella typhi naik pada kasus demam tifoid maupun kasus karier tifoid. 2. Pencegahan tranmisi langsung pada pasien terinfeksi maupun karier 3. Proteksi pada orang yang beresiko terinfeksi2 4. Vaksinasi

10.1.

Identifikasi dan eradikasi S.typhi pada pasien tifoid asimtomatik,

karier, dan akut Tindakan identifikasi atau penyaringan pengidap kuman S.typhi ini cukup sulit dan memerlukan biaya yang cukup besar baik ditinjau dari pribadi ataupun skala nasional. Cara pelaksanaannya dapat secara aktif yaitu mendatangi sasaran maupun pasif menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu instansi atau swasta. Sasaran aktif lebih lebih diutamakan oleh populasi tertentu seperti pengelola sarana makanan minuman baik tingkat usaha rumah tangga, restoran, hotel, sampai pabrik beserta distribusinya. Sasaran yang lain adalah yang terkait dengan pelayanan masyarakat, guru, petugas kebersihan, pengelola sarana lainnya. 2

19

10.2.

Pencegahan Transmisi Langsung dari Penderita Terinfeksi S.typhi

Akut Maupun Karier Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik maupun di rumah dan lingkungan sekitar orang yang telah diketahui pengidap S.typhi.

10.3.

Proteksi pada orang yang beresiko tinggi tertular dan terinfeksi Sarana proteksi pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi

tifoid di daerah endemik maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi tergantung daerahnya endemik atau non endemik, timgkat resiko tertularnya yaitu berdasarkan tingkat hubungan perorangan dan jumlah frekuensinya, serta golongan individu beresiko, yaitu golongan imunokompromais maupun golongan rentan. Tindakan preventif berdasarkan lokasi daerah, yaitu : Daerah non endemik. Tanpa ada kejadian outbreak atau epidemi Sanitasi air dan kebersihan lingkungan Penyaringan pengelola pembuatan/penjualan makanan dan minuman Pencarian dan pengobatan kasus tifoid karier

Bila ada kejadian epidemi tifoid Pencarian dan eliminasi sumber penularan Pemeriksaan air minum dan mandi cuci kakus Penyuluhan higiene dan sanitasi pada populasi umum daerah tersebut

Daerah endemik Masyarakat pengelolahan bahan makanan dan minuman yang memenuhi syarat prosedur kesehatan (perebusan > 570C, iodisasi, dan klorinisasi) Pengunjungan ke daerah ini harus minum air yang telah melalui pendidihan, menjauhi makanan segar (buah/sayur) Vaksinasi secara menyeluruh pada masyarakat setempat maupun pengunjung 10.4. Vaksinasi Vaksinasi pertama kali ditemukan pada tahun 1896 dan setelah tahun 1960 efektifitas vaksinasi telah ditegakan, keberhasilan proteksi sebesar 5188% (WHO) dan sebesar 67% (Universitas Maryland) bila terpapar 105 bakteri tetapi tidak mampu proteksi bila terpapar 107 bakteri.

20

Vaksinasi tifoid belum dianjurkan secara rutin di USA, demikan juga di daerah lain. Indikasi vaksinasi adalah bila: Hendak mregunjungi daerah endemik, resiko terserang penyakit demam tifoid semakin tinggi untuk daerah yang berkembang Orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid Petugas laboratorium atau mikrobiologi kesehatan

Jenis Vaksin Vaksin oral Ty21a Vaksin Parental ViCSP, Vaksin kapsul polisakarida

Pemilihan Vaksin Pada beberapa penelitian vaksin oral Ty21a diberikan 3 kali secara bermakna menurunkan 66% selama 5 tahun. Laporan lain sebesar 33% selama 3 tahun. Usia sasaran vaksin berbeda-beda efektivitasnya, dilaporkan insidens turun 53% pada anak > 10 tahun sedangkan 5 sampai 9 tahun insidens turun 17%. Vaksin parenteral non aktif relatif lebih sering menyebabkan reaksi efek samping serta tidak efektif dibanding dengan ViCPS maupun Ty21a oral. Jenis vaksin dan jadwal pemberiannya, yang ada saat ini di indonesia hanya ViCMP (Typhin Vi).

Indikasi Vaksinasi Tindakan preventif berupa vaksinasi tifoid tergantung pada faktor resiko yang terkaitan, yaitu individual atau populasi dengan situasi epidemiologinya: Populasi: anak usia sekolah di daerah endemik, personil militer, petugas rumah sakit, industri makanan dan minuman Individual: pengunjung atau wisatawan ke daerah endemik, orang-orang yang kontak erat dengan pengidap tifoid. Anak usia 2-5 tahun toleransi dan respon imunologinya sama dengan anak usia lebih besar.

Kontradiksi Vaksinasi Vaksin hidup oral Ty21a secara teoritis dikontradiksikan pada sasaran yang alergi atau reaksi efek samping berat, penurunan imunitas, dan
21

kehamilan. Bila diberikan bersamaan dengan obat malaria (klorokuin, merfokuin) dianjurkan minimal setelah 24 jam pemberian obat baru dilakukan vaksinasi. Dianjurkan tidak memberikan vaksinasi bersamaan dengan obat sulfanomid atau antimikroba lainnya.10

22

Bab III Penutup

1. Kesimpulan
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi. S.typhi ditularkan melalui makanan dan minum yang telah terinfeksi dan dari kontak langsung pasien yang terkena demam salmonella typhi. Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh melalui mulut sampai tersebar ke sirkulasi darah dan menimbulkan gejalagejala seperti demam terutama menjelaang sore hari, mual, muntah, dan sulit BAB. Gejala demam tifoid harus dibedakan dengan gejala pada demam berdarah dan malaria. Pemeriksaan demam tifoid dilakukan dengan cara perawatan di rumah sakit, diet dan terapi, serta diberi antimikroba untuk penderita demam tifoid. Untuk menghindari demam tifoid harus dilakukan perventif, seperti Identifikasi dan eradiksi Salmonella typhi naik pada kasus demam tifoid maupun kasus karier tifoid.Pencegahan tranmisi langsung pada pasien terinfeksi maupun karier, Proteksi pada orang yang beresiko terinfeksi, dan Vaksinasi terhadap demam tifoid tersebut.

23

Anda mungkin juga menyukai