Anda di halaman 1dari 45

Persebaran penduduk yang tidak merata di atas ruang wilayah kota dan desa juga sering menjadi kendala

pemerataan pembangunan. Konsentrasi pembangunan yang lebih terfokus di wilayah kota juga memberikan pengaruh terhadap konsep ketimpangan pembangunan. Padahal kuantitas dalam konteks jumlah penduduk menyebutkan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia hidup di daerah pedesaan. Sehingga titik sentral pembangunan ideal adalah daerah pedesaan (Adisasmita, 2006). Desa adalah merupakan kesatuan masyarakat hukum terkecil yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan

dihormati oleh negara. Pembangunan wilayah pedesaan mengarah pada peningkatan kesejahteraan masyarakat desa dan dapat dilihat pula sebagai upaya mempercepat pembangunan pedesaan melalui penyediaan sarana dan prasarana untuk memberdayakan masyarakat serta upaya mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif. Daerah pedesaan sangat luas wilayahnya, sebagian besar penduduknya hidup di sektor pertanian dalam arti luas (meliputi sub-sub sektor tanaman pangan, perkebunan, perikanan, peternakan, dan kehutanan), artinya struktur perekonomiannya sangat berat sebelah pada sektor pertanian atau merupakan daerah yang berbasis agraris (agriculture base). Tingkat kesejahteraan penduduk, ketersediaan prasarana dan tingkat produktivitas pertanian, pendidikan, derajat kesehatan, ketersediaan kemudahan adalah lebih rendah dibandingkan dengan daerah perkotaan. Kondisi desa-desa yang terdapat di Indonesia masih belum seragam. Ada yang masih tertinggal, sedang berkembang, hingga yang sudah maju. Keragaman letak geografis, sosial budaya, dan potensi alam yang mengakibatkan perbedaan kondisi alam tersebut. Pendekatan pembangunan pedesaan pada masa orde baru (sampai tahun 1997) adalah sentralisasi serta bersifat top-down. Kewenangan perencanaan pembangunan sepenuhnya berada pada Pemerintah Pusat sehingga Pemerintah Daerah tidak dilibatkan. Hal ini mengakibatkan pelaksanaan pembangunan berjalan lamban dan tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat desa. Pada tahun 1998 terjadi reformasi yang mengganti sistem sentralisasi oleh sistem desentralisasi serta bersifat bottom-up development planning yang berarti

memberikan pelimpahan wewenang kepada daerah otonom dan masyarakat lokal diikutsertakan dalam penyusunan rencana pembangunan. Pembangunan desa merupakan upaya pembangunan yang dilaksanakan di desa dengan ciri utama adanya partisipasi aktif masyarakat dan kegiatannya meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat baik fisik material maupun mental spiritual. Otonomi masyarakat desa dicirikan dengan adanya kemampuan masyarakat untuk memilih pemimpinnya sendiri, kemampuan pemerintahan desa dalam melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan sebagai perwujudan atas pelayanan terhadap masyarakat dari segi administrasi pemerintahan dan pelayanan umum. Menguatnya fungsi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan, serta meningkatnya kemampuan keuangan desa untuk membiayai kegiatan-kegiatan di desa baik yang bersumber dari swadaya maasyarakat maupun sumber lainnya. Swadaya masyarakat akan meningkat bila pendapatan masyarakat meningkat seiring dengan peningkatan kegiatan usaha yang dilakukan masyarakat (Saragi, 2004: 30). Di desa selalu ada dua tokoh kepemimpinan, yakni tokoh informal dan tokoh formal. Tokoh informal merupakan tokoh yang mempunyai kekuatan ikatan batin dengan masyarakatnya sehingga mempunyai pengaruh yang besar. Tokoh informal yang dominan misalnya tokoh agama dan tokoh adat. Tokoh formal merupakan pemerintahan desa yang mempunyai kekuatan hukum. Kedua tokoh tersebut tidak dapat dilepaskan peranannya untuk menggerakkan masyarakat dalam pembangunan desa. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa dinamika masyarakat pada tingkat desa dapat terwadahi

dalam tiga institusi utama, yaitu Pemerintahan Desa, Badan Permusyawaratan Desa dan Lembaga Kemasyarakatan. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) adalah salah satu lembaga kemasyarakatan yang ada di desa. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat sebagai mitra kerja Pemerintah Desa dibentuk untuk mengelola, merencanakan dan melaksanakan pembangunan dengan menggali swadaya gotong-royong masyarakat. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat merupakan pengganti dari Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan semangat otonomi daerah. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat merupakan lembaga kemasyarakatan yang dibentuk atas prakarsa masyarakat sebagai wadah dalam menampung aspirasi dan kebutuhan masyarakat dibidang pembangunan desa. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat dibentuk di setiap desa dengan Peraturan Desa, sedangkan susunan pengurus Lembaga Pemberdayaan Masyarakat dipilih dan ditetapkan oleh masyarakat desa yang disahkan atau dikukuhkan dengan Keputusan Kepala Desa yang bersangkutan (www.pemkab-tanjungjabungbarat.go.id). Adapun tugas dari Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) antara lain: a. Menyusun rencana pembangunan yang partisipatif b. Menggerakkan swadaya dan gotong royong masyarakat c. Melaksanakan, mengendalikan dan mengawasi pembangunan

Di dalam melaksanakan tugasnya Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) berfungsi sebagai: a. Penanaman dan pemupukan rasa persatuan dan kesatuan masyarakat desa dan Kelurahan b. Pengkoordinasian perencanaan pembangunan c. Pengkoordinasian perencanaan lembaga masyarakat d. Pengkoordinasian kegiatan pembangunan secara partisipatif dan terpadu e. Penggalian dan pemanfaatan Sumber Daya Alam dan Manusia untuk pembangunan di desa. Dalam pelaksanan suatu program pembangunan di perlukan partisipasi dari masyarakat. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, disebutkan bahwa pelaksanaan pembangunan di desa harus dilaksanakan melalui suatu pengelolaan pembangunan yang dapat mewujudkan demokratisasi dan transparansi pembangunan pada tingkat masyarakat serta mampu mendorong, memotivasi, menciptakan akses agar masyarakat desa lebih berperan aktif dalam kegiatan pembangunan desa. Anggota masyarakat bukan hanya merupakan objek pembangunan semata, tetapi sebagai subjek pembangunan pula. Partisipasi masyarakat adalah pemberdayaan masyarakat, peran sertanya dalam kegiatan penyusunan perencanaan dan implementasi program atau proyek pembangunan, dan merupakan aktualisasi, ketersediaan, dan kemauan masyarakat untuk berkorban dan berkontribusi terhadap implementasi program pembangunan (Adisasmita, 2006: 39).

KAJIAN PUSTAKA Masyarakat sebagai suatu sistem sosial, dimana setiap unit sosial yang sifatnya berkelanjutan serta memiliki identitas tersendiri dan dapat dibedakan dengan unit sosial lainnya bisa dipandang sebagai sebuah sistem sosial. Artinya bahwa terdapat susunan skematis yang menjadi bagian dari unit tersebut yang memiliki hubungan ketergantungan antar bagian. Masyarakat memiliki batas yang berhubungan dengan lingkungan (secara fisik, teknis, dan sosial) serta memiliki proses eksternal dan internal. Setiap individu sebagai bagian dari masyarakat mempunyai macam-macam peran yang berasal dari pola-pola pergaulan hidupnya dan hal itu sekaligus berarti bahwa peran tersebut menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa yang diberikan masyarakat kepadanya. Peran lebih menunjukkan kepada fungsi, penyesuaian diri dan sebagai suatu proses. Dalam suatu lembaga, peran diartikan sebagai seperangkat harapan-harapan yang dikenakan pada lembaga yang menempati kedudukan sosial tertentu. Peran juga digambarkan apa yang diharapkan dan apa yang dituntut oleh masyarakat (Narwoko, 2004). Loomis dalam Boyle (1981) menyatakan bahwa suatu sistem sosial merupakan komposisi pola interaksi anggotanya. Boyle (1981) mendefenisikan beberapa unsur dalam sistem sosial yaitu tujuan, norma, status peran, kekuatan, jenjang sosial, sanksi, fasilitas, dan daerah kekuasaan. Selain itu, terdapat proses yang terjadi dalam sistem tersebut yaitu komunikasi, pembuatan keputusan, pemeliharaan

batasan dan keterkaitan sistem. Sistem nilai mengacu pada bagaimana anggota masyarakat menyesuaikan dirinya untuk bertingkah laku berdasarkan acuan (www.teoripembangunansosiologi.com). Dalam analisisnya tentang sistem sosial, Parsons menggunakan status-peran sebagai unit dasar dari sistem. Status mengacu pada posisi struktural di dalam sistem sosial dan peran adalah apa yang dilakukan aktor dalam posisinya tersebut. Parsons juga menjelaskan dalam teorinya sejumlah persyaratan fungsional dari suatu sistem sosial. Pertama, sistem sosial harus terstruktur (ditata) sedemikian rupa sehingga dapat beroperasi dalam hubungan yang harmonis dengan sistem lainnya. Kedua, untuk menjaga kelangsungan hidupnya, sistem sosial harus mendapat dukungan yang diperlukan dari sistem yang lain. Ketiga, sistem sosial harus mampu memenuhi aktornya dalam proporsi yang signifikan. Keempat, sistem harus mampu melahirkan partisipasi yang memadai dari para anggotanya. Kelima, sistem sosial harus mampu mengendalikan perilaku yang berpotensi mengganggu. Keenam, bila konflik akan menimbulkan kekacauan, harus dapat dikendalikan. Ketujuh, untuk kelangsungan hidupnya, sistem sosial memerlukan bahasa (Ritzer, 2008: 125). Struktural fungsionalisme menggunakan konsep sistem ketika membahas struktur atau lembaga sosial. Teori ini adalah lukisan abstraksi yang sistematis mengenai kebutuhan fungsional tertentu, yang mana setiap masyarakat harus memeliharanya untuk memungkinkan pemeliharaan kehidupan sosial yang stabil. Fungsi merupakan kumpulan kegiatan yang ditujukan kearah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan sistem. Agar tetap bertahan, suatu sistem harus memiliki empat fungsi, yakni:

1. Adaptation (adaptasi); sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya. 2. Goal attainment (pencapaian Tujuan); sebuah sistem harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya. 3. Integration (integrasi); sebuah sistem harus mengatur antarhubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus mengelola antarhubungan ketiga fungsi penting lainnya (A,G,L). 4. Latency (pemeliharaan pola); sebuah sistem harus memperlengkapi, memelihara dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi (Ritzer, 2004: 121). Di dalam konsep struktur sosial terkandung pengertian adanya hubungan-hubungan yang jelas dan teratur antara orang yang satu dengan yang lainnya. Untuk dapat membangun pola hubungan yang jelas dan teratur tersebut tentu ada semacam 'aturan main' yang diakui dan dianut oleh pihak-pihak yang terlibat. Aturan main tersebut adalah norma atau kaidah ini menjadi lebih konkret dan bersifat mengikat, sehingga diperlukan lembaga (institusi) yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat. 2.1. Lembaga Desa dan Pembangunan Desa Pembangunan adalah perubahan sosial yang direncanakan sehingga menghasilkan sesuatu yang lebih baik. Dalam pembangunan diperlukan komunikasi pembangunan (penyampaian informasi pembangunan) agar pemerintah dapat menginformasikan program-program dalam pembangunan serta masyarakat dapat

mengkoordinasi pembangunan sehingga pembangunan dapat berjalan dengan baik. Pembangunan pedesaan bersifat multi dimensional dan multi aspek, oleh karena itu perlu dilakukan analisis atau pembahasan yang lebih terarah dan dalam konteks serba keterkaitan dengan bidang atau sektor dan aspek di luar pedesaan (fisik dan non fisik, ekonomi dan non ekonomi, sosial-budaya, spasial, internal dan eksternal). Pembangunan masyarakat pedesaan merupakan bagian dari pembangunan masyarakat yang diarahkan pula kepada pembangunan kelembagaan dan partisipasi serta pemberdayaan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan pada satuan wilayah pedesaan. Dibentuknya lembaga di setiap desa sebagai wujud partisipasi masyarakat desa akan mempercepat proses pembangunan desa. Hal ini dikarenakan masyarakat desa akan lebih mengetahui apa yang menjadi kebutuhan mereka karena tumbuh dan berkembang dari masyarakat desa itu sendiri (grassroot). Program-program yang dicanangkan pemerintah akan disesuaikan dengan kondisi sekarang. Kondisi yang ada itu meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya modal, prasarana dan sarana pembangunan, teknologi, kelembagaan, aspirasi masyarakat setempat dan lain sebagainya. Dikarekan dana anggaran pembangunan yang tersedia di tiap desa terbatas sedangkan program pembangunan yang dibutuhkan dalam jumlah yang banyak, maka perlu dilakukan penentuan prioritas program pembangunan yang diusulkan serta didukung oleh partisipasi masyarakat untuk menunjang implementasi program pembangunan tersebut (Adisasmita, 2006:34). Jika diperhatikan dengan seksama, aturan main proses penyusunan program-program pembangunan yang dilakukan selama ini sesungguhnya merupakan mekanisme ideal, artinya berniat mengakomodasikan sebesar-besarnya aspirasi

masyarakat (desa). Proses penyusunan program pembangunan dilakukan melalui tahapan-tahapan yang dimulai dari tingkat desa yaitu kegiatan musyawarah pembangunan desa, kemudian dibawa ke tingkat kecamatan melalui diskusi unit daerah kerja pembangunan. Demikian seterusnya hingga disalurkan di tingkat kabupaten/kota yang melibatkan lintas unit-unit kerja kabupaten/kota. Adapun yang menjadi sasaran pembangunan pedesaan adalah dengan terciptanya : a. Pemantapan ketahanan pangan, maka peningkatan produksi dan produktivitas sektor pertanian membutuhkan dukungan penyediaan prasarana fisik desa disamping sarana produksi pertanian seperti pupuk, bibit unggul dan teknologi. b. Penciptaan kegiatan ekonomi lokal secara luas. c. Peningkatan dan memperluas lapangan kerja. d. Penguatan kelembagaan desa, baik kelembagaan ekonomi maupun sosial. e. Peningkatan keswadayaan masyarakat. f. Meningkatkan kelestarian lingkungan hidup pedesaan (Adisasmita, 2006:99). Lembaga-lembaga yang terdapat di masyarakat berbeda dengan suatu organisasi atau asosiasi. Perbedaan tersebut ada pada tujuan pengaturannya, yaitu apabila pengaturan yang ada berorientasi pada tercapainya suatu tujuan maka pengaturan itu terkait dengan masalah organisasi tetapi apabila pengaturannya itu berorientasi pada suatu pemenuhan kebutuhan, baik kebutuhan dasar maupun kebutuhan sekunder, maka pengaturan itu berarti terkait dengan masalah kelembagaan.

Di dalam suatu masyarakat meskipun terdapat lebih dari satu lembaga biasanya terdapat satu lembaga yang berada dalam kedudukan teratas dan mendominasi lembaga-lembaga lainnya. Bagi masyarakat desa, lembaga-lembaga dominan ini bisa diwakili oleh lembaga adat maupun lembaga pemerintahan. Besarnya peranan lembaga pemerintahan itu berbeda pada semua desa. Pada desa dengan ikatan genealogis peranan lembaga pemerintahan ini tidak terlalu besar karena sistem kekerabatan dengan aturan adat istiadatnya sangat mendominasi kehidupan masyarakat desa sedangkan pada desa dengan ikatan kedaerahan peranan lembaga pemerintahan cukup besar (Wisadirana, 2005:117). Perubahan dan perkembangan kelembagaan pada desa-desa di Indonesia ditentukan oleh kondisi internal maupun oleh pengaruh eksternal desa. Pengaruh eksternal terutama datang dari program-program pembangunan. Kondisi internal adalah semua potensi dan akses yang dimiliki desa tersebut dan menjadi faktor penentu dalam beradaptasi terhadap proses sosial umum. Diferensiasi kelembagaan menjadi lebih berkembang setelah era pembangunan, dimana Pemerintah melalui berbagai departemennya semakin meningkatkan intervensinya terhadap proses perkembangan pembangunan desa (Rahardjo, 1999:215). Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri RI Nomor 5 Tahun 2007 tentang pedoman penataan lembaga kemasyarakatan, kegiatan lembaga kemasyarakatan di desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) ditujukan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui:

a. peningkatan pelayanan masyarakat, b. peningkatan peran serta masyarakat dalam pembangunan, c. pengembangan kemitraan, d. pemberdayaan masyarakat, e. pengembangan kegiatan lain sesuai dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat setempat. Pada jajaran pemerintahan desa dan masyarakat desa dijumpai banyak kelompok-kelompok masyarakat berdasarkan norma-norma dan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi ciri daripada lembaga tersebut, umpamanya lembaga keagamaan, lembaga kepemudaan, olah raga, kesenian, arisan, kesukuan, dan lain sebagainya. Berikut ini adalah beberapa jenis kelembagaan yang terdapat di berbagai desa di Indonesia, yaitu: a) Lembaga Musyawarah Desa (LMD) terdapat di desa swadaya, swakarya, dan swasembada b) Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (desa swadaya, swakarya, dan swasembada) c) Rukun Tetangga, Rukun Kampung - RT/RW (desa swadaya, swakarya, dan swasembada) d) Pembinaan Kesejahteraan Keluarga - PKK (desa swakarya dan swasembada) e) Perhimpunan Pemakai Air (desa swakarya dan swasembada) f) Koperasi Unit Desa KUD/BUD, dan sebagainya (desa swakarya dan swasembada) g) Majelis ulama dan lembaga-lembaga keagamaan lainnya (desa swasembada) h) Perkumpulan kematian (desa swasembada)

i) Himpunan Kerukunan Tani Indoonesia (desa swasembada) j) Lembaga Sosial Kampung LSK, dan sebagainya (desa swasembada) (Jayadinata, 2006:112). Dalam aktifitas Pemerintah desa, keberadaan lembaga-lembaga di lingkungan desa membawa pengaruh positif, bermanfaat dan sebagai kebutuhan yang tidak terelakkan. Sebelumnya telah digarisbawahi bahwa masyarakat dalam setiap aspek kehidupan perlu peran sertanya dimobilisasi untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam setiap proyek pembangunan. Implementasi konsep peran serta ini diharapkan dapat dilaksanakan oleh semua lembaga sosial desa yang telah dibentuk tersebut. 2.2 Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan adalah bagian dari paradigma pembangunan yang memfokuskan perhatiannya kepada semua aspek yang prinsipil dari manusia di lingkungannya, yakni mulai dari aspek intelektual (Sumber Daya Manusia), aspek material dan fisik, sampai kepada aspek manajerial. Aspek-aspek tersebut bisa jadi dikembangkan menjadi aspek sosial-budaya, ekonomi, politik, keamanan dan lingkungan. Pemberdayaan dilahirkan dari bahasa Inggris, yakni empowerment, yang mempunyai makna dasar pemberdayaan, dimana daya bermakna kekuatan (power). Bryant & White (1987) menyatakan pemberdayaan sebagai upaya menumbuhkan kekuasaan dan wewenang yang lebih besar kepada masyarakat kurang mampu. Cara dengan menciptakan mekanisme dari dalam (build-in) untuk

meluruskan keputusan-keputusan alokasi yang adil,yakni dengan menjadikan rakyat mempunyai pengaruh. Sementara Freire (Sutrisno, 1999) menyatakan empowerment bukan sekedar memberikan kesempatan rakyat menggunakan sumber daya dan biaya pembangunan saja tetapi juga upaya untuk mendorong mencari cara menciptakan kebebasan dari struktur yang opresif (www.pemberdayaan.com). Konsep lain menurut Widjaja (2003:23) menyatakan bahwa pemberdayaaan mempunyai makna mengembangkan, memandirikan, menswadayakan dan memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah terhadap kekuatan-kekuatan penekan di segala bidang dan sektor kehidupan. Makna lainnya adalah melindungi, membela dan berpihak kepada yang lemah untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang dan terjadinya eksploitasi terhadap yang lemah. Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya mempersiapkan masyarakat seiring dengan upaya memperkuat kelembagaan masyarakat agar mampu mewujudkan kemajuan, kemandirian dan kesejahteraan. Menurut Hikmat (2001:3) konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan. Dalam pandangan Pearse dan Stiefel dinyatakan bahwa pemberdayaan mengandung dua kecenderungan, yakni primer dan sekunder. Kecenderungan primer berarti proses pemberdayaan menekankan proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. Sedangkan kecenderungan sekunder melihat pemberdayaan sebagai proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihannya

(www.pemberdayaan.com). Sumodiningrat (2007) memandang pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan. Pemberdayaan masyarakat dan desa adalah upaya memampukan dan memandirikan masyarakat dalam proses pembangunan untuk mencapai kesejahteraan. Konsepsi ini sesuai dengan dasar pemikiran pemberian otonomi oleh Pemerintah Daerah yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dimana dikatakan bahwa untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dilakukan melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Pemberdayaan memuat konsep pembangunan yang diawali dari kebutuhan masyarakat (bottom up) yang dalam kajian sehari-hari yang berorientasi dalam hal kesejahteraan masyarakat. Pemberdayaan pada hakikatnya mempunyai dua makna spesifik, pertama yaitu meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pelaksanaan berbagai kebijakan dan program pembangunan, agar kondisi masyarakat dapat mencapai tingkat kemampuan yang diharapkan. Kedua yaitu meningkatkan kemandirian masyarakat dalam rangka membangun diri dan lingkungannya secara mandiri (Widjaya, 2003: 23). Berbagai program pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah akan jauh lebih efektif jika dilakukan di tengah masyarakat yang memiliki modal sosial yang kuat. Program infrastruktur pedesaan misalnya jalan melibatkan partisipasi penduduk

desa secara maksimal dan demikian dana pemerintah tidak saja akan terbebas dari kemungkinan disalahgunakan masyarakat sendiri akan memberikan sumbangan ide, tenaga, maupun sumbangan bentuk lainnya guna memaksimalkan pekerjaan pemerintah di kampung mereka. Dengan demikian bahwa pemberdayaan masyarakat adalah usaha menempuhkan dan memandirikan masyarakat yang ditandai dengan terwujudnya profil keberdayaan masyarakat, yakni melekatnya unsur-unsur yang memungkinkan masyarakat memiliki daya tahan dan kekuatan/kemampuan membangun diri dan lingkungannya. Maka dari itu aspek-aspek pokok pemberdayaan masyarakat adalah: a. Membangun suasana kondusif yaitu adanya iklim atau kondisi yang memungkinkan untuk berkembangnya potensi dan daya yang dimiliki masyarakat. b. Support potensi yaitu memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat melalui pemberian (hibah) input berupa bantuan keuangan kelembagaan dan pembangunan sarana ataupun prasarana yang menjadi kebutuhan masyarakat. c. Proteksi yaitu melindungi masyarakat melalui pemihakan kepada masyarakat (yang lemah) untuk mencegah kompetisi yang tidak seimbang (www.pemberdayaan.com). Salah satu indikator dari keberdayaan masyarakat adalah kemampuan dan kebebasan untuk membuat pilihan yang terbaik dalam menentukan atau memperbaiki kehidupannya. Konsep pemberdayaan merupakan hasil dari proses interaksi di tingkat ideologis dan praksis. Pada tingkat ideologis, pemberdayaan merupakan hasil interaksi antara konsep top-down dan bottom-up, antara growth strategy dan people

centered strategy. Sedangkan di tingkat praksis, proses interaksi terjadi melalui pertarungan antar ruang otonomi. Maka, konsep pemberdayaan mencakup pengertian pembangunan masyarakat (community development) dan pembangunan yang bertumpu pada masyarakat (community based development) (Usman, 2003: 313-316). Untuk mempercepat ketertinggalan kualitas sumber daya manusia, maka diperlukan cara-cara pendekatan yang dapat mewadahi seluruh komponen sumber daya manusia dengan kualitas yang ada dan mampu ikut serta/berpartisipasi. Selain itu, dalam proses menuju desa yang otonom, pengelolaan sumber daya alam harus berbasis kemasyarakatan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran. Meskipun proses pemberdayaan suatu masyarakat merupakan suatu proses yang berkesinambungan, namun dalam penerapannya memang disadari bahwa tidak semua yang direncanakan dapat berjalan dengan lancar. Watson dalam buku Planning of Change edisi kedua, menggambarkan ada beberapa kendala (hambatan) yang dapat menghalangi terjadinya suatu perubahan (pembangunan). Hal ini tentunya akan terkait dengan kendala dalam upaya pemberdayaan melalui intervensi komunitas. 1) Kesepakatan terhadap norma tertentu (conformity to norms). Norma dalam suatu sistem sosial berkaitan erat dengan kebiasaan dari kelompok masyarakat tersebut. Norma sebagai suatu aturan yang tidak tertulis mengikat sebagian besar anggota masyarakat pada suatu komunitas tertentu. Pada titik tertentu, norma dapat menjadi faktor yang menghambat ataupun halangan terhadap perubahan (pembaharuan) yang ingin diwujudkan.

2) Kesatuan dan kepaduan sistem dan budaya (systemic and cultural coherence). Berdasarkan pandangan ini dapat dipahami bahwa perubahan yang dilakukan pada suatu area akan dapat mempengaruhi area yang lain. Hal ini terjadi karena dalam suatu komunitas tidak hanya berlaku satu sistem saja, tetapi berbagai sistem yang saling menyatu sehingga memungkinkan masyarakat itu hidup dalam keadaan nyaman.

3) Kelompok kepentingan (vested interest). Salah satu sumber yang dapat menghambat perubahan dalam masyarakat adalah adanya kelompok kepentingan yang memiliki tujuan berbeda dengan tujuan pengembangan masyarakat.

4) Penolakan terhadap orang luar (rejection of outsiders) (Usman, 2003: 313-316). 2.3 Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Lembaga Pemberdayaan Masyarakat merupakan lembaga kemasyarakatan yang dibentuk atas prakarsa masyarakat sebagai wadah dalam menampung aspirasi dan kebutuhan masyarakat dibidang pembangunan desa. Hal ini berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 2001 tentang Penataan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa, yang mana merupakan pengganti dari Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1980. Isi dari Keputusan Presiden tersebut yakni Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota dapat segera menyusun atau menyesuaikan peraturan daerah yang berkaitan dengan pembentukan beberapa lembaga kemasyarakatan di daerahnya. Salah satu lembaga yang penting adalah Lembaga Pemberdayaan Masyarakat.

Pada tiap desa dibentuk Lembaga Pemberdayaan Masyarakat yang disingkat dengan LPM dan merupakan pengganti dari Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Nama Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa diganti dengan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat karena dianggap tidak sesuai lagi dengan semangat otonomi desa. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat dibentuk di tengah-tengah lingkungan masyarakat desa yang berkedudukan sebagai mitra Pemerintah Desa dan Kelurahan dalam aspek perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian serta pengawasan pembangunan dan bertumpu pada masyarakat dimana lembaga tersebut dibentuk. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 dijelaskan bahwa dalam upaya memerdayakan masyarakat di desa dapat dibentuk lembaga kemasyarakatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat desa. Lembaga kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Desa. Peraturan Desa adalah segala hal-hal yang disusun atas kesepakatan bersama antara Kepala Desa dengan Badan Perwakilan Desa dan telah disahkan oleh Kepala Desa yang bersangkutan. Sedangkan susunan pengurus Lembaga Pemberdayaan Masyarakat dipilih dan ditetapkan oleh masyarakat desa melalui proses musyawarah yang disahkan dengan Keputusan Kepala Desa. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat adalah lembaga kemasyarakatan yang sengaja dibentuk dengan tujuan untuk menjembatani pemerintahan desa dengan masyarakat, berkaitan dengan kegiatan-kegiatan sosial, penyuluhan, keagamaan, partisipasi, swadaya dan gotong royong masyarakat. Hubungan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat dengan Pemerintah Desa dalam bentuk kemitraan yaitu dengan dilaksanakannya bentuk kerja sama untuk

menggerakkan swadaya dan gotong-royong masyarakat dalam melaksanakan pembangunan partisipatif dan berkelanjutan. Hubungan kerja Lembaga Pemberdayaan Masyarakat dengan lembaga atau organisasi kemasyarakatan lainnya di wilayah desa bersifat konsultatif dan kerjasama saling menguntungkan. Antara lembaga satu dengan yang lain yang terdapat di desa akan saling membantu dalam mengatasi masalah di lingkungan desa. Hubungan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat antar desa bersifat kerjasama dan saling membantu dalam rangka pemberdayaan masyarakat (Widjaja, 2003: 116).

2.4. Partisipasi Masyarakat Menurut Craig and Mayo (dalam Hikmat: 2003) bahwa partisipasi mensyaratkan adanya proses pemberdayaan terlebih dahulu. Dengan kata lain, mustahil kita berbicara partisipasi masyarakat tanpa diawali dengan diskusi pemberdayaan. Partisipasi dan pemberdayaan merupakan dua buah konsep yang saling berkaitan. Untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat diperlukan upaya berupa pemberdayaan. Masyarakat yang dikenal tidak berdaya perlu untuk dibuat berdaya dengan menggunakan berbagai model pemberdayaan. Partisipasi anggota masyarakat adalah keterlibatan dan pelibatan anggota masyarakat dalam pembangunan, meliputi kegiatan dalam perencanaan dan pelaksanaan (implementasi) program pembangunan yang dikerjakan di masyarakat lokal. Partisipasi atau peran serta masyarakat dalam pembangunan (pedesaan) merupakan aktualisasi dari ketersediaan dan kemauan anggota masyarakat untuk berkorban dan berkontribusi dalam implementasi program/proyek yang dilaksanakan.

Dalam partisipasi terkandung pengertian bahwa seseorang bisa terlibat (berpartisipasi) sesuai dengan relevansinya, misalnya keahliannya, kepentingan (masalahnya), ataupun tingkat kemampuannya. Atau dengan kata lain, seseorang dapat berpartisipasi secara parsial, dalam pengertian hanya terlibat dalam salah-satu atau beberapa aktivitas saja atau berpartisipasi secara prosesial, dalam pengertian dapat terlibat dalam semua fase dari awal hingga akhir dari aktivitas dimaksudkan (Kaho, 2007:130). Agar mampu berpartisipasi seseorang perlu berproses dan proses itu ada dalam dirinya dan dengan orang lain. Kemampuan setiap orang jelas akan berbeda-beda dalam berpartisipasi. Dengan upaya yang sungguh-sungguh dan terencana, partisipasi seseorang dan pada akhirnya muncul partisipasi kelompok akan bisa ditumbuhkan dengan dorongan dari dalam dirinya atau dengan dorongan orang lain yang selalu berinteraksi dengan orang tersebut atau dengan kelompok tersebut. Partisipasi sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya kandungan kapital yang dimiliki oleh seseorang. Partisipasi hanya mungkin dilakukan bila seseorang memiliki kapital sosial, yaitu jaringan kerja, aturan-aturan yang jelas dan kepercayaan. Jaringan merupakan lintasan bagi proses berlangsungnya pertukaran, sementara kepercayaan menjadi stimulus agar proses pertukaran tersebut berjalan lancar sementara norma atau aturan merupakan jaminan bahwa proses pertukaran itu berlangsung adil atau tidak. Dalam partisipasi (konteks organisasi) yang dipertukarkan adalah hak dan kewajiban. Kapital sosial merupakan wahana memungkinkan terjadinya pertukaran tersebut. Kapital sosial adalah nilai-nilai dalam struktur sosial yang dapat digunakan

untuk mencapai kepentingan aktor. George Homans (1987) menyebutkan bahwa bagi semua tindakan yang dilakukan orang, semakin sering suatu tindakan tertentu memperoleh imbalan, semakin cenderung orang tersebut melakukan tindakan tersebut. Proposisi ini dapat diartikan bahwa semakin sering seseorang memperoleh imbalan karena mengikuti kegiatan desa, kelompok atau suatu organisasi maka seseorang tersebut akan cenderung melakukan tindakan tersebut. Agar seseorang aktif dalam suatu kegiatan maka harus dijamin bahwa keaktifannya tersebut akan memperoleh imbalan atau manfaat (Saragi, 2004:51). Dalam rangka pembangunan bangsa yang meliputi segala aspek kehidupan, partisipasi masyarakat memainkan peranan penting, Bintoro Tjokroamidjojo menegaskan: Pembangunan yang meliputi segala segi kehidupan, politik, ekonomi dan sosial budaya itu baru akan berhasil apabila merupakan kegiatan yang melibatkan partisipasi dari seluruh rakyat di dalam suatu Negara. Masyarakat dapat berpartisipasi pada beberapa tahap, terutama dalam pembangunan, yakni: pada tahap inisiasi, legitimasi dan eksekusi. Atau dengan kata lain, pada tahap decision, making, implementation, benefit dan tahap evaluasi. Atau seperti yang dirumuskan Bintoro Tjokroamidjojo: Pertama keterlibatan aktif atau partisipasi masyarakat tersebut dapat berarti keterlibatan dalam proses penentuan arah, strategi dan kebijaksanaan Kedua adalah keterlibatan dalam memikul hasil dan manfaat pembangunan secara berkeadilan. (Kaho, 2007:126).

Masyarakat seringkali diikutkan tanpa diberikan pilihan dan kesempatan untuk memberikan masukan. Hal ini biasanya disebabkan oleh adanya anggapan untuk mencapai efisiensi dalam pembangunan, masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk menganalisa kondisi dan merumuskan persoalan serta kebutuhan-kebutuhannya. Dalam hal ini, masyarakat ditempatkan pada posisi yang membutuhkan bantuan dari luar. Sebenarnya jika masyarakat dilibatkan secara penuh, mereka juga mempunyai potensi tersendiri, seperti yang dikemukakan oleh Hikmat (2003:23-24) bahwa masyarakat sebenarnya memiliki banyak potensi baik dilihat dari sumber daya alam maupun dari semuber daya sosial dan budaya. Masyarakat memiliki kekuatan bila digali dan disalurkan akan menjadi energi besar untuk pengentasan kemiskinan. Cara menggali dan mendayagunakan sumbersumber yang ada pada masyarakat inilah yan menjadi inti dari pemberdayaan masyarakat. Di dalam pemberdayaan masyarakat yang penting adalah bagaimana menjadikan masyarakat pada posisi pelaku pembangunan yang aktif dan bukan penerima pasif. Konsep gerakan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan, mengutamakan inisiatif dan kreasi masyarakat, dengan strategi pokok memberi kekuatan (power) kepada masyarakat. Dari pendapat yang ada tersebut dapat disimpulkan bahwa partisipasi masyarakat dapat terjadi pada empat jenjang, yakni: 1. Partisipasi dalam proses pembuatan keputusan, 2. Partisipasi dalam pelaksanaan, 3. Partisipasi dalam pemanfaatan hasil, 4. Partisipasi dalam evaluasi (Kaho, 2007:126).

2.1 Pengertian Efektivitas Efektivitas dapat diartikan sangat beragam terkait dengan bidang keahlian dan tergantung pada konteks apa efektivitas tesebut digunakan. Menurut Drucker (1978:44) efektivitas adalah suatu tingkatan yang sesuai antara keluaran secara empiris dalam suatu sistem dengan keluaran yang diharapkan. Efektivitas berkaitan erat dengan suatu kegiatan untuk bekerja dengan benar demi tercapainya hasil yang lebih baik sesuai dangan tujuan semula. Sementara itu menurut Bernard (dalam Gybson 1997: 56), efektivitas adalah pencapaian sasaran dari upaya bersama, dimana derajat pencapaian menunjukkan derajat efektivitas. Efektivitas dapat digunakan sebagai suatu alat evaluasi efektif atau tidaknya suatu tindakan (Zulkaidi dalam Wahyuningsih D, 2005:22) yang dapat dilihat dari: Kemampuan memecahkan masalah, keefektifan tindakan dapat diukur dari kemampuannya dalam memecahkan persoalan dan hal ini dapat dilihat dari berbagai permasalahan yang dihadapi sebelum dan sesudah tindakan tersebut dilaksanakan dan seberapa besar kemampuan dalam mengatasi persoalan. Pencapaian tujuan, efektivitas suatu tindakan dapat dilihat dari tercapainya suatu tujuan dalam hal ini dapat dilihat dari hasil yang dapat dilihat secara nyata. Kriteria efektivitas kebijakan merupakan suatu fungsi yang tidak hanya ditentukan oleh implementasi kebijakan tersebut secara efisien tetapi juga ditentukan oleh kemampuan koordinasi kebijakan, hal tersebut untuk meminimalkan efek samping akibat keterkaitan antar ukuran-ukuran kebijakan yang berbeda-beda (Drabkin dalam Wahyuningsih D, 2005:22). 2.2 Pemberdayaan Masyarakat 2.2.1 Konsep Pemberdayaan Pemberdayaan (empowerment) berasal dari Bahasa Inggris, power diartikan sebagai kekuasaan atau kekuatan. Menurut Korten (1992) pemberdayaan adalah peningkatan kemandirian rakyat berdasarkan kapasitas dan kekuatan internal rakyat atas SDM baik material maupun non material melalui redistribusi modal. Sedangkan Pranarka dan Vidhyandika (1996:56) menjelaskan pemberdayaan adalah upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural, baik di dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional, internasional, maupun dalam bidang politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Selain itu menurut Paul (1987) pemberdayaan berarti pembagian kekuasaan yang adil (equitable sharing of power) sehingga meningkatkan kesadaran politis dan kekuasaan kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap proses dan hasil-hasil pembangunan. Menurut Robert Dahl (1983:50), pemberdayaan diartikan pemberian kuasa untuk mempengaruhi atau mengontrol. Manusia selaku individu dan kelompok berhak untuk ikut berpartisipasi terhadap keputusan-keputusan sosial yang menyangkut komunitasnya. Sementara Hulme dan Turner (1990:214-215) berpendapat bahwa pemberdayaan mendorong terjadinya suatu proses perubahan sosial yang memungkinkan orang-orang pinggiran yang tidak berdaya untuk memberikan pengaruh yang lebih besar di arena politik secara lokal maupun nasional. Oleh karena itu pemberdayaan sifatnya individual dan kolektif. Pemberdayaan juga merupakan suatu proses yang menyangkut hubungan kekuasaan kekuatan yang berubah antar individu, kelompok dan lembaga. Menurut Talcot Parsons (dalam Prijono, 1996:64-65) power merupakan

sirkulasi dalam subsistem suatu masyarakat, sedangkan power dalam empowerment adalah daya sehingga empowerment dimaksudkan sebagai kekuatan yang berasal dari bawah. Pemberdayaan ini memiliki tujuan dua arah, yaitu melepaskan belenggu kemiskinan dan keterbelakangan dan memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur kekuasaan. Keduanya harus ditempuh dan menjadi sasaran dari upaya pemberdayaan. Sehingga perlu dikembangkan pendekatan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan masyarakat. Pemberdayaan lebih mudah dijelaskan pada saat manusia dalam keadaan powerlessness (baik dalam keadaan aktual atau sekedar perasaan), tidak berdaya, tidak mampu menolong diri sendiri, kehilangan kemampuan untuk mengendalikan kehidupan sendiri (Prijono, 1996:54). Selain itu pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk, berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas dan mempengaruhi terhadap kejadian-kejadian serta lembagalembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Konsep pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh ketrampilan, pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Pearson et al, 1994 :106). Pemberdayaan mempunyai tiga dimensi yang saling berpotongan dan berhubungan, sebagaimana yang disimpulkan oleh Kieffer (1984:65) dari penelitiannya, yaitu: (1) Perkembangan konsep diri yang lebih positif; (2) Kondisi pemahaman yang lebih kritis dan analitis mengenai lingkungan sosial dan politis; dan (3) Sumber daya individu dan kelompok untuk aksi-aksi sosial maupun kelompok. Grand Theories dari konsep empowerment (pemberdayaan) ini mengacu pada pengaruh Marx mengenai ada yang berkuasa dan ada juga dikuasai ada perbedaan kelas semisal majikan dan buruh, distribusi pendapatan yang tidak merata sampai kekuatan ekonomi yang merupakan dasar dari pemberdayaan (Prijono, 1996:54-55). 2.2.2 Paradigma Community Development dan Community Empowerment. Untuk mencapai tujuan dan cita-cita modernisasi, pendekatan partisipasi masyarakat dikembangkan dalam community development. Menurut Abbot (1996:12-15) teori modernisasi awalnya digunakan oleh masyarakat barat yang berperan dalam merubah seluruh masyarakat dari tradisional dan primitif menjadi modern melalui peningkatan tahapan secara berkesinambungan dalam pertumbuhan ekonominya. Dan menurut United Nations (PBB) pengembangan masyarakat merupakan suatu proses yang dirancang untuk menciptakan kondisi-kondisi kemajuan ekonomi dan sosial bagi seluruh masyarakat dengan partisipasi aktifnya. Lebih lanjut (Abbot, 1996:16-17) menyatakan bahwa pengembangan masyarakat perlu memperhatikan kesetaraan (equality), konflik dan hubungan pengaruh kekuasaan (power relations) atau jika tidak maka tingkat keberhasilannya rendah. Setelah kegagalan teori modernisasi muncul teori ketergantungan, dimana teori ketergantungan pada prinsipnya menggambarkan adanya suatu hubungan antar negara yang timpang, utamanya antara negara maju (pusat) dan negara pinggiran (tidak maju). Menurut Abbot (1996: 20) dari teori ketergantungan muncul pemahaman akan keseimbangan dan kesetaraan, yang pada akhirnya membentuk sebuah pemberdayaan (empowerment) dalam partisipasi masyarakat dikenal sebagai teori keadilan (conscientisacion theory). Pengembangan masyarakat (community development) digunakan sebagai pendekatan partisipasi masyarakat dalam paradigma teori modernisasi, sedangkan pemberdayaan masyarakat (community empowerment) merupakan pendekatan

dalam konteks teori ketergantungan (dependency theory).

Prinsip dan Dasar Pemberdayaan Masyarakat Prinsip utama dalam mengembangkan konsep pemberdayaan masyarakat menurut Drijver dan Sajise (dalam Sutrisno, 2005:18) ada lima macam, yaitu: 1) Pendekatan dari bawah (buttom up approach): pada kondisi ini pengelolaan dan para stakeholder setuju pada tujuan yang ingin dicapai untuk kemudian mengembangkan gagasan dan beberapa kegiatan setahap demi setahap untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya. 2) Partisipasi (participation): dimana setiap aktor yang terlibat memiliki kekuasaan dalam setiap fase perencanaan dan pengelolaan. 3) Konsep keberlanjutan: merupakan pengembangan kemitraan dengan seluruh lapisan masyarakat sehingga program pembangunan berkelanjutan dapat diterima secara sosial dan ekonomi. 4) Keterpaduan: yaitu kebijakan dan strategi pada tingkat lokal, regional dan nasional. 5) Keuntungan sosial dan ekonomi: merupakan bagian dari program pengelolaan. Sedangkan dasar-dasar pemberdayaan masyarakat adalah: mengembangkan masyarakat khususnya kaum miskin, kaum lemah dan kelompok terpinggirkan, menciptakan hubungan kerjasama antara masyarakat dan lembaga-lembaga pengembangan, memobilisasi dan optimalisasi penggunaan sumber daya secara keberlanjutan, mengurangi ketergantungan, membagi kekuasaan dan tanggung jawab, dan meningkatkan tingkat keberlanjutan.(Delivery dalam Sutrisno, 2005:17). 2.2.4 Proses dan Upaya Pemberdayaan Masyarakat Menurut Suharto (2006:59) pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan, Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, terutama individuindividu yang mengalami kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial; yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator sebuah keberhasilan pemberdayaan. Proses pemberdayaan dapat dilakukan secara individual maupun kolektif (kelompok). Proses ini merupakan wujud perubahan sosial yang menyangkut relasi atau hubungan antara lapisan sosial yang dicirikan dengan adanya polarisasi ekonomi, maka kemampuan individu senasib untuk saling berkumpul dalam suatu kelompok cenderung dinilai sebagai bentuk pemberdayaan yang paling efektif (Friedman, 1993). Hal tersebut dapat dicapai melalui proses dialog dan diskusi di dalam kelompoknya masing-masing, yaitu individu dalam kelompok belajar untuk mendeskripsikan suatu situasi, mengekspresikan opini dan emosi mereka atau dengan kata lain mereka belajar untuk mendefinisikan masalah menganalisis, kemudian mencari solusinya. Menurut United Nations (1956:83-92 dalam Tampubolon, 2006), prosesproses

pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut: (1) Getting to know the local community; Mengetahui karakteristik masyarakat setempat (lokal) yang akan diberdayakan, termasuk perbedaan karakteristik yang membedakan masyarakat desa yang satu dengan yang lainnya. Mengetahui artinya untuk memberdayakan masyarakat diperlukan hubungan timbal balik antara petugas dengan masyarakat. (2) Gathering knowledge about the local community; Mengumpulkan pengetahuan yang menyangkut informasi mengenai masyarakat setempat. Pengetahuan tersebut merupakan informasi faktual tentang distribusi penduduk menurut umur, sex, pekerjaan, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, termasuk pengetahuan tentang nilai, sikap, ritual dan custom, jenis pengelompokan, serta faktor kepemimpinan baik formal maupun informal. (3) Identifying the local leaders; Segala usaha pemberdayaan masyarakat akan siasia apabila tidak memperoleh dukungan dari pimpinan/tokoh-tokoh masyarakat setempat. Untuk itu, faktor "the local leaders" harus selau diperhitungkan karena mereka mempunyai pengaruh yang kuat di dalam masyarakat. (4) Stimulating the community to realize that it has problems; Di dalam masyarakat yang terikat terhadap adat kebiasaan, sadar atau tidak sadar mereka tidak merasakan bahwa mereka punya masalah yang perlu dipecahkan. Karena itu, masyarakat perlu pendekatan persuasif agar mereka sadar bahwa mereka punya masalah yang perlu dipecahkan, dan kebutuhan yang perlu dipenuhi. (5) Helping people to discuss their problem; Memberdayakan masyarakat bermakna merangsang masyarakat untuk mendiskusikan masalahnya serta merumuskan pemecahannya dalam suasana kebersamaan. (6) Helping people to identify their most pressing problems; Masyarakat perlu diberdayakan agar mampu mengidentifikasi permasalahan yang paling menekan. Dan masalah yang paling menekan inilah yang harus diutamakan pemecahannya. (7) Fostering self-confidence; Tujuan utama pemberdayaan masyarakat adalah membangun rasa percaya diri masyarakat. Rasa percaya diri merupakan modal utama masyarakat untuk berswadaya. (8) Deciding on a program action; Masyarakat perlu diberdayakan untuk menetapkan suatu program yang akan dilakukan. Program action tersebut perlu ditetapkan menurut skala prioritas, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Tentunya program dengan skala prioritas tinggilah yang perlu didahulukan pelaksanaannya. (9) Recognition of strengths and resources; Memberdayakan masyarakat berarti membuat masyarakat tahu dan mengerti bahwa mereka memiliki kekuatankekuatan dan sumber-sumber yang dapat dimobilisasi untuk memecahkan permasalahan dan memenuhi kebutuhannya. (10) Helping people to continue to work on solving their problems; Pemberdayaan masyarakat adalah suatu kegiatan yang berkesinambungan. Karena itu, masyarakat perlu diberdayakan agar mampu bekerja memecahkan masalahnya secara kontinyu. (11)Increasing people!s ability for self-help; Salah satu tujuan pemberdayaan masyarakat adalan tumbuhnya kemandirian masyarakat. Masyarakat yang mandiri adalah masyarakat yang sudah mampu menolong diri sendiri. Untuk itu, perlu selalu ditingkatkan kemampuan masyarakat untuk berswadaya. Ide menempatkan manusia lebih sebagai subjek dari dunianya sendiri

mendasari dibakukannya konsep pemberdayaan (empowerment). Menurut Oakley dan Marsden, 1984, proses pemberdayaan mengandung dua kecendrungan. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan kepada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya membangun asset material guna mendukung kemandirian mereka melalui organisasi. Kecendrungan kedua atau kecendrungan sekunder menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan dan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Menurut Kartasasmita (1995:19), upaya memberdayakan rakyat harus dilakukan melalui tiga cara: 1. Menciptakan suasana yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang. Disini titik tolaknya bahwa manusia dan masyarakat memiliki potensi (daya) yang dapat dikembangkan, sehingga pemberdayaan merupakan upaya untuk membangun daya itu dengan mendorong, memberikan motivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. 2. Memperkuat potensi yang dimiliki oleh rakyat dengan menerapkan langkahlangkah nyata, menampung berbagai masukan, menyediakan sarana dan prasarana baik fisik (irigasi, jalan dan listrik) maupun sosial (sekolah dan fasilitas pelayanan kesehatan) yang dapat diakses masyarakat lapisan bawah. Terbukanya akses pada berbagai peluang akan membuat rakyat makin berdaya, seperti tersedianya lembaga pendanaan, pelatihan, dan pemasaran di pedesaan. 3. Melindungi dan membela kepentingan masyarakat lemah. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah jangan sampai yang lemah bertambah lemah atau makin terpinggirkan menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam pemberdayaan masyarakat. Melindungi dan membela harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang dan eksploitasi atas yang lemah. 2.2.5 Teknik dan Pola Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat Teknik pemberdayaan masyarakat saat ini sangat diperlukan semua pihak, karena banyak proyek-proyek pembangunan yang berasal dari pemerintah atau dari luar komunitas masyarakat setempat mengalami kegagalan. Kegagalan tersebut biasanya karena tidak pernah mengikutsertakan partisipasi masyarakat (top down), sehingga si pemberi proyek tidak mengetahui secara pasti kebutuhan masyarakat yang sesungguhnya. Oleh sebab itu sudah saatnya potensi masyarakat didayagunakan yaitu bukan hanya dijadikan obyek tetapi subyek atau dengan kata lain memanusiakan masyarakat sebagai pelaku pembangunan yang aktif. Menurut Adimihardja dan Harry (2001, 15) konsep gerakan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan adalah mengutamakan inisiatif dan kreasi masyarakat dengan strategi pokok memberi kekuatan kepada masyarakat (dari, oleh, dan untuk masyarakat). dan salah satu cara yang dipakai dalam teknik pemberdayaan ialah: Participatory Rural Appraisal (PRA). Lebih lanjut Harry menyatakan bahwa untuk memasyarakatkan gerakan pemberdayaan ada beberapa aspek dan tingkatan yang perlu diperhatikan, seperti: (1) Perumusan konsep, (2) Penyusunan model, (3) Proses perencanaan, (4) Pemantauan dan penilaian hasil pelaksanaan dan (5) Pengembangan pelestarian gerakan pemberdayaan.

Menurut Wahab dkk. (2002: 81-82) ada 3 (tiga) pendekatan yang dapat dilakukan dalam empowerment, yaitu: 1. The welfare approach, pendekatan ini mengarahkan pada pendekatan manusia dan bukan memperdaya masyarakat dalam menghadapi proses politik dan kemiskinan rakyat, tetapi justru untuk memperkuat keberdayaan masyarakat dalam pendekatan centrum of power yang dilatarbelakangi kekuatan potensi lokal masyarakat. 2. The development approach, pendekatan ini bertujuan untuk mengembangkan proyek pembangunan untuk meningkatkan kemampuan, kemandirian dan keberdayaan masyarakat. 3. The empowerment approach, pendekatan yang melihat bahwa kemiskinan sebagai akibat dari proses politik dan berusaha memberdayakan atau melatih rakyat untuk mengatasi ketidakberdayaan. Sedangkan Ross (1987:77-78) mengemukakan 3 (tiga) pola pendekatan pemberdayaan dalam rangka peningkatan partisipasi masyarakat di dalam pembangunan, yaitu: 1) Pola pendekatan pemberdayaan masyarakat the single function adalah program atau teknik pembangunan, keseluruhannya ditanamkan oleh agen pembangunan dari luar masyarakat. Pada umumnya pola ini kurang mendapat respon dari masyarakat, karena program itu sangat asing bagi mereka sehingga inovasi prakarsa masyarakat tidak berkembang. 2) Pola pendekatan the multiple approach, dimana sebuah tim ahli dari luar melaksanakan berbagai pelayanan untuk memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Pola ini, juga tidak mampu memberdayakan masyarakat secara optimum, karena segala sesuatu tergantung pada tim ahli yang datang dari luar. 3) Pola pendekatan the inner resources approach sebagai pola yang paling efektif untuk memberdayakan masyarakat. Pola ini menekankan pentingnya merangsang masyarakat untuk mampu mengidentifikasi keinginan-keinginan dan kebutuhan- kebutuhannya dan bekerja secara kooperatif dengan pemerintah dan badan-badan lain untuk mencapai kepuasan bagi mereka. Pola ini mendidik masyarakat menjadi concern akan pemenuhan dan pemecahan masalah yang dihadapi dengan menggunakan potensi yang mereka miliki. Sedangkan menurut Suharto (1997:218-219), pelaksanaan proses dan pencapaian tujuan pemberdayaan masyarakat dapat dicapai melalui penerapan pendekatan pemberdayaan yang disingkat menjadi 5P, yaitu: 1. Pemungkinan; menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang secara optimal. Pemberdayaan harus mampu membebaskan masyarakat dari sekat-sekat kultural dan struktural yang menghambat. 2. Penguatan; memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhankebutuhannya. Pemberdayaan harus mampu menumbuhkembangkan segenap kemampuan dan kepercayaan diri masyarakat yang menunjang kemandirian. 3. Perlindungan; melindungi masyarakat terutama kelompok-kelompok lemah agar tidak tertindas oleh kelompok yang kuat, menghindari terjadinya persaingan yang tidak seimbang (apalagi tidak sehat ) antara yang kuat dan yang lemah dan mencegah terjadinya eksploitasi kelompok kuat terhadap kelompok lemah. Pemberdayaan harus diarahkan pada penghapusan segala jenis diskriminasi dan dominasi yang tidak menguntungkan rakyat kecil.

4. Penyokongan; memberikan bimbingan dan dukungan agar masyarakat mampu menjalankan peranan dan tugas-tugas kehidupannya. Pemberdayaan harus mampu menyokong masyarakat agar tidak terjatuh ke dalam posisi yang semakin lemah dan terpinggirkan. 5. Pemeliharaan; memelihara kondisi yang kondusif agar tetap terjadi keseimbangan distribusi kekuasaan antara berbagai kelompok dalam masyarakat. Pemberdayaan harus mampu menjamin keselarasan dan keseimbangan yang memungkinkan setiap orang memperoleh kesempatan berusaha. 2.2.6 Tahapan Pemberdayaan Masyarakat Sulistiyani (2004:83-84) menyatakan bahwa proses belajar dalam rangka pemberdayaan masyarakat akan berlangsung secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui tersebut meliputi : 1. Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri. 2. Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapanketrampilan agar terbuka wawasan dan pemberian ketrampilan dasar sehingga dapat mengambil peran di dalam pembangunan. 3. Tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan-ketrampilan sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan untuk mengantarkan pada kemandirian. Selanjutnya dikemukakan serangkaian tahapan yang harus ditempuh melalui pemberdayaan tersebut, dalam tabel di bawah ini : TABEL II.1 TAHAPAN TINGKAT KEBERDAYAAN MASYARAKAT
TAHAPAN AFEKTIF TAHAPAN KOGNITIF TAHAPAN PSIKOMOTORIK TAHAPAN KONATIF Belum merasa sadar dan peduli Belum memiliki wawasan pengetahuan Belum memiliki ketrampilan dasar Tidak berperilaku membangun Tumbuh rasa kesadaran dan kepedulian Menguasai pengetahuan dasar Menguasai ketrampilan dasar Bersedia terlibat dalam pembangunan Memupuk semangat

kesadaran dan kepedulian Mengembangkan pengetahuan dasar Mengembangkan ketrampilan dasar Berinisiatif untuk mengambil peran dalam pembangunan Merasa membutuhkan kemandirian Mendalami pengetahuan pada tingkat lebih tinggi Memperkaya variasi ketrampilan Berposisi secara mandiri untuk membangun diri dan lingkungan
Sumber: Sulistiyani, 2004

2.2.7 Elemen-elemen Pemberdayaan Masyarakat Menurut Bartle (2002), ada 16 (enam belas) elemen kekuatan atau pemberdayaan masyarakat yang dapat digunakan untuk menilai proses pemberdayaan masyarakat, yaitu: 1) Mendahulukan kepentingan umum, yaitu porsi dan tingkat kesiapan individu mengorbankan kepentingan mereka sendiri untuk kepentingan seluruh masyarakat (yang terlihat dari tingkat kedermawanan, kemanusiaan, individu, pengorbanan personal, kebanggaan masyarakat, saling mendukung, setia, perduli, persahabatan, persaudaraan). 2) Kesamaan nilai, yaitu tingkatan dimana anggota masyarakat membagi nilai, khususnya ide yang berasal dari anggota masyarakat yang menggantikan kepentingan anggota dalam masyarakat. 3) Layanan masyarakat, yaitu fasilitas dan layanan (seperti jalan, pasar, air minum, jalur pendidikan, layanan kesehatan), yang dipelihara secara berkelanjutan dan tingkat akses semua anggota masyarakat pada semua fasilitas dan layanan. 4) Komunikasi dalam masyarakat, dan diantara masyarakat dengan pihak luar. Komunikasi termasuk jalan, metode elektronika (seperti telpon, radio, TV, internet), media cetak (koran, majalah, buku), jaringan kerja, bahasa yang dapat saling dimengerti, kemampuan tulis baca serta kemampuan berkomunikasi secara umum. 5) Percaya diri, meskipun percaya diri diekspresikan secara individual, namun seberapa banyak rasa percaya diri itu dibagikan diantara semua masyarakat? misalnya suatu kesepahaman dimana masyarakat dapat memperoleh harapan, sikap positif, keinginan, motivasi diri, antusiasme, optimisme, mandiri, keinginan untuk memperjuangkan haknya, menghindari sikap masa bodoh dan pasrah, dan memiliki tujuan terhadap sesuatu yang mungkin dicapai. 6) Keterkaitan (politis dan administrative), suatu lingkungan yang mendukung penguatan yang bersifat politis (termasuk nilai dan sikap pemimpin nasional, hukum dan legislative) dan elemen administrative (sikap dari pegawai dan

teknisi sipil, sebaik peraturan dan prosedur pemerintah), dan lingkungan hukum. 7) Informasi, kemampuan untuk mengolah dan menganalisa informasi, tingkat kepedulian, pengetahuan dan kebijaksanaan yang ditemukan diantara individu dan dalam kelompok secara keseluruhan terhadap informasi lebih efektif dan berguna, tidak sekedar volume dan besaran. 8) Rintangan, pengembangan dan efektivitas pergerakan (perpindahan, pelatihan manajemen, munculnya kepedulian, rangsangan) apakah ditujukan pada perkuatan masyarakat? Apakah sumber dana dari dalam dan luar meningkatkan tingkat kebergantungan dan kelemahan masyarakat, atau menantang masyarakat untuk bertindak menjadi lebih kuat? Dan apakah rintangan itu bersifat berkelanjutan atau bergantung pada sepanjang pengambilan keputusan oleh pendonor dari luar yang memiliki sasaran dan agenda yang berbeda dari masyarakat itu sendiri?. 9) Kepemimpinan, pemimpin-pemimpin memiliki kekuatan, pengaruh, dan kemampuan untuk mengerakkan masyarakat. Pemimpin yang paling efektif dan berkelanjutan adalah salah satu yang menyerap aspirasi masyarakat, memiliki kedudukan dan penentu kebijakan. Pemimpin harus memiliki keahlian, kemauan, kejujuran dan beberapa karisma. 10) Jaringan kerja, tidak hanya apa masyarakat ketahui tapi juga siapa diketahui. Apakah anggota masyarakat atau khususnya pemimpin mereka mengetahui orang-orang (dan badan atau organisasi mereka) yang dapat menyediakan sumber yang bermanfaat yang akan memperkuat masyarakat secara keseluruhan? Serta memanfaatkan hubungan, potensi dan kebenaran, dalam masyarakat dan dengan yang lainnya di luar masyarakat. 11) Organisasi, adalah kondisi bukan sebatas perkumpulan individu, melainkan hingga integritas organisasi, struktur, prosedur, pengambilan keputusan, proses, efektifitas, divisi tenaga kerja dan kelengkapan peran dan fungsi. 12) Kekuatan politik, tingkatan dimana masyarakat dapat berperan dalam pengambilan keputusan daerah dan nasional. Namun sebagai individu yang memiliki kekuatan yang beragam dalam suatu masyarakat, sehingga masyarakat memiliki kekuatan dan pengaruh yang beragam dalam daerah dan nasional. 13) Keahlian, kemampuan (kemampuan teknis, kemampuan manajemen, kemampuan berorganisasi, kemampuan mengarahkan) yang ditunjukkan oleh individu yang akan berkontribusi bagi organisasi masyarakat sehingga mereka mampu menyelesaikan apa yang mereka ingin selesaikan. 14) Kepercayaan, tingkat kepercayaan dari masing-masing anggota masyarakat tehadap sesamanya, khususnya pemimpin dan abdi masyarakat, yang merupakan pantulan dari tingkat integritas (kejujuran, ketergantungan, keterbukaan, transparansi, azas kepercayaan) dalam masyarakat. 15) Keselarasan, pembagian rasa kepemilikan pada kelompok yang menyusun masyarakat, meskipun setiap masyarakat memiliki divisi atau perbedaan (agama, kelas, status, penghasilan, usia, jenis kelamin, adat, suku), tingkat toleransi anggota masyarakat yang berbeda dan bervariasi antara satu dan lainnya dan keinginan untuk bekerjasama dan bekerja bersama-sama, suatu rasa kesamaan tujuan atau visi, perataan nilai. 16) Kekayaan, tingkat pengendalian masyarakat secara keseluruhan (berbeda pada individu dalam masyarakat) terhadap semua sumber daya potensial dan sumber daya actual, dan produksi dan penyaluran barang dan jasa yang jarang dan bermanfaat, keuangan dan non keuangan (termasuk sumbangan tenaga kerja,

tanah, peralatan, persediaan, pengetahuan, keahlian). Semakin banyak masyarakat memiliki setiap elemen di atas, semakin kuat masyarakat, semakin besar kemampuan yang dimilikinya, dan semakin berdaya mereka. 2.3 Pengembangan Wilayah dan Pengelolaan Pembangunan Muchdie, dkk. ed. (2001:3-4) menjelaskan bahwa pembangunan atau pengembangan dalam arti development, bukanlah suatu kondisi atau suatu keadaan yang ditentukan oleh apa yang dimiliki manusianya, dalam hal ini penduduk setempat. Sebaliknya pengembangan itu adalah kemampuan yang ditentukan oleh apa yang dapat mereka lakukan dengan apa yang mereka miliki, guna meningkatkan kualitas hidupnya dan juga kualitas hidup orang lain. Jadi pengembangan harus diartikan sebagai suatu keinginan untuk memperoleh perbaikan, serta kemampuan untuk merealisasikannya. Sedangkan pengertian wilayah didefinisikan sebagai suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara internal. Wilayah dapat dibagi menjadi 4 jenis yaitu: (1) wilayah homogen; (2) wilayah nodal; (3) wilayah perencanaan; dan (4) wilayah administratif (Budiharsono, 2001:14). Wilayah administratif adalah wilayah yang batas-batasnya ditentukan berdasarkan kepentingan administrasi pemerintahan atau politik. Di Indonesia pengertian wilayah secara administratif melingkupi suatu negara, propinsi, kabupaten, kecamatan atau desa. Sementara itu menyangkut dengan pengelolaan jika mengacu pada teori manajemen (Siregar, dkk, 1987: 16-21), maka dalam proses pengelolaan terdapat berbagai rangkaian kegiatan yang perlu diperhatikan yang meliputi : 1. Penetapan tujuan (goal setting), yang merupakan tahapan paling awal dalam proses pengelolaan. Efektivitas pencapaian tujuan tersebut, selain ditentukan oleh kemampuan pengelolaan, juga ditentukan oleh sifat-sifat dari tujuan itu sendiri, yang harus memenuhi sifat-sifat seperti spesifik, realitas, terukur dan mempunyai batas waktu yang jelas. 2. Planning, sebagai proses pemilihan informasi dan pembuatan asumsi-asumsi mengenai keadaan di masa yang akan datang untuk merumuskan kegiatankegiatan yang perlu dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan. 3. Staffing, dalam proses ini berkenaan dengan rekruitmen, penempatan, pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia dalam organisasi. Pada dasarnya prinsip ini menempatkan orang yang sesuai pada tempat yang sesuai dan pada saat yang tepat (right people, right position, right time). 4. Directing, yaitu usaha manusia untuk memobilisasi sumber-sumber daya yang dimiliki oleh organisasi agar dapat bergerak dalam satu kesatuan sesuai dengan rencana yang telah dibuat. 5. Supervising, sebagai instruksi langsung antara individu-individu dalam suatu organisasi untuk mencapai kinerja kerja serta tujuan organisasi tersebut. 6. Pengendalian (controlling), terhadap penetapan apa yang telah dicapai, yaitu proses evaluasi kinerja, dan jika diperlukan dilakukan perbaikan sesuai dengan yang telah ditetapkan. Sarana prasarana merupakan sektor pembangunan yang sangat penting bagi kelengkapan lingkungan dan aktivitas masyarakat. Menurut UU No. 4 tahun 1992 tentang perumahan dan permukiman, pengertian prasarana adalah kelengkapan dasar fisik suatu lingkungan, kawasan, kota atau wilayah (spatial space) sehingga memungkinkan ruang tersebut berfungsi sebagaimana mestinya. Sedangkan sarana

adalah fasilitas penunjang yang berfungsi untuk penyelengaraan dan pengembangan kehidupan sosial, ekonomi dan budaya. Menurut Nurmandi (1999: 214) jenis prasarana yang termasuk prasarana publik meliputi jaringan jalan, transportasi umum, sistem air bersih, sistem air limbah, manajemen persampahan, jaringan drainase dan pencegahan banjir, instalasi listrik dan telepon. Sementara itu prasarana jalan lingkungan merupakan jalan penghubung antar lingkungan dengan lebar antara 3-5 meter, konstruksi jalan dapat berupa jalan perkerasan pasir batu, beton, aspal maupun paving, pada kedua sisi jalan dapat dilengkapi dengan saluran. Sedangkan prasarana saluran lingkungan (drainase) merupakan saluran pematusan lingkungan dari air hujan maupun banjir dan sering pula dimanfaatkan sebagai saluran pembuang limbah tangga. Jenis dari saluran drainase ini sesuai dengan sifat dan fungsinya terdiri dari drainase primer, sekunder dan tersier (Ditjen Cipta karya, Dep. PU). Prasarana berfungsi untuk melayani dan mendorong terwujudnya lingkungan pemukiman dan lingkungan usaha yang optimal sesuai dengan fungsinya. Upaya memperbaiki dan mengembangkan lingkungan membutuhkan keseimbangan antara tingkat pelayanan yang ingin diwujudkan dengan tingkat kebutuhan dari masyarakat pengguna dan manfaat prasarana dalam suatu wilayah/ kawasan pada suatu kawasan tertentu, keseimbangan antara kedua hal tersebut akan mengoptimalkan pemakaian sumber daya yang terbatas (Diwiryo, 1996:1). Penyediaan sarana prasarana pemukiman merupakan salah satu aspek pengembangan wilayah yang pengelolaannya melibatkan berbagai stakeholder. Masyarakat dapat terlibat langsung dalam setiap tahapan pengelolaan (perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan dan pemantauan) pembangunan sarana prasarana, namun dalam ruang lingkup yang relatif terbatas. Dalam Program Pengembangan Kecamatan (PPK) pasca tsunami, untuk pengambilan keputusan prioritas kegiatan pembangunan yang terdanai berada dalam lingkup kecamatan namun untuk pelaksanaan pembangunan sarana prasarana dapat dilakukan dalam suatu wilayah desa atau antar desa. 2.4 Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan Wilayah Pengembangan wilayah merupakan usaha memberdayakan suatu masyarakat yang berada di suatu daerah untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat di sekeliling mereka dengan menggunakan teknologi yang relevan dengan kebutuhan, dan bertujuan meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang bersangkutan (Muchdie, dkk ed. 2001: 20). 2.4.1 Pemberdayaan Masyarakat dalam Pembangunan Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan, memiliki perspektif yang lebih luas. Pearse dan Stieffel (dalam Prijono, 1996:63) mengatakan bahwa menghormati kebhinnekaan, kekhasan lokal, dekonsentrasi kekuatan, dan peningkatan kemandirian merupakan bentuk-bentuk pemberdayaan partisipatif. Hasil Konferensi Habitat Agenda tingkat dunia yang diadakan di Istambul Turki tahun 1996 menekankan perlunya pemberdayaan masyarakat yang secara tegas menyatakan ada keabsahan dan penting bagi berbagai bentuk keterlibatan masyarakat dalam mencapai pembangunan pemukiman yang berkelanjutan. 2.4.1.1 Partisipasi Masyarakat Menurut Parwoto (1997), partisipasi merupakan pelibatan diri secara penuh pada suatu tekad yang telah menjadi kesepakatan bersama antar anggota dalam satu kelompok/antar kelompok sampai dengan skala nasional dan merupakan bagian

tidak terpisahkan dari landasan konstitusional Negara Republik Indonesia maka partisipasi dapat disebut sebagai Falsafah Pembangunan Indonesia. Dengan demikian sudah sewajarnya bila tiap pembangunan haruslah menerapkan konsep partisipasi dan tiap partisipasi harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut, yaitu: proaktif atau sukarela (tanpa disuruh), adanya kesepakatan yang diambil bersama oleh semua pihak yang terlibat dan yang akan terkena akibat kesepakatan tersebut, adanya tindakan mengisi kesepakatan tersebut dan adanya pembagian kewenangan dan tanggungjawab dalam kedudukan yang setara antar unsur/pihak yang terlibat. Penerapan konsep partisipasi tersebut dalam pembangunan kemudian disebut sebagai pembangunan partisipatif, yaitu pola pembangunan yang melibatkan berbagai pelaku pembangunan yang berkepentingan (sektor pemerintah, swasta dan masyarakat yang akan langsung menikmati/terkena akibat pembangunan) dalam suatu proses kemitraan dengan menerapkan konsep partisipasi, dimana kedudukan masyarakat adalah sebagai subyek pembangunan dan sekaligus sebagai obyek dalam menikmati hasil pembangunan. Pembangunan partisipatif ini mempertemukan perencanaan makro yang berwawasan lebih luas dengan perencanaan mikro yang bersifat kontekstual sehingga pembangunan mikro akan merupakan bagian tidak terpisahkan dari seluruh perencanaan makro. Pembangunan partisipatif juga mempertemukan pendekatan dari atas (top-down), dimana keputusan-keputusan dirumuskan dari atas dan pendekatan dari bawah (bottom-up), yang menekankan keputusan di tangan masyarakat yang kedua-duanya memiliki kelemahan masing-masing. Dalam pembangunan partisipatif keputusan merupakan kesepakatan antar pelaku yang terlibat. Partisipasi masyarakat menurut PPB (United Nations dalam Midgley, 1986) adalah menciptakan kesempatan yang memungkinkan seluruh anggota masyarakat secara aktif mempengaruhi dan memberi kontribusi pada proses pembangunan dan berbagi hasil pembangunan secara adil. Demikian juga menurut Panudju (1996) partisipasi masyarakat sangat erat kaitannya dengan kekuatan atau hak masyarakat terutama dalam pengambilan keputusan dalam tahap identifikasi masalah, mencari pemecahan masalah sampai dengan pelaksanaan berbagai kegiatan. Dengan demikian, dalam partisipasi harus melibatkan masyarakat mulai dari tahap: pembuatan keputusan, penerapan keputusan, penikmatan hasil, dan evaluasi (Cohen & Uphoff, 1980: 215-223) Menurut Cooke dan Kothari ed. (2002:37) yang mengacu pada pendapat beberapa ahli mengemukakan bahwa partisipatori (partisipasi masyarakat) seringkali dibedakan menjadi dua kutub, yaitu kutub efisiensi dan kutub pemerataan dan pemberdayaan. Kutub pertama menekankan bahwa partisipasi adalah alat untuk mencapai hasil proyek/kegiatan yang lebih baik, sedangkan kutub kedua menekankan bahwa partisipasi merupakan proses untuk meningkatkan kemampuan individu agar mampu meningkatkan atau merubah kehidupan mereka sendiri. Lebih lanjut menurut Soetrisno (1995:221) ada dua jenis definisi partisipasi yang beredar dalam masyarakat, yaitu : definisi pertama adalah definisi yang diberikan oleh para perencana pembangunan formal di Indonesia. Definisi partisipasi jenis ini mengartikan partisipasi rakyat dalam pembangunan sebagi dukungan rakyat terhadap rencana /proyek pembangunan yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh perencana. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi diukur dengan kemampuan rakyat ikut menanggung biaya pembangunan, baik berupa uang maupun tenaga dalam melaksanakan proyek pembangunan pemerintah, dan definisi

kedua yang ada dan berlaku universal adalah partisipasi rakyat dalam pembangunan merupakan kerjasama yang erat antara perencana dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai. Menurut definisi ini tinggi rendahnya partisipasi rakyat dalam pembangunan tidak hanya diukur dengan kemauan rakyat untuk menanggung biaya pembangunan tetapi juga ada tidaknya hak rakyat untuk menentukan arah dan tujuan proyek yang akan dibangun di wilayah mereka. Ukuran lain yang dipakai oleh definisi ini dalam mengukur tinggi rendahnya partisipasi rakyat adalah ada tidaknya kemauan rakyat untuk secara mandiri melestarikan dan mengembangkan hasil proyek itu. 2.4.1.2 Kapasitas Masyarakat Menurut Tim Studi Pengkajian Kebutuhan Pengembangan Kapasitas bagi Pemerintah Daerah, Kerjasama antara BAPPENAS dan Departemen dalam Negeri dan Otonomi Daerah (1999-2000), dinyatakan bahwa pengertian kapasitas sebagai berikut: Kapasitas adalah kemampuan seseorang atau individu, suatu organisasi atau suatu sistem untuk melaksanakan tugas dan fungsi-fungsi atau kewenangannya untuk mencapai tujuan-tujuannya secara efektif dan efisien. Hal ini harus didasarkan pada pengkajian terus menerus kondisi-kondisi kerangka (framework conditions), dan pada suatu penyesuaian dinamis dari fungsi-fungsi dan tujuantujuan. Kapasitas harus dilihat sebagai kemampuan untuk mencapai kinerja, untuk menghasilkan keluaran-keluaran (outputs) dan hasil-hasil (outcomes). Menurut Soenarno (2002:3) kata komunitas (masyarakat yang berkelompok) dan partisipasi merupakan pasangan yang selalu akan muncul ketika membicarakan komunitas dalam pembangunan. Keduanya selalu muncul dan pengertiannya saling mengisi dan menggantikan. Karenanya dalam membahas kapasitas pembangunan suatu komunitas mungkin kita dapat mengartikannya sebagai seberapa besar tingkat partisipasi yang mungkin dilakukan atau diambil oleh suatu komunitas. Dalam hal ini kapasitas pembangunan dapat dilihat sebagai kemampuan didalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya, baik alam maupun sosial, dengan teknologi yang ada untuk memenuhi kebutuhan pengembangan fisik dan sosial kehidupan manusia. Ada beberapa aspek yang menentukan kapasitas komunitas dan keterlibatannya dalam pembangunan yakni ketersediaan pranata, sumberdaya manusia dan kondisi yang menunjang. 2.4.1.3 Perilaku Manusia Perilaku atau aktivitas-aktivitas individu dapat dilihat dari sudut pandang secara behavioristis dan kognitif. Secara behavioristis disebutkan bahwa perilaku atau aktivitas individu tidak muncul dengan sendirinya, tetapi sebagai akibat dari stimulus yang diterima oleh individu yang bersangkutan baik stimulus eksternal maupun internal. Perilaku sebagai respon terhadap stimulus sangat ditentukan oleh keadaan stimulusnya dan individu tersebut tidak mempunyai kemampuan untuk menentukan perilakunya, sehingga bersifat mekanistis. Sementara menurut pandangan secara kognitif, yaitu memandang perilaku individu sebagai respon dari stimulus, dan dalam diri individu tersebut ada kemampuan untuk menentukan perilaku yang diambilnya. Hubungan antara stimulus dan respon tidak berlangsung secara otomatis, tetapi individu mengambil peran dalam menentukan perilakunya.(Walgito,2003:13-14). 2.4.2 Pemberdayaan Masyarakat dalam Wacana Kemiskinan Chambers (1983: 113-114) menyatakan bahwa penyebab kemiskinan sebagai suatu kompleksitas serta hubungan sebab-akibat yang saling berkaitan dari

ketidakberdayaan (powerlessness), kerapuhan (vulnerability), kelemahan fisik (physical weakness), kemiskinan (poverty), dan keterasingan (isolation). Sementara Kabeer (1994), berpendapat bahwa ketidakberdayaan bukan mengarah pada tidak adanya kekuatan sama sekali, akan tetapi pada kenyataannya yang tampaknya hanya memiliki sedikit kekuatan ternyata justru mampu untuk bertahan menggulingkan dan kadang-kadang mentransformasikan kondisi hidup mereka. Jadi kekuatan itu ada, hanya saja perlu untuk ditampakkan dan dikembangkan. Pendapat Kabeer tersebut didasarkan pandangan Talcott Parson (1960) yang membedakan kekuasaan (power) menjadi dua dimensi, yaitu distributif dan generatif. Dimensi distributif kekuasaan diartikan sebagai kemampuan seseorang atau kelompok untuk memaksakan kehendak mereka pada orang lain. Sedangkan dimensi generatif kekuasan merupakan tindakan-tindakan yang memungkinkan masyarakat atau unit sosial untuk meningkatkan kemampuannya mengubah masa depan mereka yang dilakukan atas pilihan mereka sendiri. Dimensi generatif kekuasaan dapat diciptakan melalui organisasi sosial dan kelompok kaum marginal untuk mendorong proses perubahan sosial yang memungkinkan mereka untuk memberi pengaruh yang lebih besar terhadap lingkup kehidupan mereka pada tingkat local maupun nasional. Mengatasi kemiskinan pada hakekatnya merupakan upaya memberdayakan orang untuk dapat mandiri baik dalam pengertian ekonomi, sosial maupun politik. Disamping itu semakin tinggi akses ekonomi yang dimiliki sehingga pada akhirnya mereka diharapkan dapat mandiri dalam mengatasi problem kemiskinan yang dihadapi. Masyarakat dalam kondisi tidak berdaya karena masyarakat dalam situasi struktural yang tidak memperoleh kesempatan secara bebas untuk memuaskan aspirasi dan merealisasi potensi mereka dalam menangani masalah sosial (Harry, 2001). Dengan demikian pengertian pemberdayaan dalam arti luas dapat diterjemahkan sebagai perolehan kekuatan dan akses terhadap sumber daya untuk mencari nafkah. Sumber :

wacana Peningkatan Fungsi Dan Peran LPMN Pessel


print send pdf Senin, 11 Februari 2013 | 20:17:00 WIB

PAINAN, Februari 2013. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Nagari (LPMN) di Kabupaten Pesisir Selatan perlu ditingkatkan fungsi dan perannya. Berdasarkan Permendagri no 66 tahun 2006 lembaga ditingkat desa (nagari-red) memiliki peran strategisnya di masyarakat terutama untuk pelaksanaan pembangunan di nagari. Hanya saja selama ini LPMN belum mendapat tempat sebagai diamanahkan Permendagri 66 tahun 2006 tersebut. Misalnya peran pemberdayaan dan pendampingan dalam setiap tahapan perencanaan pembangunan, idealnya harus dilaksanakan oleh lembaga tersebut. Hal itu dikatan Kepla BPMNKBPr Mawardi Roska Mawardi Roska menyebutkan, LPMN sudah terbentuk di Pesisir Selatan sejak lama. Bahkan diakuinya LPMN selain ditingkat nagari juga telah dibentuk Kelompok Kerja LPMN ditingkat kampung, pembentukan dilakukan beberapa tahun lalu berdasarkan perintah Bupati. Mulai tahun ini, lewat kegiatan integrasi perencanaan pembangunan, LPMN sesuai dengan Permendagri diberikan fungsi fungsinya tersebut secara penuh. "Artinya perencanaan di tingkat nagari dan kampung diberikan kewenangan kepada LPMN yang ada. Jadi tidak adalagi istilah LPMN justeru tidak bisa berbuat apa-apa atau belum menampakkan kinerjanya," ujarnya. Sementara itu terkait dengan adanya integrasi perencanaan program reguler dan non reguler, Ketua Dewan Pimpinan Daerah Koalisi LPMN Kabupaten Pesisir Selatan Entoh Tohidin ketika dikonfirmasi Haluan menyambut baik program dimaksud. "Artinya, jika di nagari perencanaan diserahkan ke LPMN, misalnya musrenbang nagari, maka LPMN dimata masyarakat tidak hanya sekedar numpang nama. Ruang dan kerja sama antar LPMN dengan Walinagari akan terjadi," ujar Entoh Tohidin. LPMN menurutnya, memang seharusnya berbuat banyak untuk berbagai hal di nagari. LPMN tidak boleh vakum kegiatannya. Padahal menurut Entoh Tohidin, LPMN sebenarnya punya banyak tanggung jawab cukup besar untuk terlaksananya pembangunan di Pesisir Selatan secara umum, dan di nagari - nagari secara khusus.(09)

Bupati Solok Drs. H. Syamsu Rahim, dalam pengarahannya pada pembukaan acara Pembinaan LPMN (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Nagari), bertempat di Gedung Pertemuan Solok Nan Indah Koto Baru, mengharapkan, eksistensi lembaga-lembaga yang ada di nagari perlu lebih dioptimalkan fungsi dan perannya, serta diharapkan menjadi mitra sinergis dengan pemerintahan nagari. Sebab, pemerintah nagari memiliki posisi strategis dalam pemberdayaan masyarakat dan kapasitasnya juga ditentukan oleh kemampuan dari lembaga-lembaga yang ada dan dibentuk di nagari dalam merumuskan dan menggali setiap potensi yang ada. Kemampuan lembaga yang ada di nagari seperti LPMN dalam melaksanakan fungsinya sebagai pemerintahan nagari dalam meruuskan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan memerlukan sebuah pembinaan yang berkelanjutan. Hal itu ditujukan agar LPMN mempunyai kapasitas dan kapabilitas dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Karena sebagai lembaga yang lebih bersifat pengabdian, seluruh anggota LPMN mestilah memiliki visi dan cara berfikir lebih jauh kedepan, berfikir bagaimana perencanaan pembangunan dapat diruuskan secara komprehensif melalui pemanfaatan semua potensi yang ada ditengah-tengah kehidupan masyarakat seperti semangat gotong royong yang selama ini telah tumbuh dan terus berkembang. Ditambahkan Syamsu Rahim, jika dikaitkan dengan rencana pembangunan lima tahun kedepan, Pemerintah Kabupaten Solok telah menetapkan visi, misi dan agenda pembangunan yang dirumuskan dalam RPJMD 201-2015, maka peran LPMN sebagai mitra pemerintahan nagari menjadi sangat penting dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan. Menurut Kepala Bidang PKPPM BPM Kabupaten Solok Jasra Arnoda, SH, MH, pesertanya terdiri dari Ketua LPMN dan Wali Nagari se-Kabupaten Solok, dengan narasumber yakni Taufik Efendi, S.Pd, MM (Kepala Bappeda Kabupaten Solok), Drs. H. Khairi Yusri, MM (Kepala BPM Kabupaten Solok), Zuarman (Kepala Bagian Tata Pemerintahan Umum Setda Kabupaten Solok), dan H. Fachri Azis (Ketua DPD LPMN Sumatera Barat). Taufik Efendi dalam paparannya mengemukakan, beberapa permasalahan kekinian dalam pembangunan daerah yakni 1) Kurangnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan, 2) Masyarakat pesimis terhadap kegiatan-kegiatan pembangunan oleh pemerintah, 3) Mulai terkikisnya sikap gotong royong dan proaktif sukarela masyarakat dalam kegiatan kemasyarakatan, 4) Masyarakat menganggap pembangunan bersifat fisik, dan 5) Kadang terdapat pertarungan kepentingan (politis, golongan tertentu dan lain-lain) sehingga merusak sistem pembangunan yang telah ditata. Karena proses pembangunan daerah sesungguhnya memilik tujuan utama untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, sehingga partisipasi dan peran aktif semua pihak (stake holders) adalah keniscayaan bagi tercapainya sasaran-sasaran pembangunan yang direncanakan.

Untuk itu menurut Taufik, perlu perubahan paradigma yakni dengan adanya pemahaman bersama bahwa pembangunan tidak semua akan menjadi beban pemerintah, akan tetapi dapat juga menjadi beban masyarakat termasuk di nagari, melalui kegiatan pemberdayaan dan swadaya masyarakat. Sedangkan Khairi Yusri dalam paparannya menjelaskan, bahwa LPMN adalah wadah yang dibentuk atas prakarsa masyarakat sebagai mitra Pemerintah Nagari dalam menampung dan mewujudkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat di bidang pembangunan. Maka dari segi kedudukan, LPMN merupakan organisasi kemasyarakatan yang bersifat lokal dan independen yang berlaku di nagari. Maka peran LPMN dalam kelembagaan ekonomi nagari dan kelembagaannya adalah memberdayakan potensi masyarakat melalui pengembangan kemampuan ekonomi nagari, seperti revolving, KMN, UEM-SP, P2SPP, Pos Pelayanan Teknologi Nagari (Posyantek), Badan Usaha Milik Nagari (BUMNag), dan fasilitasi kelompok-kelompok usaha ekonomi masyarakat, kata Khairi Yusri. Sementara fungsi LMPN menurut Khairi Yusri ada 4 yaitu, 1) Penanaman dan pemupukan rasa persatuan dan kesatuan masyarakat, 2) Mengkoordinasikan perencanaan pembangunan secara partisipatif dan terpadu, 3) Penggalian dan pemanfaatan sumber daya alam dan masyarakat untuk pembangunan, dan 4) Penanaman dan pemupukan nilai-nilai agama, adat dan budaya. - See more at: http://sumbaronline.com/berita-13033-eksistensi-lembaga-di-nagari-perludioptimalkan.html#sthash.beJ0LqPO.dpuf

Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Nagari (LPMN) merupakan organisasi kemasyarakatan yang bersifat lokal dan independen yang berkedudukan di nagari, yang bertugas menyusun rencana pembangunan partisipatif di nagari, menggerakkan swadaya gotong royong masyarakat, melaksanakan dan mengendalikan pembangunan, serta memberdayakan potensi masyarakat.
Sekaitan dengan fungsi yang dimiliki LPMN dalam mengkoordinasikan perencanaan pembangunan secara partisipatif, maka hubungan kerjanya dengan Wali Nagari, Badan Musyawarah Nagari (BMN), Majelis Tigo Tungku Sajarangan (MTTS), Kerapatan Adat Nagari (KAN). Berdasarkan hal tersebutlah, maka Wali Nagari, Ketua dan Anggota BMN, Ketua MTTS dan Ketua KAN tidak dapat diangkat menjadi Ketua atau pengurus LPMN sekaitan dengan fungsi dan garis koordinasinya. Menyadari bahwa LPMN sebagai ujung tombak, maka BPM akan mengintensifkan pertemuan-pertemuan dan pembinaan-pembinaan terhadap LPMN sekaitan dengan kebijakan BPM untuk tidak membolehkan lagi pembangunan Gedung Serbaguna dari dana PNPM, karena hal itu tidak signifikan dengan tujuannya dalam rangka penanggulangan kemiskinan. Pendapat tersebut dikemukakan Kepala BPM Kabupaten Solok Drs. H. Khairi Yusri, MM dalam kegiatan Pertemuan LPMN yang dihadiri oleh 74 orang Ketua LPMN se-Kabupaten Solok, di Aula Sanggar PKK Arosuka, Kamis (15/12). Saat ini BPM lebih mengarahkan PNPM kepada peningkatan kapasitas dengan program-program pelatihan yang dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui kegiatan yang bersifat life skill. Menurut Khairi Yusri, ada beberapa nagari yang sudah ada LPMN yang memberikan arahan kepada peningkatan kapasitas seperti program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS), dan program yang bersifat life skill dengan memberikan pelatihan keterampilan menjahit kepada generasi muda. Ini merupakan salah satu bentuk dari kiprah LPMN di daerahnya. "Giatnya Bupati melaksanakan MTTS mendorong LPMN untuk lebih kreatif dan inovatif dalam menyikapi persoalan-persoalan di nagari, karena LPMN diharapkan untuk dapat merumuskan memberikan masukan terhadap permasalahan dalam forum MTTS di nagarinya masing-masing," jelas Khairi Yusri pada www.sumbaronline.com, hari ini. Sementara itu para peserta mengharapkan agar ada penambahan uang transport, mengingat beratnya pekerjaan yang harus mereka lakukan dilapangan. Namun mereka juga berterima kasih dengan adanya kepedulian Kepala BPM yang sekarang terhadap keberadaan LPMN yang sejak 2007 keberadaan mereka kurang diperhatikan bahkan hampir tidak diperhatikan. Hal itu hampir senada dengan yang disampaikan oleh Ketua DPD LPMN Kabupaten Solok Syamsir. Menurutnya, sejak tahun 2007 baru sekarang BPM melaksanakan pertemuan dengan LPMN di Kabupaten Solok. "Awal keberadaannya organisasi LPMN dalam bentuk asosiasi, tapi sesuai dengan hasil Rakernas LPM yang diikutinya tahun 2010 di Jakarta, dirubah menjadi DPD LPMN," pungkasnya.

- See more at: http://www.sumbaronline.com/berita-8127-lpmn-sebagai-ujung-tombak-bpm.html#sthash.VyBHQWrr.dpuf

Anda mungkin juga menyukai