Anda di halaman 1dari 50

HASIL PENELITIAN HUBUNGAN KADAR INTERLEUKIN-13 DENGAN HASIL UJI TUSUK KULIT PENDERITA DERMATITIS ATOPIK ANAK

KUSMINIARTY PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2011

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dermatitis atopik (DA) atau eksema merupakan penyakit kulit inflamasi, sangat gatal, kronis yang umum terjadi dan sangat mempengaruhi kualitas kesehatan. Sifat peradangan kulit yang timbul khas, menahun dan kumat-kumatan, umumnya muncul pada masa bayi, kanak-kanak atau remaja. (Mckee PH, 2005, Wuthrich B, 2007) DA dipengaruhi oleh faktor lingkungan, dan berkaitan erat dengan penyakit atopi pada organ lain seperti rhinitis alergika, asma pada penderita sendiri ataupun keluarganya. (Abramovits, 2005) DA ini biasanya ditemukan mulai dari umur 2 bulan dan sekitar 1 tahun pada 60% pasien, 30% terlihat pertama kali pada usia 5 tahun, dan hanya 10% timbul dermatitis atopik antara usia 6 sampai 20 tahun. (Leung D,2003, Paller A 2006) DA sangat jarang muncul pada usia dewasa. Sebanyak 60% orangtua yang menderita dermatitis atopik, mempunyai anak yang juga menderita penyakit yang sama. Prevalensi pada anak tinggi, yaitu sekitar 80% apabila kedua orangtuanya menderita DA.(James W,2006 Leung D,2003) Survey di negara berkembang menunjukkan 10-20% anak menderita DA. (Jacoeb, 2004) Angka prevalensi DA di Indonesia sendiri juga bervariasi. Pada tahun 2005 dari 10 RS besar di seluruh Indonesia menemukan angka

36% dari seluruh kasus. (Dinkes, 2005) Data lainnya pada tahun 2010 di RS Wahidin makassar menemukan angka 16,34% dari seluruh kasus kunjungan penyakit kulit anak. (Data primer, 2010) RS Restu di Makassar menemukan peningkatan jumlah kasus DA anak; 68 anak di tahun 2009, 92 anak di tahun 2010 (Data primer,2010) Etiologi dan patogenesis DA sampai saat ini belum diketahui dengan jelas. Banyak faktor yang mempengaruhi, baik eksogen atau endogen, maupun keduanya. Faktor-faktor yang berperan antara lain faktor genetik, disfungsi sawar kulit, imunologis, lingkungan, dan psikologis. (Leung et al., 2008, Leung and Soter, 2001, Susilowati, 2009) Sensitisasi makanan dan alergen hirup memegang peranan pada patogenesis penyakit atopi. Asma, rinitis alergika, dan DA mempunyai dasar kelainan respon hipersensitivitas IgE dan inflamasi jaringan spesifik yang ditandai dengan infiltrasi lokal limfos it T, eosinofil, dan monosit/makrofag. Jaringan yang sedang mengalami inflamasi akut akan tampak infiltrasi limfosit T dengan ekspresi interleukin (IL)-4, IL-5, dan IL-13. Sitokin ini diperkirakan memegang peranan utama pada respon alergi. Penderita atopi mempunyai suatu kecenderungan hipersensitivitas terhadap alergen. Alergen yang sering disebut sebagai pemicu timbulnya lesi pada penderita DA antara lain makanan, serbuk sari bunga (pollen), dan debu rumah. (Wisesa T,2009) Golongan makanan yang sering berpengaruh adalah susu sapi, telur, kacang-kacangan, ikan laut, kacang kedele, dan gandum, sedangkan alergen hirup di daerah tropis

seperti di Indonesia terutama adalah Dermatophagoides pteronyssinus dan Dermatophagoides farinae. (Sujudi Y,2000) Teknik diagnostik yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya antara lain, penentuan kadar IgE total serum, pemeriksaan IgE spesifik, skin prick test (SPT)/ uji tusuk kulit (UTK) maupun atopy patch test. (Dewi and Sukanto, 2001, Susilowati, 2009) Patofisiologi terjadinya DA pada dasarnya adalah adanya reaksi berlebihan terhadap produksi antibodi spesifik IgE sehingga terjadi peningkatan kadar IgE serum dan hasil UTK positif terhadap alergen. Sel T dalam darah berespon terhadap alergen in vitro dengan menginduksi produksi sitokin dari sel Th2 yaitu IL-4, IL-5 dan IL-13, dimana interleukininte rleukin ini sangat berlimpah didaerah inflamasi alergi. Interleukin-4 dan IL-13 merupakan molekul-molekul yang saling berhubungan secara struktural dan memiliki fungsi biologis yang sama yaitu pengurangan produksi sitokin inflamasi oleh makrofag, pengaturan molekul-molekul MHC klasII pada monosit atau makrofag dan induksi ekspresi sel-sel endotelial. (Herrick C, 2003, Sutedja E,2005) Pemeriksaan kadar IL-4 dengan hasil uji tusuk kulit penderita DA anak pernah dilakukan oleh susilowati di makassar pada tahun 2009, namun hasil yang diperoleh tidak signifikan. Maka dari itu kami melakukan penelitian lebih lanjut dengan melihat kadar IL-13 yang dihubungkan dengan hasil uji tusuk kulit. Dikepustakaan disebutkan bahwa IL-4 dan IL-13 merupakan beberapa sitokin yang meningkat pada penderita DA.

B. RUMUSAN MASALAH Apakah terdapat hubungan antara kadar IL-13 dengan hasil UTK pada penderita DA anak ? C. TUJUAN PENELITIAN a. Tujuan Umum Untuk mengetahui Hubungan Kadar IL-13 dengan Hasil UTK pada Penderita DA Anak. b. Tujuan Khusus 1. Mengukur kadar IL-13 pada penderita DA anak. 2. Mengetahui hasil UTK pada penderita DA anak. 3. Menilai hubungan kadar IL-13 dengan hasil UTK pada penderita DA anak. D. MANFAAT PENELITIAN a. Hasil yang diperoleh dapat menjadi panduan untuk mengetahui peranan IL-13 terhadap hasil UTK pada penderita DA anak. b. Merupakan referensi bagi penulis lainnya dalam membahas peranan IL13 terhadap angka kejadian DA. c. Sebagai bahan perbandingan penelitian sebelumnya maupun penelitian di masa yang akan datang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. DERMATITIS ATOPIK 1. Definisi Dermatitis atopik merupakan penyakit kulit yang bersifat kronis dan residif, dapat menyebabkan pruritus yang parah. Umumnya muncul pada waktu bayi, anak anak dan dewasa. (Paller A, 2006, Habif T, 2004, Jamal, 2007) Seringkali dihubungkan dengan serosis dan riwayat atopi pribadi ataupun keluarga seperti asma dan rhinitis alergi. (Kang K, 2003, Ong P, 2002) 2. Sejarah Atopi berasal dari bahasa yunani Atopos yang berarti tidak biasa. Pada tahun 1892, Besnier adalah orang pertama yang mendeskripsikan hubungan DA dengan rhinitis alergi dan asma. Beberapa dekade kemudian istilah atopi yang diungkapkan oleh Perry digunakan oleh Coca dan Cooke untuk mendiskripsikan triad yang terdiri dari eczema, atopic, rhinitis alergi, dan asma. Pada tahun 1930an, Hill dan Sulzbarger menamai triad tersebut sebagai dermatitis atopik . (Kang K, 2003)

3. Epidemiologi Penelitian penelitian epidemiologi populasi penderita dermatitis atopik harus diinterpretasikan dengan memahami bahwa hasilnya bervariasi sesuai dengan kriteria yang digunakan oleh para peneliti. Meskipun demikian, penelitian penelitian terbaru menunjukkan bahwa prevalensi DA semakin bertambah sejak perang dunia II. Karena 90% kasus DA memiliki onset sebelum usia 5 tahun, banyak data yang berasal dari anak-anak usia sekolah. 60% penderita DA mulai memberikan gejala pada tahun pertama kehidupan dan 20% menjadi penyakit rekuren seumur hidup. Berdasarkan penelitian terbaru, perkiraan prevalensi DA berkisar antara 10-20% pada anak-anak sekolah di AS, Eropa Barat dan Asia. (Kang K, 2003, Avgerinou G, 2008) Diduga, dermatitis atopi disebabkan oleh interaksi faktor lingkungan dan genetik. Sedangkan riwayat atopi orang tua merupakan salah satu faktor resiko terkuat penyakit atopi. Banyak ahli yang beranggapan bahwa faktor lingkungan berperan dalam peningkatan prevalensi dermatitis atopik. Beberapa penelitian variasi geografis regional tentang insiden dermatitis atopik menunjukkan bahwa iklim dan tingkat urbanisasi adalah faktor lingkungan yang berperan. (Kang K,2003) 4. Faktor resiko dan faktor pencetus DA merupakan proses yang disebabkan oleh multifaktor, yaitu sebagai hasil peran kerjasama faktor genetik, lingkungan berupa paparan

alergen, iritan atau perubahan cuaca, stres psikologis, disfungsi sawar kulit dan abnormalitas imunologi. Faktor resiko terjadinya DA antara lain : (Kang K,2003,Simpson E, 2005, Leung D,2008) a. Genetik Dalam suatu penelitian yang dilakukan pada 372 penderita DA, ditemukan insiden alergi pernapasan perseorangan sebesar 95% dan riwayat atopi dalam keluarga sebesar 73%. Dalam kohort tersebut, insiden asma alergik dan rhinitis alergi pada anggota keluarga penderita yang tidak mengalami alergi pernapasan perseorangan cukup tinggi, masing-masing sebesar 73% dan 32%. Namun insiden DA dalam keluarga penderita DA yang mengalami alergi pernafasan atau tidak, masing-masing adalah 34% dan 27%. Hal ini menunjukkan bahwa pewarisan DA tidak berhubungan dengan DA itu sendiri namun sangat dipengaruhi oleh fase atopik terutama alergi pernapasan. Observasi klinis mendorong para peneliti untuk menyelidiki gengen spesifik yang terlibat dalam atopi dan DA. Terdapat dua metode yang digunakan. Pertama, linkage analisis yang menentukan hubungan antara fenotif DA dengan kromosom tertentu. Kedua, menyelidiki hubungan DA dengan polimorfisme atau mutasi gen spesifik. Beberapa kromosom diduga berhubungan dengan faktorfaktor imunologis esensial yang mengkode AD dan berperan dalam pathogenesis penyakit ini. Kromosom 5q31 mengandung cluster family

gen IL-4, termasuk gen sitokin multiple yang mengkode sitokin-sitokin Th2, seperti IL-4,IL-5 dan IL-13. b. Laktasi, terjadi perbedaan bayi yang mendapat air susu ibu (ASI) dengan yang non ASI. Makin panjang waktu mendapat ASI makin kecil kemungkinan untuk mendapat DA. c. Sosioekonomi, lebih banyak ditemukan pada status sosial yang tinggi dibandingkan dengan status sosial yang lebih rendah. d. Polusi lingkungan, antara lain daerah industri dengan peningkatan polusi udara, pemakaian pemanas ruangan sehingga terjadi peningkatan suhu dan penurunan kelembaban udara, asap rokok, penggunaan pendingin ruangan yang berpengaruh pula pada kelembaban, penggunaan sampo dan sabun yang berlebihan dan deterjen yang tidak dibilas dengan sempurna. e. Jumlah anggota keluarga: kejadian DA berbanding terbalik dengan banyaknya jumlah anggota keluarga. 5. Patogenesis a. Abnormalitas klinis Alergi pernapasan umumnya berhubungan dengan DA pada usia dewasa (70% pasien). Alergen yang paling sering ditemukan antara lain debu, serbuk sari, bulu binatang, dan jamur. Alergi makanan cenderung terjadi pada bayi dan anak-anak penderita DA,

sejak usia 2 tahun kemudian diikuti dengan alergi inhalasi. (Helen, 2008). Susu sapi, telur, kacang dan kedelai adalah penyebab yang paling sering ditemukan.( Sampson, 2004, Han, 2004) Agen mikroba terutama Staphylococcus Aureus berkoloni pada 90% lesi kulit DA. Karbohidrat protein dan glikolipid dari mikroba mikroba tersebut dapat berfungsi sebagai antigen asing yang terdapat dalam molekul MHC klas I dan klas II dan eksotoksinnya juga dapat berfungsi sebagai superantigen, semuanya dapat memperparah dermatitis. (Kang K, 2003, Thestrup K, 2005, Laonita, 2000) b. Disfungsi sawar kulit Pada penderita DA terjadi defek permeabilitas sawar kulit dan terjadi peningkatan trans-epidermal water loss sebesar 2-5 kali. Adanya defek tersebut mengakibatkan kulit lebih rentan terhadap bahan iritan, karena penetrasi antigen atau hapten akan lebih mudah. Pajanan ulang dengan antigen akan menyebabkan toleransi dan hipersensitivitas sehingga terjadi peningkatan reaksi inflamasi. Selanjutnya terjadi peningkatan proses abnormalitas imunologik yang akan memacu penurunan fungsi sawar kulit. Proses tersebut merupakan suatu lingkaran tanpa putus dan merupakan bagian yang penting pada patogenesis DA. Perubahan kandungan lipid di stratum korneum merupakan penyebab perubahan sawar kulit. Stratum korneum menyusun sawar utama untuk difusi melewati kulit. Substansi

itu terdiri dari korneosit dan lipid, terutama ceramid, sterol dan asam lemak bebas. Ceramid berperan menahan air dan fungsi sawar stratum korneum. Kadar ceramid pada penderita DA rendah dan hal tersebut menyebabkan gangguan sawar kulit. (Abramorvits, 2005, Wuthrich et al, 2007, Proksch and Elias, 2002, Lawrence, 2003). c. Imunopatologi Ketidaknormalan imunologik termasuk disregulasi sel T, peningkatan kadar IgE, dan penurunan jumlah IFN-g memegang peranan yang penting dalam patofisiologi dari DA.( Blauvelt,2003) Sel Langerhans (SL) epidermis dan sel dendritik dermis sebagai sel penyaji antigen (antigen presenting cell, APC) pada DA dapat mengaktifkan sel T alergen spesifik melalui antibodi IgE alergen spesifik yang terikat pada reseptor FcIgE. (Wollenberg, 2002) Aktivasi sel T yang berlebihan pada lesi kulit merupakan ciri khas dari DA. Sel T pada dermatitis atopik akut akan mengeluarkan sitokin Th2 yang akan menginduksi respon lokal IgE untuk menarik sel-sel inflamasi (limfosit dan eosinofil) sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan dan pengeluaran dari molekul adhesi.(Helen,2008) Dermatitis atopik kronik, juga terjadi peningkatan pengeluaran dari sitokin Th1 seperti IFN-g dan IL-12 yang akan memicu terjadinya infiltrasi dari limfosit dan makrofag. (Wollenberg, 2002, Leung and Soter, 2001, Bos, 2005)

Sel T menunjukkan peran sentral dalam proses terjadinya DA. Sel T mempunyai subpopulasi yang berperan dalam terjadinya DA, yaitu Th1 dan Th2. Perkembangan sel T menjadi sel Th2 dipacu oleh IL-10 dan Prostaglandin (PG)E. Sel Th2 mengeluarkan IL-3, IL-4, IL5, IL-6, IL-10 dan IL-13. Interleukin 4, IL-5 dan IL-13 menyebabkan peningkatan level IgE dan eosinofil serta menginduksi molekul adesi yang terlibat pada migrasi sel inflamasi ke lesi kulit. Sel Th1 menginduksi produksi IL-1, IFN-g, dan TNF, mengaktivasi makrofag dan memperantarai reaksi hipersensivitas tipe lambat. IFN-g akan menghambat proliferasi sel Th2, ekspresi IL-4 pada sel T, dan produksi IgE. (Werfel and Kapp, 2002) Infiltrat seluler yang terbanyak pada lesi DA akut, adalah sel T CD4+ yang mengeluarkan sel T memori dan homing reseptor cutaneous lymphocyte-associated antigen (CLA). Sel T ini akan menyebabkan peningkatan IL-4, IL-5 dan IL-13, dimana IL-4 dan IL-13 berperan penting dalam menginduksi molekul adhesi yang akan menarik sel-sel inflamasi kedalam kulit. (Werfel and Kapp, 2002, Boguniewicz and Leung, 2000, susilowati, 2009) d. Imunoregulasi cell mediated Sel-sel langerhans [ SL ] monosit/magrofag, limfosit, eosinofil, sel mast/basofil dan keratinosit adalah tipe-tipe sel utama yang

berperan aktif dalam imunoregulasi DA. Sel langerhans adalah sel dendritik penghasil antigen [APC] yang terdapat dalam dermis. Pada kulit normal, terjadi kompartementalisasi fenotip SL. SL epidermal adalah CD1a, CD1b+ dan CD36-. Namun dalam kulit lesi DA SL dermal dan epidermal mengeluarkan CD1a dan b serta CD38,CD32 dan FceR1 dalam jumlah besar. SL tersebut disebut sebagai sel-sel epidermal dendritik inflamasi. Fce R1 adalah reseptor IgE berafinitas tinggi yang ekspresi rata-ratanya meningkat pada SL penderita DA. Pengaruh fungsional kelainan fenotip ini belum dipahami dengan jelas, namun SL diduga berhubungan dengan peningkatan aktivitas produksi antigen terhadap sel T autoreaktif. (Kang K,2003) e. Peran Superantigen Stafilokokus Saat ini diketahui bahwa eksotoksin Staphylococcus aureus dapat menginduksi reaksi imunologik dan dikenal sebagai superantigen. Superantigen staphylococcus ini akan berikatan langsung pada sisi luar molekul MHC II, ikatan ini akan menginduksi pengeluaran sitokin TNF-a dan IL-6 oleh sel peyaji antigen. Setelah berikatan dengan sel penyaji antigen, selanjutnya superantigen akan berikatan juga pada reseptor sel T pada rantai V. Sel T akan teraktivasi dan berproliferasi serta melepaskan bermacam-macam sitokin yang berperan dalam proses peradangan. (Laonita R, 2000, Leung D, 2002)

6. Gambaran Klinis Gambaran klinis yang utama adalah adanya gatal, yang berhubungan dengan kronisitas penyakit, morfologi dan distribusi lesi. DA dapat dibagi dalam 3 tipe berdasarkan umur penderita dan gambaran klinisnya, yaitu : (Leung et al, 2008, Krafchick B,2003) a. Tipe Bayi (infantile type) Timbul biasanya setelah usia 2 bulan dan pada 90% pasien onset dimulai sebelum usia 5 tahun. Pada bayi yang belum dapat merangkak, lesi biasanya ditemukan pada wajah, kulit kepala dan permukaan ekstensor ekstremitas. Umumnya diawali oleh plak eritem, papul, vesikel yang sangat gatal di pipi, dahi, dan leher tetapi dapat pula mengenai badan, lengan dan tungkai. Bila anak mulai merangkak lesi dapat timbul di tangan dan lutut. Karena garukan terjadi erosi dan ekskoriasi atau krusta, tidak jarang mengalami infeksi. Tipe ini cenderung kronis dan residif. b. Tipe anak (childhood type) Timbul pada masa kanak kanak ( 2 12 tahun ). Predileksi mendominasi daerah antecubital dan fossa popliteal serta bagian belakang leher. Lesi kering, likenifikasi, batas tidak tegas, karena garukan terlihat pula ekskoriasi memanjang dan krusta. Dapat merupakan lanjutan dari tipe bayi atau baru timbul pertama kali. Sering

ditemukan lipatan Denni Morgan yaitu lipatan kulit dibawah kelopak mata. c. Tipe Dewasa (adult type) Gejala utama adalah pruritus, kelainan kulit berupa likenifikasi, papul, eksema, dan krusta. Pedileksi lesi secara klasik ditemukan pada daerah fossa kubiti dan poplitea, leher depan dan belakang, dahi serta daerah sekitar mata. Tipe ini adalah kelanjutan dari tipe bayi dan tipe anak ataupun dapat timbul pertama kali. 7. Diagnosis DA didiagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan gambaran klinis Hanifin dan Rajka menggunakan kriteria mayor dan minor untuk dasar diagnosis DA. Kriteria mayor biasanya konsisten ditemukan pada kasus DA, sedangkan kriteria minor umumnya ditemukan pada kelompok kontrol. Oleh karena itu William bersama kelompok studi United Kingdom, membuat kriteria yang dapat digunakan untuk diagnosis dengan cepat, terutama untuk kepentingan epidemiologi dan skrining di lapangan. (Friedmann and Holden, 2004, Eichenfield et al., 2003) Menurut Hanifin dan Rajka gambaran diagnostik DA harus terdapat 3 atau lebih kriteria mayor (Bohme M, 2000, Boguniewicz M,2000, Abramovits, 2005)

-Pruritus -Morfologi dan regio yang khas, likenifikasi fleksural pada orang dewasa, lesi pada wajah dan ekstensor pada bayi dan anak. -Perlangsungan kronik dan residif. -Riwayat atopi (asma, rhinitis alergi atau DA) pada diri sendiri atau keluarga. Kriteria minor 3 atau lebih : -Xerosis. -Iktiosis/ hyperkeratosis Palmaris/ keratosis pilaris. -Reaktifitas uji kulit tipe cepat. -Peningkatan IgE serum. -Dermatitis didaerah palmo-plantar. -Kheilitis. -Dermatitis didaerah kepala. -Kemudahan mendapat infeksi Staphylococcus aureus dan herpes simpleks. -Papul perifolikuler hyperkeratosis diatas lesi hiperpigmentasi. -Pitiriasis Alba. -Dermatitis di putting susu. -White Dermographism. -Katarak dan keratokonus. -Garis Dennie Morgan.

-Kemerahan atau kepucatan di wajah. -Perjalanan penyakit dipengaruhi faktor lingkungan dan emosi. Kriteria William dalam diagnosis DA : (Reitamo, 2001, Friedmann and Holden, 2004) Harus ada : Gatal (riwayat menggaruk pada anak-anak). Ditambah 3 atau lebih : 1. Onset dibawah usia 2 tahun ( tidak digunakan bila anak usia dibawah 4 tahun). 2. Riwayat Ketelibatan kulit (termasuk pipi pada anak di bawah 10 tahun) 3. Riwayat kekeringan kulit 4. Riwayat penyakit atopi lainnya pada penderita (atau riwayat menderita atopi pada keluarga, pada anak dibawah 4 tahun). 5. Dermatitis flexura yang nyata (atau dermatitis pada pipi/dahi dan bagian luar ekstremitas pada anak dibawah 4 tahun). B. INTERLEUKIN -13 PADA DERMATITIS ATOPIK IL-13 memiliki struktur homolog dengan IL-4 yang memproduksi sel CD4+ Th2. IL-13-R ditemukan terutama pada sel nonlimfoid seperti makrofag. IL-13 lebih tampak sebagai perantara molekuler yang menghubungkan sel-sel inflamasi alergik dengan sel-sel non imunologis yang terkait dengannya, sehingga merubah fungsi fisiologis. Walaupun IL-13 sebagian besar terkait dengan penyakit saluran pernafasan, namun sitokin ini

juga memiliki sifat anti inflamasi. Matrik metaloproteinnase (MMPs) pada saluran nafas merupakan enzim pendegradasi protein, dimana enzim ini diperlukan untuk menginduksi agresi sel-sel inflamasi ke lumen saluran nafas, kemudian sel-sel ini dimusnahkan. IL-13 menginduksi MMP ini sebagai bagian dari suatu mekanisme yang melindungi terhadap proses inflamasi alergi berlebihan yang menyebabkan rentan terjadi asfiksia. Efek utamanya adalah mencegah aktivasi dan sebagai antagonis IFN-.. IL-13 merangsang produksi mukus oleh sel epitel paru dan berperan pada asma. (Baratawidjaja, 2006) Gambar 1. Struktur Kristal interleukin-13 manusia Pada DA sel T akan menyebabkan peningkatan IL-4, IL-5, IL-13 dimana IL-4 dan IL-13 berperan penting dalam menginduksi molekul adhesi yang akan menarik sel-sel inflamasi kedalam kulit. Beberapa penulis melakukan pengamatan ekspresi sitokin IL-4, IL-5,IL-13 dan IFN-. pada lesi akut, kronik, kulit penderita tanpa lesi, dan kulit orang sehat. Pada lesi akut tampak peningkatan ekspresi mRNA, IL-4, IL-5, IL-13 dan IFN-. dibandingkan dengan kulit orang sehat. Pada studi banding antara lesi akut

dan kronik pada kulit penderita DA, ditemukan bahwa ada sedikit peningkatan IL-4, IL-13 dan tampak bermakna IFN-. pada lesi kronik dibandingkan lesi akut.(Leung and Soter,2001, Ong P, 2002, Motala C,2003) Gambar 2. Diferensiasi limposit Th tergantung pada sitokin mana yang diekspesikan pada saat presentasi antigen, Th0 dapat menjadi Th1 atau Th2. Th1 memproduksi IL-2 dan IFN-. berperan dalam efektor CMI dan DTH. Sel Th2 memproduksi IL-4, IL5, dan IL-13 dan menginduksi produksi IgE oleh sel B, aktivasi sel mast dan eosinofil. (Abramovit, 2005). C. UJI TUSUK KULIT Uji tusuk kulit merupakan uji diagnostik in vivo multipel untuk berbagai alergen yang dikerjakan pada waktu yang bersamaan dan dapat mendeteksi antigen yang terlibat dalam reaksi hipersensitivitas tipe 1 yaitu reaksi yang di mediasi oleh imunoglobulin-E. Sebagian besar pasien DA memiliki peningkatan kadar IgE total disertai dengan uji kulit tipe cepat yang reaktif terhadap alergen makanan dan hirup. (Ong and Leung, 2002). Dengan ditemukannya reseptor IgE pada permukaan sel Langerhans pasien DA dan respon bifasik (dominasi Th2 yang diikuti Th1) pada imunopatogenesis DA, maka dapat diterangkan mekanisme terjadinya lesi pada DA. Hal ini pula

yang mendasari pemikiran tentang penggunaan uji tusuk kulit (UTK) dan uji tempel sebagai pemeriksaan penunjang pada DA. (Effendi, 2004) Tujuan melakukan UTK adalah untuk mendeteksi IgE spesifik melalui pembentukan immediate wheal and flare reaction terhadap alergen . (Susilowati,2009) Uji tusuk dilakukan dengan menggunakan kontrol negatif, kontrol positif, serta alergen makanan dan hirup. Sebagai kontrol negatif adalah garam fisiologis atau pelarut alergen, sedangkan kontrol positif digunakan larutan histamin HCl 10 mg/ml atau larutan kodein fosfat 9mg. (Lachapelle and Maibach, 2003) Makanan tertentu dapat menyebabkan eksaserbasi DA, namun hasil UTK positif terhadap alergen makanan tidak selalu membuktikan peran alergen tersebut dalam patogenesis DA. Hasil UTK positif harus dikonfirmasikan dengan double blind placebo controlled food challenge test (uji DBPCFC), yang merupakan baku emas pada alergi makanan. Para ahli penyakit kulit dari Amerika Serikat berpendapat alergen makanan hanya berperan pada sebagian kecil kasus DA, yaitu pada 10% kasus DA. Beberapa penelitian terhadap anak-anak terbukti bahwa susu, telur, kacang tanah, kedelai, gandum dan ikan merupakan makanan yang sering mencetuskan DA. (Effendi, 2004, Sampson, 1997) Alergen hirup, termasuk tungau debu rumah (TDR), bulu binatang, mold, serbuk sari, kayu-kayuan dan rumput dapat berperan sebagai pencetus

DA. Daerah tropis seperti di Indonesia, alergen hirup dalam rumah lebih berpengaruh, yang sebagian besar adalah TDR. Alergen hirup tersebut banyak terdapat di kamar tidur, terutama di kasur, bantal, selimut bulu, karpet, gorden, dan mainan anak berbulu. (Siregar, 2004) D.KERANGKA TEORI Keterangan : Dermatitis Atopik T 0 IL-13 Sel B Th1 Th2 APC IgE Sel mast Histamin Wheal flare Allergen Hirup Alergen makanan UTK IL-2 IF-. CMI/DTH APC : antingen presenting cell alur UTK UTK : uji tusuk kulit pathogenesis DA T0 : Limfosit T naif Th1 : T helper 1 Th2 : T helper 2 20

E. KERANGKA KONSEP Genetik Lingkungan ( Alergen hirup/makanan) IL-13 Psikologis (Stres emosional) DERMATITIS ATOPIK UTK Imunologis: Th,Sitokin IgE Keterangan : : variabel kendali : Hubungan variabel antara : variabel antara : Hubungan variabel kendali : variabel tergantung 21

F. ALUR PENELITIAN Pasien Poliklinik Kulit & Kelamin Subdivisi Pediatri RSWS & RS Restu Kriteria inklusi / Eksklusi UTK IL-13 Analisis data G. HIPOTESIS PENELITIAN Hipotesis penelitian yang diajukan adalah terdapat hubungan antara IL-13 dengan hasil UTK pada penderita DA anak.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. DISAIN PENELITIAN Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional untuk mengetahui hubungan Kadar IL-13 Dengan UTK Pada Penderita DA Anak. B. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN Pemeriksaan UTK dilakukan di poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP dr.Wahidin Sudirohusodo dan RS Restu di Makassar mulai bulan September sampai november 2010. Pemeriksaan kadar IL-13 dilakukan di Laboratorium Penelitian Prodia Jakarta. C. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN Populasi terjangkau penelitian ini adalah penderita DA anak yang datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin subdivisi Pediatri RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo dan RS. Restu Makassar. Sampel penelitian adalah seluruh populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

1. Kriteria Inklusi a. Penderita DA yang memenuhi kriteria William. b. Tidak menderita penyakit kulit lain. c. Penderita berusia 2 -12 tahun. d. Tidak sedang mendapat terapi antihistamin dan kortikosteroid. e. Bersedia ikut serta dalam penelitian ini dan diminta persetujuan secara tertulis (menandatangani inform consent) setelah mendapatkan keterangan yang cukup tentang keuntungan dan hal-hal yang tidak diinginkan yang dapat terjadi selama mengikuti penelitian. 2. Kriteria Ekslusi a. Menderita retardasi mental. b. Menderita penyakit sistemik ( ISPA, demam, gangguan saluran cerna) c. Menderita Dermatitis kontak alergi. d. Tidak Kooperatif D. DEFINISI OPERASIONAL 1. Dermatitis atopik adalah penyakit peradangan kulit, bersifat kambuhkambuhan, gatal, dan ditemukan pada anak yang memiliki riwayat alergi saluran pernapasan dan atau penyakit atopik pada dirinya dan keluarganya.

2. Uji tusuk kulit (UTK) adalah uji tusuk yang dilakukan pada lengan bawah bagian volar yang sudah dibuat kolom dengan meneteskan cairan berbagai alergen dr Indrayana pada masing-masing kolom, dan hasilnya dibaca setelah 15-20 menit dengan menilai wheal/ bentol pada kulit. 3. Alergen makanan adalah ekstrak bahan makanan yang dibuat oleh dr Indrayana digunakan untuk UTK, ada 21 jenis yaitu putih telur, kuning telur, susu sapi, kacang tanah, kacang mete, kedele, gandum, tomat, wortel, nanas, teh, coklat, ayam, kakap, cumi, udang, kepiting, kerang, tongkol, bandeng. 4. Alergen hirup adalah ekstrak bahan hirupan yang dibuat oleh dr Indrayana digunakan untuk UTK, ada 12 jenis yaitu house dust, mite, grasspollen, maizepollen, human dander, dog dander, cat dander, horse dander, kecoa, chicken feather, mixed fungi. 5. Interleukin (IL)-13 adalah sitokin pleiotropik yang diproduksi oleh aktivasi limfosit T. IL-13 mempunyai beberapa fungsi memodulasi respon imun, antara lain yang penting adalah mengatur perubahan isotipe dan menginduksi produksi IgE. 6. Kadar IL-13 adalah hasil pemeriksaan dengan Quantikine HS Human IL13 Immunoassay. 7. 12 tahun adalah anak yang pada saat diperiksa berusia Anak umur 2 tidak kurang dari 2 tahun dan tidak lebih dari 12 tahun 0 bulan.

E. CARA PENGAMBILAN DAN BESAR SAMPEL Cara pengambilan sampel non random sampling. Perkiraan jumlah sampel yang diambil dihitung menggunakan rumus Isaac dan Michael : Z2 .N.P.Q S= d2 (N-1)+Z2.P.Q Keterangan : S = jumlah sampel yang diteliti N= populasi DA di lokasi penelitian Z= confidence level (1,96 untuk a = 0,05) p = proporsi DA (0,5) q = 1 0,5= 0,5 d = tingkat ketepatan yang diambil (0,05) Dari hasil perhitungan dengan menggunakan rumus diatas diperoleh jumlah sampel penelitian sebanyak 30 sampel untuk penelitian.

F. TEKNIK PENGUMPULAN DATA Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara : 1. Wawancara / anamnesis Wawancara atau anamnesis langsung pada penderita dan orang tua penderita ( alloanamnesis) dilakukan menggunakan kuisioner yang telah disiapkan dan dimaksudkan untuk mengumpulkan data tentang identitas, karakteristik dan riwayat penyakit dari sampel. 2. Pemeriksaan Fisik dan Pengambilan Foto Pemeriksaan fisik dilakukan untuk menegakkan diagnosis DA. Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik juga dilakukan pengambilan foto dengan menggunakan kamera digital merk Sony (8 megapixel) 3. Pemeriksaan UJi Tusuk Kulit Pemeriksaan ini dilakukan setelah ditegakan diagnosis DA. Alat dan bahan : a. Alergen makanan dan allergen hirup dr Indrayana b. Jarum Marrow Brow c. Bolpoin d. Spidol ukuran 0,2 e. Selotip f. Kertas millimeter blok

Prosedur pemeriksaan UTK 1. Tandai area yang akan kita tetesi ekstrak alergen dengan bolpoin. 2. Histamin dan kontrol negatif (larutan buffer) diteteskan pada daerah yang berseberangan. Kemudian teteskan ekstrak alergen lainnya 3. Tusuk kulit yang telah ditetesi histamin, buffer kontrol, dan ekstrak alergen dengan menggunakan jarum marrow brow. Tusukan dilakukan dengan pelan menembus lapisan epidermis. 4. Ukur diameter wheal (urtika) pada kulit yang ditetesi histamin dan larutan buffer harus negatif. 5. Tes dibaca setelah 15-20 menit dengan mengukur wheal (urtika) yang timbul. 6. Hasil tes dipindahkan ke kertas millimeter blok dengan cara membuat garis mengelilingi batas wheal dengan spidol ukuran 0,2, ditempel dengan selotip lalu selotip ditempel pada kertas millimeter blok. 7. Mengukur setiap diameter lingkaran pada selotip. Dinyatakan +1 bila ukuran wheal lebih besar dari kontrol, +2 bila ukuran wheal 50% dari diameter histamin dan +3 bila ukuran wheal sama besar dengan histamine, +4 bila ukuran wheal lebih besar dari histamin. 4. Pemeriksaan kadar IL-13 Pemeriksaan IL-13 dengan ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) menggunakan kit Quantikine HSv (High Sensitivity). Kit ini digunakan khusus hanya untuk penelitian. Dengan

sampel serum mempunyai minimum detectable dose (MMD) untuk IL-13 kurang dari 32 pg/mL. Alat dan Bahan : 1. ELISA (Organon Reader) 2. Kit Quantikine HS400 (Product R & D) Spuit disposable 3ml Tabung Pipet 500ul Microplate reader Centrifuge Prosedur pemeriksaan a. Menyiapkan sampel serum : darah sampel diambil dari vena kubiti dengan cara aseptik memakai jarum suntik disposibel 3 cc, dimasukan dalam tabung sentrifus. Darah dalam tabung diputar 10 15 menit dengan kecepatan 2000 rpm, serum yang berada dibagian atas dipisahkan kemudian disimpan dalam lemari es pada suhu -20C. b. Menyiapkan reagen c. Menambahkan konjugat IL-13 pada tiap cawan. d. Menambahkan 100 L Standart, sampel, atau kontrol pada tiap sumur. Inkubasi selama 2 jam pada suhu ruangan.

e. Aspirasi dan bilas. f. Tambahkan substrat (kromogen tetramethyl Benzidine) pada tiap cawan, inkubasi selama 20 menit dalam suhu ruangan g. Menambahkan larutan asam sulfat 2 N pada setiap cawan. h. Baca pada ELISA reader dengan panjang gelombang 540 selama 30 menit menggunakan microplate reader. G. ANALISIS DATA Data yang terkumpul disajikan dalam bentuk table dan atau grafik yang disertai dengan penjelasannya. Kemudian data dianalisis dengan uji Mann-Whitney dan uji korelasi Pearson.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 50 orang anak berumur antara 2-12 tahun terdiri dari 30 orang anak laki-laki (60%) dan 20 orang anak Perempuan (40%). Tiga puluh sampel penderita dermatitis atopi terdiri dari 20 orang anak laki-laki (66,6 %) dan 10 orang anak perempuan (33,3 %). Dua puluh sampel lainnya dermatitis non atopi yang terdiri dari 11 orang anak laki-laki (55%) dan 9 orang anak perempuan ( 45%). Sampel dikelompokkan dalam 3 kelompok sampel (Tabel 1), yaitu kelompok 1 terdiri dari 30 orang anak yang menderita dermatitis atopi dengan hasil UTK positif (DAUTKP), kelompok 2 terdiri dari 8 orang anak yang menderita dermatitis non atopi dengan hasil UTK positif (NDAUTKP), dan kelompok 3 terdiri dari 12 orang anak yang menderita dermatitis non atopi dengan hasil UTK negatif. (NDAUTKN) Tabel 1. Kadar IL-13 dalam satuan pg/ml pada 3 kelompok sampel Kelompok Sampel N Mean Standar Deviasi 1 30 21,2600 7.88998 2 8 10,0875 1.29663 3 12 9,9667 1.30477

Grafik 1 menunjukkan rerata kadar IL-13 kelompok 1 dibandingkan kelompok 2, dengan uji statistic Mann-Whitney terdapat perbedaan yang bermakna dengan nilai P = 0.000 (P< 0.005), sedangkan kelompok 1 dibandingkan dengan kelompok 3 terdapat perbedaan yang bermakna dengan nilai P = 0.000 (P<0.005), sedangkan kelompok 2 dibandingkan kelompok 3 mempunyai perbedaan yang bermakna dengan nilai P = 0.969 (P>0.005). IL-13 Grafik 1. Rerata kadar IL-13 dalam pg/ml pada tiap kelompok sampel. Nilai cut off kadar IL-13 serum penderita dermatitis atopi anak dari penelitian ini terdapat pada rentang kelompok 1 dan 2. Nilai cut off didapatkan dari titik tengahnya yaitu 13,37 pg/ml.

Tabel 2. Distribusi jumlah hasil UTK dengan kadar IL-13 penderita dermatitis atopi Jumlah Hasil UTK Positif N Mean Standar Deviasi 1 3 14.7000 0.00000 2 2 14.5333 4.73427 3 1 22.0000 4 1 18.1000 5 7 17.7857 4.99814 6 5 22.0200 3.92199 7 2 15.6500 3.46482 8 4 27.4500 10.40176 9 2 31.3000 3.53553 10 3 28.8000 12.08015 Total 30 Pada tabel 2 kadar IL-13 paling rendah terdapat pada sampel dengan hasil UTK positif 2 alergen. Kadar IL-13 paling tinggi pada sampel dengan hasil UTK positif 9 alergen. Uji statistik yang digunakan untuk mencari hubungan antara hasil UTK dengan kadar IL-13 adalah dengan uji korelasi Pearson dan didapatkan hubungan tidak bermakna dengan nilai P= 0.181 (P>0.005). IL-13 Grafik 2. Distribusi hasil UTK dengan kadar IL-13 dalam satuan pg/ml

UTK : Uji Tusuk Kulit Grafik 2 menunjukkan hubungan jumlah allergen positif hasil UTK dengan kadar IL-13 pada penelitian ini P=0.221 ( P>0.005). Hasil urtikaria diameter kontrol histamine pada penderita DA dibandingkan dengan kadar IL-13 dengan menggunakan uji korelasi pearson didapatkan hubungan tidak bermakna P= 0,244(P>0,005) Tabel 3. Distribusi hasil UTK berdasarkan jenis allergen makanan. No Jenis Alergen Makanan Jumlah Sampel 1 Putih telur 6 2 Kuning telur 8 3 Kacang tanah 2 4 Kacang mete 2 5 Kedele 3 6 Gandum 3 7 Susu sapi 5 8 Tomat 3 9 Wortel 4 10 Nanas 1 11 The 1 12 Kopi 2 13 Coklat 11 14 Ayam 2 15 Kakap 6 16 Cumi 3 17 Udang 3 18 Kepiting 6 19 Kerang 6 20 Tongkol 2 21 Bandeng 1

Tabel 4. Distribusi hasil UTK berdasarkan jenis allergen hirup No Jenis Alergen Hirup Jumlah Sampel 1 House dust 13 2 Mite 8 3 Grass pollen 5 4 Maize pollen 4 5 Rice pollen 7 6 Human dander 7 7 Dog dander 2 8 Cat dander 4 9 Horse dander 1 10 Kecoa 8 11 Chicken feather 3 12 Mixed fungi 7 Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan allergen makanan yang paling banyak adalah coklat sebanyak 11 sampel, diikuti kuning telur dan putih telur 8 sampel, kakap, kepiting, kerang masing-masing 6 sampel (Tabel 3). Jenis allergen hirup yang paling banyak adalah house dust sebanyak 13 sampel, diikuti oleh mite culture dan kecoa masing-masing 8 sampel. (Tabel 4).

B. PEMBAHASAN Hasil penelitian ini didapatkan kasus DA lebih banyak pada anak lakilaki dibandingkan perempuan. Studi epidemiologi dari berbagai kepustakaan menunjukkan bahwa DA dapat mengenai semua jenis kelamin, pada anak perempuan lebih sedikit dibandingkan anak laki-laki. (Abramovits,2005) Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok DA dibandingkan kelompok non atopi. Pada penderita DA interaksi antara faktor predisposisi genetik atopi dan lingkungan sudah diakui sangat menentukan kemungkinan seseorang untuk menderita penyakit atopi atau tidak. Faktor lingkungan diketahui memegang peran besar memulai sensitisasi pada seseorang yang mempunyai bakat atopi, dan akan menentukan perkembangan gejala klinis serta derajat berat penyakitnya. (Akib,2005) Bukti atopi pada seseorang dapat ditentukan dengan berbagai cara, antara lain dengan kadar IgE total, kadar IgE spesifik, uji kulit terhadap allergen dan pola sekresi sitokin serta respon sel limfosit T helper 2 (Th2). Seperti kita ketahui, sitokin dapat menggambarkan pola respon Th1 ( IL-2, IFN-., IL-12) atau TH2 (IL-4, IL-5, IL-13). Respon Th1 dan Th2 saling mempengaruhi dan bekerja dalam suatu keseimbangan aktif. Pola respon Th2 dihubungkan dengan reaksi inflamasi alergi, sedangkan pola respon Th1 dihubungkan dengan hipersensitivitas tipe lambat dan reaksi inflamasi infeksi. ( Akib, 2005, Werfel and Kapp, 2002, Susilowati, 2009). Penyimpangan respons imun atau gangguan keseimbangan kearah Th2 akan memberikan

kemudahan bagi proses perkembangan alergi. Perkembangan kecenderungan pada pola Th2 terjadi pada masa bayi dan anak. Seperti kita ketahui semasa dalam kandungan, fetus berada dalam lingkungan pola respon Th2, dan produksi IFN-. neonatus dari keluarga atopi cenderung rendah sehingga kecenderungan kearah pola Th2 lebih besar.( Akib,2005) Sensitisasi alergen merupakan proses berkelanjutan sejak masa awal kehidupan yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan akan mempengaruhi timbulnya gejala penyakit alergi pada individu yang telah sensitif. Di perkirakan bahwa manipulasi lingkungan akan dapat mencegah timbulnya penyakit alergi, atau akan menurunkan kekerapan dan derajat berat penyakit. Beberapa penelitian yang membandingkan kadar IL-13 pada sampel normal dengan penderita atopik didapatkan perbedaan yang bermakna. Menurut penelitian Herrick dkk, IL-13 merupakan interleukin yang penting dalam proses alergi yang diinduksi melalui respon Th2. Zitnik juga melaporkan penelitian tentang hubungan antara IL-13 dengan IgE total serum pada penderita dermatitis atopi yang diberi paparan allergen makanan didapatkan hubungan yang bermakna. Nilai cut off kadar IL-13 serum penderita DA anak dari penelitian ini terdapat pada rentang kelompok 1. Nilai cut off didapatkan dari titik tengah rerata IL-13 kelompok 1 dan 2. Hasil penelitian ini didapatkan nilai cut off IL1 3,37 pg/ml sehingga dapat dinyatakan bahwa anak yang menderita DA mempunyai kadar IL-13 = 13,37 pg/ml.

Hasil penelitian ini menunjukkan kadar IL-13 serum penderita dermatitis atopik dengan banyaknya hasil positif UTK tidak berhubungan. Kenaikan kadar IL-13 tidak sesuai dengan kenaikan jumlah hasil positif UTK. Kadar IL-13 tertinggi terdapat pada kelompok dengan 9 jenis alergen positif, kemudian kelompok dengan 10 dan 8 jenis alergen hasil UTK positif. Sedangan kadar IL-13 terendah terdapat pada hasil UTK positif 2. Begitu pula hubungan antara luasnya diameter urtikaria histamine yang terbentuk dibandingkan dengan kadar IL-13 serum tidak berhubungan. Penelitian ini membuktikan tidak adanya hubungan antara produksi IL-13 dengan hasil UTK. Kemungkinan yang menyebabkan kurangnya korelasi tersebut adalah adanya faktor lain yang mempengaruhi sel mas dalam pelepasan histamin. Pelepasan mediator sel mas dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik imunologis maupun non imunologis. Faktor imunologis antara lain antigen/alergen yang akan terikat pada IgE pada reaksi hipersensitivitas tipe I, antigen spesifik terkait sel T pada reaksi hipersensitivitas tipe lambat, anafilatoksin, leukocyte-derived factor, dan juga mikroorganisme patogen. Faktor nonimunologis yaitu proses fisik seperti pajanan cahaya, panas, dingin, trauma, dan tekanan, proses fisiologis seperti hipoksia, dan perubahan tekanan osmotik. (Rendra et al, 2005, Susilowati, 2009) Sensitisasi alergen merupakan proses berkelanjutan sejak masa awal kehidupan yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan akan mempengaruhi timbulnya gejala penyakit alergi pada individu yang telah sensitif.

Keterlibatan allergen hirup dan makanan yang mencetuskan lesi DA dapat diamati melalui mekanisme hipersensitivitas tipe I yang berlanjut kearah fase lambat. BerdasarKan penelitian terdahulu menunjukkan pentingnya peran alergen hirup dan makanan pada kejadian DA, oleh karena itu pada penelitian ini dilakukan UTK digunakan allergen makanan dan hirup. Berbagai macam alergen banyak ditemukan dilingkungan hidup. Salah satu alergen yang penting dan banyak ditemukan di negara beriklim tropis dengan kelembaban tinggi seperti Indonesia adalah tungau debu rumah (TDR), serpihan kulit manusia (human dander), jamur, bulu binatang dan kecoa. Berbagai penelitian membuktikan adanya hubungan TDR dengan kekambuhan DA.(Teplitsky et al, 2008). Allergen makanan merupakan salah satu allergen lingkungan yang dapat mencetuskan DA, walaupun hanya berperan pada sebagian kecil kasus DA. Beberapa peneliti melaporkan bahan makanan yang mengandung protein tinggi, misal susu, telur, kacang tanah, kedelai, gandum dan ikan laut merupakan makanan yang sering mencetuskan DA. (Effendi, 2004) Hasil penelitian ini didapatkan alergen jenis makanan yang paling banyak memberikan hasil positif adalah coklat, kuning telur, putih telur, kakap, kepiting dan kerang. Dari kepustakaan didapatkan data yang bervariasi untuk jenis alergen makanan yang tersering mencetuskan DA. (Motala, 2003, Sampson, 1997). Widiantoro dan Sudigdoadi melakukan penelitian pada penderita DA dan dapat dibuktikan adanya sekelompok

penderita yang kekambuhan lesi kulitnya dipengaruhi oleh alergen makanan dengan pemeriksaan UTK dengan hasil terbanyak susu sapi, diikuti kacang tanah dan ikan laut. (Sudigdoadi, 2001). Perbedaan hasil penelitian ini dengan hasil penelitian terdahulu dapat disebabkan pola makan yang berbeda di tiap daerah. Pola makan penduduk Makassar lebih banyak makan makanan laut antara lain jenis ikan-ikanan, kepiting dan kerang. Pada penelitian ini hasil UTK alergen makanan yang paling banyak positif adalah coklat, mungkin dikarenakan makanan ini paling banyak disukai anak-anak dan kandungan proteinnya yang tinggi. Pada penelitian ini menunjukkan allergen hirup yang terbanyak adalah debu rumah, kutu, dan kecoa. Hasil penelitian oleh susilowati didapatkan allergen hirup terbanyak adalah kecoa, diikuti mite dan human dander. Beberapa peneliti lain menempatkan TDR sebagai alergen terbanyak pada DA. (Susilowati, 2009, Sudigdoadi, 2001). Perbedaan hasil penelitian ini dengan hasil berbagai penelitian didaerah lain dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat tinggal sampel penelitian, kemungkinan sebagian besar sampel sering terpapar debu rumah. Allergen debu rumah banyak memberikan hasil positif pada penderita DA yang tinggal di daerah beriklim tropis. Dalam penelitian ini sebagian besar penderita DA yang dilakukan uji tusuk kulit, yang dihubungkan dengan anamnesis ataupun riwayat penderita sebagian besar UTK yang positif, merupakan bahan alergen yang sudah

lama tidak terpapar atau sama sekali belum pernah kontak. Di kepustakaan disebutkan bahwa peran alergen baik makanan maupun hirup untuk mencetuskan DA masih kontroversial. (Damayanti, 2009). Banyak penelitian mendukung peran IgE spesifik terhadap makanan pada pathogenesis dermatitis atopik. Pasien Dermatitis atopik menunjukkan meningginya kadar total IgE dan IgE spesifik terhadap makanan. Pada penelitian lainnya, pasien dengan IgE spesifik terhadap makanan bila diberikan makanan tersebut akan meningkatkan konsentrasi histamine pada plasma, produk eosinofil, dan aktivasi eosinofil plasma. Bila anak dengan dermatitis atopik secara kronik makan makanan yang menyebabkan mereka alergi akan dijumpai meningkatnya pelepasan histamine secara spontan dari basofil dibandingkan dengan anak tanpa alergi makanan ataupun orang normal. (Damayanti, 2009).

BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN 1. Nilai cut off IL-13 serum penderita DA anak 13,37 pg/ml sehingga dapat dinyatakan bahwa anak yang menderita DA mempunyai kadar IL-13 = 13,37 pg/ml. 2. Jenis alergen makanan terbanyak memberikan hasil positif pada DA paling banyak adalah coklat sebanyak 11 sampel, diikuti kuning telur 8 sampel dan putih telur, kakap, kepiting, kerang masing-masing 6 sampel. Jenis allergen hirup yang paling banyak adalah house dust sebanyak 13 sampel, diikuti oleh mite culture dan kecoa masing-masing 8 sampel. 3. Terdapat hubungan tidak bermakna antara kadar IL-13 serum dengan jumlah hasil UTK yang positif, sehingga hasil UTK tidak menggambarkan tingkat kronisitas DA. 4. Terdapat hubungan tidak bermakna antara tingginya kadar IL-13 dengan diameter wheal histamine yang terbentuk.

B. SARAN 1. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui adanya berbagai sitokin lain yang cukup penting perannya dalam produksi IgE. 2. Perlunya pencegahan terhadap alergen pencetus DA untuk mengurangi risiko kekambuhan DA pada anak dengan cara mengidentifikasi dan menghindari alergen yang positif.

DAFTAR PUSTAKA Abramovits, W. (2005) Atopic Dermatitis. J Am Acad Dermtol, 53, 86-93. Amiruddin D.(2003) Dermatitis Atopik dan Penanganannya. In. Amiruddin D, editors. Ilmu Penyakit Kulit. 1st ed. Makassar.p. 297-312. Avgerinou G, Andreas, Goules. (2008) Atopic Dermatitis: New Immunology Aspects. International J of Dermatology,47,219-24. Baratawidjaja, K. (2006) Imunology Dasar, Balai Penerbit FKUI. Blauvelt A, Hwang S & Udey M. (2003) Allergic and Immunologic Diseases of the Skin. J Allergy Clin Immunol 11,560-569. Boguniewicz, M & Leung D. (2000) Atopic Dermatitis. In Leung, D & Greaves,M (Eds) Allergic Skin Diseases. New York, Marcel Dekker. Bohme M, Svensson A, Kull I, Wahlgren C. (2000) Hanifin s and Rajka s Minor Criteria for Atopic Dermatitis: Which do 2-year-old exhibit? American Academy of Dermatology. Bos J.(2005) Immunology of Atopic Dermatitis.In Harper J, Oranje A & Prose N.(Eds) Textbook of Pediatric Dermatology.2nd ed. London, Blackwell Damayanti I, Peran Alergi Makanan pada Dermatitis Atopik. Aisyah S, Lestari T, Indriatmi W. Dermatitis Atopik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2009. Data primer (2010) Data Registrasi sub Bagian Dermatology Anak di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar. Data primer Data Jumlah Kunjungan Baru dan Lama Poliklinik Anak di RS Restu Tahun 2009-2010. Depkes (2005) Data Jumlah Kunjungan Baru dan Lama Pasien Kulit Anak di 7 Rumah Sakit di Indonesia. Dewi I & Sukanto H.(2001) Kadar Imunoglobulin E spesifik dan uji tusuk terhadap Dermatophagoides pterronyssinus pada penderita

Dermatitis Atopik Dewasa dengan Kadar Imunoglobulin E total Serum di atas Normal. Berkala Ilmu penyakit Kulit dan Kelamin, 13,122-127. Effendi E.(2004) Peran Uji Kulit pada Dermatitis Atopik. In: Boediarja S, Sugito T & Rihatmadja R.(Eds) Dermatitis pada Bayi dan Anak. Jakarta, Balai Penerbit FKUI. Eichenfield L, Chair M, Hanifin J, Luger T, Stevens S & Pride H (2003) Concensus Conference on Pediatric AtopicDermatitis.J Am Acad Dermatol, 49, 1088-95. Ellis C, Luger T, Allen R, Graham-Brown, R Prost, Eichenfield L & Femandis C. (2003) International Concencus Conference on Atopic Dermatitis II (ICCADII) : Clinical Update and Current Treatment Strategies. British Journl of Dermatology, 148,3-10. Ellis C and Luger T. (2003) International Consensus Conference on Atopic Dermatitis II ( ICCAD II): Chairman s Introduction and Overview. Britis Journl of Dermatology, 148,1-2. Friedmann P & Holden C.(2004) Atopic Dermatitis. In Burns T, Breathnach S, 7th Cox N & Griffiths C.(Eds) Rook s Texbook of Dermatology. ed.Victoria, Blackwell Science. Habif T.(2004) Clinical Dermatology A Color Guide To Diagnosis and Therapy, London, Mosby. Han D.(2004) Food Sensitization in Infans and Young Children with Atopic Dermatitis. Yonsei Med J. Helen E. (2008) Food Allergy as Seen by an Allergist. Journl of Pediatric Gastroenterology and Nutrition,47: S45-48. Herrick C, Xu L, McKenzie A, Tigelaar. (2003) IL-13 Is Necessary, Not Simply Sufficient, for Epicutaneously Induced Th2 Responses to Soluable Protein Antigen.Journl of Immunology,170: 2488-95. Jacoeb TNA.(2004) Manifest Klinis Dermatitis Atopi pada Bayi dan Anak. In: Boediardja SA, Sugianto TL, Rihatmadja R. (Eds) Dermatitis pada Bayi dan Anak. 1st ed.Jakarta. Fakultas Kedokteran Indonesia

Jamal ST.(2007) Atopic Dermatitis : An Update Review of Clinical Manifestations and Management Strategis in General Practice. Bull Kuwait Inst Med Spec 2007;6:55-62. Kang K, Poster AM.( 2003) Atopic Dermatitis. In Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP, Horn T et al (Eds). Dermatology. 1th ed. London, Mosby. Krafchik B, Halbert A, Yamoto K, Sasaki R.(2003) Ezcemtous Dermatitis. In Schacner L, Hanses R, Happle R, Paller A et al (Eds). Pediatric Dermatology. 3th ed. London. Mosby. Laonita RS, Indriatmi W.(2000) Peran Staphylococcus Aureus Pada Dermatitis Atopik. MDVI;27/4S: 43S-47S. Lawrence F, Eichenfield, Hanifin J, Thomas A. (2003) Consensus Conference on Pediatric Atopic Dermatitis. J Am Acad Dermatol 2003;49:1088 95. Leung D, Eichenfield L & Boguniewcz,M (2003) Atopic Dermatitis ( Atopic Eczema).In Freedberg I, Eisen A, Wolff K, Austen F, Goldsmith L, Katz S.(Eds) Fitzpatrick s Dermatology in General Medicine. 6th ed. NewYork, Mc GrawHill. Leung D, Eichenfield, L & Boguniewicz,M (2008) Atopic Dermatitis ( atopic eczema). In Wolff, K, Goldsmith, L, Katz,S, Gilchrest,B, Paller, A, & Leffell, D.(Eds) Fitzpatrick s Dermatology in General Medicine. 7th ed. NewYork, Mc GrawHill. Leung D. (2002) Role of Staphylococcus aureus in Atopic Dermatitis. In Bieber, T & Leung D. (Eds) Atopic Dermatitis. NewYork, Marcel Dekker. Leung D & Soter N. (2001) Cellular and Immunologic Mechanisms in Atopic Dermatitis. J Am Acad Dermatol, 44,1-12. James W, Berger T, Elston D.(2006) Andrews Diseases of The Skin Clinical Dermatology. 10th ed. California. Saunder Elsevier. Mckee PH, Calonje E, Granter S. (2005) Pathology of The Skin. 3th ed. USA, Elsevier Mosby.

Motala, C. (2003) Atopic Dermatitis and Food Sensitivity. Current Allergy & Clinical Immunology,16,89-95. Ong P, Leung D.(2002) Atopic Dermatitis. In Grammer L, Greenberger P 6th (Eds). Patterson s Allergic Diseases. ed. Philadelphia. Lippincott Williams & Wilkins. Paller AS, Mancini AJ. (2006) Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology, Chicago, Elsevier Saunder. Proksch E & Elias P. (2002) Epidermal Barrier in Atopic Dermatitis. In Bieber T & Leung D. (Eds) Atopic Dematitis. NewYork, Marcel Dekker. Reitamo S, John, Luger T. (2001) Itch in Atopic Dermatitis.J Am Acad dermatol 2001;45:55-56. Sampson H. (1997) Food Sensitivity and The Pathogenesis of Atopic Dermatitis. J R Soc Med,90,2-8. Sampson H. (2004) Update on Food Allergy. J Allergy Clin Immunol,113:805 19. Simpson E, Hanifin M. Atopic Dermatitis.J Am Acad Dermatol 2005; 53:115 28. Siregar S. (2004) Peran Alergen Makanan dan Alergen Hirup pada Dermatitis atopic.In Boediardja S, Sugito T & Rihatmadja R (Eds). Dermatitis pada Bayi dan Anak. Jakarta, Balai Penerbit FKUI. Sujudi Y.(2000) Tungau Debu Rumah dan Peranannya pada Dermatitis Atopik Anak. Media Dermato-Venereologica Indonesiana.Vol.27 No.4. Susilowati E.(2009) Hubungan Kadar Interleukin 4 dengan Hasil Uji Tusuk Kulit Penderita Dermatitis Atopik Anak. Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin Makassar. Sutedja E, Sudigdoadi, Soebono H, Idjradinata P. (2005) Ketidakseimbangan Th-2 dan Th-1 pada Dermatitis Atopik.Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK UNPAD. Thestrup K, Pedersen . (2005) Atopic Dermatitis. In Bos J (Ed) Skin Immune System. 2th ed. NewYork, CRC press.

Werfel T & Kapp A.(2002) t cells in Atopic Dermatitis. In Bieber T & Leung D,(Eds) Atopic Dermatitis. NewYork, Marcel Dekker. Wollenberg A.(2002) Antigen Presenting Cells.In Bieber T 7 Leung D. (Eds) Atopic Dermatitis.NewYork, Marcel Dekker. Wuthrich B, Cozzio A, Roll A, Senti G, Kundig T.(2007) Atopic Eczema: Genetic or environment? Ann Agric Environ Med,14, 195-201. Wisesa T.( 2009) Masalah Kulit yang sering Ditemukan Pada Bayi dan Anak. In Aisah S, Lestari T, Indriatmi W, Devita M, Prihianti S.(Eds) Masalah Kulit dan Keputihan Pada Bayi dan Anak. KSDAI & PERDOSKI.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai