Anda di halaman 1dari 83

A.

Berpikir Berpikir merupakan suatu kegiatan mental yang dialami seseorang bila mereka dihadapkan pada suatu masalah atau situasi yang harus dipecahkan. Siswono (2007) berpendapat bahwa berpikir merupakan proses yang dinamis yang dapat dilukiskan menurut proses atau jalannya. Proses berpikir itu pada pokoknya terdiri dari 3 langkah, yaitu pembentukan pengertian, pembentukan pendapat, dan penarikan kesimpulan. Pandangan ini menunjukkan bahwa jika seseorang dihadapkan pada suatu situasi, maka dalam berpikir, orang tersebut akan menyusun hubungan antara bagian-bagian informasi yang direkam sebagai pengertian-pengertian. Kemudian orang tersebut membentuk pendapat-pendapat yang sesuai dengan pengetahuannya. Setelah itu, ia akan membuat kesimpulan yang digunakan untuk membahas atau mencari solusi dari situasi tersebut. Ruggiero (1998) mengartikan berpikir sebagai suatu aktivitas mental untuk membantu memformulasikan atau menyelesaikan suatu masalah, membuat suatu keputusan, atau memenuhi hasrat keingintahuan (fulfill a desire to understand). Pendapat ini menunjukkan bahwa ketika seseorang merumuskan suatu masalah, menyelesaikan masalah, ataupun ingin memahami sesuatu, maka ia melakukan suatu aktivitas berpikir. Berpikir sebagai suatu kemampuan mental seseorang dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, antara lain berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif. Berpikir logis dapat diartikan sebagai kemampuan berpikir mahasiswa untuk menarik kesimpulan yang sah menurut aturan logika dan dapat membuktikan bahwa kesimpulan itu benar (valid) sesuai dengan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya yang sudah diketahui. Berpikir analitis adalah kemampuan berpikir mahasiswa untuk menguraikan, memperinci, dan menganalisis informasi-informasi yang digunakan untuk memahami suatu pengetahuan dengan menggunakan akal dan pikiran yang logis, bukan berdasar perasaan atau tebakan. Berpikir sistematis adalah kemampuan berpikir mahasiswa untuk mengerjakan atau menyelesaikan suatu tugas sesuai dengan urutan, tahapan, langkah-langkah, atau perencanaan yang tepat, efektif, dan efesien. Ketiga jenis berpikir tersebut saling berkaitan. Seseorang untuk dapat dikatakan berpikir sistematis, maka ia perlu berpikir secara analitis untuk memahami informasi

yang digunakan. Kemudian, untuk dapat berpikir analitis diperlukan kemampuan berpikir logis dalam mengambil kesimpulan terhadap suatu situasi. Menurut Crawford & Brown (2002) berpikir tingkat tinggi (higher order thinking) merupakan gabungan dari berpikir kritis, berpikir kreatif, dan berpikir pengetahuan dasar. Thomas, Thorne & Small (2001) menyatakan bahwa berpikir tingkat tinggi menempatkan aktivitas berpikir pada jenjang yang lebih tinggi dari sekedar menyatakan fakta. Dalam berpikir tingkat tinggi, yang menjadi perhatian adalah apa yang akan dilakukan terhadap fakta. Kita harus memahami fakta, menghubungkan fakta satu dengan fakta yang lain, mengkategorikan, memanipulasi, menggunakannya bersama dalam situasi yang baru dan menerapkannya dalam mencari penyelesaian baru terhadap masalah baru. Thomas, Thorne & Small (2001) juga menyatakan delapan aspek yang berasosiasi dengan berpikir tingkat tinggi, yaitu (1) tidak ada seorangpun yang dapat berpikir sempurna atau tidak dapat berpikir sepanjang waktu, (2) mengingat sesuatu tidak sama dengan berpikir tentang sesuatu itu, (3) mengingat sesuatu dapat dilakukan tanpa memahaminya, (4) berpikir dapat diwujudkan dalam kata dan gambar, (5) terdapat tiga tipe intelegensi dan berpikir yaitu analitis, kreatif dan praktis, (6) ketiga intelegensi dan cara berpikir tersebut berguna dalam kehidupan sehari-hari, (7) keterampilan berpikir dapat ditingkatkan dengan memahami proses yang terlibat dalam berpikir, serta (8) metakognisi (berpikir tentang berpikir) adalah bagian berpikir tingkat tinggi. Berpikir kritis dan berpikir kreatif merupakan perwujudan dari berpikir tingkat tinggi (higher order thinking). Hal tersebut karena kemampuan berpikir tersebut merupakan kompetensi kognitif tertinggi yang perlu dikuasai mahasiswa di kelas. Berpikir kritis dapat dipandang sebagai kemampuan berpikir mahasiswa untuk membandingkan dua atau lebih informasi, misalkan informasi yang diterima dari luar dengan informasi yang dimiliki. Bila terdapat perbedaan atau persamaan, maka ia akan mengajukan pertanyaan atau komentar dengan tujuan untuk mendapatkan penjelasan. Berpikir kritis sering dikaitkan dengan berpikir kreatif. Siswono (2007) memberi batasan bahwa berpikir kreatif (pemikiran kreatif) adalah suatu rangkaian tindakan yang dilakukan orang dengan menggunakan akal budinya untuk menciptakan buah pikiran baru dari kumpulan ingatan yang berisi berbagai ide,

keterangan, konsep, pengalaman, dan pengetahuan. Pengertian ini menunjukkan bahwa berpikir kreatif ditandai dengan penciptaan sesuatu yang baru dari hasil berbagai ide, keterangan, konsep, pengalaman, maupun pengetahuan yang ada dalam pikirannya. B. Berpikir Kritis Asal mula berpikir kritis dapat ditelusuri kembali pada awal abad filosofi Plato dan Aristoteles dan Sokrates dalam mengajar di Yunani. Pentingnya berpikir kritis menjadi jelas pada awal era pendidikan modern berkat Dewey yang menggambarkan kemampuan berpikir kritis sebagai cara untuk menemukan pengertian di dunia dimana manusia hidup. Langkah pertama dalam memahami pergerakan berpikir kritis adalah menemukan karakteritik penting dari berpikir kritis. Pendukung pergerakan berpikir kritis mengungkapkan sejumlah alasan untuk mengajarkan berpikir kritis. Alasan yang umum adalah refleksi perubahan pola-pola ekonomi yang meninggalkan peradaban masyarakat industrial menuju peradaban yang mengharuskan tenaga kerja menyelesaikan masalah-masalah kompleks (Bloom, 1956; Reich, 1992; Paul, 1993; Nickerson, 1987 dalam Reece, 2002). Alasan yang lain adalah keterampilan berpikir kritis diperlukan dalam kehidupan manusia sehari-hari dalam segala bidang. Berpikir kritis tidak efektif diajarkan dalam lingkungan sekolah tradisional yang mengandalkan peran memorisasi dan metode mengajar didaktis (Kennedy, 1991; Paul, 1993;Schrag, 1988; Nickerson, 1987 dalam Reece, 2002). Oleh karena itu, para pendukung pergerakan berikir kritis mengembangkan beragam program untuk mengajarkan berpikir kritis. Tema umum dalam pergerakan berpikir kritis adalah keterampilan berpikir kritis melibatkan kemampuan mengambil keputusan yang bernalar dalam situasi yang kompleks. Pergerakan ini menekankan pada knowing how daripada knowing what. Oleh karena itu, usaha membantu individu memperoleh kemampuan tersebut membutuhkan kesadaran diri sebagai bagian usaha dari pendidik untuk menggali berpikir kritis dengan memanfaatkan metode daripada peran sederhana memorisasi dan pengajaran didaktik.

Bloom dan koleganya (1956) mengidentifikasi 6 kategori utama keterampilan kognitif yaitu pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), aplikasi (application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation). Salah satu alasan konstruksi ini adalah keterampilan yang lebih rendah dibutuhkan agar kterampilan yang lebih tinggi dapat digunakan. Pemahaman membutuhkan pengetahuan. Berpikir kritis dalam pandangan Bloom adalah memperoleh penguasaan keterampilan-keterampilan kognitif tersebut dan memilih teknik yang tepat ketika menghadapi situasi yang baru. Kekuatan utama taksonomi Bloom adalah taksonomi tersebut logis dan hierarkis, membimbing pendidik dalam proses menumbuhkan keterampilan kognitif yang paling ederhana menuju keterampilan kognitif yang paling kompleks. Selain itu, Taksonomi Bloom mudah dalam mengevaluasi penguasaan keterampilan kognitif tersebut karena keterampilan kognitif telah dijabarkan dalam perilaku khusus. Taksonomi Bloom tidak lepas dari kelemahan. Menurut Paul (dalam Reece, 2002) secara historis, banyak guru yang menggunakan Taksonomi Bloom seperti buku panduan memasak tanpa mempraktekkan keterampilan berpikir kritis pada diri mereka. Paul juga mengkritisi Taksonomi Bloom karena terlalu memberikan perhatian yang lebih pada pengingatan dan meminta adanya kenetralan. Paul mempercayai bahwa berpikir kritis dapat digunakan untuk mencapai nilai pengambilan keputusan yang penting. Kelemahan selanjutnya adalah Taksonomi Bloom mengabaikan berpikir kritis yang dinamis. Berpikir kritis tidak hanya kumpulan keterampilan tetapi juga karakteristik tertentu untuk menggunakan keterampilan kognitif. Karakteristik tidak dapat diajarkan seperti keterampilan, tetapi karakteristik hanya dapat digali melalui sejumlah aktivitas. Sejumlah pendukung berpikir kritis mengelompokkan kemampuan dan karakteristik yang diperlukan dalam berpikir kritis. Penelitian tentang berpikir kritis merupakan hal yang khusus karena melibatkan 3 tradisi berpikir yaitu pendidikan, filsafat, dan psikologis. Salah satu pakar berpikir kritis yang ahli dalam ketiga bidang tersebut adalah Dewey.

1.

Tradisi Filsafat. Dewey merupakan pakar filsafat pergerakan berpikir kritis modern, Plato dan

Aristoteles merupakan perintis pergerakan berpikir kritis pada masa kuno. Sedangkan para pakar filsafat pergerakan berpikir kritis pada masa kini adalah Ennis, Lipman, dan Paul yang memberikan perhatian lebih untuk memahami dasar-dasar berpikir kritis. Para ahli filsafat memfokuskan perhatian terhadap kemampuan berpikir kritis tidak di dalam kelas tetapi dalam sistem formal logis. Pertama, dikarenakan kemampuan sistem formal logis tidak perlu berhubungan dengan kemampuan siswa di dalam situasi kelas. Sebagai contoh resolusi logis menyediakan metode yang kuat untuk mmbuktikan teorema logis namum mungkin tidak ada seorang pakar yang dapat mengklaim bahwa anak menggunakan resolusi logis secara spontan ataupun jika ada yang menggunakan resolusi logis secara spontan, hal ini terjadi setelah adanya latihan yang intensif. Kedua, kemampuan sistem logis merupakan berpikir yang lebih baik dalam memberikan model kompetensi daripada model kinerja bagi berpikir manusia. Aturan-aturan logis dapat memberikan gambaran kepada kita bagaimana manusia berpikir kritis dalam lingkungan yang terbatas dalam hal proses informasi. 2. Tradisi Psikologis Pakar psikologis tentang berpikir kritis seperti Bransford (1984), Bruner (1960,1961), Feuerstein (1980), dan Sternberg (1985) memfokuskan pada karakteristik berpikir kritis yang muncul dalam keterbatasan lingkungan dan manusia. Feuerstein mengkaji bagaimana berpikir kritis yang ditunjukkan oleh orang yang terbelakang dengan orang normal; Sternberg dan Davidson membandingkan berpikir kritis orang normal dengan orang yang berbakat. Para pakar ini menunjukkan bagaimana berpikir kritis manusia dalam kekurangan informasi, waktu yang tidak terbatas, memori sempurna, dan sebagainya. Untuk mengevaluasi teori brpikir kritis para pakar psikologi ini terdapat dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, teori psikologis tentang berpikir kritis muncul dari dan diteskan dalam lingkungan laboratorium, dan tidak ada jaminan bahwa orang akan mendemonstrasikannya dalam kehidupan sehari-hari dan khususnya di kelas

dengan cara yang sama dengan apa yang mereka lakukan dalam laboratorium. Kedua, adanya keterbatasan dalam teori yang dapat diteskan secara empiris menggunakan standar berarti percobaan psikologis terkadang menghasilkan penyederhanaan secara berlebihan terhadap analisis berpikir kritis. 3. Tradisi pendidikan Para pakar dalam tradisi ini antara lain Bloom (1956), Gagne (1965), Perkins (1981), dan Renzulli (1976) berteori tentang keterampilan yang dibutuhkan siswa di kelas untuk menyelesaikan masalah, membuat keputusan, dan belajar konsep. Bloom (1956) terkenal dengan Taksonomi keterampilan kognitif dan Gagne (1965) terknal dengan hirarki keterampilan belajar yang tersebar luas dalam aplikasi di dalam kelas. Teori yang dihasilkan para pakar ini, menggambarkan pengamatan kelas, analisis teks, analisis proses berpikir di kelas untuk membimbing pemikiran tentang berpikir kritis. Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan teori dalam tradisi pendidikan ini. Pertama, teori pendidikan sering tidak mnjelaskan status epistemologis yang merupakan karakteristik teori filsafat dan psikologis sehingga membuatnya menjadi sulit dalam mengevaluasi dan menggunakan teori pendidikan ini. Teori filsafat cenderung menjadi teori kompetensi yang menentukan apa yang dapat dilakukan seseorang, teori pikologis cenderung menjadi teori kinerja yang menentukan apa yang seharusnya dilakukan seseorang, dan teori pendidikan menggabungkan keduanya. Kedua, teori berdasarkan pendidikan cenderung tidak memiliki pokok persoalan yang dites pada derajat yang sama yang dikarakteristikan oleh tes teori psikologi dan teori filsafat. Sternberg (1986) menyatakan berpikir kritis sebagai suatu proses mental, strategi, dan representasi untuk menyelesaikan masalah, membuat keputusan, dan belajar sesuatu yang baru. Penelitian-penelitian tentang berpikir kritis melibatkan bidang pendidikan, filsafat, dan tradisi psikologi berpikir. Taksonomi filsafat Ennis menyatakan bahwa berpikir kritis dihasilkan berdasarkan interaksi sejumlah karakteristik berpikir kritis dengan sejumlah kemampuan berpikir kritis, Taksonomi psikologis Sternberg mendefinisikan 3 keterampilan yang terlibat dalam berpikir kritis yaitu metakomponen (metacomponent), komponen performans/kinerja

(performance component), dan komponen kemahiran pengetahuan (knowledgeacquisition component). Sedangkan Taksonomi pendidikan Bloom menjenjangkan aspek kognitif dalam 6 jenjang dimulai dari yang paling bawah yaitu pengetahuan, diikuti pemahaman, aplikas, analisis, sintesis, dan evaluasi. Sternberg (1986) menyatakan beberapa taksonomi keterampilan berpikir kritis dalam tradisi filsafat, tradisi psikologi, dan tradisi pendidikan. 1. Taksonomi dalam tradisi filsafat. Ennis menyatakan bahwa berpikir kritis dihasilkan dari interaksi sejumlah karakteristik berpikir kritis dengan sejumlah kemampuan berpikir kritis. Karakteristik berpikir kritis Ennis antara lain mencari pernyataan yang jelas dari suatu pertanyaan, mencari penalaran, mncoba menjadi informan yang baik, mencoba tetap relevan dengan pokok yang utama. Ide yang mendasari daftar karakteristik berpikir kritis Ennis adalah prasyarat berpikir kritis adalah motivasi untuk berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis Ennis adalah kemampuan melakukan klarifikasi, membrikan dukungan dasar, penyimpulan, klarifikasi lanjut, strategi dan taktik. Ennis (1993) memberikan definisi berpikir kritis adalah berpikir reflektif yang berfokus pada pola pengambilan keputusan tentang apa yang harus diyakini dan harus dilakukan. Berdasarkan definisi tersebut, maka kemampuan berpikir kritis menurut Ennis terdiri atas 12 komponen, yaitu (a) merumuskan masalah, (b) menganalisis argumen, (c) menanyakan dan menjawab pertanyaan, (d) menilai kredibilitas sumber informasi, (e) melakukan observasi dan menilai laporan hasil observasi, (f) membuat deduksi dan menilai deduksi, (g) membuat induksi dan menilai induksi, (h) mengevaluasi, (i) mendefinisikan dan menilai definisi, (j) mengidentifikasi asumsi, (k) memutuskan dan melaksanakan, serta (l) berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan berpikir kritis yang dikembangkan oleh Komite Berpikir Kritis Antar-Universitas (Intercollege Committee on Critical Thinking), yaitu (a) kemampuan mendefinisikan masalah, (b) kemampuan menyeleksi informasi untuk penyelesaian masalah, (c) kemampuan mengenali asumsi-asumsi, (d) kemampuan merumuskan hipotesis, dan (e) kemampuan menarik kesimpulan (Muslimin, 2007) .

2.

Taksonomi dalam tradisi psikologi Sternberg menyusun suatu taksonomi berpikir kritis yang tidak brasal dari

sesuatu yang logis tetapi berasal dari analisis psikologis berpikir kritis. Menurut Sternberg ada tiga jenis keterampilan yang terlibat dalam berpikir kritis yaitu metakomponen (metacomponent), komponen performans/kinerja (performance component), dan komponen pengetahuan-kemahiran (knowledge-acquisition component). Metakomponen adalah proses pelaksana (eksekutif) tingkat yang lebih tingi yang digunakan untuk merencanakan apa yang akan dilakukan, memonitor pada waktu seseorang mengerjakannya, dan mengevaluasinya setelah dikerjakan. Metakomponen melibatkan pengakuan bahwa ada masalah, mendefinisikan sifat dasar masalah, memutuskan sejumlah langkah menylesaikan masalah, menyajikan langkah-langkah ke dalam strategi yang koheren, memutuskan bentuk representasi mental informasi, mengalokasikan waktu dan sumber dalam mnyelsaikan masalah, memonitor penyelesaikan yang dilakukan seseorang terhadap masalah yang diselesaikan, memberikan umpan balik problem solving. Taksonomi yang sama dikembangkan oleh Brown (1978) dan Bransford (1984). Komponen performans/kinerja berada di bawah metakomponen adalah suatu proses noneksekutif yang igunakan untuk melaksanakan instruki metakomponen dan memberikan umpan balik terhadap metakomponen. Komponen performans/kinerja beragam berdasarkan domain kinerja seperti penalaran induktif, pnalaran deduktif, visualisasi spatial, membaca, dan sebagainya. Sebagai contoh komponen performans/kinerja induksi meliputi mengkodekan stimulus, membandingkan stimulus, menyimpulkan hubungan antar stimulus, memetakan hubungan antar relasi, menerapkan relasi dari satu domain ke domain lain, membenarkan respon yang potensial, dan merespon. Komponen pengetahuan-kemahiran adalah proses yang digunakan untuk belajar konsep atau prosedur. Komponen pengetahuan-kemahiran ini mempunyai 3 komponen yaitu pengkodean selektif, kombinasi selektif, dan perbandingan selektif. Pengkodean selektif melibatkan penyaringan informasi yang relevan dari informasi yang tidak relevan. Kombinasi selektif melibatkan menggunakan secara

bersamaan informasi yang relevan dalan cara yang koheren dan terorganisasi. Perbandingan selektif melibatkan menghubungkan informasi yang telah diketahui dengan informasi baru, tentang informasi yang akan dipelajari. 3. Taksonomi dalam tradisi pendidikan Bloom menyusun taksonomi yang dikenal dengan Taksonomi Bloom. Taksonomi Bloom merupakan penjenjangan terhadap proses kognitif informasi. Urutan Taksonomi Bloom dari yang paling bawah adalah pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintsis, dan evaluasi. Setiap tingkat yang lebih tinggi mensyaratkan tingkat yang lebih rendah seperti pemahaman mensyaratkan adanya pengetahuan. Ketiga taksonomi yang disajikan Sternberg berbeda. Meskipun taksonomi keterampilan berpikir kritis ini berbeda, namun para pakar taksonomi ini mempercayai pentingnya belajar, pemahaman, penalaran induktif, dan penalaran deduktif. Johnson (2000) menjelaskan bahwa berpikir kritis mengorganisasikan proses yang digunakan dalam aktifitas mental seperti penyelesaian masalah, pengambilan keputusan, meyakinkan, menganalisis asumsi-asumsi dan penemuan ilmiah. Berpikir kritis adalah suatu kemampuan untuk bernalar (to reason) dalam suatu cara yang terorganisasi. Berpikir kritis juga merupakan suatu kemampuan untuk mengevaluasi secara sistematik kualitas pemikiran diri sendiri dan orang lain. Taksonomi Bloom menggunakan jenjang keterampilan berpikir tingkat tinggi untuk menghubungkan berpikir kritis dan kreatif. Lamb (2006) menyatakan bahwa berpikir kritis melibatkan berpikir logis dan penalaran sedangkan berpikir kreatif melibatkan menciptakan (create) sesuatu yang baru atau sesuatu yang lain; berpikir kritis dapat diajarkan dengan lebih banyak menggunakan otak kiri sedangkan berpikir kreatif banyak menggunakan otak kanan; ketika berbicara tentang HOTS higherorder thinking skills maka yang dimaksud adalah tiga jenjang yang paling atas dari taksonomi Bloom yaitu analisis, sintesis, dan evaluasi. Huitt (1998) mengklasifikasikan 2 teknik berpikir yang digunakan dalam problem solving dan membuat keputusan berkaitan dengan adanya dikotomi antara berpikir kritis dan berpikir kreatif. Teknik yang pertama lebih bersifat linier dan serial, lebih terstruktur, rasional, analitis, dan berorientasi tujuan. Teknik ini adalah bagian dari

berpikir kritis. Teknik berpikir yang kedua bersifat holistik dan paralel, emosional dan intuitif, kreatif, visual, kinestetik. Teknik ini adalah bagian dari berpikir kretaif. Pembagian ini berhubungan dengan apa yang terkadang disebut sebagai berpikir menggunakan otak kiri (analitik, serial, logis, objektif) dan berpikir menggunakan otak kanan (global, paralel, emosional, subjektif). Menurut Mason (2008) terdapat lima ahli filsafat pendidikan yang memberikan kontribusi yang besar terhadap konsep berpikir kritis yaitu Robert Ennis, Richard Paul, John McPeck, Harvey Siegel, dan Jane Roland Martin. Ennis mendefinisikan berpikir kritis sebagai berikut critical thinking is reasonable reflective thinking focused on deciding what to believe or do. Definisi ini menggabungkan karakteristik dan kemampuan berpikir kritis. Berdasarkan kutipan di atas, Ennis (1996) menyatakan konsep tentang berpikir kritis terutama berdasarkan keterampilan khusus seperti mengamati, menduga, menggeneralisasi, penalaran, dan mengevaluasi penalaran. Menurutnya keterampilan yang berasosiasi dengan berpikir kritis dapat dipelajari dan dapat ditransfer dari satu disiplin ilmu ke disiplin ilmu yang lain. Ennis menekankan pada prinsip dan keterampilan bernalar kritis yang subjek-netral, yaitu prinsip logis yang tidak hanya berlaku untuk suatu disiplin tertentu tetapi dapat diterapkan secara universal. Pengakuan terhadap kompetensi minimum tertentu pada suatu disiplin ilmu merupakan hal yang penting untuk dapat menerapkan keterampilan berpikir kritis pada disiplin tersebut. Proses berpikir kritis adalah deduktif, yang meliputi penerapan prinsip dan keterampilan berpikir kritis pada disiplin ilmu tertentu. Untuk mengevaluasi berpikir kritis, Ennis menciptakan The Cornell Critical Thinking Test, sebuah alat mengevaluasi yang terkenal untuk mengukur brpikir kritis berdasarkan taksonomi kemampuan berpikir kritis yang dibuatnya. Sedangkan karakteristik berpikir kritis agak sukar untuk diukur. Senada dengan Ennis, Paul (1993) mendefinisikan berpikir kritis berdasarkan kemampuan dan karakteristik berpikir kritis, namun Paul lebih menekankan pada aktivitas pemikir daripada berpikir itu sendiri. Paul (1987) mendefinisikan berpikir kritis sebagai berikut.

critical thinking as a unique kind of purposeful thinking in which the thinker systematically and habitually imposes criteria and intellectual standards upon the thinking; taking charge of the construction of thinking; guiding the construction of thinking according to the standards; and assessing the effectiveness of the thinking according to the purpose, the criteria, and the standards Selain itu, Paul (2008) mendefinisikan brpikir kritis sebagai berikut. Critical thinking is that mode of thinking - about any subject, content, or problem - in which the thinker improves the quality of his or her thinking by skillfully taking charge of the structures inherent in thinking and imposing intellectual standards upon them. Berdasarkan kutipan di atas, berpikir kritis adalah tindakan yang langsung dilakukan sendiri, disiplin diri, monitor sendiri, dan berpikir yang dikoreksi sendiri. Berpikir kritis mensyaratkan persetujuan terhadap standar mutu yang tepat dan perintah sadar penggunaannya. Berpikir kritis memerlukan komunikasi yang efektif dan kemampuan problem solving sebaik komitmen untuk mengatasi egosentris dan sosiosentris. Paul (1982) menegaskan keterampilan dan proses yang berasosiasi dengan berpikir kritis. Paul membedakan berpikir kritis pada pengertian yang lemah dengan berpikir kritis pada pengertian yang kuat. Dalam pengertian yang lemah, berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpikir secara kritis tentang posisi sesuatu dibandingkan posisi sesuatu yang lain sedangkan dalam pengertian yang kuat, berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpikir secara kritis tentang posisi, argumen, asumsi, dan sudut pandang sesuatu dengan baik. Pemikir kritis yang kuat akan dapat memahami gambaran besar secara holistik, dan melihat perbedaan sudut pandang terhadap dunia daripada hanya mengkritik langkah-langkah seseorang dalam berargumen. Berdialog dengan orang lain yang berbeda dalam latar belakang kebudayaan dan pandangan terhadap dunia akan sangat penting dalam berpikir kritis. Hal ini karena kita belajar melihat sesuatu dari perspektif yang berbeda-beda dalam mengkontekstualkan pandangan dunia kita dalam gambaran yang lebih besar. Berpikir kritis ini adalah berpikir yang bertujuan untuk mengatasi egosentrik dan sosiosentrik berpikir.

McPeck (1981) menyatakan berpikir kritis bersifat spesifik. Definisi berpikir kritis McPeck sebagai berikut. critical thinking is specific to a particular discipline, and that it depends on a thorough knowledge and understanding of the content and epistemology of the discipline. Menurutnya, berpikir kritis tidak dapat diajarkan dengan bebas pada subjek bidang tertentu. Untuk menjadi pemikir yang kritis dalam bidang nuklir akan sangat sukar apabila seseorang hanya memiliki pengetahuan yang sedikit tentang bidang tersebut. Pengetahuan yang luas dan mendalam terhadap suatu disiplin ilmu merupakan faktor penting dan bukan pada apakah seseorang memiliki keterampilan dan karakteristik berpikir kritis. Hal ini berarti berpikir kritis menyatakan secara tidak langsung tentang pengetahuan disiplin ilmu dimana seseorang bekerja, isi dan epistemologi disiplin tersebut, apa yang merupakan dasar kebenaran dan validitas argumen pada disiplin ilmu tersebut, serta bagaimana seseorang menerapkannya. McPeck menekankan pentingnya prinsip dan keterampilan berpikir kritis yang bersifat subjek-spesifik, yang berarti prinsip yang diterapkan hanya pada disiplin tertentu seperti menerapkan estetika dalam menilai suatu hasil seni. Menurut McPeck, proses berpikir kritis adalah induktif: yang meliputi penggeneralisasian prinsip berpikir kritis dari isi dan struktur disiplin ilmu. Pendapat McPeck di atas berdasarkan pengertian yang dibangunnya bahwa berpikir adalah suatu aktivitas untuk memikirkan sesuatu, oleh karena itu setiap jenis berpikir adalah tergantung pada bidang kajian yang dipikirkan (subject dependent). Menurutnya, bidang kajian yang berbeda akan memiliki perbedaan epistemologis, dan ide-ide berpikir kritis memiliki perbedaan pengertian antara bidang yang satu dengan bidang yang lain. Oleh karena itu, McPeck (dalam Reece, 2002) mendefinisikan ulang berpikir kritis sebagai berikut. Critical thinking is the analysis of good reasons for belief, understanding the various kinds of reason involves understanding complex meanings of fielddependent concepts and evidence

Pendapat McPeck ini berdampak sangat besar diantaranya meniadakan klaim bahwa terdapat standar intelektual universal dalam berpikir yang bernalar, berpikir kritis hanya dapat diajarkan dalam bidang tertentu dan membuat tidak berlaku pelatihan-pelatihan berpikir kritis yang sudah ada, dan adanya klaim bahwa berpikir kritis hanya berlaku khusus pada bidang kajian meniadakan semua klaim bahwa keterampilan berpikir kritis dapat ditransfer dari satu bidang kajian ke bidang kajian yang lain. Pandangan McPeck bahwa berpikir kritis bersifat spesifik, ditentang oleh Perkins. Perkins (dalam Reece, 2002) menemukan bahwa keterampilan berpikir kritis dapat ditransfer. Perkins menyatakan tiga tahap perkembangan keterampilan berpikir kritis yaitu kemahiran (acquisition), otomatisasi (making it automotic), dan transfer. Kebanyakan program berpikir kritis hanya fokus pada kemahiran saja, namun Perkins menyatakan bahwa berpikir kritis cenderung tetap dalam konteks pelatihan. Perkins menyatakan 2 tipe transfer yaitu high-road transfer dan low-road transfer. High-road transfer adalah transfer yang disengaja dari suatu kerangka atau taktik berpikir kritis dari satu lingkungan belajar ke lingkungan belajar yang lain. Instruktur harus menciptakan latihan yang membantu pebelajar mencapai tipe transfer ini karena transfer ini tidak bersifat otomatis. Sedangkan low-road transfer terjadi lebih spontan karena pebelajar akan menerapkan keterampilan berpikir kritis dalam lingkungan baru tanpa adanya instruksi untuk mentransfernya. Siegel (1990) menekankan konsep hubungan yang kuat antara berpikir kritis dengan rasionalitas. Siegel mendefinisikan berpikir kritis sebagai berikut. critical thinking means to be appropriately moved by reasons, and to be rational is to believe and act on the basis of reasons. Dalam pandangan ini, berpikir kritis didasari oleh berpikir, sedikitnya dalam prinsip netral, konsistensi, ketidaksewenang-wenangan dan kejujuran. Konsepsi Siegel tentang berpikir kritis mempertahankan komponen penilaian penalaran (reason assessment component) dan komponen sikap kritis (critical attitude component). Pemikir kritis yang memiliki komponen penilaian penalaran harus dapat menilai penalaran dan kemampuan mereka dalam membenarkan

kepercayaan, klaim dan tindakan dengan tepat. Oleh karena itu, pemikir kritis harus memiliki pemahaman yang baik, kemampuan memanfaatkan prinsip subjek-spesifik dan subjek-netral (logis) yang berpengaruh dalam menilai penalaran. Seseorang yang memiliki komponen sikap kritis akan memiliki karakter tertentu yang sama baiknya dengan keterampilan tertentu: karakter dimana seseorang cenderung mencari tahu sesuatu yang mendasari keputusan dan tindakan; karakter yang tidak memihak dan tidak sewenang-wenang, karakter untuk menilai objektif terhadap fakta-fakta yang relevan; karakter bernilai aspek-aspek berpikir kritis seperti kejujuran intelektual, keadilan, simpatik, objektifitas. Oleh karena itu, keterampilan dan prinsip-prinsip berpikir kritis merupakan hal yang penting bagi para pemikir kritis. Martin (1992) menekankan pada karakteristik yang berasosiasi dengan berpikir kritis dan menyatakan bahwa berpikir kritis dimotivasi dan ditemukan dalam perspektif moral dan nilai tertentu. Seseorang yang mampu mencapai suatu kesimpulan tertentu dengan cara-cara bernalar yang kritis bukan berarti bahwa moral orang tersebut dapat diterima. Tujuan berpikir kritis didasarkan pada moral. Berpikir kritis dilakukan seseorang hanya untuk mengembangkan dunia yang lebih baik. Berdasarkan lima pandangan utama tentang berpikir kritis di atas, Mason (2008) menyatakan ada 3 aspek penting berpikir kritis, yaitu (1) keterampilan bernalar kritis (seperti kemampuan untuk menilai suatu penalaran dengan tepat), (2) karakter, yaitu (a) sikap kritis (skeptisisme, kecenderungan menanyakan pertanyaan penyelidikan) dan komitmen untuk mengekspresikan sikap tersebut, serta (b) orientasi moral yang memotivasi berpikir kritis, (3) pengetahuan substansial dalam bidang tertentu, yaitu (a) konsep berpikir kritis (syarat cukup dan syarat perlu), dan (b) disiplin tertentu, dimana seseorang mampu berpikir kritis. Akibat munculnya beragam definisi berpikir kritis adalah munculnya pendekatanpendekatan yang berbeda untuk mengajarkan berpikir kritis. Pendekatan umum melibatkan mengajar keterampilan berpikir kritis yang tergeneralisasi dalam pelatihan berpikir kritis. Pendekatan infusi mensyaratkan adanya kesadaran diri mengajarkan keterampilan berpikir kritis dalam pelatihan bidang kajian tertentu. Metode imersi (immersion method) berasumsi bahwa pebelajar akan memperoleh keterampilan berpikir kritis bidang tertentu melalui pelatihan yang diadakan dalam bidang tersebut.

Metode campuran (mixed-method) mengkombinasikan pelatihan umum dengan salah satu pendekatan infusi atau metode imersi. Karakteristik berpikir kritis Ennis (2005) antara lain mencari penjelasan pertanyaan, mencari penalaran, mencoba menjadi sumber informasi yang baik, menggunakan dan menyebutkan sumber informasi yang kredibel, mencari alternatif, berpikir terbuka, sensitif terhadap perasaan dan pengetahuan. Facione (2009) menyebutkan karakteristik berpikir kritis antara lain memiliki rasa ingin tahu, bijaksana, mencari kebenaran, percaya diri dalam bernalar, berpikir terbuka, analitis, dan sistematis. Seringkali berpikir kritis dikacaukan dengan problem solving dan berpikir tingkat tinggi. Beberapa pakar menggunakan istilah yang sama untuk menggambarkan komponen berpikir kritis, problem solving dan berpikir tingkat tinggi, namun konsep berpikir kritis adalah konsep yang unik. Hedges (1991) membedakan antara berpikir kritis dengan problem solving. Menurut Hedges, problem solving adalah proses linier evaluasi, sedangkan berpikir kritis adalah kumpulan kemampuan yang membolehkan orang yang melakukan penemuan memfasilitasi setiap tahap proses linier problem solving. Berikut ini tabel hubungan antara berpikir kritis dan menurut Hedges. No Berpikir kritis 1 Kemampuan mengidentifikasi dan membuat formula masalah sebaik kemampuan untuk menyelesaikannya 2 Kemampuan mengenal dan menggunakan penalaran induktif sebaik kemampuan menyelesaikan masalah 3 Kemampuan menggambarkan kesimpulan yang bernalar berdasarkan informasi yang diperoleh dari beragam sumber baik tertulis, lisan, tabel, grafik, dan mempertahankan ksimpulan yang diperoleh dengan cara yang rasional 4 Kemampuan untuk memahami, mengembangkan, dan menggunakan konsep dan generalisasi 5 Kemampuan membedakan fakta dan opini Problem Solving Mengenal situasi masalah Mendefinisikan masalah Kemampuan untuk memahami, mengembangkan, dan menggunakan konsep dan generalisasi Mengecek hipotesis memperoleh data dan problem solving

Memperbaiki hipotesis dan mengecek hipotesis yang sudah diperbaiki atau hipotesis baru

Membuat kesimpulan

Tabel 1 Hubungan berpikir kritis dengan problem solving (Hedges, 1991) Ennis (1993) memberikan definisi berpikir kritis adalah berpikir reflektif yang berfokus pada pola pengambilan keputusan tentang apa yang harus diyakini dan harus dilakukan. Berdasarkan definisi tersebut, maka kemampuan berpikir kritis menurut Ennis terdiri atas 12 komponen, yaitu (1) merumuskan masalah, (2) menganalisis argumen, (3) menanyakan dan menjawab pertanyaan, (4) menilai kredibilitas sumber informasi, (5) melakukan observasi dan menilai laporan hasil observasi, (6) membuat deduksi dan menilai deduksi, (7) membuat induksi dan menilai induksi, (8) mengevaluasi, (9) mendefinisikan dan menilai definisi, (10) mengidentifikasi asumsi, (11) memutuskan dan melaksanakan, serta (12) berinteraksi dengan orang lain. Kemampuan berpikir kritis yang dikembangkan oleh Komite Berpikir Kritis AntarUniversitas (Intercollege Committee on Critical Thinking), yaitu (1) kemampuan mendefinisikan masalah, (2) kemampuan menyeleksi informasi untuk penyelesaian masalah, (3) kemampuan mengenali asumsi-asumsi, (4) kemampuan merumuskan hipotesis, dan (5) kemampuan menarik kesimpulan (Muslimin, 2007) . Pascarella & Terenzini (1991) menyatakan bahwa berpikir kritis dapat didefinisikan dengan beragam cara dan diukur dengan sejumlah cara, tetapi pada dasarnya berpikir kritis melibatkan kemampuan individu untuk mengidentifikasi persoalan pokok dan asumsi dalam suatu argumen, mengakui hubungan yang penting, membuat kesimpulan yang tepat berdasarkan data-data yang ada, mendeduksi kesimpulan dari informasi atau data yang disediakan, menginterpretasi apakah kesimpulan dijamin data yang diberikan, dan mengevaluasi fakta atau otoritas. Beyer (dalam Burris, 2005) mengidentifikasi keterampilan yang dibutuhkan agar berpikir kritis menjadi lebih efektif, yaitu (1) membedakan antara fakta-fakta yang dapat dibuktikan dan menilai klaim, (2) membedakan informasi, klaim, dan bernalar yang relevan dan tidak relevan, (3) menentukan ketelitian faktual suatu pernyataan, (4) menentukan kredibilitas sumber, mengidentifikasi klaim atau argumen yang ambigu, (5) mengidentifikasi asumsi yang tidak dinyatakan, (6) mendeteksi bias, (7) (8) mengidentifikasi ketidakkonsistenan logis dalam bernalar, (9) mengakui

ketidakkonsistenan logis dalam bernalar, serta (10) menentukan kekuatan argumen atau klaim. Brookfield (dalam Marrapodi, 2003) mendefinisikan lima aspek dan empat komponen berpikir kritis. Menurutnya, berpikir kritis terdiri dari aspek-aspek, yaitu berpikir kritis adalah aktivitas yang produktif dan positif, berpikir kritis adalah proses bukan hasil, perwujudan berpikir kritis sangat beragam tergantung dari konteksnya, berpikir kritis dapat berupa kejadian yang positif maupun negatif, dan berpikir kritis dapat bersifat emosional dan rasional. Sedangkan komponen berpikir kritis, yaitu (1) identifikasi dan menarik asumsi adalah pusat berpikir kritis, (2) menarik pentingnya konteks adalah penting dalam berpikir kritis, (3) pemikir kritis mencoba mengimajinasikan dan menggali alternatif, dan (4) mengimajinasikan dan menggali alternatif akan membawa pada skeptisisme reflektif. Keterampilan berpikir kritis merupakan salah satu modal dasar atau modal intelektual yang sangat penting bagi setiap orang dan merupakan bagian yang fundamental dari kematangan manusia (Liliasari, 2000). Oleh karena itu, pengembangan keterampilan berpikir kritis menjadi sangat penting bagi mahasiswa di setiap jenjang pendidikan. Keterampilan berpikir kritis menggunakan dasar berpikir menganalisis argumen dan memunculkan wawasan terhadap tiap-tiap interpretasi untuk mengembangkan pola penalaran yang kohesif dan logis, kemampuan memahami asumsi, memformulasi masalah, melakukan deduksi dan induksi serta mengambil keputusan yang tepat. Keterampilan berpikir kritis adalah potensi intelektual yang dapat dikembangkan melalui proses pembelajaran. Setiap manusia memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang menjadi pemikir yang kritis karena sesungguhnya kegiatan berpikir memiliki hubungan dengan pola pengelolaan diri (self organization) yang ada pada setiap makhluk di alam termasuk manusia sendiri (Liliasari, 2001; Johnson, 2000). Untuk menilai apakah seseorang termasuk kategori pemikir kritis yang baik ataukah pemikir kritis yang kurang, dapat dilihat dari apakah orang tersebut mampu menginterpretasi, menganalisis, mengevaluasi dan menyimpulkan, dapat menjelaskan apa yang dipikirkannya dan bagaimana orang tersebut membuat keputusan, dapat menerapkan kekuatan berpikir kritis pada dirinya sendiri dan meningkatkan

kemampuan berpikir kritis terhadap pendapat-pendapat yang dibuatnya. Facione (2009) mengungkapkan tentang keterampilan kognitif yang merupakan inti dari berpikir kritis yaitu interpretasi (interpretation), analisis (analysis), evaluasi (evaluation), penyimpulan (inference), penjelasan (explanation), dan regulasi diri (self-regulation). Pott (1994) menyatakan 3 kemampuan berpikir kritis yaitu menemukan analogi dan jenis hubungan yang lain antara beragam informasi, menentukan informasi yang relevan dan valid untuk menyelesaikan masalah, menemukan dan mengevaluasi penyelesaian atau penyelesaian alternatif suatu masalah. Kemampuan-kemampuan tersebut dapat dilaksanakan dalam pembelajaran yaitu dengan cara, yaitu (1) Mendorong interaksi antara pebelajar dalam belajar, (2) Memberikan pertanyaan open-ended yang mendorong pebelajar untuk berpikir tanpa takut memberikan jawaban yang salah, (3) memberikan waktu yang cukup kepada pebelajar untuk merefleksikan pertanyaan atau masalah yang diajukan, dan (4) memberikan kesempatan kepada pebelajar untuk melihat aplikasi keterampilan berpikir kritis pada situasi yang lain dan pengalaman pebelajar itu sendiri. Menurut Elder dan Paul (2008) manfaat berpikir kritis, yaitu mahasiswa mampu (1) menyatakan serta menjelaskan tujuan dan maksudnya, (2) menjelaskan pertanyaan yang dibutuhkan untuk menjawab dan masalah yang dibutuhkan untuk dipecahkan, (3) mendapatkan serta mengorganisasi informasi dan data, (4) menilai pengertian dan informasi penting yang diberikan kepadanya, (5) mendemonstrasikan pemahaman konsep, (6) mengidentifikasi asumsi, mempertimbangkan implikasi dan konsekuensi, menguji sesuatu menggunakan beragam sudut pandang, menyatakan pernyataannya dengan jelas, menguji dan mengecek ketepatan, serta (7) mengaitkan kekompleksan masalah dan isu-isu, menyatakan pikirannya secara logis, berpikir dengan beragam sudut pandang, membedakan masalah-masalah yang penting dan masalah yang tidak penting. Menurut Bessick (2008) terdapat beberapa alat ukur yang digunakan untuk menilai berpikir kritis yaitu Academic Profile (A. Profile), Collegiate Assessment of Academic Proficiency (CAAP), California Critical Thinking Dispositions Inventory (CCTDI), CAAP Critical Thinking Assessment Inventory, California Critical

Thinking Skills Test (CCTST), Cornell Critical Thinking Test (CCTT), College Outcomes Measures Program Objective Test (COMP), ETS Tasks in Critical Thinking (ETS TASKS), Measure of Intellectual Development (MID), Problem Solving Inventory (PSI), Reflective Judgment Inventory (RJI), Watson-Glaser Critical Thinking Appraisal (WGCTA). Evaluasi terhadap berpikir kritis merupakan hal yang penting bukan hanya menjawab pertanyaan tentang kemampuan menggeneralisasi tetapi juga menilai kekuatan dan kelemahan program dan untuk mengatasi kelemahan tersebut. Baron (dalam Reece, 2002) mengidentifikasi 4 dimensi dalam evaluasi program mengajar keterampilan berpikir kritis yaitu formatif-summatif, produk-proses, kualitatifkuantitatif, dan eksperimental-quasi eksperimental. Evaluasi formatif bertujuan untuk meningkatkan program sedangkan evaluasi summatif bertujuan untuk melihat keefektifan program. Evaluasi produk mempunyai fokus pada apa yang dihasilkan oleh pebelajar sedangkan evaluasi proses menekankan pada bekerjanya pengajaran berpikir kritis dan kegiatan berpikir pebelajar. Evaluasi kualitatif dan kuantitatif merupakan alat untuk menangkap pengalaman seseorang dalam program. Evaluasi eksperimental dan quasi eksperimental merupakan cara lain untuk mengetes keefektivan program. Menurut Burris (2005) berpikir kritis dapat juga dipengaruhi oleh strategi pembelajaran dalam proses belajar mengajar. Lundy, Irani, Ricketts, Eubanks, Rudd, Gallo-Meagher, and Fulford (dalam Burris, 2005) meneliti kemampuan berpikir kritis mahasiswa kemudian sebagai hasil pelatihan bioteknologi. The Mereka membandingkan Thinking kemampuan dan karakteristik berpikir kritis mahasiswa pria dan mahasiswa wanita, mengukurnya menggunakan California Critical Dispositional Inventory (CCTDI). Berdasarkan penelitian tersebut ditemukan bahwa semua mahasiswa tanpa memandang jenis kelamin dan status akademik menunjukkan adanya karakteristik berpikir kritis. Lundy, dkk (dalam Burris, 2005) menyimpulkan bahwa berpikir kritis merupakan keterampilan yang dapat dikuasai dan dikembangkan semua mahasiswa dengan menerapkan teknik-teknik pembelajaran berpikir kritis. Mabie dan Baker (dalam Burris, 2005) meneliti dampak strategi pembelajaran dalam perkembangan keterampilan proses sains. Keterampilan proses

sains

seperti

mengamati,

berkomunikasi,

membandingkan,

menghubungkan,

dianggap sebagai bangunan penyusun berpikir kritis. Berdasarkan penelitian mereka, ditmukan bahwa terdapat peningkatan siswa yang mengembangkan kterampilan proses sains. Menurut Burris (2005) aktivitas belajar eksprimen akan meningkatkan keterapilan berpikir kritis. Burbach, Matkin, dan Fritz (dalam Burris, 2005) menggunakan The Watson-Glaser Critical Thinking Appraisal (WGCTA) untuk menguji kemampuan berpikir kritis 80 orang mahasiswa yang terlibat dalam latihan kepemimpinan di kampus. Pelatihan didesain untuk mengajarkan berpikir kritis dengan menggabungkan menulis jurnal reflektif, layanan belajar, kelompok kecil, skenario, studi kasus, dan pertanyaan. Berdasarkan pre-tes dan post-tes diperoleh indika bahwa strategi blajar aktif yang dilaksanakan dalam pelatihan akan meningkatkan keterampilan berpikir kritis. Oty, McArthur, dan Clark (dalam Burris, 2005) menggunakan WGCTA membandingkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa yang menerapkan aljabar terintegrasi latihan sains dengan latihan aljabar tradisional. Matematika/sains terintegrasi didesain menggunakan contoh-contoh ilmiah untuk menyediakan latar belakang kontekstual dalam operasi matematika. Mahasiswa yang menerapkan aljabar terintegrasi akan memperoleh skor WGTCA yang lebih tinggi. Berdasarkan hal ini diperoleh kesimpulan bahwa terintegrasi akan meningkatkan kemampuan berpikir kritis. C. Model Berpikir Kritis Paul & Elder Menurut Paul dan Elder (Paul, 2008) ada 3 komponen berpikir kritis yaitu elemen bernalar, standar intelektual bernalar, dan karakter intelektual bernalar. Berikut ini gambar model berpikir kritis Paul & Elder. pendekatan

Gambar 1 Model berpikir kritis Paul & Elder (Paul, 2008) Menurut Paul dan Elder (2008) serta Paul (2009), terdapat 8 elemen bernalar yaitu: 1. Tujuan (purpose) Penalaran harus memiliki tujuan. Untuk memahami beberapa hal, seseorang harus dapat mendefinisikan tujuan dengan jelas seperti apakah tujuannya membujuk, menginformasikan dan sebagainya. 2. Pertanyaan (question) Penalaran adalah usaha menjawab pertanyaan yang menjadi masalah, dapat dilakukan dengan cara menggambarkan sesuatu, menetapkan pertanyaan dan menyelesaikan masalah. Hal yang penting dalam mengidentifikasi pertanyaanpertanyaan adalah untuk memahami tujuan. 3. Asumsi (assumption) dengan jelas dan menentukan apakah asumsi tersebut dapat Penalaran harus berdasarkan asumsi. Berpikir efektif mencoba mengidentifikasi asumsi pandang. 4. Sudut pandang (point of view) Penalaran dibuat dengan memperhatikan beragam sudut pandang dalam hal ini beragam alternatif penyelesaian. 5. Informasi (information) Penalaran berdasarkan informasi yaitu data dan fakta. Berpikir mencoba mengidentifikasi informasi, meyakinkan bahwa informasi yang digunakan jelas, dan relevan dengan pertanyaan yang menjadi pokok masalah. 6. Konsep dan ide (concept and idea) dipertanggungjawabkan, serta bagaimana asumsi tersebut membentuk sudut

Penalaran dinyatakan dan dibentuk berdasarkan konsep dan ide yaitu definisi, teori, prinsip, aturan, dan model. Hal yang penting untuk mengidentifikasi konsep penting dan menjelaskan konsep tersebut dengan jelas. 7. Penyimpulan (inference)

Penalaran 8.

terdiri

dari

penarikan

kesimpulan

atau

interpretasi

yang

menggambarkan kesimpulan dan memberi pengertian dari data. Implikasi (implication) Penalaran akan memiliki implikasi dan konsekuensi. Suatu hal yang penting untuk menemukan implikasi dan konsekuensi dari suatu penalaran seseorang, mencari implikasi negatif dan positifnya, dan mempertimbangkan konsekuensikonsekuensi yang mungkin. Berikut ini adalah gambar elemen bernalar

Gambar 2 Elemen bernalar (Paul dan Elder, 2008) Standar intelektual bernalar digunakan untuk menentukan kualitas elemen bernalar. Berpikir kritis yang baik membutuhkan standar intelektual. Tujuan utamanya adalah sebagai standar bernalar agar dapat ditanamkan pada segala aktivitas berpikir sehingga membimbing adanya bernalar yang lebih baik lagi. Menurut Paul dan Elder (2008) serta Paul (2009) terdapat sejumlah standar intelektual, namun berikut ini hanya dituliskan standar intelektual yang paling penting yaitu: 1. Kejelasan (clarity) Kejelasan adalah pintu gerbang standar intelektual. Elemen bernalar dan pengertian dapat dipahami. Jika suatu pernyataan tidak jelas, maka tidak dapat ditentukan apakah pernyataan tersebut akurat atau relevan. Hal ini dikarenakan tidak diketahui apa yang dikatakan pernyataan tersebut sehingga tidak dapat

diceritakan lebih jauh tentang pernyataan tersebut. Pertanyaan yang membantu mengetahui kejelasan bernalar seseorang, yaitu apakah elemen bernalar tersebut jelas, apakah tujuannya jelas, illustrasinya. 2. Ketepatan (accuracy) Yaitu elemen bernalar bebas dari kesalahan atau distorsi, dan mengandung kebenaran. Pertanyaan yang dapat membantu mengetahui ketepatan bernalar seseorang, yaitu apakah elemen bernalar (misalnya informasi) benar, bagaimana mengecek kebenaran elemen bernalarnya, dan bagaimana kita dapat mengetahui bahwa elemen bernalar tersebut benar. 3. Ketelitian (precision) Yaitu elemen bernalar menjelaskan sesuatu dengan tepat. Pertanyaan yang dapat membantu mengetahui ketelitian bernalar seseorang, yaitu apakah elemen bernalar tersebut memiliki ketelitian, dapatkah dijelaskan dengan rinci, dan dapatkah penalaran yang dibuat lebih spesifik. 4. Relevansi (relevance) Yaitu berhubungan dengan pokok masalah yang dihadapi. Pertanyaan yang dapat membantu mengetahui relevansi bernalar seseorang, yaitu apakah elemen bernalar tersebut relevan, bagaimana elemen bernalar tersebut berhubungan dengan pertanyaan, apakah elemen benalar tersebut mengandung pokok-pokok masalah, dan baagaimana elemen bernalar tersebut membantu permasalahan. mengatasi pokok apakah informasinya jelas, apakah pernyataan tersebut ambigu, apakah dapat diberikan contoh, dan dapatkah dibuat

5.

Kedalaman (depth) Pertanyaan yang dapat membantu mengetahui kedalaman bernalar seseorang, yaitu apakah elemen bernalar cukup dalam atau sangat dangkal, bagaimana menjawab kekompleksan pertanyaan, apakah dapat dicari sejumlah masalah dari suatu pertanyaan, dan faktor-faktor apa yang membuat bernalar menjadi sukar.

6.

Keluasan (breadth)

Yaitu elemen bernalar mengandung beragam sudut pandang. Pertanyaan yang dapat membantu mengetahui keluasan bernalar seseorang, yaitu apakah perlu dicari/diduga sudut pandang yang lain, apakah terdapat cara lain untuk melihat pertanyaan, apakah bernalar ini seperti terlihat sebagai sudut pandang yang konservatif, bagaimana kita melihat bernalar ini dari sudut pandang yang lain, dan apakah elemen berpikir ini cukup luas atau apakah perlu dicari data yang lebih luas. 7. Logis (logic) Ketika berpikir, kita membawa sejumlah pikiran dalam satu waktu. Ketika kombinasi berpikir mendukung satu sama lain dan membuat pengertian dalam kombinasi, maka berpikir menjadi logis. Ketika kombinasi tidak mendukung satu sama lain, terdapat kontradiksi dalam beberapa pengertian, atau tidak dapat membuat suatu pengertian maka kombinasi berpikir tersebut tidak logis. Pertanyaan yang dapat membantu mengetahui kelogisan bernalar seseorang, yaitu apakah elemen bernalar tersebut membuat suatu pengertian, apakah ada dampak dari apa yang disampaikan, dan bagaimana dampaknya. Karakter intelektual bernalar berhubungan dengan kebiasaan intelektual yang memungkinkan pebelajar menjadi lebih disiplin dan meningkatkan fungsi mental. Dosen perlu menanamkan dalam pikiran bahwa berpikir kritis dapat melayani 2 hal yang bertentangan yaitu berpusat pada diri sendiri atau berprasangka baik terhadap pikiran orang lain. Ketika pebelajar belajar bagaimana mengakui kesalahan dalam bernalar, kebanyakan dari mereka akan melihat kesalahan bernalar orang lain tetapi tidak siap menjelaskan penalaran yang dibuatnya. Mereka akan sangat menyukai menunjukkan kesalahan yang dilakukan oleh orang lain dan mengembangkan beberapa kecakapan agar apa yang dipikirkan oleh orang lain terlihat sangat tidak tepat, tetapi mereka tidak mampu menggunakan pemahaman kesalahan tersebut untuk menganalisis dan menilai bernalarnya sendiri. Hal ini berarti pebelajar hanya berkembang menjadi seorang pemikir saja tetapi belum menjadi seorang pemikir yang terbuka (open-minded). Pemikir yang baik akan berusaha untuk menjadi terbuka sehingga mereka akan mengembangkan karakter intelektual bernalar berpikir seperti kerendahan hati intelektual (intellectual humility), keberanian intelektual

(intellectual courage), empati intelektual (intellectual empathy), integritas intelektual (intellectual integrity), ketekunan intelektual (intellectual perseverance), percaya diri dengan penalarannya (faith in reason), dan berpikir terbuka (faith-mindedness) (Paul, 2008). 1. Kerendahan hati intelektual (intellectual humility) Adalah pengetahuan tentang hal yang tidak diketahui, sensitivitas terhadap apa yang diketahui dan apa yang tidak diketahui. Menyadari keterbatasan pengetahuan seseorang, termasuk sensitivitas terhadap egosentris seseorang, sensitivitas terhadap bias, prasangka, dan terbatas dengan sudut pandang seseorang. Kerendahan hati intelektual bergantung pada penghargaan bahwa seseorang tidak dapat menuntut pada apa yang benar-benar diketahui seseorang. Hal ini berdampak pada berkurangnya kesombongan intelektual. 2. Keberanian intelektual (intellectual courage) Adalah kecenderungan untuk menanyakan sesuatu kepercayaan yang dirasakan benar. Menyadari kebutuhan untuk menghadapi dan memusatkan perhatian pada ide, kepercayaan, atau sudut pandang. Keberanian ini berhubungan dengan pengakuan bahwa ide mempertimbangkan bahaya atau kemustahilan yang terkadang dibenarkan secara rasional (dalam keseluruhan atau sebagian) dan bahwa kesimpulan dan kepercayaan ditanamkan pada kita terkadang salah atau menyesatkan. Keberanian intelektual diperlukan karena dapat terjadi kebenaran muncul dari ide-ide yang dianggap berbahaya atau mustahil, dan menyimpang atau kesalahan dari beberapa ide yang dipegang teguh oleh kelompok sosial. 3. Empati intelektual (intellectual empathy) Adalah kesadaran akan kebutuhan untuk mempunyai pandangan-pandangan yang berbeda dengan pandangan yang dimiliki seseorang. Menyadari kebutuhan imajinatif menempatkan seseorang pada pikiran orang lain untuk memahami pikiran orang lain tersebut dengan sungguh-sungguh, yang membutuhkan kesadaran kecenderungan egosentris untuk mengidentifikasi kebenaran dengan penglihatan pikiran yang sudah lama ada secara langsung. Karakter ini berhubungan dengan kemampuan merekonstruksi sudut pandang dan bernalar

orang lain dengan tepat, dan bernalar dari premis, asumsi, dan ide-ide orang lain daripada bernalar dari premis, asumsi, dan ide-ide diri sendiri. 4. Integritas intelektual (intellectual integrity) Pengakuan kebutuhan kebenaran pikiran seseorang, konsisten dengan standar intelektual yang diterapkan seseorang, menerapkan apa yang dianjurkan orang lain, dan jujur mengakui ketidaksesuaian dan ketidakkonsistenan pikiran dan tindakannya sendiri. 5. Ketekunan intelektual (intellectual perseverance) Adalah kecenderungan untuk terus bekerja dengan cara yang dipilih meskipun muncul suatu perasaan frustasi dalam mengerjakannya. Menyadari kebutuhan menggunakan pengertian mendalam intelektual dan kebenaran meskipun sukar, terdapat hambatan, dan frustasi; menegaskan ketaatan terhadap prinsip rasional meskipun dianggap irasional oleh orang lain; pengertian kebutuhan berjuang dengan pertanyaan yang membingungkan dan tidak tentu selama beberapa lama untuk mendapatkan pemahaman atau pengertian mendalam yang lebih. 6. Percaya diri dengan penalarannya (faith in reason). orang untuk membuat kesimpulannya sendiri, dengan Kepercayaan bahwa minat tinggi seseorang dapat dilayani dengan cara mendorong mengembangkan kecakapan rasionalnya sendiri, percaya bahwa dengan dorongan sejati dan perkembangan, orang dapat belajar berpikir untuk dirinya sendiri, membentuk sudut pandang yang rasional, menggambarkan kesimpulan yang bernalar, berpikir secara koheren dan logis, mengajak orang lain dengan penalaran dan menjadi pribadi yang bernalar, meskipun terdapat halangan mendalam dalam karakter asli pikiran manusia dan dalam masyarakat. 7. Berpikir terbuka (faith-mindedness). Menyadari kebutuhan membahas beragam sudut pandang, tanpa referensi dari perasaan orang lain atau minat pribadi, atau perasaan atau minat pribadi orang lain, komunitas, atau bangsa, mengakibatkan ketaatan terhadap standar intelektual tanpa referensi terhadap manfaat seseorang atau manfaat sekelompok orang.

D. Tingkat Kemampuan Berpikir Kritis Pembelajaran dikembangkan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa. Melatih berpikir kritis kepada pebelajar tidak serta merta dapat langsung diketahui hasilnya. Untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, mahasiswa harus melalui proses tahapan perkembangan berpikir kritis. Kebanyakan orang tidak sadar adanya tingkatan-tingkatan perkembangan intelektual yang dilalui untuk meningkatkan kemampuan berpikirnya.. Menurut Elder dan Paul (2008) ada 6 tingkatan kemampuan berpikir kritis sebagai berikut. 1. Berpikir yang tidak direfleksikan (unreflective thinking) Para pemikir pada tingkat ini pada umumnya tidak menyadari bahwa peran berpikir yaitu berpikir berperan penting dalam kehidupannya dan banyak masalah berpikir menyebabkan masalah dalam kehidupannya. Pemikir kurang mampu menilai secara eksplisit pemikirannya untuk kemudian meningkatkannya; kekurangan pengetahuan bahwa berpikir yang berkualitas membutuhkan praktek teratur dalam pengambilan berpikir terpisah, menilainya secara akurat, dan meningkatkan kemampuan berpikir secara aktif. Akibatnya adalah gagal untuk menghargai berpikir sebagai aktivitas yang melibatkan elemen bernalar. Mereka tidak menyadari standar yang tepat untuk penilaian berpikir yaitu kejelasan, ketepatan, ketelitian, relevansi, kelogisan. Pemikir pada tahap ini mengembangkan beragam kemampuan berpikir tanpa menyadarinya.

Kemampuan-kemampuan tersebut tidak diterapkan secara konsisten karena kurang adanya monitor individu terhadap pikirannya. 2. Berpikir yang menantang (challenged thinking) Pemikir pada tingkat ini bergerak ke tingkatan menantang ketika mereka menjadi sadar akan peran menentukan dari berpikir yaitu bahwa berpikir berperan dalam kehidupan mereka, dan fakta bahwa masalah dalam berpikir menyebabkan mereka serius. Pemikir menyadari bahwa berpikir yang berkualitas membutuhkan berpikir reflektif yang disengaja tentang berpikir (untuk meningkatkan kemampuan berpikir) dan menyadari bahwa berpikirnya sering kekurangan tetapi tidak dapat mengidentifikasikan dimana kekurangannya. Mereka mengembangkan kesadaran awal berpikir seperti membutuhkan konsep, asumsi,

kesimpulan, implikasi, sudut pandang dan membutuhkan standar penilaian berpikir yaitu kejelasan, ketepatan, ketelitian, relevansi, kelogisan meskipun mereka hanya punya pemahaman awal dari standar-standar tersebut dan apa yang akan didalaminya. Pemikir mengembangkan beberapa pemahaman peran penipuan diri sendiri dalam berpikir meskipun pemahamannya terbatas. Pada tingkat ini mereka mengembangkan beberapa kesadaran reflektif bagaimana berpikir bekerja secara benar atau salah. Pemikir pada tingkat ini memiliki kemampuan berpikir yang terbatas. Meskipun seperti pemikir pada tingkatan pertama, mereka telah mengembangkan beragam kemampuan berpikir tanpa menyadarinya dan kemampuan-kemampuan ini bisa menjadi halangan bagi mereka untuk berkembang. Dengan beberapa kemampuan berpikir kritis yang implisit akan mudah bagi mereka untuk membohongi dirinya sendiri dengan mempercayai bahwa berpikirnya adalah lebih baik daripada yang sebenarnya, membuatnya sulit untuk menyadari masalah yang melekat pada berpikir yang lemah. Menerima tantangan pada tingkat ini mensyaratkan pemikir yang mendapatkan pengetahuan ke dalam fakta bahwa kemampuan intelektual apapun yang dimilikinya diterapkan secara tidak konsisten dalam kehidupannya. Sifat intelektual dasar pada tahap ini adalah intelektual kerendahan hati dalam melihat masalah yang melekat pada salah satu berpikirnya. 3. Berpikir permulaan (beginning thinking) Para pemikir pada tingkat ini mengakui bahwa mereka mempunyai masalah dasar dalam berpikirnya dan melakukan usaha awal untuk memahami dengan baik bagaimana mereka dapat memerintah dan meningkatkannya. Berdasarkan pemahaman awal ini, pemikir pemula mulai memodifikasi beberapa kemampuan berpikirnya, tetapi memiliki wawasan terbatas dalam tingkatan mendalam dari masalah yang melekat dalam pikirannya. Mereka kurang memiliki perencanaan yang sistematis untuk meningkatkan kemampuan berpikirnya, karena usaha mereka bersifat untung-untungan. Pemikir pemula menjadi sadar bukan hanya tentang berpikirnya saja tetapi juga peran berpikir konsep, asumsi, kesimpulan implikasi, sudut pandang.

Pemikir pemula pada beberapa tingkatan awal mengakui tidak hanya bahwa ada standar penilaian berpikir yaitu kejelasan, ketepatan, ketelitian, relevansi, kelogisan tetapi juga adanya suatu kebutuhan untuk mengaplikasikannya dalam berpikir. Mereka memiliki pemahaman awal tentang peran berpikir egosentrik dalam hidupnya. Pemikir dapat menyadari tinjauan kekuatan berpikirnya, mempunyai kemampuan yang cukup untuk mulai memonitor pemikirannya sendiri dan mulai mengakui berpikir egosentrik terhadap mereka dan yang lain. Kunci karakter intelektual yang dibutuhkan pada tingkatan ini adalah beberapa derajat kerendahan hati intelektual pada awalnya untuk menghargai masalah yang melekat di pikiran. Pemikir harus mempunyai beberapa derajat kepercayaan intelektual bernalar, suatu ciri yang memberikan dorongan untuk menerima tantangan dan mulai proses perkembangan aktif sebagai pemikir kritis, meskipun ada pemahaman terbatas tentang apa artinya melakukan penalaran berkualitas tinggi. Pemikir pemula memiliki ketekunan intelektual yang cukup untuk berjuang dengan masalah-masalah berpikir yang serius sementara kekurangan solusi yang jelas terhadap masalah tersebut (dengan kata lain pada tingkatan ini pemikir mengakui masalah-masalah dalam pikirannya tetapi belum menemukan cara yang sistematis untuk menyelesaikannya). 4. Berpikir latihan (practicing thinking) Pemikir pada tingkatan ini memiliki penghargaan terhadap kebiasaan yang dibutuhkan untuk mengembangkan dan menuntut pikirannya. Mereka tidak hanya mengakui bahwa masalah ada dalam pikiran, tetapi juga mengakui kebutuhan memecahkan masalah secara sistematis dan menyeluruh. Berdasarkan rasa kebutuhan untuk menerapkan secara teratur, pemikir menganalisis pemikirannya secara aktif dalam sejumlah bidang. Namun karena pemikir pada tingkatan ini hanya mulai mendekati kemajuan berpikirnya secara sistematis, mereka masih mempunyai wawasan terbatas dalam tingkatan berpikir yang mendalam, dan dalam tingkatan mendalam menyimpan masalah dalam pikiran. Pemikir tidak seperti pemikir pemula, menjadi orang yang berpengetahuan banyak tentang apa yang akan dilaksanakan untuk memonitor peran dalam

berpikir tentang konsep, asumsi, kesimpulan, implikasi, sudut pandang dan sebagainya. Mereka juga lebih berpengetahuan tentang apa yang akan dilaksanakan untuk menilai pikirannya secara teratur terhadap kejelasan, ketepatan, ketelitian, relevansi, kelogisan dan sebagainya. Mereka mengakui kebutuhan berpikir kritis yang sistematis dan internasionalisasi mendalam ke dalam kebiasaan. Mereka mengakui kecenderungan alami pikiran manusia untuk ikut serta dalam berpikir egosentrik dan kecurangan diri sendiri dengan jelas. 5. Berpikir lanjut (advanced thinking) Pemikir tingkat ini telah mampu membentuk kebiasaan berpikir yang baik. Berdasarkan kebiasaannya pemikir tidak hanya aktif menganalisis pikirannya dalam setiap hal kehidupannya saja tetapi juga telah memiliki pengetahuan yang penting tentang masalah pada tingkat berpikir yang mendalam. Namun ternyata mereka belum mampu berpikir pada tingkat yang lebih tinggi secara konsisten pada semua dimensi kehidupannya. Pemikir mempunyai perintah umum yang baik dalam sifat egosentriknya. Mereka berusaha untuk tidak berat sebelah, namun terkadang kehilangan egosentrisme dan penalaran pada satu sisi. Untuk memulai mengembangkan pemahaman mendalam tidak hanya kebutuhan praktek berpikir yang sistematis tetapi juga pengetahuan tingkat berpikir masalah yang dalam; pengakuan yang konsisten, contohnya berpikir egosentrik dan sosiosentrik, kemampuan mengidentifikasi ketidaktahuan dan prasangka dan kemampuan mengembangkan kebiasaan mendasar berpikir berdasarkan nilai-nilai yang telah dilaksanakannya. Pemikir sangat aktif dan berhasil melaksanakan monitoring peranan berpikir konsep, asumsi, kesimpulan, implikasi, sudut pandang secara sistematis dan memiliki pengetahuan yang baik dalam berusaha. Mereka juga banyak pengetahuan tentang apa yang harus dilakukan untuk menilai pemikirannya dalam hal kejelasan, ketepatan, ketelitian, relevansi, kelogisan. Mereka menilai internalisasi berpikir kritis dalam kebiasaannya sehari-hari secara mendalam dan sistematis. Mereka juga memiliki ketajaman pengetahuan terhadap peran egosentrisme dan sosiosentrisme dalam berpikir sebaik hubungan antara berpikir, perasaan dan hasrat. Mereka memiliki pemahaman yang baik terhadap peran

berpikir dalam kehidupannya, memahami bahwa berpikir egosentrik akan berperan dalam pikirannya tetapi mereka juga dapat mengontrol kekuatan egosentrisme dalam pikiran dan kehidupannya. Pemikir pada tingkat ini meninjau dan meningkatkan perencanaan yang dibuat secara teratur untuk mempraktekkannya secara sistematis. Mereka secara teratur meninjau pikirannya sendiri, mempunyai pengetahuan untuk menyampaikan kekuatan dan kelemahan berpikirnya, mempunyai pengetahuan tentang kualitas berpikirnya, secara konsisten mampu mengidentifikasi kapan berpikirnya diatur oleh sifat egosentrisme, dan menggunakan sejumlah strategi yang efektif untuk mengurangi kekuatan dari berpikir egosentrisnya. 6. Berpikir yang unggul (master thinking) Pemikir pada tingkat ini tidak hanya memerintah pikirannya secara sistematis tetapi juga memonitor, meninjau kembali, dan berpikir ulang strategi-strategi untuk meningkatkan berpikirnya secara kontinu. Mereka menginternalisasi secara mendalam kemampuan dasar berpikir, sehingga berpikir kritis bagi mereka dilakukan secara sadar dan menggunakan intuisi yang tinggi. Menurut Piaget, pemikir pada tingkat ini meningkatkan berpikirnya secara teratur ke tahap realisasi kesadaran. Dengan pengalaman yang luas dan praktek dalam penilaian sendiri, mereka tidak hanya aktif menganalisis berpikirnya dalam setiap aspek kehidupannya tetapi juga mengembangkan pengetahuan baru terhadap masalahmasalah pada tingkat berpikir yang lebih dalam. Mereka berusaha berpikir secara tidak berat sebelah dan memiliki tingkat berpikir yang tinggi walaupun tidak sempurna dalam mengontrol sifat egosentrisnya. Prinsip tantangan adalah membangun tingkatan tertinggi intuisi berpikir kritis dalam setiap segi kehidupannya, menginternalisasi berpikir kritis yang efektif antar disiplin ilmu dan praktek. Pemikir tidak hanya memonitor peran berpikir tentang konsep, asumsi, kesimpulan, implikasi, sudut pandang tetapi juga meningkatkan praktek kemampuan tersebut. Mereka tidak hanya memiliki derajat pengetahuan berpikir yang tinggi tetapi juga derajat praktek pengetahuan yang tinggi. Mereka menilai pikiran tentang kejelasan, ketepatan, ketelitian, relevansi dan kelogisan secara

intuitif. Mereka juga memiliki pengetahuan mendalam terhadap internalisasi berpikir kritis secara sistematis dalam kebiasaannya, memahami peran berpikir egosentrik dan sosiosentrik dalam kehidupan manusia sebaik hubungan antara berpikir, emosi, dan tingkah laku. Pemikir meninjau dan meningkatkan penggunaan berpikir dalam kehidupan sehari-hari secara teratur dan efektif, menyampaikan kekuatan dan kelemahan dalam berpikirnya. Pengetahuan mereka tentang kualitas berpikirnya sangat baik, meskipun mereka menyadari kekurangan (karena harus berperang melawan egosentriknya), mereka berpikir kritis secara konsisten dan efektif dalam kehidupannya. E. Berpikir Matematis Berpikir matematis merupakan hal yang penting karena berpikir matematis merupakan tujuan sekolah yang penting, berpikir matematis penting dalam cara belajar matematika, berpikir matematis penting untuk mengajarkan matematika. Berpikir matematis merupakan aktivitas sangan sangat kompleks, dan terdapat 2 pasang proses dalam berpikir matematis yaitu mengkhususkan (specialising)menggeneralisasi menyelesaikan (generalising), masalah dan menduga yang (conjecturing)-meyakinkan penggunaan luas (convincing). Menurut Stacey (2008), berpikir matematis membantu guru dalam matematika mensyaratkan keterampilan dan kemampuan matematika yaitu pengetahuan matematis yang mendalam, kemampuan bernalar, pengetahuan strategi heuristik, sikap dan kepercayaan yang berguna (seperti pandangan bahwa matematika akan sangat berguna), atribut pribadi seperti kepercayaan diri, tekun, dan organisasi, dan keterampilan untuk mengkomunikasikan penyelesaian. Pengetahuan matematis yang mendalam, kemampuan bernalar, pengetahuan strategi heuristik merupakan bagian berpikir matematis. Beberapa pakar mendeskripsikan berpikir matematis yang memusatkan pada problem solving (Polya, 1962; Feuerstein, 1980; Mason et al ,1982; Schoenfeld, 1984; Romberg,1993 dalam Watson, 2001) sedangkan pakar yang lain mengaitkan perkembangan pemahaman konseptual dalam matematika (Krutetskii, 1976; Tall,

1991 dalam Watson, 2001). Menurut Choi-Koh & Jung, terdapat tiga tipe berpikir matematis yaitu berpikir induktif, berpikir deduktif, dan berpikir kreatif. Burton (dalam Choi-Koh & Jung) mengidentifikasi 4 proses kognitif dalam berpikir matematis yaitu mengkhususkan (specializing), menggeneralisasi (generalization), menduga (conjecturing), dan meyakinkan (convincing). Hal ini senada dengan pernyataan Mason, Burton, & Stacey (dalam Stacey, 2008) yang mengidentifikasi 4 proses dasar berpikir matematis yaitu mengkhususkan (mencoba kasus-kasus khusus), menggeneralisasi (mencari pola dan hubungan), menduga (memprediksi hubungan dan hasil), dan meyakinkan (mencari dan mengkomunikasikan bernalar terhadap sesuatu adalah benar). Burton menyatakan bahwa berpikir adalah sarana yang digunakan manusia untuk meningkatkan pemahamannya. Pernyataaannya adalah sebagai berikut. Thinking is the means used by humans to improve their understanding of, and exert some control over, their environment". Menurut Burton, berpikir matematis bersifat matematis bukan karena merupakan berpikir tentang matematika tetapi karena operasinya bergantung pada operasi-operasi matematis. Kunci mengenal dan menggunakan berpikir matematis terletak pada menciptakan atmosfer yang membangun kepercayaan diri untuk bertanya, menantang dan merefleksikan karena merupakan pengakuan atas kebutuhan sejumlah asumsi, negosiasi pengertian, membuat pertanyaan, membuat dugaan, mencari pembenaran dan menyatakan argumen, mengecek dan memodifikasi, dan menyadari beberapa pendekatan yang berbeda. Berpikir deduktif dan induktif memegang peran yang penting dalam aktivitas eksplorasi. Induksi meliputi menggambar kesimpulan untuk menghasilkan hipotesis yang meluaskan pengetahuan (Holyyork & Nisbett dalam Choi-Koh & Jung). Penarikan kesimpulan dilakukan sebagai proses menggeneralisasi pola. Kemampuan mengidentifikasi, menganalisis, menggambarkan, dan menggeneralisasi pola adalah aktivitas eksplorasi dasar. Sebagai contoh pada proses eksplorasi, penggunaan kalkulator sangat berguna dalam mengolah sejumlah bilangan hingga bilangan yang multi digit seperti 1000000000. Berkaitan dengan pola dalam bilangan, pengukuran,

dan geometri, generalisasi pola dihasilkan dalam melengkapi formula dan membantu siswa memahami hubungan antara beragam topik-topik matematis. Hubungan ini mengembangkan perkembangan berpikir kreatif karena siswa menguatkan sejumlah tipe berpikir matematis yang merupakan dasar ide-ide matematis yang abstrak. Berpikir contoh, deduktif adalah suatu untuk proses yang sistenatis dan dengan tujuan menggambarkan validnya konsekuensi dari suatu pernyataan yang diberikan. Sebagai deduksi digunakan menginterpretasikan memformulasi pembelajaran, merencanakan tindakan, aturan, dan prinsip-prinsip umum. Berpikir deduktif dapat pula digunakan untuk menilai data, menentukan konsekuensi asumsi dan hipotesis dan memutuskan ide-ide yang berkompeten. Pada kebanyakan aktivitas eksplorasi, ahli matematika memberikan situasi masalah, siswa mencari variabel dan membangun, serta membuktikan formula berdasarkan relasi diantaranya. Pada kegiatan ini berpikir analitis dimanfaatkan. Stacey menganggap berpikir matematis sebagai suatu proses. Banyak cara untuk memandang berpikir matematis. Stacey (2005) memberikan kajian bagaimana berpikir matematis dibicarakan dalam kurikulum Australia, Inggris, dan Amerika. Schoenfield (dalam Stacey, 2008) merupakan salah seorang ahli yang bekerja dengan problem solving matematis mengutarakan 4 hal penting yaitu adanya sumber pengetahuan matematis dan keterampilan yang siswa bawa ketika mengerjakan tugas, strategi heuristik yang dapat digunakan siswa untuk menyelesaikan masalah, monitoring dan kontrol yang digunakan siswa dalam proses problem solving untuk membimbing mereka mencapai tujuan, dan kepercayaan bahwa siswa menguasai matematika meskipun mereka dapat atau tidak dapat menyelesaikan masalah. McLeod (dalam Stacey, 2008) melengkapi pandangan ini dengan menjelaskan secara rinci pengaruh penting berpikir matematis dalam problem solving matematis. Mampu menggunakan berpikir matematis dalam menyelesaikan masalah adalah salah satu tujuan mendasar mengajarkan matematika tetapi juga merupakan tujuan yang paling sukar untuk dipahami. Hal ini merupakan tujuan pokok mengajar dimana siswa dapat melakukan investigasi matematis sendiri dan mampu mengidentifikasi penggunaan matematika yang telah dipelajari dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Paul Halmos (dalam Stacey) problem solving adalah jantung matematika.

Kemampuan berpikir secara matematis dan menggunakan berpikir matematis untuk menyelesaikan masalah merupakan tujuan penting di sekolah. Hal ini karena berpikir matematis akan mendukung pengetahuan alam, teknologi, kehidupan ekonomi, dan perkembangan ekonomi. Pemerintah mnegakui bahwa kehidupan ekonomi yang baik dalam suatu negara ditandai adanya melek matematis (PISA, 2006 dalam Stacey, 2008). Melek matematis adalah suatu program OECD PISA yaitu program asesmen terhadap siswa berusia 15 tahun. Melek matematis adalah kemampuan mnggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam dunia kerja. Asesmen PISA menyajikan sejumlah masalah dalam konteks yang nyata kepada siswa. Kerangka yang digunakan PISA menunjukkan bahwa melek matematis melibatkan banyak komponen dalam berpikir matematis termask bernalar, memodelkan dan membuat hubungan antar ide-ide matematis. Jelas bahwa berpikir matematis merupakan hal penting dalam pengukuran besar karena melengkapi siswa kemampuan menggunakan matematika dan merupakan keluaran yang penting bersekolah. Sekolah perlu memberikan siswa rasa petualangan intelektual yang dapat diberikan dalam matematika. Morony, Hogan, & Thornton, 2004; Willis, 1998 (dalam Hurst) menyatakan bahwa terdapat 3 cara (mode) berpikir sebagai berikut. 1. nyata. 2. 3. Pengetahuan kontekstual, yaitu kesadaran dan pengetahuan bagaimana Pengetahuan strategi, yaitu kepercayaan diri, karakteristikdan konteks mempengaruhi matematika yang digunakan. keterampilan untuk mencari apa yang perlu diketahui untuk menyelesaikan masalah Berikut ini indikator perilaku siswa untuk masing-masing cara berpikir di atas. Indikator Pengetahuan matematis Pengetahuan kontekstual 1. Menyebutka 1. Interpretasi n atau mengidentifikasi data khusus yang item-item khusus memuat konteks informasi matematis. dan/atau pertanyaanyang Pengetahuan strategi 1. Memprediksi bagaimana data digunakan untuk mengembangkan ide-ide baru. Pengetahuan matematis, yaitu keterampilan, teknik dan konsep yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah kuantitatif yang dihadapi dalam konteks

2. Mengenal mensyaratkan adanya dan mengulangi interpretasi data pernyataan contoh matematis tertentu. informasi matematis 2. Menggambar 3. Menggunaka kan ide-ide matematis n informasi statistis yang mmuat informasi untuk menampilkan kontekstual. oprasi matematis 3. Menambahk 4. Proses an atau meramalkan bertanya yang berdasarkan aspek-aspek mesyaratkan data. penggunaan operasi 4. Proses matematis. bertanya yang menyarankan adanya hubungan antara aspekaspek data yang berbeda dan menggunakan data untuk menjelaskan hubungan tersebut. Livne, Livne, & Wight matematis sebagai berikut. 1. Berpikir akademik

2. Mengembang kan skema atau metode merepresentasikan data. 3. Mengevaluasi aspek data untuk menjelaskan isu-isu yang berkaitan dan membuat keputusan. 4. Proses atau respon bertanya yang mensyaratkan evaluasi aspek data.

(2008) menyatakan bahwa terdapat 2 jenis berpikir

Berpikir akademik merujuk pada standar, kemampuan analitik bernalar matematis yang logis secara konsisten. 2. Berpikir kreatif Berpikir kreatif merujuk pada kemampuan merasakan pola yang kompleks dan hubungan dalam cara asli, menggeneralisasi ide yang menghasilkan beragam penyelesaian masalah matematis, dan mengevaluasi kualitas penyelesaian. Berpikir kreatif diukur dengan banyaknya cara penyelesaian atau banyaknya selesaian dimana terdapat satu selesaian standar dan elesaian yang lain adalah alternatif. Fakta empiris menunjukkan berpikir matematis kreatif siswa diwujudkan dalam beragam cara penyelesaian terhadap masalah open-ended. Menurut Har terdapat tiga aspek berpikir matematis yaitu visualisasi, membuat pola, dan pengertian bilangan. Visualisasi adalah kemampuan pikiran bekrja dengan ide-ide abstrak untuk menganalisis dan mensintesis ide. Membuat pola adalah kemampuan pikiran untuk melihat tren dan mengidentifikasi hubungan di atara 2 atau

lebih variabel. Sedangkan pengertian bilangan adalah kemampuan pikiran dalam membuat generalisasi berdasarkan kasus tertentu yang dikrjakan. F. Berpikir Kritis dalam Matematika Pada KTSP dijelaskan bahwa pembelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan, yaitu (1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep, dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah, (2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, (3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh, (4) mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah, serta (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah (Depdiknas, 2006). Kemampuan matematika yang harus dimiliki oleh siswa pada jenjang pendidikan dasar dan menengah harus dimiliki pula oleh mahasiswa matematika. Committee on the Undergraduate Program in Mathematics (CUPM, 2004) memberikan 6 rekomendasi dasar untuk jurusan, program dan semua mata kuliah dalam matematika. Salah satu rekomendasinya menerangkan bahwa setiap mata kuliah dalam matematika hendaknya merupakan aktivitas yang akan membantu mahasiswa dalam pengembangan analitis, penalaran kritis, pemecahan masalah dan keterampilan komunikasi. Glazer (2001) memberikan definisi berpikir kritis dalam matematika sebagai berikut. Critical thinking in mathematics is the ability and disposition to incorporate prior knowledge, mathematical reasoning, and cognitive strategies to generalize, prove, or evaluate unfamiliar mathematical situations in a reflective manner.

Sedangkan Rochaminah (2008) mendefinisikan kemampuan berpikir kritis matematis diartikan sebagai serangkaian kemampuan berpikir non prosedural yakni berupa kemampuan menemukan analogi, analisis, evaluasi, memecahan masalah tidak rutin dan membuktian. Pada saat proses pembelajaran, dosen melibatkan mahasiswa dalam pembelajaran dan menciptakan situasi dan kondisi yang membuat mahasiswa mampu mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya. Oleh karena itu, untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis pembelajaran harus difokuskan pada pemahaman konsep dengan berbagai pendekatan daripada keterampilan prosedural (Furner & Robinson , 2004). Pott (1994) menyatakan ada tiga strategi spesifik untuk pembelajaran kemampuan berpikir kritis, yakni membangun kategori, mencari masalah, dan menciptakan lingkungan yang mendukung (fisik dan intelektual). 1. Strategi membangun kategori Strategi membangun kategori merupakan penalaran induktif yang membantu mahasiswa mengkategorikan informasi dengan penemuan aturan dibandingkan hanya dengan mengingat. Mahasiswa membangun pemahaman suatu konsep melalui pengamatan sifat-sifat bersama yang dimiliki dan sifat-sifat yang tidak dimiliki. Pembelajaran aktif seperti itu menghasilkan pemahaman konsep yang baik dan bertahan lama dan lebih memungkinkan untuk mengaitkan materi dibandingkan dengan metode pengajaran langsung. 2. Strategi mencari masalah Salah satu keterampilan berpikir praktis yang penting adalah pengetahuan bagaimana mengidentifikasi masalah. Strategi mencari masalah adalah suatu cara menyusun tugas sehingga pebelajar menggunakan keterampilan yang sama dengan keterampilan yang digunakan dalam memecahkan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Tugas dikembangkan dalam bentuk masalah yang tidak menyatakan secara eksplisit variabel atau aspek masalah yang akan dicari. Untuk mencapai suatu pemahaman konsep, identifikasi masalah dapat membantu menciptakan suasana berpikir bagi peserta didik. Keberhasilan dalam pembelajaran ini ditentukan pula oleh terciptanya keadaan pada saat proses pembelajaran yang menyenangkan.

3. Strategi menciptakan lingkungan yang mendukung. Berpikir kritis dalam kelas difasilitasi oleh lingkungan fisik dan intelektual yang mendorong semangat untuk menemukan. Salah satu lingkungan fisik yang mendukung berpikir kritis dalam kelas adalah susunan tempat duduk mahasiswa. Bila tempat duduk mahasiswa disusun sedemikian sehingga mahasiswa dapat saling berinteraksi dengan mahasiswa yang lain dan dengan dosen ini membantu mahasiswa untuk berpikir kritis. Upaya meningkatkan kemampuan berpikir kritis difokuskan pada pemberian kesempatan mahasiswa untuk membangun pengetahuan secara aktif artinya pengetahuan ditemukan, dibentuk, dan dikembangkan oleh mahasiswa baik secara individu maupun kelompok dengan menggunakan belajar kooperatif. Hal ini dikarenakan pendidikan merupakan proses sosial yang tidak dapat terjadi tanpa adanya interaksi antar mahasiswa. Aktivitas belajar dan bekerja secara kooperatif dalam kelompok kecil dapat mengakomodasi perkembangan kemampuan berpikir kritis matematis. Menurut Marcut (2005), matematika adalah disiplin ilmu yang berdasarkan pada berpikir rasional, jelas, merupakan bahasa dan perhatian dalam teknik pengambilan keputusan yang digunakan untuk menggambarkan kesimpulan. Berpikir kritis dalam matematika akan menjadikan pebelajar mampu mengorganisasi dan menggabungkan berpikir matematis melalui komunikasi, mengkomunikasikan berpikir matematisnya secara koheren dan jelas kepada pebelajar yang lain, guru, dan orang lain, menganalisis dan mengevaluasi berpikir matematis dan strategi, menggunakan bahasa matematika untuk mengekspresikan ide-ide matematis dengan tepat. G. Tingkat Kemampuan Berpikir Kritis dalam Matematika Bloom dan koleganya pada tahun 1956 menghasilkan suatu dokumen yang bernama The Taxonomy of The Cognitive Domain yang menyatakan bahwa pengetahuan disusun dalam 6 jenjang yang hirarkis yaitu pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), penerapan (application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation). Seddon (dalam Huitt, 1998) menyatakan bahwa lebih dari 40 tahun para peneliti telah menemukan bahwa empat jenjang yang pertama

berurutan, mulai dari yang paling bawah yaitu pengetahuan dilanjutkan jenjang di atasnya yang lebih sukar yaitu pemahaman, dilanjutkan aplikasi, dan analisis; sedangkan sintesis dan evaluasi dapat menjadi satu kesatuan, dapat terpisahkan, ataupun dapat ditukar urutannya. Dalam taksonomi ini, khususnya sintesis dan evaluasi berhubungan dengan berpikir tingkat tinggi yaitu berpikir kritis dan berpikir kreatif. Huitt (1998) menyatakan sebagai berikut. Synthesis and evaluation are two types of thinking that have much in common (the first four levels of Bloom's taxonomy), but are quite different in purpose. Evaluation (which might be considered equivalent to critical thinking as used in this document) focuses on making an assessment or judgment based on an analysis of a statement or proposition. Synthesis (which might be considered more equivalent to creative thinking) requires an individual to look at parts and relationships (analysis) and then to put these together in a new and original way. Selanjutnya taksonomi ini lebih dikenal dengan sebutan Taksonomi Bloom mengklasifikasikan tingkat berpikir ke dalam enam tingkat, yaitu: pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), penerapan (application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation). Salah satu alasan konstuksi ini adalah bahwa keterampilan yang lebih rendah diperlukan untuk dapat menggunakan keterampilan yang lebih tinggi. Keterampilan pemahaman memerlukan syarat dipenuhinya keterampilan pengetahuan. Taksonomi ini membimbing proses berpikir dari keterampilan kognitif yang sederhana hingga keterampilan kognitif yang lebih kompleks. Pada tahun 1999, Anderson mempublikasikan Taksonomi Bloom yang direvisi. Menurut Anderson & Krathwohl (2001), Forehand (2008) serta Pohl (2000), taksonomi Bloom yang direvisi ini adalah mengingat (remembering), memahami (understanding), menerapkan (applying), menganalisis (analysis), mengevaluasi (evaluation), dan mencipta (creating). a. Mengingat (remembering). Mengingat ini terdiri dari mengenali dan mengingat informasi yang relevan dari memori jangka panjang. Sub keterampilan dari mengingat ini adalah mengenali, mendaftar, dan menggambarkan informasi. b. Memahami (understanding).

Memahami adalah membuat pengertian sendiri terhadap material pendidikan yaitu konsep dan ide. Sub keterampilan dari memahami ini adalah interpretasi, klasifikasi, membandingkan, menjelaskan, dan meringkas ide atau konsep. c. Menerapkan (applying). Menerapkan merujuk pada menggunakan prosedur yang dipelajari pada situasi baru atau situasi yang sudah dikenal. d. Menganalisis (analysis) Pada jenjang ini, informasi dipecah ke dalam bagian untuk menggali pemahaman dan hubungan. Sub keterampilan analisis antara lain membandingkan, mengorganisasi, dekonstruksi, menginterogasi, dan menemukan informasi.

e.

Mengevaluasi (evaluation).

Pada taksonomi asli, evaluasi merupakan jenjang yang tertinggi. Pada jenjang ini, dilakukan penilaian terhadap keputusan yang dibuat. Sub keterampilan evaluasi antara lain mengecek, membuat hipotesis, mengkritisi, dan menilai. f. Mencipta (creating). Mencipta tidak termasuk di dalam taksonomi asli, dan pada taksonomi revisi ini merupakan komponen yang tertinggi. Keterampilan ini melibatkan penggunaan beberapa hal untuk menciptakan sesuatu yang baru. Pebelajar pada jenjang ini dapat menggeneralisasi, merencanakan, dan menghasilkan suatu produk. Way (2003) membagi level pemahaman (comprehension) Taksonomi Bloom yang diterapkan dalam matematika menjadi dua kategori yaitu: translasi (translation) dan interpretasi (interpretation), sehingga tingkatan berpikir yang digunakan dalam matematika menjadi tujuh level seperti berikut. 1. Pengetahuan (knowledge) atau ingatan (recall) atau komputasi (computation). Pada jenjang ini pebelajar dituntut untuk mampu menggali atau mengingat kembali (memory) pengetahuan yang telah disimpan di dalam skemata struktur kognitifnya. Hal-hal yang termasuk ke dalam jenjang kognitif ini adalah berupa pengetahuan tentang fakta dasar, terminologi (peristilahan), atau manipulasi yang sifatnya sudah rutin (algoritma).

2. Pemahaman (comprehension). Pemahaman (comprehension) merepresentasikan jenis pemahaman atau pengertian dimana individu mengetahui apa yang dapat dikomunikasikan dan dapat menggunakan material atau ide yang dikomunikasikan tanpa perlu menghubungkannya dengan material lain atau melihat kesempurnaan implikasinya. Translasi adalah kemampuan pebelajar untuk mengubah informasi ke dalam simbol atau bahasa yang berbeda. Sedangkan interpretasi adalah kemampuan pebelajar untuk mencari hubungan antara definisi, fakta, konsep, prinsip, aturan, generalisasi, nilai, dan keterampilan. 3. Penerapan (application). Penerapan (application) adalah kemampuan untuk memilih, menggunakan, dan menerapkan dengan tepat suatu teori atau cara pada situasi baru. Mahasiswa dalam menyelesaikan masalah membutuhkan identifikasi masalah, memilih dan menggunakan generalisasi dan keterampilan yang tepat. Jenjang aplikasi ini melibatkan sejumlah respon. Respon tersebut ditransfer ke dalam situasi baru yang berarti konteksnya berlainan. Bloom dan kawan-kawan membagi ke dalam empat bagian, yaitu: kemampuan untuk menyelesaikan masalah rutin; kemampuan untuk membandingkan; kemampuan untuk menganalisis data, dan kemampuan untuk mengenal pola, isomorfisma dan simetri. 4. Analisis (analysis). Analisis (analysis) adalah kemampuan untuk merinci atau menguraikan suatu masalah (soal) menjadi bagian-bagian yang lebih kecil (komponen) serta mampu untuk memahami hubungan diantara bagian-bagian tersebut. Pada jenjang ini, mahasiswa menyelesaikan masalah dengan pengetahuan yang disadari sebagai bagian bentuk berpikir. Kemampuan mahasiswa untuk memecahkan masalah non rutin termasuk ke dalam jenjang ini, yaitu kemampuan untuk mentransfer pengetahuan matematika yang telah dipelajari terhadap konteks baru. Penyelesaian masalah bisa berupa menguraikan suatu masalah menjadi bagianbagian atau kesatuan kemudian mengkaji, serta menyusun kembali bagian-bagian tersebut menjadi suatu kesatuan sehingga merupakan penyelesaian akhir. Tahap

analisis ini dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: analisis terhadap elemen, analisis terhadap hubungan dan analisis terhadap aturan. 5. Sintesis (synthesis). Sintesis (synthesis) adalah kemampuan berpikir yang merupakan kebalikan dari suatu proses analisis. Sintesis merupakan suatu proses yang memadukan bagianbagian atau unsur-unsur secara logis sehingga menjadi suatu pola terstruktur atau bentuk baru. Pada jenjang ini, mahasiswa menyelesaikan masalah yang membutuhkan kemampuan berpikir kreatif dan orisinal. Kemampuan untuk menemukan hubungan, kemampuan menyusun pembuktian, dan kemampuan berpikir kritis termasuk kemampuan ini. 6. Evaluasi (evaluation). Evaluasi (evaluation) adalah kemampuan seseorang untuk dapat memberikan pertimbangan terhadap suatu situasi, ide, metode berdasarkan suatu patokan atau kriteria. Pada jenjang ini, mahasiswa membuat keputusan baik/buruk, benar/salah berdasarkan standar nilai. Setelah memberikan pertimbangan dengan matang dilanjutkan dengan memberikan suatu kesimpulan. Taksonomi Bloom menggunakan jenjang keterampilan berpikir tingkat tinggi untuk menghubungkan berpikir kritis dan kreatif. Lamb (2003) menyatakan bahwa berpikir kritis melibatkan berpikir logis dan penalaran sedangkan berpikir kreatif melibatkan menciptakan (create) sesuatu yang baru atau sesuatu yang lain, berpikir kritis dapat diajarkan dengan lebih banyak menggunakan otak kiri sedangkan berpikir kreatif banyak menggunakan otak kanan, serta ketika berbicara tentang HOTS higher-order thinking skills maka yang dimaksud adalah tiga jenjang yang paling atas dari taksonomi Bloom yaitu analisis, sintesis, dan evaluasi. Tingkat berpikir pengetahuan dan pemahaman dianggap sebagai tingkat berpikir yang rendah sedangkan aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi sebagai berpikir tingkat tinggi (Burris, 2005). Sedangkan menurut Crawford (2002) jenjang yang berasosiasi dengan HOTS adalah jenjang sintesis dan evaluasi. Peneliti seperti Ennis dan Facione menyatakan bahwa meskipun berpikir kritis mencakup aspek-aspek berpikir tingkat tinggi namun kedua konsep tidak dapat disamakan. Menurut Facione (1990), berpikir kritis, problem solving, berpikir kreatif,

dan membuat keputusan adalah satu kesatuan yang berhubungan erat dengan berpikir tingkat tinggi. Ennis (1993) juga menyatakan bahwa berpikir kritis dapat digabung dengan berpikir tingkat tinggi. Untuk menilai apakah seseorang termasuk kategori pemikir kritis yang baik ataukah pemikir kritis yang kurang, dapat dilihat dari apakah orang tersebut mampu menginterpretasi, menganalisis, mengevaluasi dan menyimpulkan, dapat menjelaskan apa yang dipikirkannya dan bagaimana orang tersebut membuat keputusan, dapat menerapkan kekuatan berpikir kritis pada dirinya sendiri dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis terhadap pendapat-pendapat yang dibuatnya. Facione (2009) mengungkapkan tentang keterampilan kognitif yang merupakan inti dari berpikir kritis yaitu interpretasi (interpretation), analisis (analysis), evaluasi (evaluation), penyimpulan (inference), penjelasan (explanation), dan regulasi diri (self-regulation).
a. Interpretasi (interpretation).

Interpretasi adalah memahami dan menyatakan pengertian atau signifikansi dari beragam pengalaman, situasi, data, peristiwa, keputusan, konvensi, kepercayaan, aturan, prosedur atau kriteria. Interpretasi memiliki sub keterampilan yaitu mengkategorisasi, menguraikan arti, dan menjelaskan pengertian. Beberapa contoh pertanyaan yang dapat digunakan untuk mengembangkan keterampilan interpretasi, yaitu bagaimana mengakui adanya suatu masalah dan menggambarkan masalah dengan jelas tanpa menimbulkan bias, bagaimana mengkonstruksi pengkategorian sementara atau cara mengorganisasi sesuatu yang dipelajari, serta apa yang sesungguhnya dipelajari dari suatu topik matematika tertentu.
b. Analisis (analysis).

Analisis adalah mengidentifikasi hubungan antara pernyataan, pertanyaan, konsep, deskripsi atau bentuk lain dari representasi yang diharapkan untuk mengungkapkan kepercayaan, keputusan, pengalaman, alasan, informasi atau opini. Analisis ini memiliki sub keterampilan yaitu menguji ide, mendeteksi argumen, dan menganalisis argumen. Beberapa contoh pertanyaan yang mendorong keterampilan analisis adalah bagaimana mengidentifikasi persamaan

dan perbedaan dua atau lebih pendekatan yang digunakan untuk menyelesaikan suatu masalah, bagaimana mengidentifikasi asumsi yang belum diungkapkan, bagaimana mengkonstruksi suatu cara untuk merepresentasikan kesimpulan dan beragam alasan yang diberikan untuk mendukung atau mengkritiknya.
c. Evaluasi (evaluation).

Evaluasi adalah menilai kredibilitas dari suatu pernyataan atau representasi lain yang dilaporkan atau deskripsi dari persepsi, pengalaman, situasi, keputusan, kepercayaan, atau opini dari seseorang; dan menilai kekuatan logis dari hubungan antara pernyataan, deskripsi, pertanyaan dan bentuk representasi yang lain. Sub keterampilan evaluasi adalah menilai argumen dan menilai klaim. Contoh pertanyaan yang dapat dikembangkan untuk mengasah keterampilan evaluasi adalah bagaimana menilai kredibilitas seseorang, bagaimana kekuatan dan kelemahan interpretasi alternatif, bagaimana menentukan kredibilitas sumber informasi, bagaimana menjelaskan dua pernyataan yang saling kontradiktif.
d. Penyimpulan (inference).

Penyimpulan adalah mengidentifikasi dan menjamin elemen yang dibutuhkan untuk menggambarkan kesimpulan yang bernalar, membentuk dugaan (conjecture) dan hipotesis, mempertimbangkan informasi yang relevan. Sub keterampilan dari penyimpulan adalah mendaftar fakta-fakta dan dugaan alternatif, dan menggambarkan kesimpulan. Sebagai contoh dari penyimpulan adalah memprediksi sesuatu berdasarkan informasi yang ada, mensintesis ide-ide yang berhubungan dengan perspektif yang koheren, mengembangkan beberapa alternatif pemecahan masalah dari suatu masalah yang muncul berdasarkan datadata.
e. Penjelasan (explanation).

Yaitu mampu untuk menyampaikan cara berpikir seseorang dengan cara yang meyakinkan dan koheren. Hal ini berarti mampu menyatakan dan memberikan penilaian terhadap bernalar secara jelas, konseptual, metodologis, kriteriologis, dan kontekstual serta mampu menyatakan penalaran seseorang dalam bentuk argumen yang jelas. Sub keterampilan dari penjelasan ini adalah menggambarkan metode dan hasil, menilai prosedur, menyampaikan dan mempertahankan

pendapat dengan penalaran yang logis, menyampaikan argumen yang menyeluruh dan bernalar dalam hal mendapatkan pemahaman yang terbaik. Beberapa contohnya adalah mengkonstruksi chart yang mengorganisasi hasil temuan seseorang, menyatakan hasil penelitian dan menggambarkan metode dan kriteria yang digunakan untuk mendapatkan hasil tersebut, mendesain display grafis yang merepresentasikan hubungan subordinat dan superordinat di antara konsep dan ide dengan tepat, menyebutkan fakta-fakta yang mendukung untuk menyetujui atau menolak suatu kesimpulan.
f. Regulasi diri (self-regulation).

Adalah suatu kesadaran diri untuk memonitor aktivitas kognitif seseorang, elemen yang digunakan dalam aktivitas tersebut, dan hasil yang didapatkan, khususnya dengan menerapkan keterampilan analisis dan evaluasi terhadap keputusan yang diambil seseorang dengan maksud bertanya, mengkonfirmasi, memvalidasi atau memeriksa penalaran seseorang. Sub keterampilan dari regulasi diri ini adalah pengujian sendiri dan koreksi sendiri. Contohnya adalah mengecek diri sendiri ketika mendengarkan penjelasan orang lain untuk meyakinkan pemahamannya sendiri, memonitor bagaimana diri sendiri terlihat memahami sesuatu, mengingatkan diri sendiri untuk memisahkan antara pendapat pribadi dengan pendapat orang lain terhadap sesuatu, mengecek ulang sendiri hasil suatu pengerjaan untuk melihat ada tidaknya suatu kesalahan yang dibuat, mempertimbangkan kembali interpretasi dan keputusan dengan analisis yang lebih lanjut terhadap fakta-fakta. Seseorang yang mampu melakukan interpretasi, analisis dan evaluasi dianggap telah menjadi pemikir kritis. Tetapi tentu saja kemampuan berpikir kritisnya berada di bawah seseorang yang selain mampu melakukan interpretasi, analisis dan evaluasi, juga mampu menjelaskan apa yang dipikirkan dan bagaimana memperoleh keputusan dan mampu menerapkan kekuatan berpikir kritisnya dalam kehidupannya dan meningkatkan kemampuan berpendapatnya sebelumnya (penjelasan dan regulasi diri). Dengan demikian jenjang kemampuan berpikir kritisnya berada di bawah orang yang mampu menerapkan keenam keterampilan kognitif tersebut.

Gotoh (2004) mengungkapkan penjenjangan kemampuan berpikir matematis dalam memecahkan masalah terdiri 3 tingkat yang dinamakan aktivitas empiris (informal), algoritmis (formal) dan konstruktif (kreatif). Dalam tingkat pertama, berbagai teknik atau aplikasi praktis dari aturan dan prosedur matematis digunakan untuk memecahkan masalah tanpa suatu kesadaran yang pasti/tertentu, sehingga masih dalam coba-coba. Dalam tingkat kedua, teknik-teknik matematis digunakan secara eksplisit untuk menuju operasi, penghitungan, manipulasi dan penyelesaian masalah. Pada tingkat ketiga, pengambilan keputusan yang non algoritmis ditunjukkan dalam memecahkan masalah non-rutin seperti suatu masalah penemuan dan pengkonstruksian beberapa aturan. Stage 1: Emperical (informal) activity. In this stage, some kind of technical or practical application of mathematical rules and procedures are used to solve problems without a certain kind of awareness. Stage 2: The algoritmic (formal) activity. In this stage, mathematical techniques are used explicitly for carrying out mathematical operations, calculating, manipulating and solving. Stage 3: The constructive (creative) activity. In this stage, a non-algoritmic decision making is performed to solve nonroutine problem such as a problem of finding and constructing some rule. Tabel 1 Tingkat Berpikir Matematis dari Gotoh (2004) Krulik & Rudnick (1995) membuat penjenjangan penalaran yang merupakan bagian dari berpikir yaitu pengingatan (recall), berpikir dasar (basic), berpikir kritis (critical) dan berpikir kreatif. Tingkat terendah dari berpikir adalah pengingatan (recall) yang memasukkan keterampilan-keterampilan berpikir yang hampir otomatis dan refleksif (tanpa disadari), seperti mengingat operasi-operasi dasar matematika atau mengingat alamat atau nomor telepon. Tingkat berikutnya adalah dasar, yaitu pemahaman dan pengenalan konsep-konsep matematika seperti penjumlahan R atau E pengurangan dan aplikasinya dalam masalah-masalah. Tingkat dasar bagi seseorang A mungkin merupakan tingkat ingatan bagi orang lain. Tingkat berikutnya adalah S Creative berpikir kritis. Berpikir kritis merupakan berpikir yang melibatkan menguji, O menghubungkan dan mengevaluasi semua aspek sebuah situasi atau masalah. N Critical Termasuk dalam berpikir kritis adalah mengumpulkan, mengorganisasikan, I Basic N G

Recall

mengingat dan menganalisis informasi. Berpikir kritis juga merupakan kemampuan untuk membaca dengan pemahaman dan mengidentifikasi materi-materi yang diperlukan. Selain itu merupakan kemampuan untuk mengambil kesimpulan dari sekumpulan data yang diberikan dan menentukan inkosistensi dan kontradiksinya. Berpikir kritis bersifat analitis dan refleksif. Tingkat tertinggi adalah berpikir kreatif. Berpikir kreatif merupakan pemikiran yang bersifat keaslian, dan reflektif serta menghasilkan suatu produk yang komplek. Berpikir tersebut melibatkan sintesis ideide, membangun ide-ide dan menerapkan ide-ide tersebut. Juga melibatkan kemampuan untuk menemukan dan menghasilkan produk yang baru. Tabel 5 berikut ini tentang karakteristik Tingkat Penalaran (berpikir) Krulik & Rudnick. Basic Understanding of concepts Recognizing a concept when it appears in a setting Critical Examining, relating, and evaluating all aspects of a situation or problem. Focusing on parts of a situation or problem. Gathering and organizing information. Validating and analyzing information. Remembering and associating previously learned information. Determininng reasonableness of an answer. Drawing valid conclusions. Analytical and reflexive in nature. Creative Original, effective, and produces a complex product. Inventive. Synthesizing ideas. Generating ideas. Applying ideas. Tabel 2 Tingkat Penalaran (Berpikir) dari Krulik & Rudnick (1995) Krulik & Rudnick (1995) mengatakan bahwa kriteria tingkatan itu sering sekali bergerak menuju tingkat lebih rendah di antara tingkat-tingkat tersebut. Dengan demikian memungkinkan terjadi tumpang tindih tingkat berpikir mahasiswa apakah termasuk dalam tingkat berpikir kritis atau kreatif. Kesulitan dalam membedakan

tingkat ini merupakan tantangan untuk diatasi dengan mencari pendekatan lain dalam membuat tingkatan itu. Wood, Williams, & Mc Neal (2006) mendefinisikan berpikir matematis sebagai aktivitas mental yang melibatkan abstraksi dan generalisasi ide-ide matematis. Selanjutnya pada tahun 2000, Williams membuat hirarkhi aktivitas kognitif siswa yang menggambarkan berpikir matematis ketika memecahkan masalah matematis. Hirarkhi ini dimulai dengan memahami (comprehending), menerapkan (applying), menganalisis (analyzing), menganalisis sintetik (synthetic-analyzing), menganalisisevaluasi (evaluate-analyzing), mensintesis (synthesizing), dan mengevaluasi (evaluating) (Williams, 2003). Tingkat berpikir selain memahami dan menerapkan merupakan tingkat berpikir yang tinggi dalam matematika. a. Memahami (comprehending). Adalah suatu proses identifikasi konteks yang bersifat abstrak atau mengenali prosedur yang akan diterapkan pada konteks yang baru. Menurut Wood, Williams, & Mc Neal (2006) aktivitas kognitif pada tingkat ini adalah memahami konsep yang terdapat pada strategi/ide yang telah dipelajari/diketahui. b. Menerapkan (applying). Adalah menerapkan sesuatu yang abstrak pada konteks yang telah diketahui, menerapkan prosedur yang telah dipelajari sebelumnya. Menurut Wood, Williams, & Mc Neal (2006) aktivitas kognitif pada tingkat ini adalah menerapkan ide-ide matematis dalam strategi berpikir. c. Menganalisis (analyzing). Adalah menerapkan sesuatu yang abstrak pada konteks yang baru, membangun ide yang telah diketahui untuk menyelesaikan masalah yang agak rumit, mengenal kebutuhan akan informasi yang lebih. Menurut Wood, Williams, & Mc Neal (2006) aktivitas kognitif pada tingkat ini adalah menerapkan prosedur matematis yang diketahui pada konteks baru, menyelesaikan masalah non-rutin, membiasakan diri dengan masalah yang menggunakan contoh-contoh numeris khusus, dan sistematisasi hasil numeris dan mencari pola. d. Menganalisis-sintetis (synthetic-analyzing).

Adalah mencari hubungan antara 2 cara penyelesaian yang berbeda yang memiliki tujuan yang sama, bekerja terbalik, menggunakan lebih dari satu cara penyelesaian, menjelaskan kebutuhan informasi yang lebih ketika hanya ada sejumlah informasi yang disediakan untuk menyelesaikan masalah. Menurut Wood, Williams, & Mc Neal (2006) aktivitas kognitif pada tingkat ini adalah membedakan dan membandingkan 2 metode penyelesaian; menghubungkan beragam representasi, operasi dan asumsi; menggunakan lebih dari satu cara untuk menyelesaikan masalah; menghasilkan generalisasi yang independen (penemuan kecil); analisis satu kasus/membentuk prinsip yang memberi petunjuk untuk membentuk aturan baru. e. Menganalisis-evaluasi (evaluate-analyzing). Adalah melihat hasil dari beragam perspektif yang berbeda untuk menilai penalaran pada hasil tersebut. Menurut Wood, Williams, & Mc Neal (2006) aktivitas kognitif pada tingkat ini adalah menghubungkan cara penyelesaian dengan tujuan identifikasi kekuatan dan kelemahan argumen, menggunakan ideide secara bersama untuk membuat suatu keputusan, mengevaluasi apakah metode/hasil yang diperoleh bernalar dan efisien. f. Adalah Mensintesis (synthesizing). proses yang mengintegrasikan hal-hal yang abstrak untuk

mengembangkan pengertian mendalam matematis baru, mengkombinasikan konsep untuk menciptakan konsep yang original. Menurut Wood, Williams, & Mc Neal (2006) aktivitas kognitif pada tingkat ini adalah memformulasi argumen matematis untuk menjelaskan pola yang ditemukan, menggali masalah dari beragam perspektif daripada hanya fokus pada penyelesaian tertentu, menggabungkan konsep-konsep untuk menciptakan pikiran/ide baru, dan menggali masalah untuk mengembangkan pengertian mendalam baru secara berkelanjutan. g. Mengevaluasi (evaluating). Adalah pengecekan terhadap kekonsistenan hasil penemuan, mencari batasan pendekatan yang digunakan dan mengenal konteks yang lain untuk menerapkan ide-ide baru. Menurut Wood, Williams, & Mc Neal (2006) aktivitas kognitif pada

tingkat ini adalah merefleksikan situasi sebagai suatu keseluruhan dengan tujuan mengenali informasi yang tidak konsisten/mencari penyelesaian lain yang lebih baik, merefleksikan proses penyelesaian masalah dengan tujuan mengenali batasan dan aplikasi pada konteks yang lain, dan merefleksikan cara penyelesaian yang dikembangkan dan memungkinkan adanya kontribusi pada proses matematis secara umum di masa depan. Dreyfus, Hershkowitz, & Schwarz (2001b) membuat konstruksi pengetahuan matematis yang terdiri dari 3 tindakan epistemik (tindakan yang berhubungan dengan pengetahuan yang diperoleh) yang dapat diamati dan terjadi selama proses kognitif abstraksi dan generalisasi adalah RBC yaitu recognizing, building-with, constructing. a. Mengenal (recognizing). Adalah mengenali struktur matematis yang familiar terjadi ketika pebelajar menyadari bahwa struktur melekat pada situasi matematis yang diberikan. Proses ini melibatkan pertimbangan dengan hasil tindakan sebelumnya dan menyatakan bahwa keduanya sama dengan analogi. b. Membangun (building-with). Terdiri dari kombinasi artefak yang ada untuk memenuhi tujuan seperti menyelesaikan masalah atau membenarkan suatu pernyataan. Pada proses ini, tujuan dicapai dengan menggunakan pengetahuan yang sudah diperoleh sebelumnya atau yang telah dikonstruksi. Pada building-with, pebelajar tidak diperkaya dengan struktur pengetahuan baru yang lebih kompleks tetapi menggunakan struktur pengetahuan yang tersedia dalam berhubungan dengan masalah. Tingkatan ini akan terlihat jelas ketika pebelajar terlibat dalam tugastugas aplikasi atau membuat hipotesis atau membenarkan suatu pernyataan. c. Mengkonstruksi (constructing). Adalah suatu proses membangun struktur yang lebih kompleks dari struktur yang sederhana. Tingkatan ini melibatkan reorganisasi elemen matematika sehingga muncul struktur yang lebih halus. Mengkonstruksi (constructing) terdiri dari penyusunan pengetahuan untuk menghasilkan struktur baru agar dikenali oleh pebelajar. Dalam tindakan ini, prosesnya sendiri disebut sebagai konstruksi atau menstruktur ulang pengetahuan yang menjadi tujuan aktivitas. Kontruksi ini

sangat diperlukan untuk mencapai tujuan yaitu memecahkan masalah. Pada tahap mengkonstruksi, pebelajar menggunakan struktur matematis baru untuk mencapai tujuannya yang ada. Pada model ini, mengkonstruksi menggabungkan dua tindakan epistemik lainnya dalam arti tindakan membangun diperlukan dalam tindakan mengkonstruksi dan tindakan mengenali diperlukan dalam membangun dan mengkonstruksi. Selanjutnya, William (2003) menggabungkan aktivitas kognitifnya sebagai subkategori dalam pandangan Dreyfus, Hershkowitz, dan Schwarz sebagai berikut. a. b. Mengenal (recognizing) meliputi memahami (comprehending). Membangun (building-with) meliputi (analyzing), menganalisis-sintetik menerapkan (applying), (synthetic-analyzing), dan menganalisis c. (memecahkan masalah) sedangkan pada tahap membangun (building-with), tujuan diperoleh dengan mengkombinasikan struktur-struktur

menganalisis-evaluasi (evaluate-analyzing). Mengkonstruksi (constructing) meliputi mensintesis (synthesizing), dan mengevaluasi (evaluating). Berdasarkan penjelasan di atas, maka terdapat penjenjangan tingkat kemampuan berpikir kritis dalam matematika. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat kemampuan berpikir kritis (TKBK) dalam memecahkan masalah matematika merupakan suatu jenjang kemampuan berpikir yang hirarkhis dengan dasar pengkategoriannya berupa proses dan produk bernalar dalam berpikir kritis untuk memecahkan masalah matematika. Kemampuan di sini diartikan sebagai kecakapan atau keterampilan mahasiswa dalam memecahkan masalah matematika dengan tepat sekaligus berdasarkan kejelasan, ketepatan, ketelitian, relevansi, kelogisan, kedalaman, dan keluasan berpikir kritisnya. H. Tahap Berpikir Kritis dalam Matematika Terdapat beberapa ahli yang mengungkapkan tahap berpikir kritis. Diantaranya Newman, Webb & Cochrane; Garrison, Anderson & Ancher; Bullen, Ennis, dan Perkins & Murphy. Newman, Webb & Cochrane (1995) membagi berpikir kritis menjadi 5 tahap yaitu klarifikasi dasar (elementary clarification), klarifikasi

mendalam (in-depth clarification), penyimpulan (inference), pengambilan keputusan (judgement), dan formasi strategi (strategies formation). a. Tahap pertama: klarifikasi dasar (elementary clarification). Berdasarkan motivasi awal untuk belajar, peristiwa pencetus (triggering event) menimbulkan dan menyokong minat dan rasa ingin tahu yang distimulus dengan interaksi dengan teman yang lain. Pebelajar mengamati atau belajar suatu masalah, mengidentifikasi elemen-elemennya, dan mengamati hubungan diantara elemen-elemen tersebut sebagai dasar pemahaman. b. Tahap kedua: klarifikasi mendalam (in-depth clarification). kepercayaan, Pada tahap ini, terjadi penyusunan masalah dan pendekatan penyelesaiannya menggunakan pengalaman. Pembelajar menganalisis masalah, asumsi yang mendasari pernyataan masalah. c. Tahap ketiga: penyimpulan (inference). Pada tahap ini, pebelajar mendapatkan pengertian yang mendalam (insight) dan pemahaman berdasarkan belajar mandiri dan belajar kelompok. Keterampilan yang diperlukan dalam tahap ini adalah induksi dan deduksi, mengakui atau menyetujui ide yang berhubungan dengan proposisi yang sudah diakui benar. d. Tahap keempat: pengambilan keputusan (judgement). Pada tahap ini, terjadi evaluasi penyelesaian alternatif dan ide-ide baru dalam konteks sosial. Pada tahap ini diperlukan keterampilan pertimbangan dalam membuat keputusan, pernyataan, penghargaan, evaluasi, kritik atau berpendapat. e. Tahap kelima: formasi strategi (strategies formation). Mengemukakan tindakan selaras untuk mengaplikasikan penyelesaian, mengikuti pilihan atau keputusan. Pada tahap ini menggambarkan adanya pengetahuan personal yang kemudian divalidasi di dalam kelompok. Tahap ini adalah tahap dimana penyelesaian berlatar belakang dunia nyata. Menurut Garrison, Anderson & Archer (2004), berpikir kritis adalah proses dan hasil. Dalam perspektif proses, diasumsikan bahwa berpikir kritis dapat diperoleh dengan bantuan pemahaman terhadap proses. Sebagai hasil, berpikir kritis lebih baik untuk dipahami sebagai perspektif individual, yaitu kemahiran pendalaman dan pemahaman bermakna sebaik kemampuan keterampilan, dan penempatan inquiry

kritis. Menilai kualitas berpikir kritis sebagai hasil dalam konteks pendidikan khusus adalah tanggung jawab dosen sebagai ahli pedagogis dan isi. Sebagai hasil, berpikir kritis lebih baik dinilai melalui penugasan pendidikan individual. Kesulitan menilai berpikir kritis sebagai hasil adalah berpikir kritis sangat kompleks dan (hanya secara tidak langsung) dapat mencapai proses kognitif. Menurut Garrison, Anderson & Archer (2004) berpikir kritis berhubungan dengan kreativitas, problem solving, intuisi dan pengertian mendalam. Mereka mengkonstruksi model berpikir kritis yaitu model inquiry praktis (practical inquiry model)yang mempertimbangkan nilai tertentu dalam belajar konteks pendidikan formal. Model inquiry praktis ini meliputi 4 tahap penting untuk memahami dan menggambarkan inquiry kritis dalam konteks pendidikan. a. Tahap pertama: peristiwa pencetus (triggering events). Pada tahap ini, isu-isu, dilema, atau masalah yang muncul dari pengalaman diidentifikasi. Biasanya dosen menyampaikan tantangan belajar atau tugas secara eksplisit yang menjadi peristiwa pencetus. Peran dosen adalah memprakarsai, membentuk dan dalam kasus tertentu menghilangkan peristiwa pencetus yang potensial menjadi pengecoh sehingga fokus pada pencapaian pendidikan yang diinginkan. b. Tahap kedua: eksplorasi (exploration). Pada tahap ini, pebelajar beralih dari dunia pribadi yang merefleksikan dunia individual pebelajar ke eksplorasi sosial ide-ide. Awalnya, pada tahap ini pebelajar perlu untuk merasa atau memahami sifat masalah kemudian menggali informasi yang relevan. Eksplorasi ini terjadi dalam komunitas inquiry dengan berurutan bergerak antara dunia pribadi dan dunia bersama- yaitu antara refleksi kritis dan ceramah. Pada akhir tahap ini, pembelajar mulai memilih hal-hal yang relevan dengan isu atau masalah. Tahap ini adalah tahap divergen yang bercirikan pengilhaman (branstorming), bertanya, dan bertukar informasi. c. Tahap ketiga: integrasi (integration). Pada tahap ini bercirikan pengkonstruksian pengertian dari ide-ide yang dihasilkan pada tahap eksplorasi. Selama transisi dari tahap eksplorasi, pembelajar mulai menilai penerapan ide dalam hal bagaimana ide tersebut

berhubungan dan menggambarkan secara baik dengan isu atau peristiwa yang sedang dipertimbangkan. Fakta-fakta dari ide-ide integrasi dan pengkonstruksian pengertian diduga dari komunikasi dalam komunitas inquiry. Tahap ini membutuhkan aktivitas mengajar aktif untuk mendiagnosis miskonsepsi, menyediakan pertanyaan penyelidikan, komentar, informasi tambahan dalam upaya memastikan keberlanjutan perkembangan kognitif dan untuk memodelkan proses berpikir kritis d. Tahap keempat: resolusi (resolution). Resolusi ini berarti tindakan. Tindakan ini merupakan hasil berpikir kritis terhadap suatu masalah. Dalam bidang non pendidikan, pada tahap ini dilaksanakan penerapan penyelesaian atau pengetesan hipotesis dengan aplikasi praktis. Dalam bidang pendidikan, biasanya dilakukan tes melalui eksperimen dan konsensus yang dibangun dalam komunitas inquiry. Model inquiry praktis ini merefleksikan proses berpikir kritis dan merupakan sarana untuk menciptakan kehadiran kognitif yaitu inquiry praktis. Kehadiran kognitif dioperasionalisasi melalui proses inquiry praktis. Kehadiran kognitif didefinisikan sebagai tingkat dimana pembelajar dapat mengkonstruksi dan memperkuat pengertian melalui refleksi dan percakapan dalam komunitas inquiry kritis secara terus-menerus (Garrison, Anderson, dan Archer, 2004). Bullen (1997) yang menjelaskan bahwa berpikir kritis terjadi dalam 4 tahap sebagai berikut. a. Tahap pertama: klarifikasi (clarification). Pada tahap ini, dilakukan upaya menilai dan memahami sifat dasar masalah, isu, atau dilema. Termasuk pula memahami sudut pandang yang berbeda dalam suatu masalah. b. Tahap kedua: asesmen bukti (assessing evidence). Sebagai dasar untuk pengambilan kesimpulan maka fakta-fakta yang digunakan untuk mendukung kesimpulan dinilai terlebih dahulu. Termasuk dalam hal ini adalah menilai kredibilitas sumber informasi, membuat dan memutuskan kredibilitas pengamatan.

c.

Tahap ketiga: membuat dan memutuskan kesimpulan (making and

judging inferences). Kesimpulan deduktif dan induktif dan nilai keputusan dilibatkan dalam membuat keputusan tentang apa yang akan dilakukan atau dipercayai. Berpikir kritis melibatkan kemampuan menduga kesimpulan dan membuat kesimpulan yang tepat. Pada tahap ini, juga digunakan fakta-fakta yang mendukung argumen. d. Tahap keempat: menggunakan strategi dan taktik yang tepat (using appropriate strategies and tactics). Berpikir kritis bukan masalah mengikuti suatu prosedur atau langkah-langkah tetapi menggunakan beberapa strategi yang dapat berguna dalam membimbing berpikir . Ennis (2005) mendefinisikan tahap-tahap berpikir kritis menjadi lima yaitu klarifikasi dasar (elementary clarification), dukungan dasar (basic support), penyimpulan (inferences), klarifikasi lanjut (advanced clarification), strategi dan taktik (strategy and tactics).
a.

Klarifikasi dasar (elementary clarification). Tahap ini meliputi kegiatan fokus pada masalah, menganalisis argumen, bertanya dan menjawab pertanyaan untuk klarifikasi/menantang. Permasalahan yang menjadi fokus bisa terdapat dalam kesimpulan sebuah argumen. Dukungan dasar (basic support). Tahap ini meliputi kegiatan menilai kredibilitas sumber, mengamati dan menilai laporan pengamatan. Penyimpulan (inferences). Pada tahap ini meliputi kegiatan deduksi dan menilai deduksi, induksi dan menilai induksi, membuat dan menilai hasil keputusan. Klarifikasi lanjutan (advanced clarification) Pada tahap ini meliputi kegiatan mendefinisikan pola, menilai definisi, mengidentifikasi asumsi. Strategi dan taktik (strategy and tactics) Tahap ini meliputi kegiatan memutuskan tindakan yang akan dilaksanakan, dan berinteraksi dengan yang lain.

b.

c.

d.

e.

Perkins & Murphy (2006) membagi tahap-tahap berpikir kritis menjadi 4 tahap sebagai berikut. a. Tahap klarifikasi (clarification). Tahap ini merupakan tahap menyatakan, mengklarifikasi, menggambarkan (bukan menjelaskan) atau mendefinisikan masalah. Aktivitas yang dilakukan adalah menyatakan masalah, menganalisis pengertian dari masalah, mengidentifikasi sejumlah asumsi yang mendasari, mengidentifikasi hubungan di antara pernyataan atau asumsi, mendefinisikan atau mengkritisi definisi pola-pola yang relevan. b. Tahap asesmen (assessment). Tahap ini merupakan tahap menilai aspek-aspek seperti membuat keputusan pada situasi, mengemukakan fakta-fakta argumen atau menghubungkan masalah dengan masalah yang lain. Pada tahap ini digunakan beragam fakta yang mendukung atau menyangkal. Aktivitas yang dilakukan adalah menyediakan atau bertanya apakah penalaran yang dilakukan valid, penalaran yang dilakukan relevan, menentukan kriteria penilaian seperti kredibilitas sumber, membuat penilaian keputusan berdasarkan kriteria penilaian atau situasi atau topik, memberikan fakta bagi pilihan kriteria penilaian. c. Tahap penyimpulan (inference). Tahap ini menunjukkan hubungan di antara sejumlah ide, menggambarkan kesimpulan yang tepat dengan deduksi dan induksi, menggeneralisasi, menjelaskan (bukan menggambarkan) dan membuat hipotesis. Aktivitas yang dilakukan antara lain membuat deduksi yang tepat, membuat kesimpulan yang tepat, membuat generalisasi, mendeduksi hubungan di antara sejumlah ide-ide. d. Tahap strategi (strategy). Aktivitas yang dilakukan yang antara lain melakukan tindakan, dan Tahap ini merupakan tahap mengajukan, mengevaluasi sejumlah tindakan yang mungkin. menggambarkan tindakan mungkin, mengevaluasi tindakan,

memprediksi hasil tindakan.

Secara ringkas, tahap berpikir kritis menurut para pakar tersebut dapat dilihat dalam Tabel 3 berikut ini. Newman, TAHAP Webb & Cochrane (1995) Tahap 1 elementary clarification Tahap 2 in-depth clarification Tahap 3 Tahap 4 Inference Judgement Garrison, Anderson & Archer, (2004) triggering events exploration integration Resolution PAKAR Bullen (1997) clarification assessing evidence making and judging inferences using appropriate strategies and tactics Ennis (2005) elementary clarification basic support inferences advanced clarification strategy and tactics Perkins & Murphy (2006) clarification Assessment Inference Strategi

Tahap 5

strategies formation

Tabel 3 Tahap berpikir kritis menurut beberapa pakar Peristiwa pencetus (triggering events) model Garrison, Anderson & Archer merupakan bagian dari klarifikasi yaitu fokus pada masalah dari model Ennis. Pada model Ennis terdapat 2 kategori klarifikasi yaitu klarifikasi dasar dan klarifikasi lanjutan dan pada model Newman, Webb & Cochrane terdapat dua kategori klarifikasi yaitu klarifikasi dasar dan klarifikasi mendalam kemudian pada model Bullen dan Perkins & Murphy kedua kategori tersebut dijadikan satu kategori yaitu klarifikasi. Tahap dukungan dasar model Ennis sama dengan tahap asesmen bukti model Bullen dan tahap asesmen model Perkins & Murphy. Tahap penyimpulan yang dimaksud kelima model tersebut sama. Tahap penyimpulan dapat dilakukan dengan cara berpikir deduksi dan berpikir induksi. Menurut Gubbin (Sternberg, 1986), berpikir deduksi meliputi penggunaan logika, meninjau pernyataan yang kontradiktif, menganalisis silogisme, menyelesaikan masalah spasial. Sedangkan berpikir induksi meliputi menentukan sebab dan akibat, menganalisis masalah open-

ended, bernalar dengan analogi, membuat kesimpulan, menentukan informasi yang relevan, mengenali hubungan, menyelesaikan masalah pengertian yang mendalam. Tahap strategi model Bullen merujuk pada sejumlah strategi berpikir seperti penggunaan algoritma, model dan mengubah fokus. Tahap strategi yang dimaksud model Garrison, Anderson & Archer adalah tahap resolusi yang berarti tindakan. Strategi ini adalah bertindak sebagai hasil berpikir kritis terhadap suatu masalah. Tahap strategi pada model Newman, Webb & Cochrane disebut sebagai formasi strategi yang menggambarkan tindakan yang dilakukan untuk mengaplikasikan penyelesaian, mengikuti pilihan/keputusan. Sedangkan tahap strategi pada Perkins & Murphy berarti rencana tindakan dan bukan cara untuk menganalisis masalah.

I.

Penelitian yang Berkaitan dengan Berpikir Kritis Matematika

dilakukan oleh Durr, C. R., Lahart, T.E., & Maas, R. M Berikut ini akan dijelaskan tentang suatu penelitian tindakan yang dilakukan oleh Durr, C. R., Lahart, T.E., & Maas, R. M yang menggambarkan suatu program untuk mengembangkan dan meningkatkan keterampilan berpikir kritis remaja untuk mempersiapkan mereka belajar sepanjang hayat. Populasinya adalah siswa sekolah menengah atas pada mata pelajaran matematika dan sosial dari 2 komunitas kelas menengah di Illinois utara. Data kekurangan keterampilan berpikir kritis mahasiswa diperoleh dari guru, siswa, orang tua, dan the Cornell ritical Thinking Test-Level X. Analisis terhadap data menyatakan bahwa guru mempercayai bahwa mereka telah mengajarkan keterampilan berpikir kritis kepada siswanya. Data dari siswa juga diperoleh bahwa siswa juga telah diminta untuk berpikir kritis di dalam kelas. Namun data dari the Cornell ritical Thinking Test-Level X menunjukkan bahwa siswa kekurangan kemampuan berpikir kritis. Kajian terhadap literatur menyatakan bahwa banyak guru yang tidak terlatih mengajar dan menilai berpikir kritis meskipun mereka meyakini bahwa sudah terlatih. Kajian terhadap strategi penyelesaian disarankan oleh

para ahli berpikir kritis, untuk mengkombinasikan dan melakukan analisis terhadap berpikir kritis dengan lingkungan masalah akan menghasilkan materi, bahasa, dan aktivitas belajar yang merangsang kebiasaan berpikir kritis dalam pelajaran matematika dan sosial. 1. Latar Belakang Berpikir kritis merupakan hal yang penting dalam belajar yang efektif dan kehidupan yang produktif. Menurut Paul (dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999) terdapat dua hal yang penting dalam mendefinisikan berpikir kritis yaitu: 1. 2. berpikir kritis bukan hanya berpikir, tetapi berpikir yang memerlukan peningkatan ini berasal dari keterampilan dalam menggunakan standar peningkatan diri (self-improvement), dan untuk menilai berpikir dengan tepat. Pada kebanyakan sekolah lanjutan tingkat pertama pada saat ini, penelitian menunjukkan bahwa kekurangan keterampilan berpikir kritis siswa todak hanya terjadi di dalam klas. Kebanyakan guru memberikan tekanan yang kompleks pada isi kurikulum mereka dan merasa tidak mempunyai waktu yang cukup untuk mengajarkan keterampilan berpikir kritis. Slain itu, banyak guru yang menghindari mengajarkan keterampilan berpikir kritis yang sederhana karena mereka merasa tidak cukup persiapan untuk melakukannya. Pada Nation at Risk pada tahun 1983, The National Commission on Excellence in Education merekomendasikan pembelajaran formal keterampilan berpikir kritis yang terintegrasi pada kurikulum di semua jenjang pendidikan. Rekomendasi ini didasarkan pada laporan pada sekolah nasional yang menyatakan bahwa banyak siswa yang tidak mampu menunjukkan keterampilan intelektual tingkat tinggi dan tidak dapat menyelesaikan masalah matematika. Berikut ini kutipan laporan tersebut. Many 17-year-olds do not possess the higher order intellectual skills we should expect of them. Nearly 40 percent cannot draw inferences from written material; only one-fifth can write a persuasive essay; and only one-third can solve a mathematics problem requiring several steps. Untuk mempersiapkan setiap anggota masyarakat kemampuan berkompetisi dan siap kerja maka siswa harus diberikan kesempatan untuk mendapatkan tujuan pembelajaran melalui strategi berpikir kritis. Sebanyak 80% guru memberikan suara

dalam Gallup Poll of Teachrs Attitudes Toward the Public Schools tahun 1989 menyatakan bahwa mengajarkan keterampilan berpikir kritis harus menjadi prioritas dalam pembelajaran di kelas. Namun guru bukan satu-satunya pihak yang memperhatikan kekurangan keterampilan berpikir kritis siswa. Sejumlah CEO pada korporasi Fortune 500 menyatakan bahwa mengajarkan keterampilan problem solving, analitis, logis, tingkat tinggi, dan konseptual adalah penting agar negara siap menghadapi tantangan global (Nidds & Mc Gerald, dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999). Peneliti pendidikan menyatakan banwa manusia tidak dilahirkan dengan keterampilan berpikir kritis tetapi diajarkan untuk berpikir kritis. Berdasarkan sejarah, terdapat dua pendekatan dalam mengajarkan keterampilan berpikir kritis, yaitu mengajarkan berpikir secara terpisah dengan bidang ilmu atau mengajarkan berpikir kritis yang terpadu pada bidang ilmu. Menurut Perkins (dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999), cara yang menguntungkan untuk menyiapkan siswa berpikir kritis adalah menanamkan keterampilan berpikir kritis terpadu dalam bidang ilmu. Oleh karena itu, guru harus dilatih untuk mengajarkan keterampilan berpikir kritis kepada siswa dalam bidang ilmu mereka. Sebagai contoh, mereka harus menantang siswa untuk belajar tidak hanya isi bidang ilmu tetapi juga keterampilan yang diperlukan dalam proses dan transfer informasi. Hal ini berdasarkan fakta yang diperoleh yaitu bahwa siswa yang memasuki dunia kerja saat ini kekurangan keterampilan berpikir tingkat tinggi, kemampuan mendiagnosis dan menyelesaikan masalah, kemampuan menerapkan keterampilan mereka terhadap masalah baru dan tidak familiar, dan kemampuan bekerja secara efektif dalam kelompok (Nidds & Mc Gerald, dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999). 2. Penelitian Pendahuluan Durr, Lahart, & Maas (1999) mengumpulkan data tentang kekurangan keterampilan berpikir kritis siswa sekolah menengah atas pada mata pelajaran matematika dan sosial yang diperoleh dari guru, siswa, orang tua siswa dan tes yaitu the Cornell Critical Thinking Test-Level X. The Cornell Critical Thinking Test-Level X dipilih karena merupakan salah satu tes terstandar yang dapat digunakan untuk

menilai keterampilan berpikir kritis siswa sekolah menengah atas dan dapat menilai keterampilan berpikir kritis secara keseluruhan. Tes ini memfokuskan pada 4 bidang berpikir kritis yaitu induksi, kredibilitas, deduksi, dan identifikasi asumsi. Pada bagian induksi, siswa diharapkan menilai apakan sejumlah fakta yang diberikan mendukung atau tidak hipotesis yang diberikan. Pada bagian kredibilitas, siswa ditanya untuk memutuskan mana diantara dua pernyataan yang diberikan yang dapat dipercaya. Pada bagian deduksi, siswa harus memutuskan apa yang harus dilakukan terhadap sejumlah informasi yang dianggap benar. Pada bagian identifikasi asumsi, siswa harus memutuskan ide-ide apa yang dapat dicari dari suatu pernyataan. Ennis dan Millman (dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999) mengindikasikan bahwa idealnya, tes berpikir kritis umum akan memunculkan sikap pemikir kritis seperti terbuka, dan hati-hati. Hasil penelitian awal dari sisi siswa adalah 64% siswa memberikan respon terhadap pertanyaan yang membutuhkan penalaran induktif, 75% siswa memberikan respon terhadap pertanyaan yang membutuhkan penalaran deduktif, namun hanya 53% siswa yang mampu menilai kredibilitas pernyataan dan 51% siswa yang mampu mengidentifikasi asumsi yang bernalar. Selain itu juga diperoleh fakta bahwa siswa yang dikategorikan sebagai siswa berkemampuan tinggi secara konsisten memberikan respon yang yang lebih tinggi pada masing-masing bagian The Cornell Critical Thinking Test daripada siswa yang berkemampuan rendah atau dikelompokkan heterogen. Berdasarkan data tersebut, Durr dkk mengindikasikan bahwa siswa lebih mampu dalam bernalar induktif dan deduktif (penalaran yang meminta siswa membuat kesimpulan yang bernalar berdasar sejumlah fakta). Siswa kesulitan dalam tes yang meminta mereka mmbuat penilaian terhadap kredibilitas pernyataan yang diberikan dan menemukan asumsi-asumsi pada pernyataan yang diberikan. Hasil penelitian awal dari sisi guru adalah 86% guru menyatakan bahwa mreka telah mengajarkan keterampilan berpikir kritis secara khusus dalam pembelajaran di kelas atau dalam kesehariannya, dan 75% guru merasa telah mempersiapkan diri untuk mengajarkan keterampilan berpikir kritis. Namun ketika diminta untuk memberikan contoh bagaimana mereka mengajarkan atau mengkombinasikan berpikir kritis dalam pelajaran hanya 20% guru yang mampu melakukannya.

Berdasarkan contoh yang diberikan guru, hanya setengahnya yang memberikan contoh berpikir kritis menggunakan definisi Paul. Berdasarkan fakta tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa guru tidak memahami apa itu keterampilan berpikir kritis dan bagaimana mengajarkannya. Hasil penelitian awal dari sisi orang tua siswa adalah 42% orang tua menyatakan bahwa anak mereka belajar di rumah dalam suasana yang tenang. Namun sebanyak 90% orang tua menyatakan bahwa terdapat TV, radio, atau telepon di dalam ruang belajar anaknya dan lebih dari 86% orang tua menyatakan bahwa sedikitnya salah satu dari barang-barang tersebut digunakan anak pada saat belajar. Hampir 50% orang tua selalu menanyakan anaknya tentang tugas rumah yang diberikan guru namun hanya 36% diantaranya yang secara rutin meminta anak untuk menjelaskan apa yang telah dikerjakan. Berdasarkan fakta, peneliti mengindikasikan bahwa kebanyakan siswa belajar pada lingkungan yang mana mereka akan terganggu setiap saat dan jarang diantara siswa yang memanfaatkan orang tua sebagai sumber dalam mengerjakan tugas. Peneliti membandingkan fakta-fakta yang diperoleh dengan definisi berpikir kritis Paul mempercayai bahwa guru dan siswa yang disurvei menganggap sebarang berpikir adalah berpikir kritis, dan mereka salah memahami apa yang dimaksud berpikir kritis. 3. Alasan Mengajarkan Keterampilan Berpikir Kritis Berikut ini beberapa hal yang mendasari perlunya mengajar keterampilan berpikir kritis. 1. Brookfield (dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999) menyatakan bahwa manusia setiap saat terlibat dalam aktivitas berpikir kritis baik mereka menyadari atau tidak. Contoh aktivitas berpikir kritis sehari-hari adalah menyatakan pendapat, membuat keputusan, bertindak berdasarkan asumsi yang dianggap benar. Para pakar filsafat seperti Sokrates, Plato, dan Aristoteles biasa menggunakan pendekatan induktif untuk memperoleh suatu kebenaran universal. Menurut Fillinger (dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999), metode Sokrates yaitu bertanya masih digunakan sampai saat ini untuk membantu mengembangkan

keterampilan berpikir kritis siswa. Metode ini meminta siswa untuk terlibat dalam dialog dalam mnginvestigasi masalah dan menyusun mengetes hipotesis yang logis. 2. Tujuan pendidikan adalah mengembangkan kemampuan berpikir siswa. Piaget (dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999) menyatakan bahwa tujuan utama pendidikan adalah mengembangkan pikiran yang kreatif, kritis, dan berdaya cipta; pikiran yang dapat menguji informasi dan tidak mudah menerima segala sesuatu yang diterima. 3. Menurut Swartz & Perkins (dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999),beberapa program ujian nasional di Amerika Serikat menyatakan bahwa kualitas siswa sekolah dasar dan sekolah lanjutan di bawah standar dalam menyelesaikan masalah matematis, menulis kritis dan kreatif, membaca. Akibat dari fakta kekurangan keterampilan berpikir tingkat tinggi ini adalah posisi AS dalam kompetisi di dunia dalam penguasaan teknologi tinggi di masa depan. 4. Penyebab Kurangnya Keterampilan Berpikir Kritis Berdasar Kajian Pustaka Beberapa literatur menyebutkan masalah yang mendasari kurangnya keterampilan berpikir kritis siswa sekolah menengah saat ini. Yildirim (dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999) menemukan bahwa kebanyakan guru yang disurveinya menyadari bahwa salah satu tanggung jawab utama sebagai pendidik adalah mendorong berpikir kritis siswa. Namun menurut Supon (dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999) hanya 50% guru yang merasa siap mengajarkan keterampilan brpikir kritis sedangkan 14% guru merasa tidak siap. Banyak guru yang tidak mau mengubah gaya mengajar dari pemberian ceramah menjadi diskusi dan dialog karena menganggap mengajar menggunakan metode tersebut merupakan tugas yang berat. Pembelajaran dengan menggunakan diskusi dan dialog membutuhkan guru yang meluangkan banyak waktu untuk menciptakan pelajaran berpikir penuh (thought-full) yang melibatkan siswa berpikir kritis. Namun hal ini akan menghabiskan waktu yang banyak padahal materi pada kurikulum juga harus diajarkan. Padahal guru juga ditekan untuk meningkatkan

skor tes standar siswa. Akibatnya banyak guru yang mengabaikan mengajar berpikir kritis (Bergeson dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999). Selanjutnya, berdasarkan survei nasional di AS diperoleh fakta bahwa sekolah hanya memfokuskan pada berpikir individual daripada membuat keputusan kolaboratif, guru jarang mendorong siswa bertanya satu dengan lain, bertanya kepada guru, atau menanyakan informasi dari buku. Pertanyaan tingkat tinggi jarang muncul, siswa tidak ditantang untuk menilai proses berpikirnya, belajar pasif yang dilakukan di dalam kelas membuat siswa tidak siap berpartisipasi aktif dalam lingkungan sosial dimana mereka tinggal (Adams & Hamm, Newmann, Durr, Lahart, & Maas, 1999). Menurut Beyer (Durr, Lahart, & Maas, 1999), banyak guru yang tidak jelas bagaimana menggunakan strategi yang tepat untuk mengajarkan berpikir kritis. Sebagai ganti memodelkan bagaimana menyajikan keterampilan berpikir yang khusus, guru menyediakan situasi dimana siswa harus menerapkan keterampilan, dan berbuat sesuatu, menganggap siswa telah memiliki keterampilan yang diperlukan dan dapat mentransfer penggunaannya dalam situasi yang lain. Dampaknya adalah siswa menjadi frustasi dan akan meningkatkan ketidakakuratan penerapan keterampilan. Menurut Durr, Lahart, & Maas, beberapa penyebab di atas didasari oleh kurangnya pelatihan keterampilan berpikir kritis guru sehingga banyak guru yang tidak memahami keterampilan apa yang dibutuhkan agar siswa dapat berpikir kritis dan tidak mengetahui bagaimana keterampilan-keterampilan tersebut diajarkan. 5. Strategi Penyelesaian Berdasarkan Kajian Pustaka Berikut ini kajian tentang strategi penyelesaian berdasarkan kajian pustaka. Kecenderungan tren pendidikan saat ini adalah mempersiapkan siswa menghadapi abad 21 dengan beragam keterampilan berpikir kritis. Hannel & Hannel (dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999) menyatakan terdapat 2 hambatan dalam membantu siswa menjadi pemikir kritis yaitu luasnya salah diagnonis tentang mengapa siswa gagal menjadi pemikir kritis dan kurangnya strategi pembelajaran praktis untuk mengajarkan keterampilan berpikir kritis di dalam kelas. Salah satu langkah perbaikan yang diusulkan dalam Breaking Rank, suatu penelitian yang dilakukan oleh National Association of Secondary School Principals adalah memberikan kesempatan kepada guru sekolah menengah atas untuk mengajari

siswa bagaimana mengembangkan kemampuan menggambarkan kesimpulan, membuat keputusan yang dapat diinformasikan, menerapkan bernalar yang logis, dan menyelesaikan masalah dunia nyata. Sejumlah pengetahuan diperlukan sebagai dasar untuk berpikir kritis, tetapi titik tekan dalam mengajar di sekolah menengah atas adalah aplikasi dan mahir terhadap fakta dalam berpikir dan problem solving. Oleh karena itu, siswa harus belajar mengidentifikasi informasi apa yang dibutuhkan dalam menyelesaikan masalah dan bagaimana mereka mendapatkan informas tersebut (Buletin NASSP dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999). Penelitian tersebut mengindikasikan sejumlah pendekatan untuk membantu mmperbaiki kekurangan keterampilan berpikir kritis siswa sekolah menengah atas. Ian Wright (dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999) menyatakan ada 3 model mengajarkan berpikir kritis yaitu memisahkan unit/bagian dengan kegiatan yang berkaitan dengan keterampilan berpikir kritis, memasukkan keterampilan berpikir kritis pada kurikulum yang sudah ada, dan strategi yang mengkombinasikan kedua model yang lain. Wright menjelaskan bahwa dalam menggunakan model unit/bagian yang terpisah, guru dapat memanfaatkan materi siap pakai, yaitu bahan-bahan yang dikreasikan oleh para ahli di bidangnya dan mudah diperoleh. Menggunakan bahan-bahan siap pakai ini disertai petunjuk guru dan instruksi kepada siswa yang jelas dan dapat dipahami. Model ini memaksimalkan belajar bagi guru dan siswa. Manfaat lain adalah pendekatan ini membantu perkembangan sikap kritis karena didesain untuk mendorong brpikir kritis daripada hanya membantu belajar pada isi materi tertentu. Dengan kata lain, dengan menggunakan model ini, pengetahuan keterampilan berpikir kritis spesifik diperoleh tanpa melalui transfer dalam kurikulum. Kelemahannya adalah menggabungkan latihan berpikir kritis yang terpisah akan memerlukan tambahan waktu. Model lain yang digunakan untuk mengajar keterampilan berpikir kritis adalah infusi (infusion). Pada metode ini, keterampilan berpikir kritis yang akan diajarkan sudah ada dalam materi pelajaran. Wright menyatakan bahwa dalam menggunakan metode ini, siswa dapat belajar keterampilan berpikir kritis dengan menerapkannya secara langsung dalam isi pelajaran/pelatihan yang dipelajari, dengan begitu akan

menghilangkan kebutuhan akan adanya waktu tambahan dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah. Model ini memiliki kelemahan yaitu ketika diterapkan, semua guru harus kompeten dalam memahami apa itu keterampilan berpikir kritis bagaimana cara terbaik untuk mengajarkannya, selain itu mengajarkan keterampilan berpikir kritis melalui metode infusi dapat menimbulkan kekurangan sejumlah kebutuhan penguasaan materi pelajaran. Menurut Wright akan lebih tepat apabila mengkombinasikan kedua model tersebut dengan pertimbangan akan diperoleh manfaat dari keduanya dan kelemahan dapat diminimalisir. Keuntungan menggunakan kedua model secara bersamaan antara lain: 1. 2. 3. 4. transfer (secara teoritis) terjamin dapat dilakukan, memisahkan unit dalam keterampilan berpikir kritis dapat diajarkan oleh siswa dapat memunculkan beragam jenis standar berpikir kritis dalam program yang didesain ahli dapat diadaptasi pada kondisi lokal yang tepat.

ahli pada bidang khususnya, kurikulum K-12, dan Menurut Wright, pelaksanaan metode ini tidak mempunyai kelemahan, tetapi peneliti lain masih mempercayai bahwa faktor waktu adalah krusial, dan perlu personal tambahan diperlukan untuk melatih guru. Menurut Collins, 1989; Paul, 1995, Sanders, 1998; Sutton, 1997 (dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999) terdapat cara lain untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa yaitu adanya kolaborasi komitmen antara guru, administrator, siswa, dan orang tua dalam bekerja sama menciptakan atmosfer agar berpikir kritis menjadi bernilai dan dapat didorong. Administrator perlu meningkatkan pemahaman mereka tentang strategi yang diperlukan untuk mengajarkan berpikir kritis, menyediakan kesempatan tanpa henti kepada guru bagaimana menrapkan strategi-strategi tersebut di dalam kelas, mendukung guru ketika mereka berusaha menerapkan strategi yang dipelajari, dan memberikan siswa tanggung jawab untuk meningkatkan kemampuan berpikirnya. Administrator juga harus menciptakan iklim yang baik bagi guru dan siswa dalam pembelajaran, menampakkan minat terhadap apa yang diperoleh guru dan siswa, serta mengimplementasikan program yang membawa pesan setiap orang

diharapkan berhasil. Administrator yang mendemonstrasikan dukungan dan kepemimpinan akan menginspirasi guru mengajar, siswa belajar,orang tua menjadi partner aktif dalam pendidikan anaknya (Collins 1989; Johnson, 1997, dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999). Guru perlu mendorong berpikir kritis melalui modeling dan aktivitas terstruktur yang mendorong dan membantu siswa berpikir. Sejumlah strategi dapat digunakan untuk mengajar berpikir kritis, kebanyakan yang berhasil adalah aktivitas belajar kooperatif, tingkat tinggi, pertanyaan open-ended, waktu tunggu yang cukup (sufficient wait-time), dan sejumlah kesempatan transfer (Potts, 1994 dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999). Aktivitas yang dilakukan antara lain membuat grafik, meringkas, mengevaluasi, menginterpretasi, mengidentifikasi mengklasifikasi, fakta atau membandingkan, pendapat, meneliti, menggeneralisasi,

menggambarkan kesejajaran, mengoreksi-diri, dan membuat hipotesis (Tener, 1995 dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999). Guru juga harus menciptakan lingkungan yang bebas resiko dimana nilai-nilai berpikir kritis diakui dan didorong. Menurut Paul, Binker, Martin, & Adamson (dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999), peran guru dalam kelas agar berpikir kritis memiliki nilai antara lain: (1) membantu memecahkan pertanyaan/tugas yang kompleks menjadi bagian yang lebih kecil, bagian yang dapat diatur, (2) menciptakan lingkungan yang bermakna agar belajar menjadi bernilai bagi siswa, (3) membantu siswa menjelaskan apa yang mereka pikirkan dengan memparaprase atau memberikan pertanyaan, (4) mengajukan pikiranmembangkitkan pertanyaan, (5) membantu agar dalam diskusi, siswa tetap fokus, (6) mendorong siswa menjelaskan sesuatu ke teman yang lain, (7) dan membantu siswa mencari apa yang perlu diketahui dengan memberi saran dan menunjukkan bagaimana menggunakan sumber. Siswa harus mengembangkan sikap positif terhadap belajar dan mengadaptasi metode pembelajaran yang berbeda secara sukarela. Siswa harus tekun dalam berpikir. Agar menjadi pebelajar yang efektif, siswa harus memiliki rasa ingin tahu dan selalu bertanya. Mereka harus mencari sendiri tantangan dan menyukai setiap belajarnya. Siswa harus menjadi pebelajar yang independen, yang banyak akal, fleksibel, dan tetap tekun menyelesaikan tugas. Pemikir kritis harus berani mengambil

resiko yang tidak takut gagal karena menyadari bahwa kesuksessan dapat diperoleh dari beberapa usaha yang gagal. Mereka mengakui bahwa kegagalan adalah bagian penting dalam problem solving dan bukan refleksi kelemahan seseorang. Untuk memperoleh keterampilan tersebut, siswa harus belajar menjadi sistematis dan terorganisir dalam mengerjakan tugas-tugas yang berbeda. Mereka harus berpikir sebelum bertindak dan sadar akan proses berpikirnya (Casey & Tucker dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999). Costa & Lowery mendaftar sejumlah indikator pemikir yang kreatif, efisien, dan produktif yaitu (1) tekun dalam menyelesaikan masalah, (2) memperoleh sejumlah informasi sebelum mengerjakan tugas, (3) menyediakan waktu untuk merefleksikan jawaban, (4) meyakini bahwa mereka memahami tujuan sebelum mengerjakan tugas, (5) mendengarkan sudut pandang yang berbeda, memahami, dan memberikan empati, (6) merencanakan strategi menyelesaikan masalah, (7) memparaprase sudut pandang yang lain, (8) memberikan beberapa metode menyelesaikan masalah yang sama dan mengevaluasi masing-masing metode yang digunakan, (9) mengkomunikasikan proses berpikir dengan bahasa yang jelas dan tepat secara tertulis maupun lisan, (10) mengecek jawaban, (11) menanyakan pertanyaan tingakt tinggi, (12) menggambarkan pengetahuan awal dan pengalaman untuk mendukung, menjelaskan atau menyelesaikan tantangan baru, (13) mentransfer pengetahuan yang di dapat di sekolah ke dunia nyata dan ke isi pelajaran yang diajarkan, (14) berani mngambil resiko, dan (15) menghasilkan ide dan produk yang kreatif, baru, banyak akal, dan imajinatif. Orang tua harus suportif dan mendorong anak berjuang mengembangkan keterampilan berpikir kritisnya. Meskipun sudah di tingkat lanjutan, orang tua terlibat dan mendorong aktivitas berpikir kritis adalah penting agar siswa berhasil di sekolah. Jeremy Finn (dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999) mengidentifikasi ada hal dorongan orang tua di rumah yang berasosiasi dengan performans sekolah yaitu mengorganisasi dan memonitor waktu anak secara aktif, membantu tugas-tugas pekerjaan rumah, dan berdiskusi kejadian yang terjadi di sekolah dengan anak. Orang tua, khususnya bagi anak di sekolah lanjutan perlu membantu anak memprioritaskan tanggung jawab agar berhasil dalam hal akademik, meskipun mereka tidak familiar dengan tugas yang

diberikan guru ke anaknya, mereka dapat memberikan pertanyaan dan mengecek apakah tugas yang dikerjakan anak telah lengkap. Orang tua harus membantu menyadari bahwa berjuang adalah normal dan terjadi pada waktu belajar konsep baru. Mereka harus mendorong anak untuk bertanggung jawab terhadap belajarnya sendiri (Halpern, 1997; Sutton, 1997; Sanders, 1998 dalam Durr, Lahart, & Maas, 1999). 6. Tujuan dan Proses Projek Untuk melihat peningkatan kemampuan siswa sekolah menengah atas menggunakan keterampilan berpikir kritis matematika dan sosial digunakan The Cornell ritical Thinking Test-Level X, tes buatan guru, projek, penugasan, dan portofolio. Untuk mengerjakan tujuan projek, proses yang diperlukan antara lain (1) bahanbahan dan bahasa yang mendorong berpikir kritis matematika dan sosial dikembangkan, (2) sejumlah aktivitas belajar yang merangsang berpikir kritis dikembangkan dalam bidang studi matematika dan sosial, (3) dan hal-hal yang merefleksikan keputusan dikonstruksi. 7. Rencana Tindakan Projek Setelah memperoleh sejumlah informasi yang berkaitan dengan berpikir kritis, Durr, Lahart, & Maas menggabungkan strategi dan aktivitas untuk mengembangkan dan mningkatkan keterampilan berpikir kritis siswanya. Bahasa menjadi pusat perkembangan kognitif siswa, maka penliti sengaja menggunakan bahasa berpikir penuh setiap hari di kelas. Maksud penggunaan bahasa adalah menantang siswa berpikir setiap hari. Pada awalnya, peneliti menyediakan daftar kosa kata yang digunakan pemikir kritis dan menyediakan waktu untuk menjelaskan masing-masing istilah kepada siswa karena siswa harus memahami bahasa untuk mmfasilitasi perkembangan kognitif mereka. Membaca adalah kecakapan hidup yang penting dan merupakan komponen proses berpikir kritis. Berdasarkan fakta bahwa banyak siswa mengalami kesulitan memahami apa yang mereka baca, peneliti akan memodelkan membaca untuk

memahami dengan cara meminta siswa membaca keras di depan kelas kemudian menginterpretasikan apa yang telah dibacanya. Mengajak siswa untuk menyatakan ulang suatu pernyataan, menterjemah, dan memparaprase apa yang telah dibaca secara konsisten akan menjadikan siswa pendengar yang baik terhadap berpikirnya sendiri. Karena siswa sering tidak memikirkan jawaban pertama yang keluar dari pikirannya, maka peneliti menggunakan sejumlah teknik bertanya dan pertanyaan open-ended dan mengkombinasikannya.Hal ini akan mendorong siswa menyediakan waktu merefleksikan jawaban sebelum merespon, serta menurunkan frekuensi kesegeraan mereka dan meningkatkan jumlah jawaban/respon yang benar. Peneliti menerapkan belajar kooperatif, aktivitas dijadwal, meluaskan perspektif siswa sehingga menjadi lebih fleksibel dalam berpikir. Siswa ditanya tentang sudut pandang alternatif, mengasimilasi dan menginternalisasi sejumlah sumber informasi secara bersamaan, menyelesaikan tugas yang sama lebih dari satu kali, dan menyelesaikan ulang konflik dengan kompromi. Sejumlah usaha sadar yang dilakukan peneliti untuk menggabungkan sejumlah ntelegensi akan membuat iswa merasa nyaman dengan isi pelajaran sehingga akan meningkatkan kesukarelaan mereka unuk berpikir. Siswa sekolah menengah atas lebih menyukai terlibat secara aktif dalam proses problem solving ketika masalah yang disajikan berkaitan dengan situasi yang familiar bagi mereka.Setiap usaha yang dilakukan akan menggabungkan sejumlah informasi dari kehidupan siswa ke dalam masalah yang didiskusikan di kelas. Hal ini akan meningkatkan minat siswa, dan memperluas kemampuan mereka mentransfer pengetahuan yang telah dipelajari di sekolah ke dalam situasi dunia nyata. Pada akhirnya, siswa diminta untuk menuliskan jurnal reflektif. Penggunaan jurnal akan mendorong siswa mensintesis pikiran dan tindakan mereka, membuat mereka melokalikasi proses berpikir yang mnyimpang dan membuat perubahan jika memungkinkan, menterjemah ide ke dalam bahasa tulis. Strategi ini akan membuat siswa berpikir tentang pikiran mereka, salah satu karakteristik pemikir kritis. 8. Metode Asesmen

Untuk menilai pengaruh intervensi, The Cornell ritical Thinking Test-Level X diadministrasikan. Sebagai tambahan tes buatan guru, projek, aktivitas berpikir kritis dikembangkan

Tujuan penelitian adalah meningkatkan penggunaan keterampilan berpikir kritis siswa sekolah lanjutan pada mata pelajaran matematika dan ilmu sosial. Implementasi struktur belajar kooperatif, penggunaan bahasa yang jelas dan tepat, analisis dan membaca kritis, justifikasi proses berpikir, pertanyaan Sokratik, menulis reflektif, dan beragam aktivitas belajar dilaksanakan dengan harapan dapat merangsang berpikir kritis. Peneliti memulai kegiatan penelitian dengan mengadakan pretes menggunakan The Cornell Critical Thinking Test-Level X yang terbagi dalam 4 bagian yaitu induksi, kredibilitas, deduksi, dan asumsi. Penelitian dilaksanakan pada 3 kelas dengan melaksanakan kelompok belajar kooperatif. Siswa diber kesempatan untuk memilih sendiri teman dalam 1 kelompoknya, meskipun tetap ada kelompok yang dibentuk oleh peneliti. Pada saat belajar kelompok, peneliti memusatkan perhatian pada mengajarkan keterampilan berpikir kritis. Siswa diberikan ringkasan kosakata thought-full, dijelaskan pengertian dan penggunaan masing-masing kata sebaik kebutuhan penggunaan bahasa yang tepat dan jelas ketika berbicara dan menulis sehingga diharapkan mereka memahami dan menggunakan kosakata tersebut dengan tepat dalam menulis reflektif. Intervensi dilaksanakan selama 5 bulan, seluruh siswa didorong untuk melakukan aktivitas berpikir kritis yang mengembangkan kemampuan analisis, justifikasi proses berpikir, bertanya Sokratik, menulis reflektif, dan berpikir tingkat tinggi. Tes the Cornell Critical Thinking Test-Level X difokuskan pada 4 bidang berpikir kritis, sehingga peneliti mengembangkan aktivitas-aktivitas yang menekankan pada bidangbidang tersebut. Untuk mendorong dan mengembangkan bernalar induktif, siswa diberikan sejumlah masalah bilangan yaitu mencari pola atau generalisasi bilangan

pada masing-masing masalah, siswa melakukan discovery yang membolehkan mereka bernalar dari fakta yang diamati secara khusus ke pernyataan umum, serta siswa meneliti isu-isu tertentu untuk mengembangkan keputusan yang bernilai benar. Untuk memotivasi siswa membenarkan kredibilitas suatu situasi, siswa disajikan masalah dimana mereka harus menduga kredibilitas jawaban dan menjelaskan penalaran mereka dengan bahasa yang jelas dan tepat. Peneliti juga menggunakan pertanyaan Sokratik untuk membimbing siswa menganalisis validitas jawaban mereka. Penggunaan the Cornell Critical Thinking Test-Level X mengindikasikan bahwa keterampilan bernalar deduktif pada siswa yang menjadi target adalah berkembang dengan pesat sehingga peneliti tinggal mengembangkan dan mempertinggi keterampilan tersebut. Hal ini ditandai dengan siswa telah menyelesaikan persamaan dan pertidaksamaan dan membenarkan tiap proses langkah pengerjaannya, siswa mampu bernalar secara logis dalam pembuktian, serta mampu membuat kesimpulan berdasarkan penggunaan silogisme. Untuk membantu siswa mengembangkan lebih lanjut kemampuan mereka untuk mengenali validitas asumsi yang dibuat, siswa diberi masalah agar mereka menganalisis, menyatakan ulang dengan bahasa sendiri, menyelesaikan, dan membenarkan solusi masalah yang mereka buat. Siswa diminta menganalisis sejumlah masalah untuk memutuskan asumsi apa yang dapat atau tidak dapat dibuat berdasarkan informasi atau diagram yang diberikan. Siswa juga diminta membaca beberapa perspektif yang berbeda dari kejadian yang sama dan membuat asumsi berdasarkan apa yang mereka baca tentang apa yang sebenarnya terjadi. Pada akhirnya, the Cornell Critical Thinking Test-Level X digunakan kembali sebagai post-tes. The Cornell Critical Thinking Test-Level X digunakan untuk menilai pengaruh belajar kooperatif dan aktivitas berpikir tingkat tinggi siswa pada akhir intervensi. Berdasarkan tes diperoleh data bahwa respon siswa terhadap pertanyaan yang mensyaratkan bernalar induktif siswa naik 1% menjadi 65% dari pretes meskipun respon siswa terhadap pertanyaan yang membutuhkan bernalar deduktif turun 2% menjadi 73%. Persentase siswa yang mampu menilai kredibilitias 52% turun 1% dari pretes, persentase siswa yang mampu mengidentifikasi asumsi yang

bernalar adalah 49% turun 2% dari pretes. Hal ini disebabkan karena beberapa siswa tidak serius pada saat dilaksanakan tes, pelaksanaan pretes dan postes terlalu singkat sehingga siswa tidak mampu membaca berulang pertanyaan yang ada, serta pendeknya peride intervensi sehingga tidak ada waktu yang cukup bagi beberapa siswa menginternalisasi dan mentransfer keterampilan berpikir. Secara umum, hasil postes lebih rendah dari pretes, namun sebesar 30% siswa mampu meningkatkan skor pada masing-masing bidang yang diuji. Secara umum peneliti puas terhadap peningkatan aktivitas berpikir kritis siswa sehingga berencana meneruskan mengintegrasikan mengajarkan keterampilan berpikir kritis dalam kurikulum reguler karena mereka percaya bahwa jika guru meningkatkan keterampilan mengajarkan berpikir kritis maka kemampuan berpikir kritis siswa juga akan meningkat. Pada penelitian ini, peneliti menemukan sejumlah perilaku khusus siswa yang tidak diteskan dalam the Cornell Critical Thinking Test-Level X yang mengindikasikan pemikir kritis yaitu siswa meningkatkan ketekunan ketika menghadapi masalah yang menantang, siswa meningkatkan waktu untuk membaca dan mengklarifikasi tujuan sebelum memulai mengerjakan tugas, siswa meningkatkan kesadaran mendengarkan sudut pandang alternatif, meningkatkan keterampilan komunikasi lisan dan tertulis, meningkatkan keinginan mengambil resiko, meningkatkan kualitas kerja, dan meningkatkan kesadaran bertanya.

J.

Penelitian yang Berkaitan dengan Berpikir Kritis Matematika

dilakukan oleh Bessick Berikut ini akan dibahas hasil penelitian yang dilakukan oleh Bessick (2008) tentang upaya meningkatkan kemampuan berpikir kritis sebagai hasil pembelajaran langsing (direct instruction) dan hubungannya terhadap prestais akademik. Penelitian eksperimen ini menguji mengaruh pembelajaran langsung (direct instruction) berpikir kritis pada kemampuan berpikir kriti dan prestasi akademik mahasiswa tingkat awal yang diberikan tutor dalam pelatihan brulang di Universitas Pensilvania. Penelitian ini menggunakan the Thinker Guide berdasarkan model berpikir kritis Richard Paul, the Rationale Argument Mapping Program, berdasarkan penelitian Tim van Gelder.

Kemampuan bernalar abstrak dan problem solving diukur menggunakan the Category Test: Computer Version Research Edition (CAT:CV). Keterampilan berpikir kritis subjek penlitian diukur pada saat pra- dan setelah pembelajaran menggunakan The California Critical Thinking Skills Test Form 2000 (CCTST 2000). Data dianalisis untuk menentukan kemampuan The CAT:CV dan The CCTST-2000 post tes. Skor peringkat total digunakan untuk mmprediksi peningkatan ketrampilan berpikir kritis dan prestasi akademik subjek setelah diberikan pembelajaran. Data juga dianalisis untuk menentukan pengaruh pembelajaran langsung menggunakan The Thinker Guide atau Rationale Argument Mapping Program untuk mengetahui peningkatan keterampilan berpikir kritis subjek. Pada akhirnya, data dianalisis untuk menentukan hubungan antara jenis kelamin dan peningkatan berpikir kritis dan prestasi akademik. Jenis klamin bukan faktor penting dalam penelitian Bessick ini. Siswa melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi langsung setelah menyelesaikan sekolah menengah atas, tetapi hanya 23% siswa yang menunjukkan tingkat berpikir kritis yang tinggi (Piro & Iorio dalam Bessick, 2008). Institusi pendidikan tinggi juga tidak lebih baik.Halpern (dalam Bessick, 2008) melaporkan bahwa pengaruh perguruan tinggi terhadap kemampuan berpikir kritis lulusannya terbatas. Pada tahun 1992, Departemen Pendidikan Amerika mensponsori penelitian keterampilan berpikir kritis orang dewasa. Tujuan penelitian ini adalah mengirimkan pesan ke lembaga pendidikan tinggi belajar dan mengajar apa yang diharapkan. Penelitian ini juga mengirimkan pesan ke mahasiswa tingkat awal perguruan tinggi agar mereka meningkatkan kemampuan berpikir kritis (Greenwood, dalam Bessick 2008). Facione, Sanchez, dan Facione melaporkan konsensus yang para pakar berpikir kritis yang menyarankan bahwa tujuan pendidikan adalah menyiapkan individu khususnya pada tingkat perguruan tinggi menguasai dan terapil dalam brpikir kritis. Mskipun terdapat harapan umum terhadap mahasiswa perguruan tinggi agar dibekali keterampilan berpikir kritis dan mengetahui bagaimana menggunakannya, banyak peneliti yang melaporkan bahwa kebanyakan mahasiswa menunjukkan tingkat berpikir kritis yang kurang (Tsui, dalam Bessick, 2008). Mnurut Facione (dalam Bessick, 2008) pendidik

merekomendasikan bahwa siswa K-12 dan pendidikan tinggi menerima pembelajaran berpikir kritis sebagai praktek dalam kurikulum pendidikan untuk mngembangkan dan menggunakan keterampilan berpikir kritis. Tujuan penelitian Bessick adalah mnliti pengaruh pembelajaran langsung terhadap keterampilan berpikir kritis pada tingkat brpikir kritis mahasiswa dan presta akademik lulusan mahasiswa. Semua mahasiswa diberi tutor dalam latihan yang diulangulang. Penelitian Bessick ini merupakan perluasan penlitian awal yang ilakukan oleh Facione (2002), Halpern (1994, 1995, 1998, 19999, 2001), Halpern & Hakel (2003), Giarcarlo & Facione (2001), Paul & Nosich (1992), Paul, R. (1993), Paul & Elder (1996, 1997), Ewell (2002), Gazella & Ginther (1996), dan Van Gelder (2001- 2005) untuk menilai keterampilan berpikir kritis mahasiswa dan menentukan apakah pembelajaran langsung akan memberikan pengaruh positif berpikir kritis dan prestasi akademik mahasiswa. Tutor dianggap sebagai sarana yang bermanfaat untuk membantu mahasiswa pada tingkat perguruan tinggi. The Thinker's Guides dan Rationale Argument Mapping Program digunakan sebaik 2 ukuran penilaian lain yaitu the Category Test Computer Version Research Edition (CAT:CV) and the California Critical Thinking Test - Form 2000. Penelitian ini juga mempunyai beberapa tujuan tambahan yaitu menginvestigasi hubungan antara skor kesalahan siswa pada CAT:CV dan skor pada pre-tes dan post-tes The California Critical Thinking Skills Test Form 2000 (CCTST-2000). Hubungan antara CAT:CV dan tingkat akhir mahasiswa juga diinvestigasi. Hubungan antara CAT:CV dan subskala CCTST-2000 diinvestigasi untuk menentukan apakah ada suatu daerah peningkatan keterampilan kognitif yang diidentifikasi oleh CCTST-2000. Akhirnya, hubungan antara jenis kelamin, keterampilan berpikir kritis siswa dan tingkat akhir juga dinilai. Jika mahasiswa dapat mengembangkan dan meningkatkan keterampilan berpikir kritis melalui pembelajaran yang bukan merupakan latihn khusus, hal ini akan menghasilkan beberapa perubahan positif bagi mereka dan universitas yaitu meningkatkan keterampilan berpikir kritis potensial menurunkan banyaknya latihan ulangan mahasiswa, mengurangi angka keluar universitas atau pindah jurusan, meningkatkan banyaknya lulusan, meningkatkan prestasi akademik, memaksimalkan pengalaman tutor, meningkatkan kemampuan penelitian, mmbantu mahasiswa mengenali

bahwa mengembangkan berpikir kritis adalah harapan pendidikan tinggi, membuat mahaiswa menyadari tanggung jawab prestasi akademiknya. Universitas akan mendapatkan keuntungan dari mahasiswa yang meningkatkan keterampilan berpikir kritisnya yaitu universitas akan meningkatkan mahasiswa, retensi dan semua mahasiswanya, komunitas meningkatkan ketekunan dan rata-rata lulusannya, meningkatkan asuransi publik yang mngharapkan akuntabilitas kemajuan memperluas kepercayaan universitas menghasilkan mahasiswa yang dapat menjadi anggota produktif dalam masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Bessick menguji pengaruh pembelajaran langsung terhadap berpikir kritis mahasiswa dan prestas akademiknya. Intervensi program menggunakan The Thinker berdasarkan model berpikir kritis Richard Paul dan program Rational Argument Mapping berdasarkan Tim Van Gelder menunjukkan tidak ada peningkatan signifikan keterampilan berpikir kritis mahasiswa. Namun The Thinker Guide menunjukkan peningkatan tingkat akhir mahasiswa. Pembelajaran yang dilaksanakan baik menggunakan strategi pembelajaran langsung atau belajar independen dengan tambahan adanya totur sebaya merupakan faktor yang mmbrikan kontribusi peningkatan prestasi akademik mahasiswa. Namun, karena sampel dan ukuran pengaruhnya kecil, kesimpulan ini harus diuji lagi dengan cara mengulang penelitian untuk melihat apakah benar terdapat pengaruh pembelajaran langsung terhadap prestasi akademik dan keterampilan berpikir kritis mahasiswa. CAT:CV menunjukkan hubungan yang signifikan tingkat akhir mahasiswa. Menurut Clifford, Boufal, & Kurtz (dalam Bessick, 2008) tujuan dasar pendidikan di perguruan tinggi adalah melanjutkan mengembangkan keterampilan brpikir kritis mahasiswa. Survey yang dilakukan oleh The Chronicle of Higher education tahun 2000 brkaitan apa yang paling diinginkan orang Amerika terhadap pendidikan tinggi dalam mempersiapkan pekerjaan adalah bahwa keterampilan umum yang dipelajari dalam berpikir kritis lebih penting daripada keterampilan penggunaan komputer atau keterampilan kerja spesifik lainnya. Survey ini juga mneyatakan 81% responden menempatkan berpikir kritis sebagai hal yang paling penting dalam bekerja. Menurut Vance (dalam Bessick, 2008) lapangan pekerjaan di Amerika telah berubah dan banyak lulusan perguruan tinggi yang tidak dipersiapkan untuk bersaing dalam ekonomi global

yang mengharapkan seorang individu terampil dalam problem solving dan berpikir kritis. Ketidakmampuan menyadari tujuan pendidikan dan karir menjadi tambahan konsekuensi negatif brpikir kritis yang miskin. Pada lembaga perguruan tinggi, mahasiswa yang terbatas berpikir kritis beresiko tertunda lulus karena miskinnya prestasi akademik, mngulang banyak mata kuliah, pindah jurusan, kehilangan bantuan finansial, dan yang paling parah adalah mahasiswa tidak lulus kuliah (DO). Institusi perguruan tinggi mengharapkan siswa yang memasuki perguruan tinggi mampu mengembangkan berpikir kritis, namun kenyataannya tidak demikian. Kebutuhan meningkatkan keterampilan berpikir kritis di perguruan tinggi berdasarkan sejumlah hasil penelitian yang menyatakan siswa kurang dalam berpikir kritis. Para peneliti berharap adanya peningkatan bernalar dan keterampilan berpikir kritis mahasiswa di Amerika agar siap menghadapi dunia kerja. Sejumlah pakar berpikir kritis pembelajaran dan penilaian berpikir kritis menggunakan metode Delphi untuk membentuk panel interaktif ydan mendiskusikan keterampilan kognitif dan karakteristik afektif yang berhubungan dengan berpikir kritis. Menurut Facione, panel ini mengutarakan analisis berpikir kritis dengan mengidentifikasi inti elemen kognitif berpikir kritis yang diharapkan yaitu interpretasi, analisis, evaluasi, penyimpulan, penjelasan, dan regulas diri. Selain Facione, Richard Paul memperluas elemen berpikir kritis yang diidentifikasi yaitu pertanyaan, tujuan, informasi, asumsi, konsep, sudut pandang, dan implikasi. Linda Elder, seorang peneliti berpikir kritis juga memberikan kontribusi faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan keterampilan berpikir kritis ini pada pebelajar di jenjang perguruan tinggi. Paul dan Elder menyusun elemen kognitif berpikir kritis dan karakteristik pemikir kritis yang baik dari projek penelitian pendahuluan, termasuk laporan Delphi (the Delphi Report), dan meluaskannya agar dapat menempatkan kebutuhan berpikir kritis siswa pada semua jenjang. Paul dan Elder mngembangkan sejumlah sarana yang diberi nama The Thinker Guides untuk mengajarkan keterampilan berpikir kritis di perguruan tinggi. Peneliti Tim van Gelder melaporkan bahwa siswa harus didorong berpikir kritis daripada hanya belajar tentang brpikir kritis karena hanya belajar tentang berpikir kritis tidak akan meningkatkan keterampilan ini. Van Gelder merasa bahwa dorongan aktif untuk latihan berpikir kritis menggunaan pemetaan argumen (argument mapping) memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjadi pemikir kritis yang lebih baik. Pemetaan

penalaran melalui penggunaan peta argumen mengijikan siswa memonitor penalaran yang dibuatnya, mengidentifikasi isu-isu dan asumsi penting dan akan lebih mudah mengklarifikasi pengertian mendalam mereka. The Rationale Argument Mapping Program yaitu program komputer yang dapat digunakan sebagai pendekatan interaktif dalam membangun dan mengevaluasi argumen siswa. Program menyediakan petunjuk dalam mengembangkan argumen, scaffolding, umpan balik, dan motivasi untuk mentransfer dan mnggunakan keterampilan berpikir kritis. Program ini digunakan pada mahasiswa yang diberikan pre-tes dan post-tes menggunakan the California Critical Thinking Skills Test.Menurut van Gelder (dalam Bessick, 2008) hasil tes ini adalah menghasilkan kenyataan bahwa mahasiswa menunjukkan peningkatan keterampilan berpikir kritis dengan kira-kira satu standar deviasi ketika dibandingkan dengan metode langsung mengajarkan keterampilan berpikir kritis lain. Tujuan penelitian Bessick ini adalah untuk menentukan apakah pembelajaran langsung keterampilan berpikir kritis dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan prestasi akademik mahasiswa tingkat pertamavyang mengulang latihan. Tutor di perguruan tinggi dilaporkan oleh Bessick sebagai sarana keberhasilan mahasiswa. Subjek penelitian adalah mahasiswa Universita Pensilvania yang mengulangi latihan lebih dari satu kali. Sebanyak 143 mahasiswa sukarela menjadi subjek penelitian ini. Berdaarkan kriteria yang ditetapkan peneliti dipilih 129 mahasiswa. The Computer Version of the Category Test digunakan dalam bernalar abstrak dan keterampilan problm solving mahasiswa dan the california ritical Thinking Skills Test (CCTST) Form 2000 digunakan sebagai pengukuran pre-tes dan post-tes. The Thinker Guide Paul dan Rationale Argument Mapping Program digunakan sebagai intervensi perlakuan selama 13 minggu. Tingkat akhir subjek yang mengulangi latihan digunakan untuk menentukan prestasi akademik setelah diberikan perlakuan. Data dianalisis menggunakan ANCOVA, MANOVA, MANCOVA, dan regresi linier ganda untuk menentukan perbedaan signifikan yang terjadi pada keseluruhan post-tes CCTST, skor subskala CTST, dan tingkat akhir berdasarkan intervensi perlakuan dan jenis kelamin. Analisis data juga dilakukan dalam menentukan kemampuan skor kesalahan kategori tes untuk memprediksi tingkat akhir mahasiswa.

Analisis penelitian ini menguji pengaruh pembelajaran langsung terhadap keterampilan berpikir kritis dan prestasi akademik mahasiswa Universitas Pennsylvania yang diberi tutor dalam pelatihan yang diulangnya. Hubungan jenis kelamin subjek dengan keterampilan berpikir kritis dan prestasi akademik juga diuji. Pada penelitian ini juga terjadi pengurangan subjek penelitian sebanyak 20 orang termasuk diantaranya mahasiswa yang tidak penuh hadir selama penelitian. Pengurangi ini menghasilkan ukuran sampel yang lebih kecil yaitu 78. Desain blok digunakan secara acak untuk menugasi mahasiswa mendemonstrasikan pengaruh ukuran yang menyatakan mahasiswa tidak sama kemampuan berpikir kritisnya pada awal penelitian ini. SPSS, 16.0,2007 digunakan untuk menganalisisdata penelitian. MANCOVA digunakan untuk menentukan pengaruh intervensi kelompok (Thinkers Guide atau Rationale) terhadap skor post-tes berpikir kritis berdasarkan CCTST-2000 dan prestasi akademik yang diukur dengan tingkat akhir terhadap pelatihan yang diulang. Menguji Wilks Lambda, MANCOVA mengungkapkan bahwa intervensi kelompok bukan faktor sokr post-tes berpikir kritis mahasiswa, F (2, 70) = 43; p = .652. Namun intervensi kelompok mnunjukkan hubungan signifikan secara statistik diantara subjek pada tingkat akhir, F (2, 70) = 7.73; p = .001. Kekuatan analisis menampakkan . 94 kekuatan yang diamati tetapi pengaruh ukuran kcil ( .18). Pemberian tutor bukan satusatunya faktor yang berkontribusi terhadap tingkat akhir mahasiswa. Regresi Linier ganda digunakan untuk menguji tingkat yang mana skor peringkat total CAT:V dan CCTST-2000 dapat memprediksi tingkat akhir mahasiswa. Analisis regresi menyatakan hubungan CAT:CV dan CCTST-2000 skor peringkat total yang signifikan. Menggunakan R kuadrat ( .366), 36,6% variasi tingkat akhir dapat dijelaskan dengan suatu model kekuatan observasi .99. Berdasarkan CAT:CV dan post-tes CCTST2000 diperoleh hubungan yang signifikan dengan tingkat akhir. Hasil CAT:CV dengan beta = - .425, t = 3.71, p = .000 lebih signifikan daripada CCTST Form 2000 post tes skor peringkat total dengan beta = .267, t = 2.34, p = .022. MANOVA disusun untuk menentukan kelompok mana yang mendapat pengaruh signifikan berdasarkan CCTST-2000 skor subskala peringkat total. Hipotesisnya adalah kelompok 1 (Thinkers Guides) dapat mendemonstrasikan pengaruh yang lebih signifikan daripada kelompok 2 (Rationale) atau klompok 3 (Kontrol). Hasil MANOVA tidak

menunjukkan sebarang hubungan yang signifikan. Data selanjutnya dianalisis menggunakan ANCOVA, MANCOVAdan ANOVA untuk menentukan pengaruh jenis kelamin pada CCTST-2000 post-tes skor peringkat akhir, CCTST-2000 post-tes skor subskala peringkat, dan tingkat akhir. Hasil analisis menyatakan tidak ada pngaruh signifikan jenis kelamin meskipun pria dihipotesiskan menunjukkan performans berikir kritis yang lebih dibandingkan wanita. Berikut ini kesimpulan dari penelitian yang dilakukan oleh Bessick. Tujuan penelitian ini adalah menguji pengaruh pembelajaran langsung terhadap keterampilan berpikir kritis dan prestasi akademik mahasiswa. Program intervensi menggunakan The ThinkerGuide berdasarkan model berpikir kritis Richard Paul dan The Rational Argument Mapping Program model Tim van Gelder menunjukkan tidak ada peningkatan signifikan keterampilan berpikir kritis mahasiswa. Namun, The Thinker Guide menunjukkan peningkatan mahasiswa tingkat akhir tetapi mahasiswa menggunakan segala bahan seperti pada kelompok kontrol dalam berpikir kritis. Faktanya, ipembelajaran berpikir kritis, apakah disampaikan melalui pembelajaran langsung atau belajar independen pada kelompok kontrol dengan tambahan totur dapat mnjadi faktor yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan prestasi akademik mahasiswa. Namun karena sampel dan ukuran pengaruh kecil, kesimpulan ini harus diinterpretasi dengan hati-hati. Mengulangi penelitian dengan peningkatan ukuran sampel dapat menjadi salah satu metode untuk menentukan kebenaran pengaruh pembelajaran langsung terhadap keterampilan berpikir kritis dan prestasi akademik mahasiswa. CAT:CV juga mnyatakan adanya hubungan yang signifikan dengan tingkat akhir mahasiswa. Meskipun sedikit sekali penelitian yang mengkaji kemampuan CAT:CV memprediksi tingkat akhir mahasiswa, CAT:CV menunjukkan hubungan dengan tingkat akhir. Pemikiran peneliti terhadap kurangnya peningkatan yang signifikan keterampilan berpikir kritis adalah hubungan pembelajaran keterampilan berpikir kritis dengan pelatihan strategi belajar karena komponen metakognitif melekat pada kedua intervensi pembelajaran. Seseorang harus bertanya apakah strategi belajar dapat atau tidak dapat mentransfer pertumbuhan berpikir kritis seseorang yang direfleksikan pada tingkat akhir. Mungkin saja salah satu alasan peningkatan signifikan tingkat akhir mahasiswa yang diobservasi terbuka terhadap berpikir kritis tetapi tidak cocok meningkatkan berpikir

kritis seperti diukur dengan CCTST-2000 hanya strategi blajar tertentu yang ditransfer sementara keseluruhan ketrampilan brpikir kritis dan metakognitf tidak meningkat.

Har, Y. N. Mathematical Thinking Big Ideas in Elementary School Mathematics http://www.criced.tsukuba.ac.jp/math/.../Yeap%20Ban%20Har%20ppt.pdf diakses tanggal 2 September 2009

Hurst, C. 2008. Using Task-Based Interviews to Assess Mathematical Thinking of Primary School Students. In M. Goos, R. Brown, & K. Makar (Eds.). Proceedings of the 31st Annual Conference of the Mathematics Education Research Group of Australasia MERGA Inc. http://www.merga.net.au/publications/counter.php?pub=pub_conf&id. diakses tanggal 5 Agustus 2009

Livne, N. L, Livne, O. E, & Wight, C.A. 2008. Enhancing Mathematical Creativity Through Multiple Solutions to Open-Ended Problems Online http://www.iste.org/Content/NavigationMenu/Research/.../Livne.pdf diakses tanggal 6 Agustus 2009 Stacey, K. 2008. What is Mathematical Thinking and Why is it Important?. Psychology of Mathematics Education. http:// marsigitpsiko.blogspot.com/ diakses tanggal 3 Maret 2009

Anda mungkin juga menyukai