”Saya tidak gagal, tetapi menemukan 9994 cara yang salah dan
hanya satu cara yang berhasil. Saya pasti akan sukses karena telah
kehabisan percobaan yang gagal.”
***
Perusahaan seperti milik kami harus menciptakan suasana
di mana orang-orang tidak takut mengalami kegagalan. Ini
berarti kami menciptakan sebuah organisasi dimana
kegagalan tidak hanya ditoleri tetapi ketakutan dikritik
karena menyampaikan gagasan bodoh juga dihilangkan.
Jika tidak, maka banyak orang yang merasa cemas dan
tidak nyaman. Dan gagasan-gagasan brilian yang sangat
potensial tak akan pemah terucapkan dan tak akan pemah
terdengar. Kegagalan masih bisa ditolerir selama itu tidak
menjadi kebiasaan.
Michael Eisner, Walt Disney Corp.
Jadi? Ya, gagal bukan kiamat bisnis, tapi jangan kelewatan. Apalagi
menjadi “kebiasaan”. Kerjakan yang mampu dilakukan, semakin terbatas
sumber dana, Anda patut semakin bijaksana. fahami, kapan harus
meminimalisasi kerugian.
Saat gagal menimpa, kendati lelah dan kecewa berat, jangan matikan
energi kreatif Anda. Tetaplah berpikir kreatif. Sempurnakan produk yang
ada, atau hasilkan produk baru atau usaha baru yang mungkin belum
terpikirkan.
Jangan terpaku pada karier dan keterampilan yang dimiliki, yang
terlalu lama bersandar pada lingkungan di mana kita dibesarkan atau
selama ini bergulat. Kadang kala apabila seseorang gagal setelah
berusaha dengan tabah dan mengerahkan sepenuh tenaga untuk sekian
lama, mungkin tiba saatnya ia mengkaji kembali bidang yang digeluti dan
menilai apakah ia mampu untuk mendapatkan apa yang dinginkannya di
bidang tersebut.
Banyak cara untuk mencapai tujuan hidup. Sebagian lebih cepat atau
lebih lambat daripada yang lain. Sebagian kurang berisiko tetapi lebih
lambat daripada yang lain.
Saran kami, janganlah terlalu kaku mengatakan bahwa Anda tidak
bisa berubah. Kami sendiri, kerap berubah seiring dengan perkembangan
in put dan stimulasi kondisi di sekitar kami. Tanpa itu, bagaimana mungkin
kami menyusun sebuah buku, memberi pencerahan bagi banyak orang?
Kadang kala dalam kehidupan kita terpaksa menekuni bidang usaha
yang berlainan dan kita mesti menyesuaikan segala keterampilan dan
bakat yang tidak kita peroleh dari bidang-bidang usaha di masa lalu. Lalu?
Salurkan kekuatan itu di bidang usaha yang baru. Mungkin, kita dipaksa
mempelajari keterampilan baru, sebagai konsekuensi menghadapi
tantangan serba-baru itu.
Pernahkah Anda bertanya bagaimana orang Jepang bangkit kembali
dari kehancuran PD II untuk menjadi pengusaha ekonomi yang unggul saat
ini? Dulu, produk Jepang sempat dinilai murahan, tidak berkualitas, dan
stigma jelek lainnya. Tapi sekarang, sulit bagi kita untuk hidup tanpa
barang-barang buatan Jepang di dalam rumah kita. Ini tidak hanya berlaku
di Negara kita saja, tetapi bahkan di seluruh dunia.
Orang-orang Jepang tidak menciptakan mobil. Tidak juga kamera,
kulkas, televisi, AC, mesin cuci, penghisap debu, film atau system
perangkat audio berkualitas tinggi. Mereka tidak menciptakan banyak
benda. padahal yang mereka lakukan ”hanyalah” meniru.
Hakikat :peniruan ala Jepang”, sarat pesan penting bagi calon
entrepeneur. Di sana ada proses penyempumaan tanpa kenal lelah,
sampai akhirnya ”tiruannya” lebih baik dari aslinya! Mereka menggunakan
”kreativitas” untuk menyempumakan barang yang sudah ada. Tak ada
yang membantah, Jepang meraih suksesnya. Kultur entrepreneurship
tumbuh subur di sana, menyebar menguasai dunia.
Jika Anda menyadari bahwa Anda tidak berhasil mencapai tujuan Anda
pada suatu pekerjaan di mana Anda telah dilatih untuk melakukannya,
latihlah atau lengkapi diri Anda dengan pekerjaan yang memberi peluang
meraih yang lebih baik di masa depan. Janganlah gantungkan diri Anda
pada satu keterampilan saja. Sebagai manusia, Tuhan memberi kita
kemampuan untuk mempelajari keterampilan baru dan menerjuni bidang
usaha lain. Jangan ”hidup-mati” Anda gantungkan pada satu bidang saja.
Orang lain bisa sukses. Anda tentu juga bisa. hanya saja, ada yang lekas
tercapai, ada yang masih berliku.
”Jangan malu karena gagal, …seperti Christopher Colombus.”